Minggu, 25 Desember 2011

Natal di Tepian Kehidupan

            Aku adalah seorang penikmat lukisan. Aku suka berjalan ke daerah Pasar Baru dan Cikini, hanya untuk menikmati lukisan yang ada. Kadang-kadang, Aku melihat bagaimana cara Sang Pelukis itu melukis. Aku juga senang mampir ke toko-toko buku Kristen dan melihat keindahan lukisan yang menggambarkan kisah-kisah dalam Alkitab.
            Beberapa saat sebelum hari Natal, aku sering melihat banyak lukisan tentang peristiwa kelahiran Tuhan Yesus dijual di pertokoan. Namun, secara jujur kukatakan aku tidak dapat terlalu menikmati kemolekan dan keindahan lukisan-lukisan itu seperti biasanya. Muncul pikiran-pikiran nakal dalam pikiranku. Aku bertanya dalam hatiku, “Mengapa berbagai lukisan imaji peristiwa kelahiran Kristus selalu digambarkan dengan kemolekan? Maria dilukiskan dengan rupa perempuan yang ayu dan tidak kucel walaupun melahirkan di kandang domba. Yusuf digambarkan sebagai laki-laki gagah dan tidak kucel. Aku heran, bukankah Yesus lahir di kandang domba? Setahuku, kandang domba bukanlah tempat yang bersih. Kandang domba bukanlah tempat yang nyaman. Kandang domba itu bau dan jorok.
Aku kira, mungkin banyak pelukis yang terpasung dalam aliran romantisme dalam dunia seni rupa. Mereka tetap menggambar kondisi yang tidak menyenangkan sekalipun (seperti kondisi kelahiran Yesus) dengan lekukan-lekukan indah dan romantis. Lukisan-lukisan seperti ini menurutku, membawa dampak negatif bagi para pelihatnya. Keindahan dan kemolekan itu mengaburkan dimensi kesederhanaan dari berita kelahiran Yesus. Aku berharap, semoga kita tidak terjebak dalam romantisme lukisan kelahiran Yesus. Semoga kita tidak memaknai Natal dengan gemerlap kemewahan, keanggunan dan kemolekan semata.
Saat ini, aku ingin mengajak para pembaca untuk mengenang kembali dan menghadirkan kembali peristiwa kelahiran Yesus itu di masa kini. Yang menjadi seruan kunci adalah, “Mari kita mengenang bahwa Yesus, orang Nazareth itu, lahir di tepian kehidupan.” Apa yang dimaksud dengan Yesus lahir di tepian kehidupan? Semoga pertanyaan ini tidak membosankan di telinga Anda. Walaupun Natal adalah peristiwa yang selalu kita rayakan setiap tahunnya. Namun makna dari peristiwa ini tidak akan lekang digerogoti waktu. Selamat berefleksi dan beraksi!

Natal di Tepian Kehidupan: Allah yang Lahir di Zona Tak Nyaman
Pernahkah Anda bertanya mengapa Yesus orang tua Yesus adalah Maria (dan Yusuf)? Maria dan Yusuf tinggal di Nazaret, sebuah kota kecil yang berada di daerah Galilea, Palestina Utara. Orang-orang yang tinggal di Nazaret biasanya adalah orang-orang yang sederhana. Oleh karena itu, mereka seringkali diremehkan oleh ahli Taurat dan orang Farisi yang tinggal di Palestina Selatan. Apalagi pekerjaan Yusuf adalah seorang tukang kayu. Tentunya kehidupan Yesus setelah dilahirkan di tengah keluarga ini adalah kehidupan yang jauh dari kemewahan. Sungguh kehidupan yang tidak nyaman dan tidak nikmat, menurut ukuran dunia.
Tentu saja, pemilihan Allah untuk dilahirkan di keluarga yang sederhana seperti ini, bukanlah sebuah pemilihan yang tanpa dasar. Setiap detil peristiwa Natal dalam Alkitab memiliki makna yang sangat dalam. Pemilihan Allah untuk dilahirkan di keluarga yang sederhana ini, menunjukkan kesediaan Allah untuk berbelarasa bersama dengan kaum tersisih, dengan rakyat jelata yang hidup di tepian kehidupan. Allah mau merasakan penderitaan orang-orang yang berada di ambang kehidupan, yang merasakan pedihnya hidup antara makan dan tidak makan. 
Pernahkah Anda bertanya, mengapa Yesus dikandung oleh Maria, seorang perawan yang sudah bertunangan? Mengapa Ia tidak dikandung oleh seorang ibu yang sudah hamil tua seperti Zakaria? Status Maria yang sudah hamil duluan padahal ia dan Yusuf masih bertunangan, secara psikologis akan menjadi sebuah kondisi yang berat bagi Maria, Yusuf dan bayi dalam kandungan Maria. Walaupun kita saat ini mengetahui bahwa Yesus dikandung daripada Roh Kudus, orang-orang yang hidup pada saat itu mungkin saja tidak mengetahui bahwa Yesus dikandung dari Roh Kudus. Mungkin saja, pada saat Ia dikandung, banyak orang yang menebarkan fitnah dan gosip terhadap Maria dan Yusuf. Tentunya hal ini menjadi sesuatu yang berat bagi Maria, Yusuf dan Yesus. Mereka bertiga mungkin mendapat cercaan dari orang di sekitarnya.
Hal ini membuat aku berpikir bahwa Tuhan mau berbelarasa dengan orang-orang yang seringkali kita pergunjingkan. Maria, Yusuf dan Yesus tentunya tahu bagaimana pedihnya dipergunjingkan. Sadar ataupun tidak, kita sering mempergunjingkan orang lain, mungkin karena kesalahannya, mungkin karena kekurangannya, atau bahkan mungkin hanya karena kita membencinya. Hal ini menyadarkan kita bahwa ternyata Tuhan tidak berpihak pada orang-orang yang mempergunjingkan. Bahkan, banyak orang-orang yang harus difitnah karena sesuatu yang tidak ia perbuat. Tapi, Tuhan justru berpihak pada orang-orang yang berada jauh dari kenyamanan karena senantiasa dipergunjingkan.
Pernahkah Anda bertanya mengapa Yesus lahir di palungan? Dalam Injil Lukas 2: 7, dikatakan bahwa tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. Pdt. Ayub Yahya pernah menulis bahwa kata “tidak ada tempat” seringkali disalahartikan dalam drama-drama Natal. Di dalam drama Natal seringkali dikatakan bahwa semua penginapan itu penuh sehingga tidak ada tempat. Namun, yang terjadi pada saat itu sebenarnya adalah Maria dan Yusuf – yang merupakan orang-orang yang sederhana itu – tidak memiliki uang untuk membayar penginapan. Mengapa? Kita dapat membayangkan bahwa pada masa sensus penduduk seperti itu, akan ada banyak orang yang menuju ke kota asalnya masing-masing. Oleh karena itu, kemungkinan besar biaya tempat penginapan akan semakin meningkat. Maria dan Yusuf yang sangat sederhana itu tidak sanggup membayar penginapan.
Palungan adalah tempat yang jauh dari kenyamanan. Mungkin, ada banyak serangga di dalam palungan itu. Baunya pun tak sedap. Tapi Yesus mau lahir di tempat itu. Hal ini menjadi bukti bahwa Yesus tidak lahir ke dunia ini untuk menikmati nikmat dunia. Ia berbelarasa dengan yang tersisih, dengan orang yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak.

Harapan Natal: Sebuah Selebrasi Dengan Aksi Nyata
Sampai sejauh ini, aku menyimpulkan bahwa Tuhan Yesus tidak lahir di zona nyaman. Ia lahir di dalam ketidaknyamanan. Oleh karena itu, makna Natal bukanlah kehura-huraan belaka, melainkan solidaritas kepada orang-orang yang hidup di tepian kehidupan. Yesus lahir bersama-sama dengan orang yang seringkali dicerca dan tidak dipedulikan. 
Tapi mengapa, ketika aku mengamati perayaan Natal pada saat ini, aku melihat kondisi yang jauh dari kesederhanaan dan keberpihakan pada orang-orang yang hidup di tepian kehidupan. Secara sarkastik, kukatakan bahwa pada saat ini Natal menjadi sebuah selebrasi tanpa makna dan tanpa aksi yang nyata. Perayaan Natal telah dibeli oleh banyak mall menjadi sebuah selebrasi tanpa makna. Sinterklas gemuk duduk di mall-mall dan menjajakan dirinya untuk berfoto bersama anak-anak. Ia menawarkan jasa sebagai kurir kado kepada para orang tua yang ingin memanjakan anaknya dengan gelimang kado dan mainan. Tentu saja, Anda bisa berfoto jika Anda memiliki uang! Lalu bagaimana dengan orang-orang yang kesulitan dalam hal ekonomi, apa mereka tidak dapat merayakan Natal?
Lewat perenungan ini, kita diingatkan kembali untuk melangkahkan kaki kita ke zona yang tidak nyaman. Ada banyak orang-orang yang lapar dan tidak dapat makan. Ada banyak orang-orang yang kesulitan untuk minum karena ketiadaan air bersih. Ada banyak orang-orang yang mengalami kerapuhan karena stigma sosial dari masyarakat. Ada banyak anak-anak yang bermimpi untuk sekolah, namun harus putus sekolah karena tidak memiliki biaya. Ada banyak anak-anak yang lahir tanpa orang tua dan memerlukan cinta kasih dari kita semua. Natal bukanlah sebuah selebrasi tanpa aksi. Natal adalah sebuah selebrasi yang menuntut aksi. Mari merayakan Natal sambil beraksi!

Yesie

Minggu, 13 November 2011

Kanssas, I Miss You! Slideshow Slideshow

Kanssas, I Miss You! Slideshow Slideshow: TripAdvisor™ TripWow ★ Kanssas, I Miss You! Slideshow Slideshow ★ to Jakarta. Stunning free travel slideshows on TripAdvisor

Kamis, 03 November 2011

Secuil dari Radical Christian Writings

Secuil dari Radical Christian Writings
ditulis untuk buletin Mercusuar, GKI Kemang Pratama

            Tema yang diusung Mercusuar kali ini adalah Read, Pray, Love. Ada beberapa pertanyaan yang mencuat dalam diri saya ketika redaksi menyampaikan tema itu melalui sebuah pesan elektronik singkat. Membaca apa? Berdoa kepada siapa dan tentang apa? Mencintai apa dan siapa?
            Pertanyaan-pertanyaan itu terjawab ketika saya membaca sebuah buku yang berjudul Radical Christian Writings. Buku ini memang tidak memberikan jawaban yang bercorak kognitif dan sistematis terhadap pertanyaan-pertanyaan saya. Buku ini memberikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan itu melalui berbagai kisah hidup dan buah tulisan radikal dari 62 orang Kristen dari berbagai belahan tempat dan waktu.
            Orang-orang Kristen radikal yang dimaksud di sini bukanlah orang Kristen radikal yang berjiwa seperti teroris dan suka meneror dengan bom. Yang dimaksud dengan radikal di sini adalah berani menjadi garam dan terang dunia. Mereka berani menjadi contoh bagi dunia. Tulisan, perkataan dan perbuatan mereka diinspirasikan oleh Injil Kristus. Injil Yesus Kristus menawarkan tantangan yang radikal dan subversif  bagi dunia. Oleh karena itu, seringkali tindakan, perkataan dan perbuatan mereka bertentangan dengan nikmat dunia. Hal ini sebenarnya bukanlah hal yang baru karena jemaat di Tesalonika pun sudah menyadari hal ini. Mereka menyadari bahwa orang-orang Kristen bertindak seperti Kristus dan bertindak melawan kekuasaan Kaisar, dan membalikan sesuatu yang dipandang “wajar” di dunia (Kisah Para Rasul 17:6).           
Saya akan menceritakan secuil kisah hidup dan tulisan dari dua orang Kristen yang mungkin akan menginspirasikan Anda untuk membaca buku ini lebih lanjut. Kisah yang pertama adalah tentang Elizabeth Cady Stanton. Perempuan kelahiran tahun 1815 ini memimpin kampanye anti pembudakan dan menyuarakan hak asasi perempuan di Amerika Serikat. Kecintaannya terhadap Injil Kristus membantunya untuk berpikir kritis dan mengecam hal-hal yang tidak sesuai dengan Injil Kristus yang terjadi pada zamannya. Ibu dari tujuh anak ini menjadi penggerak pertama di balik konvensi hak asasi perempuan di Amerika Sertikat.
Pada masa ketika Stanton hidup, hukum kanon, hukum sipil, gereja dan negara, imam dan legislator, beserta seluruh partai politik telah mengajarkan bahwa perempuan diciptakan setelah laki-laki. Oleh karena itu perempuan merupakan makhluk yang inferior dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan dianggap membawa dosa dan kematian di dalam dunia. Ternyata, Alkitab dapat ditafsirkan melalui cara yang sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Stanton tidak setuju dengan penafsiran tersebut. Menurutnya, perempuan memiliki hak asasi untuk bersuara dan memilih. Stanton menulis The Woman's Bible, yang berisi interperetasi Alkitab dari sudut pandang perempuan. Buku ini juga menjadi sebuah bentuk upaya re-interpretasi terhadap teks-teks Alkitab yang pada zaman itu digunakan untuk menindas, membungkam dan memarjinalkan perempuan. Menurutnya, Alkitab berisi pesan kesetaraan di antara sesama manusia.
Sampai akhir hayatnya di tahun 1902, apa yang ia impikan belum tercapai. Namun, kampanye dan apa yang ia suarakan baru berdampak setelah kematiannya.  Sampai tahun 1990-an buku yang ia tulis hilang dari peredaran. Namun, pemikirannya pada saat ini –jauh begitu lama setelah kematiannya- banyak mempengaruhi para teolog feminis kontemporer.
Tokoh kedua yang akan saya ceriterakan kisahnya adalah Oscar Romero. Romero adalah orang yang sangat vokal dalam menyuarakan hak orang miskin dan menentang penindasan yang terjadi pada zamannya. Uskup dari El Savador kelahiran tahun 1917 ini bersama-sama tinggal dengan orang miskin di San Salvador.
Ia mengajak gereja untuk bangun dari mimpinya dan bergumul bersama-sama dengan orang yang tertindas. Dalam tulisannya ia menuliskan buah pemikirannya. Katanya, “Banyak orang yang tertindas dan mengalami penindasan sistematis dari pihak yang berkuasa. Banyak penguasa yang bersikap tidak adil.  Para penguasa bahkan rela menjual orang miskin demi sepasang alas kaki. Pengadilan pun tidak bertaring dan tidak memberikan jawaban atas penindasan yang mereka alami.Gereja harus berani berjuang bagi mereka yang tertindas, walaupun karena itu gereja harus siap mengalami penganiayaan. Sama seperti Yesus, dia juga dianiaya karena membela orang yang tertindas.” Ternyata perkataannya terbukti, ia membuktikan bahwa dirinya siap menderita karena membela orang miskin. Dia mati ditembak pada usia 63 tahun, saat ia sedang memimpin misa.
            Walaupun orang-orang hidup dalam berbagai waktu dan konteks, kita dapat melihat bahwa orang-orang diinspirasikan oleh Kristus melalui membaca Alkitab. Namun, hal yang dapat disimpulkan dari buku ini adalah bahwa kita tidak bisa memisahkan Alkitab dari konteks. Pembacaan Alkitab harus dikorelasikan dengan konteks yang kita hadapi. Bagaimana kita menjadi garam dan terang di dalam dunia ini? Pembacaan Alkitab yang mendalam menginspirasikan kita untuk mencintai Allah, sesama dan dunia. Karena itu, orang Kristen harus menjadi garam dan terang yang memberi rasa dan menjadi penerang. Allah adalah Allah yang hadir dalam sejarah dan kita juga dipanggil untuk menjadi rekan sekerja Allah dalam melaksanakan misi Allah di tengah-tengah konteks yang kita hadapi. Buku ini sangat memberikan inspirasi bagi kita untuk mulai: read, pray, love! Oleh karena itu, menurut saya, buku ini layak untuk dibaca oleh para pembaca! Selamat membaca lebih lanjut, masih ada puluhan tulisan dan biografi para tokoh Kristen yang menarik di sepanjang sejarah Kekristenan! 

Selasa, 25 Oktober 2011

Hidup itu Ibarat Membatik!



Saya tidak pernah membayangkan bahwa proses pembuatan batik tulis itu sangat sulit. Beberapa waktu lalu, saya dan ibu saya berkunjung ke lembur batik yang terletak di kota Cimahi. Saya berbincang-bincang dengan salah seorang pelayan di lembur batik itu. Awalnya saya bertanya kepadanyaitu, ”Pak mengapa harga batik tulis sangat mahal?”
Dengan tersenyum, ia menjawab, ”Harga batik tulis sangat mahal karena proses pembuatan batik tulis itu sangat rumit, Neng. Kunci pembuatan corak kain batik adalah ketekunan dan kesabaran. Membuat corak kain batik dimulai dengan membuat pola di selembar kertas putih. Pembatik mengerahkan segenap kreatifitas dan imajinasinya agar pola kain batik itu menjadi indah dan sarat makna. Setelah menggambar pola, ia harus mewarnai kain batik itu dengan tekun dan teliti. Ketidaksabaran dan kesembronoan dalam melukis dapat merusak coraknya. Perlu diakui, ada kalanya pembatik itu merasa jenuh dan putus asa, apalagi para pembatik yang baru dalam tahap belajar. Namun, ada kepuasan tersendiri ketika corak batik tulis itu dapat diselesaikan dengan optimal.”
Percakapan singkat itu membantu saya dalam merefleksikan pengembaraan hidup kita, sebagai orang Kristen. Hidup itu ibarat membatik. Kita dipanggil untuk berkarya, melukis corak batik yang indah dan sarat makna. Hidup orang Kristen harus bermakna dan mencerminkan kasih Kristus. Namun, hal itu tidaklah mudah. Dalam pengembaraan kehidupan kita, ada saatnya kita bergumul. Ada kalanya kita lelah karena harus selalu bertekun dalam menghadapi berbagai persoalan hidup yang menghimpit. Dalam rintihan yang lirih, kita mengadu, ”Tuhan mengapa aku harus menderita seperti ini?”
Sekali lagi, hidup itu ibarat membatik! Bila saat ini kita sedang bergumul dan merintih dalam kepedihan, ingatlah bahwa sikap ketekunan dan tahan uji akan menghasilkan buah yang indah. Sebagai buahnya, kita akan melihat ”batik yang indah” pada waktunya nanti. Sungguh benar Firman Tuhan yang disampaikan oleh Rasul Paulus dalam kitab Roma 5:3-4 ”... karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.” Selalu ada pengharapan sebagai dampak dari ketekunan dan tahan uji! Selamat bersabar dan bertekun!

Belajar (Kembali) Membaca Alkitab




            Tema Mercusuar kali ini adalah Read, Pray, Love. Dalam sudut pandang kekristenan, saya menduga bahwa yang dimaksud dengan read adalah membaca Alkitab; pray adalah berdoa kepada Tuhan; dan love adalah mengasihi Tuhan dan sesama (bandingkan hukum kasih). Setiap orang Kristen pasti pernah membaca Alkitab, berdoa, dan mencinta.
Pada perenungan kali ini, saya akan menitik-beratkan pada sub-tema read. Semua orang dapat membaca Alkitab, namun penafsiran dan pemahaman para pembaca Alkitab terhadap Alkitab dapat berbeda-beda. Ada yang menafsirkan dengan tepat dan bijaksana, namun ada juga yang menafsirkan dengan cara yang nyeleneh.
Kita pasti masih mengingat Adolf Hitler, yang menafsirkan Alkitab dengan cara yang nyeleneh. Alkitab digunakan untuk melegitimasi perasaan superioritas dari ras Aria. Belum lagi, penafsiran yang hurufiah terhadap kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa kerap kali digunakan oleh sebagian pihak untuk menyudutkan kaum perempuan dan ular! Alih-alih membenarkan superioritas laki-laki, menurut mereka perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan ular dianggap sebagai binatang menyeramkan titisan iblis.Sungguh menyedihkan karena Alkitab sebagai Firman Allah digunakan sebagai senjata untuk membenarkan superioritas pihak-pihak tertentu.
Oleh karena itu, pada perenungan kali ini, saya ingin mengajak para pembaca untuk belajar kembali bagaimana cara membaca Alkitab. Setidaknya perenungan ini sejalan dengan pemandangan umum BPMS GKI SW Jawa Barat yang mengajak para jemaat GKI untuk melakukan re-interpretating dan re-visioning dalam membaca Alkitab. Mari kita belajar bersama-sama dari Carlos Mesters mengenai bagaimana caranya membaca Alkitab!

Siapa itu Carlos Mesters?
            Carlos Mesters adalah seorang biarawan Karmelit yang lahir di Holland. Seorang. Laki-laki yang pernah mendalami ilmu tafsir terhadap Kitab Suci di Roma dan Yerusalem ini, memiliki keprihatinan terhadap pendidikan bagi komunitas basis (baca: gereja lokal). Ia memberikan kursus Alkitab bagi banyak orang awam.
Dari karya-karyanya kita dapat melihat bahwa ia membaca Alkitab dari sudut pandang orang miskin. Tentunya hal ini tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan yang ia hadapi. Mesters terlibat dalam usaha-usaha penentangan terhadap politik Apartheid di Afrika Selatan. Ia sungguh menentang penindasan terhadap orang-orang kulit hitam yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih. Mesters juga menulis buku yang berjudul God's Project. Buku ini ditulisnya untuk membangkitkan kesadaran jemaat akan adanya rezim Apartheid dan untuk membantu para pembaca dalam menghadapi Apartheid. Baginya, Allah yang kita imani adalah Allah yang berpihak pada orang yang miskin dan tertindas. Baginya, dengan membaca Alkitab, kita dapat melihat apa yangAllah mau untuk kita lakukan dalam kehidupan kita. Dengan demikian Alkitab tidak boleh digunakan untuk membenarkan apa yang kita mau dalam kehidupan kita. Membaca Alkitab itu bukan menghafal, bukan memberhalakan, bukan memaksakan pemikiran kita terhadap Alkitab!

Belajar (Kembali) Membaca Alkitab dari Carlos Mesters
Menurut Mesters, tujuan membaca Alkitab bukan hanya untuk MENGETAHUI Alkitab, melainkan untuk MENCARI dan MEMAHAMI kehendak Allah. Agar dapat mencapai tujuan itu, ada hal yang harus diperhatikan yakni cara pandang kita terhadap Alkitab, realitas, dan komunitas (baca: gereja). Apa pemahaman kita tentang Alkitab? Apa pemahaman kita tentang realitas? Apa pemahaman kita tentang komunitas?
Menurut Mesters, Alkitab harus dipahami sebagai kumpulan teks yang merupakan produk kesaksian iman dari orang-orang percaya yang hidup dalam tempat dan waktu tertentu. Tentu saja, para penulisnya diilhami oleh Allah saat menuliskannya. Oleh karena itu Alkitab adalah Firman Allah. Komunitas (baca: gereja) dipahami sebagai persekutuan orang percaya yang diterangi oleh Roh Kudus. Sementara itu, realitas adalah apa yang terjadi dalam kehidupan kita pada saat ini. Fakta-fakta dan sejarah kehidupan kita pada saat ini.
Memahami Alkitab tanpa melihat realitas hidup kita saat ini, sama seperti membuang garam dari makanan atau menaruh terang di bawah meja. Realitas sangat penting bagi kita untuk memahami Alkitab karena Alkitab bukanlah “buku” pertama yang Allah tulis bagi kita, “buku” pertama yang Allah tulis adalah kehidupan alam semesta yang Allah ciptakan melalui Firman-Nya. Oleh karena itu, Alkitab tidak dapat menggantikan “buku” yang pertama itu. Alkitab ditulis untuk menolong kita untuk memahami makna kehidupan yang kita jalani dan memahami apa kehendak Allah dalam kehidupan kita.
Kita adalah umat yang mengembara menuju pemenuhan Kerajaan Allah yang sudah hadir ini. Hanya dengan berjalan menyusuri arak-arakan perjalanan umat Tuhan, kita dapat mendulang makna dari Alkitab. Selamat mendulang makna dari Alkitab! Selamat menelisik kehendak Allah dalam kehidupan kita!
Yesie Irawan

Sumber:
Puleo, Mev. 1994. The struggle is one: voices and visions of liberation. New York: State University Press.
Bradstock, Andrew dan Rowland, Christopher (ed.). 2002. Radical Christian writings.Massachusetts: Blackwell Publishers.

Kutemukan Wajah Allah dalam Dirinya


Ia ingin turun dari tempatnya berbaring sejak lima tahun terakhir, namun ia tidak bisa. Kakinya sudah tidak kuat menahan berat tubuhnya.
Ia ingin berdoa dengan mulutnya, namun ia tidak bisa. Nafasnya sudah tersangkut di lehernya.
Ia memandang wajahku dengan sisa-sisa kekuatannya, seakan kami tidak akan berjumpa lagi.

Aku terisak.

Ia menggelengkan kepalanya, seraya ingin berkata, "Hapuslah air matamu".
Ia ingin memeluk orang yang dikasihinya, namun ia tidak bisa. Tenaganya hampir habis untuk menahan rasa sakitnya.

Aku menggenggam jemarinya dan mencium keningnya.
Air mataku tetap menetes...
Dalam hatiku, aku sungguh mempertanyakan keberadaan Allah.
Di mana Allah saat anak-Nya menderita? 

Lima hari kemudian, Allah menjemputnya.
Air matanya menetes di helaan nafas terakhirnya, namun ia tersenyum.

Dalam sepi, aku mencoba mengilas balik dan menata ulang kepingan peristiwa yang tercerai berai itu dan aku menjadi malu.

Allah hadir dalam diri ia yang memandang wajahku dengan sisa-sisa kekuatannya.
Allah hadir dalam diri ia yang tak bisa mengucapkan sepatah katapun.
Allah hadir dalam diri ia yang memintaku untuk tegar.

Melalui ketegarannya, aku seperti melihat wajah Yesus yang mengatakan, "Jangan menangis Ibu!"

Ketika Dunia Menjadi Datar (Kembali)


     Siapa sich yang tidak tahu kalau bumi itu bulat? Ya, bumi itu bulat, kata ilmu eksak! Tapi, sebelum teori bahwa bumi itu bulat diluncurkan, banyak orang yang memahami bahwa bumi itu datar. Gereja pun meyakini bahwa bumi itu datar. Bahkan, penulis Injil Matius mencatat bahwa Tuhan Yesus mendorong kita untuk pergi menjadi saksinya sampai ke ujung bumi. Padahal kita tahu bahwa bumi tidak ada ujungnya bukan?
                Sekitar satu abad yang lalu, orang masih harus berlayar dari satu tempat ke tempat lainnya. Untuk mengirimkan kabar, orang harus berkorespondensi melalui surat yang dikirimkan via-pos atau bahkan dengan pos merpati. Di masa lampau, melihat keberadaan masyarakat yang ada di benua lain menjadi sebuah mimpi besar yang sangat sulit untuk diwujudkan. Perpisahan menjadi hal yang sangat menyedihkan karena rasanya sangat sulit untuk berkomunikasi dengan kawan yang harus pergi jauh. Bahkan pada satu dekade lalu, belum ada pager ataupun telepon genggam. Saya ingat, saya selalu mengirim kartu Natal kepada teman-teman lama saya via pos. Perlu waktu yang cukup lama untuk menerima balasan surat tersebut.
                Namun, bumi yang bulat itu, pada saat ini telah berubah menjadi datar (kembali)! Bumi sudah tidak lagi bulat. Saat ini bumi sudah datar! Mengapa? Dalam dekade terakhir ini, kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan komunikasi membuat bumi seolah-olah menjadi datar kembali. Keberadan alat komunikasi yang canggih seperti telepon genggam, faksimile, dan internet memudahkan manusia untuk berkomunikasi.
Tentunya, perubahan ini memiliki dampak positif dan negatif. Dalam permenungan kali ini, saya mengingat ungkapan dari Paulus yang bunyinya, “Segala sesuatu halal bagimu, namun tidak semuanya berguna!” Saya ingin mencoba meneropong lalu menelisik masuk ke dalam perubahan dunia yang sangat cepat ini. Mari menjelajah di dalam dunia yang menjadi datar (kembali) ini! Mari menelisik apa yang berguna dari dunia yang menjadi datar (kembali) ini! Mari dengan jeli memilah mana yang halal namun tidak berguna dari perubahan ini!

Meneropong sisi yang halal dan berguna
Setidaknya dari lensa teropong saya, saya melihat ada dua sisi yang sangat halal dan berguna dari perkembangan teknologi dan komunikasi. Saya harap dua hal yang saya paparkan ini dapat membantu kita melihat bahwa teknologi juga memiliki dampak positif dalam kehidupan manusia.
Sisi positif yang pertama adalah bahwa perkembangan teknologi dan komunikasi telah membantu manusia untuk menjadi “satu”. Pernahkah anda berpikir bahwa orang yang Anda telepon atau yang Anda kirimi sms itu berada di tempat yang berbeda dan mungkin saja sangat jauh dengan Anda? Dengan andanya web camera, telepon, dan surat elektronik, semboyan “jauh di mata dekat di hati” sudah tidak berlaku lagi. Dengan adanya web-camera, sesorang yang jauh di sana, menjadi dekat di mata dan dekat di hati”.
Sisi positif yang kedua adalah perkembangan alat komunikasi, seperti internet,  membantu membantu kita untuk “thinking outside the box”. Pada saat ini, dengan sangat mudah manusia dapat “melihat” dunia dengan lebih mudah. Orang yang ada di belahan bumi Utara dapat melihat apa yang terjadi di belahan bumi Selatan (begitu pula sebaliknya) dengan sangat mudah. Misalnya saja ketika terjadi gempa bumi di Haiti dan Tsunami di Jepang, kita dapat mengetahuinya dengan cepat. Bantuan dari berbagai belahan dunia pun segera disalurkan untuk membantu para korban bencana alam. Dengan kata lain, teknologi dapat membantu manusia untuk bahu membahu menolong sesamanya, bahkan yang belum pernah ia kenal sekalipun.
 Kedua hal positif ini senada dengan yang dikatakan oleh Teilhard de Chardin. Menurutnya, teknologi dan komunikasi memberikan sebuah dampak positif bagi peradaban hidup manusia. Berkat teknologi dan komunikasi modern dunia semakin menjadi satu. Seorang paleontolog dan teolog asal Yesuit ini berharap bahwa melalui teknologi manusia akan menjadi satu dalam kehidupannya.
Harapan dari Teilhard ini sebenarnya menunjukkan bahwa manusialah yang memegang kendali atas teknologi, bukan teknologi yang mengendalikan manusia. Teknologi hanyalah sebuah alat bantu yang dampak dan fungsinya akan sangat tergantung dengan bagaimana manusia memanfaatkannya. Sampai di titik ini, teknologi masih disebut sebagai alat bantu yang memudahkan manusia. Namun, pada peneropongan terhadap dampak negatif dari teknologi, kita akan melihat bahwa teknologi dapat berubah. Ia tidak lagi menjadi sekadar alat bantu manusia, namun teknologi juga dapat “menghasilkan” pola hidup manusia. Manusia tidak lagi menggunakan teknologi, melainkan “diperalat” oleh teknologi.

Memilah sisi yang halal namun tidak berguna!
                Segala sesuatu halal bagimu, namun tidak segala sesuatu berguna! Teknologi halal bagi kita, namun tidak selamanya teknologi dapat berguna jika kita salah menggunakannya.  Mangunwijaya pernah mengatakan bahwa teknologi dapat menjadi tuan yang memperbudak manusia. Hati-hati, apakah sesuatu yang halal itu sudah menjadi “tuan” bagi Anda? Jika ya, berarti ia (teknologi) sudah menjadi sesuatu yang tak berguna bagi kita.
                Beberapa waktu lalu, vivanews pernah memuat berita tentang kematian seorang pemuda di China. Pemuda ini ditemukan tewas karena ia kecanduan bermain game on-line. Ia meninggal setelah tiga hari penuh bermain game on-line, tanpa makan da tidur. Sebelum meninggal pemuda itu mengaku menghabiskan 1.500 dolar AS untuk bermain game-online.
Berita di atas merupakan sebuah contoh yang sangat ekstrim dari penggunaan teknologi. Kita melihat bahwa secara tidak langsung, teknologi sudah menjadi tuan dari kita, sebagai manusia. Teknologi (baca: dalam hal ini game on-line) sudah menggeser keberadaan Tuhan, yang seharusnya mendapat tempat utama dalam kehidupan kita. Dalam kasus ini, manusia tidak lagi mempergunakan teknologi dengan tepat guna melainkan malah diperalat oleh teknologi.
Dalam titik tersebut, teknologi sudah menjadi candu bagi masyarakat dan membentuk pola sosial yang baru. Pada saat ini, di tempat-tempat umum, orang lebih memilih untuk bermain dengan telepon genggamnya daripada menyapa orang yang ada di sebelahnya. Beberapa waktu yang lalu, saya juga memerhatikan kebiasaan yang aneh. Banyak orang (khususnya dari golongan remaja) yang sering senyum-senyum sendiri di depan komputernya. Tampaknyachatting di situs jejaring sosial menjadi hal yang lebih menyenangkan dibandingkan dengan berbicara di dunia nyata. Pola komunikasi yang seperti ini akan menghasilkan produk zaman yang kaku dan sukar untuk berinteraksi dalam masyarakat. Pola individualisme akan semakin berkembang jika kita tidak dapat mengendalikan dampak negatif dari teknologi itu.
Melalui internet, kita dapat mengakses berbagai informasi, mulai dari informasi penting hingga tidak penting, berguna dan tidak berguna. Pilihannya, lebih tertarik mengakses informasi yang seperti apakah Anda? Yang berguna dan membangun? Atau yang tidak berguna dan menghancurkan?
Gereja, sebagai persekutuan umat Allah, tidak dapat menarik diri dan mengutuk teknologi. Namun, yang dapat kita lakukan sebagai orang Kristen adalah mengendalikan diri kita dan memilah mana yang berguna dan tidak berguna. Ingat, semua halal namun tidak semuanya berguna. Jadi, permasalahannya adalah, bagaimana cara kita memanfaatkan teknologi itu? Apakah kita akan menjadikannya sebagai sebuah alat pelayanan, yang membantu kita sebagai pengikut Kristus untuk menjadi garam dan terang dunia? Atau apakah kita akan menjadikannya menjadi racun yang meracuni diri kita sendiri dan keberadaan alam semesta ini? Apakah kita akan memanfaatkan teknologi untuk membangun tali persaudaraan dan kasih antara kita dan kerabat yang tinggal berjauhan dengan kita, sehingga nyatalah bahwa teknologi dapat digunakan sebagai alat pelayanan yang kita gunakan untuk membangun dan kesatuan kepekaan di antara sesama manusia? Sudahkah kita membantu diri kita sendiri, anak, cucu, kakak, adik, dan rekan kita untuk menyadari bagaimana kita memanfaatkan teknologi? Mari merenungkannya dalam pengembaraan perjalanan kita dalam era teknologi tinggi.
Yesie

Grandma, I love you in a deep tension

Grandma, I can't sleep since one weeks ago. I just miss you in my daily life. The distance between us, and a lot of activities I had to do, sometimes become a barrier to meet you. I miss the moment when you fed me in the past time. I miss the moment when you walked with me in the beach... I miss the moment when you "put2" myself. I really miss......

Now, you are lying down in your bed. You struggle in your sickness. You can't eat well. You can't sleep well. Truly, I feel the different felling, in the former time when I meet you, one week ago. I really know, you miss to go to the Father's hope. I know you really tortured. I can't cry in front of you. I know your burdens. I don't want to put more burdens in your heart.

I don't know what will happened to you. I don't know what God will do to you. But, you shall know that I really love you in a deep tension. I never ready to suffer from loosing you. I never ready... never... never... But, I don't want to see you suffering more than that. So, I really love you in a tensions.

Father, help me to still love her in this deep tensions.

I really love you grandma, the one whom I really love in this world.
I really love you...
I really love you...
I really love you...
I really really love you....

Tobat atau Kumat?

Anda pasti sudah sering mendengar ilustrasi tentang orang Kristen “tomat”. Dikatakan dalam ilustrasi itu bahwa orang Kristen Tomat ini, bertobat pada hari Minggu, meratap, komat-kamit panjang lebar saat pengakuan dosa, dan pura-pura suci di gereja. Namun, pada hari Senin sampai hari Sabtu, kumat dech! Yah maklum, namanya juga orang Kristen “tomat”, Minggu tobat tapi senin kumat. Ketika saya mengamati fenomena menjamurnya golongan Kristen “tomat” ini, saya jadi mempertanyakan hakikat pertobatan yang sesungguhnya. Apa sich yang dimaksud dengan pertobatan itu? Apa sich konsekuensi dari pertobatan?

Pertobatan = Berganti Haluan 180°
Dalam bahasa Ibrani, istilah yang digunakan untuk menunjukkan pertobatan adalah “syub” (Yer 3:14, Mzm 78:34, dan Yer 18:8). Syub artinya berbalik atau bertobat. Sementara itu, dalam Perjanjian Baru, istilah yang digunakan untuk menunjukkan pertobatan adalah “metanoia”. Kata metanoia berasal dari bahasa Yunani dan digunakan 58 kali dalam Alkitab. Kata metanoia biasanya digunakan dalam istilah milter. Pernahkan anda membayangkan bahwa diri anda menjadi seorang tentara dan berada di medan perang bersama-sama dengan regu batalion Anda? Tiba-tiba, serangan musuh semakin menggila. Akhirnya, komandan regu Anda memerintahkan anda untuk berbalik arah dan mundur. Jika anda tidak berbalik, anda akan mati. Begitulah juga dengan pertobatan. Pertobatan berarti berbalik arah 180°, dari jalan yang sesat kepada Allah. Jika anda tidak berbalik arah (baca: bertobat), anda akan mati, tewas di medan perang.

Pertobatan tidak hanya sekadar berbalik arah seperti membalikan badan, namun pertobatan juga meliputi perubahan pikiran, hasrat, dan reformasi kehidupan. Bukan pertobatan namanya jika kita mengakui dan menyesali segala kesalahan kita, namun kita hanya terpuruk dalam penyesalan dan kesedihan kita. Bukan pertobatan namanya jika kita melakukannya karena takut dihukum. Bukan pertobatan namanya, jika kita menyesali perbuatan kita dan mengulanginya kembali (Kisah Para Rasul 24:25). Ingat, pertobatan menuntut sebuah perubahan pikiran, hasrat, dan gaya hidup ke arah yang progresif tentunya, yang sesuai dengan kehendak Allah.

Konsekuensi Pertobatan: Hati-hati dan Setia
Walaupun kita sudah bertobat dan berada pada arah yang benar, kita bisa saja tersandung. Kita bisa saja tergoda untuk berbalik arah. Ah, atau walaupun tidak berbalik arah, kita tergoda untuk menengok alias “icip-icip doank”. Kita mungkin saja “kumat” kembali dan melakukan hal yang dulu kita lakukan. Ah, lagipula bukankah kehidupan sebelum kita memutar haluan pada umumnya lebih nikmat? Lebih enak rasanya jika kita menikmati uang suap atau uang hasil korupsi. Lebih nikmat rasanya jika berbohong dengan rapi di hadapan orang tua, istri atau suami.
Namun, bukan tobat namanya bila kita terus mengulangi kesalahan kita. Itu namanya kumat. Ah, tapi faktanya, manusia cenderung lebih dungu dari keledai. Keledai mungkin hanya terjatuh dua kali pada lobang yang sama. Tapi, manusia dapat jatuh dan terjerat pada perangkap yang sama berkali-kali. Ah, manusia memang makhluk yang sangat rentan.
Namun di tengah kerentanan kita sebagai manusia, ada hal yang penting untuk kita ingat. Ingatlah bahwa pertobatan menuntut sebuah konsekuensi, yaitu kesetiaan kepada Allah. Kesetiaan menuntut kejelian dan kehati-hatian. Kita ini seumpama pengembara di hutan belantara yang penuh dengan jebakan dan binatang buas. Tentulah pengembara ini merindukan rumahnya yang dipenuhi kedamaian, di ujung rimba sana. Namun, jika kita tidak membelalakkan mata kita, memperuncing pendengaran, mempertajam penciuman, dan berhati-hati melangkah, kita mungkin saja terperosok ke dalam jurang yang dalam atau dimangsa oleh binatang buas.

Pertobatan yang Progresif: Bersedia Di-edit
Rintangan yang dihadapi dalam pertobatan kita, tidak hanya sebatas godaan untuk berbalik arah atau menengok ke belakang, melainkan dapat berupa kesombongan rohani. Saya rasa, kita semua pernah mendengar sindiran “Kristen KTP”. Sindiran ini seringkali ditujukan bagi orang Kristen yang tidak pernah bergereja. Saya sendiri, tidak pernah setuju terhadap sindiran ini maupun terhadap yang dilakukan si penyindir. Menurut Eka Darmaputera, sindiran seperti ini menunjukkan kesombongan rohani. Seolah-olah Sang Penyindir merasa dirinya lebih suci serta tetap berada di jalan yang paling benar jika dibandingkan dengan yang disindir.
Tuhan tidak menginginkan kita sombong secara rohani. Bila kita sombong, sebenarnya kita sedang terjebak dalam titik kumat. Kita kumat ketika menganggap diri kita paling suci dibandingkan orang lain. Kita kumat ketika menganggap pertobatan kita yang paling sempurna, dan pertobatan orang lain tidak sempurna. Kita kumat ketika kita menganggap pemahaman teologis kita adalah yang paling superior. Kita kumat ketika kepala kita semakin membesar dan hidung kita terbang ke awan-awan.
Dalam pertobatan terkandung nilai pengosongan diri dan kerendahan hati. Setiap orang yang bertobat diundang untuk menyadari keberdosaannya dan beranjak ke arah yang progresif dengan kesadaran penuh akan keberdosaannya. Orang yang bertobat bukanlah orang yang sombong rohani dan tidak pernah merasa bersalah. Dengan demikian, orang yang bertobat senantiasa bersedia “di-edit” atau diperbaharui oleh Allah. Orang yang bertobat bersedia ditegur oleh Allah ketika ia tersandung atau tergoda untuk menengok. Orang yang bertobat tidak pernah merasa puas dan berbangga diri atas pertobatannya hingga ia berada pada sebuah titik stagnasi. Orang yang bertobat selalu mempertanyakan imannya dan tindakkan imannya. Pertanyaannya, apakah kita adalah orang yang bertobat atau orang yang kumat? Mari bersama-sama bergumul dan bertobat...


Yesie Irawan
Mahasiswa STT Jakarta
ditulis untuk Mercusuar

....dan yang Terluka itu Kini Menyembuhkan


"Pa, main sama aku donk"
"Papa lagi sibuk"
"Pa, antar aku ke rumah temanku donk.'"
"I don't have time for you. Papa harus mengumpulkan uang."
"Pa, Echa ingin sekolah terus. Echa ingin jadi perempuan yang sukses."
"Anak perempuan, ujung-ujungnya ke dapur. Ikut suami."
'''Pa, besok aku mau pergi jauh, antar aku ke bandara.
"Papa harus jaga toko. Nggak bisa. Kamu pergi dengan supir saja"

"Echa sedih. Tidak ada waktu dari papa untuk Echa. Echa tidak mau uang papa. Echa hanya ingin kasih sayang papa. Echa hanya ingin kehadiran papa bersama Echa. Echa hanya ingin dipeluk oleh papa, seperti ketika Echa masih bayi."

lima puluh tahun berikutnya....

"Cha, minum..."
"Ini Pa..."
"Cha, Papa ingin bertanya."
" Pelan-pelan Pa. nanti tersedak."
"Mengapa kamu masih mau mengurusi Papa di masa tua Papa? Ketakutan Papa dulu adalah kamu tidak mau merawat Papa di masa tua Papa."
"Sebenarnya...
sakit Pa! Sakit sekali.
Sakit ketika aku mengingat anggapan Papa bahwa anak perempuan hanya ujung-ujungnya di dapur.
Sakit ketika ingat Papa hanya mementingkan uang.
Sakit ketika mengingat Papa tidak mengantar aku, ketika aku harus pergi jauh.
aku hanya ingin kasih sayang Papa.
Duri menancap dalam daging.
Tidak bisa aku lupakan...
dan tidak mau aku lupakan.
Aku belajar untuk membalut luka itu
bersama Allah Bapa, Kristus, dan Roh Kudus
Yesus yang hadir di dalam keterbatasannya sebagai manusia
membantuku untuk membalut luikaku dengan tidak melupakan semua yang kualami,
bersama-sama denganku, Ia mengubah kekecewaan menjadi harapan
Ia mengubah kebencian menjadi kasih...
Kasih yang memampukan aku merawat orang yang sangat mengecewakanku...''

"Terima kasih Echa, maafkan Papa... Tuhan Yesus telah menyambut Papa"

"Hari itu, hari terakhir Echa berjumpa dengan papa. Echa bersama-sama dengan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus telah  menjadi wounded healer...'''

Kiranya dalam masa Natal ini, Tuhan Yesus yang bersama-sama dengan Bapa dan Roh Kudus memampukan setiap orang yang terluka untuk menjadi penyembuh yang terluka.

Kiranya dalam masa Natal ini, kita belajar untuk tidak menorehkan luka di hati orang-orang yang kita kasihi.

God bless...

Menggali Makna Natal melalui Sentuhan “I and Thou”


Pengantar untuk Memasuki Pusaran Permenungan
Kau tahu? Lima belas tahun yang lalu, kunang-kunang --serangga kecil yang memancarkan cahaya kuning itu-- selalu menghampiriku setiap senja, saat aku bermain di lapangan rumput di dekat rumahku. Di setiap senja, dia datang menghampiriku. Kehadiran kunang-kunang menjadi penanda bagiku, bahwa aku harus kembali ke rumahku. Cahayanya yang indah di sela-sela rerumputan hijau selalu membuatku merasa kagum akan ciptaan Tuhan. Namun, seiring dibangunnya lapangan rumput itu menjadi tiga buah rumah yang besar, aku tidak pernah melihat kunang-kunang lagi. Ah, aku sangat merindukan kerlip cahaya yang mereka pancarkan.     
Aku juga merindukan lapangan rumput itu. Di masa kecilku, lapangan itu membantuku berimajinasi tentang berita kelahiran Yesus. Aku membayangkan diriku adalah seorang gembala yang bersukacita ketika mendengar berita kelahiran Yesus di padang rumput. Rasanya nyaman sekali, duduk di lapangan rumput itu sambil berimajinasi dengan ditemani semilir angin yang berhembus. Aku membayangkan rerumputan, jangkrik, kunang-kunang, dan semilir angin bergoyang seirama tanda bahwa mereka juga bersukacita menyambut kelahiran Tuhan Yesus.
Aku sempat berfikir, mengapa malaikat mengabarkan berita ini pada mereka? Mengapa yang dikabarkan bukanlah raja yang ada di Istana dan bukanlah penguasa-penguasa di daerah tersebut. Imajinasiku saat aku kecil, ternyata membantuku untuk memahami mengapa gembala dan seluruh habitat yang ada di padang rumput yang harus mendengar berita tentang kabar sukacita itu.
Dari keempat Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes), kisah tentang keberadaan gembala yang mendengar kabar sukacita tentang kelahiran Tuhan Yesus hanya terdapat dalam Injil Lukas. Injil Lukas memiliki corak yang sangat khas karena memberi penekanan pada peran pihak-pihak yang berada di tepian batas kehidupan dalam mengabarkan kabar sukacita Allah itu. Melalui pihak-pihak yang tersisih ini, kabar sukacita ini menyebar ke seantero dunia. Gembala yang umumnya miskin, rumput yang senantiasa kita pijak, domba-domba di padang dan kunang-kunang kecil yang keberadaannya jarang kita perhatikan, menjadi pihak-pihak yang berada di tepian kehidupan. Merekalah yang menceritakan kabar sukacita Natal itu.
Saat ini, lahan hijau semakin sedikit. Aku tidak lagi merasakan indahnya cahaya kunang-kunang, bunyi jangkrik yang menenangkan dan gesekan rumput basah di kakiku. Semua dibabat habis dan digantikan dengan rumah-rumah mewah dan jalanan yang beraspal. Udara yang segar diganti dengan asap yang hitam pekat. Sungguh menyedihkan, tidak ada lagi tempat bagi gembala (sebagai simbol komunitas miskin), domba, rerumputan, dan kunang-kunang untuk mewartakan berita sukacita Natal. Ah, apakah orang-orang Kristen hanya senang menikmati semarak Natal di pertokoan dan perayaan sukacita yang penuh kemewahan? Semoga ketakutanku ini tidak benar. Marilah, terjun bersamaku dalam pusaran permenungan untuk mengenang ulang makna Natal itu!

Pusaran Permenungan: Makna Natal Nyata dalam Sentuhan
Natal berhubungan dengan kelahiran. Kelahiran pada umumnya berhubungan dengan sentuhan. Mengapa? Hal yang pertama yang dilakukan oleh hewan mamalia ketika melahirkan adalah menyentuh anaknya. Induk hewan tersebut menjilati anaknya yang baru saja lahir. Bayi yang tidak disentuh tidak akan bertumbuh dengan normal. Sentuhan dibutuhkan pertama-tama untuk menunjukkan bahwa bayi kecil yang baru lahir itu memiliki relasi dan kesalingtergantungan dengan dunia.
Begitu pula dengan manusia, saat seorang bayi dilahirkan, ia harus mendapatkan sentuhan dari orang-orang yang berada di sekitarnya, entah itu suster, bidan, dokter, ibu, maupun ayahnya, agar ia bertumbuh dengan baik. Saya membayangkan ketika bayi Yesus dilahirkan oleh Maria, bayi Yesus pun pasti mendapat sentuhan dari ibu dan ayahnya. Kelahiran Yesus di kandang domba juga menunjukkan bahwa Allah menyentuh dan menyapa  alam ini.
            Sallie McFague, dalam bukunya Super, Natural Christian mengatakan bahwa sentuhan memengaruhi cara pandang kita terhadap seluruh ciptaan di dalam alam semesta ini. Kita tidak dapat disentuh tanpa ada orang lain yang menyentuh. Demikian pula sebaliknya, kita tidak dapat menyentuh tanpa ada orang yang disentuh. Sentuhan mengingatkan kita bahwa kita selalu berelasi dengan sesama dan alam. Bukankah kelahiran Kristus di dunia ini dimaksudkan untuk memulihkan relasi yang rusak antara Allah, manusia dan seluruh ciptaan? Ya, makna Natal menjadi kuat dalam tindakan saling menyentuh dan menyapa antara Allah, manusia, dan ciptaan yang lain.
            Tindakan menyentuh dan disentuh ini mengingatkan saya pada sebuah model relasional I and Thou, aku dan engkau. Dalam relasi “aku dan engkau”, engkau tetap menjadi subjek, bukan objek, bukan “I and it”. Jika aku memahami sesama manusia dan ciptaan yang lain sebagai subjek, maka aku tidak akan memperlakukan mereka dengan semena-mena. Aku tidak hanya akan menuntut untuk disentuh dengan kasih, namun sesama, seluruh ciptaan dan Allah juga akan disentuh olehku dengan kasih.
Aku teringat sebuah kearifan lokal yang berasal dari masyarakat Papua. Masyarakat tradisional Papua memahami alam sebagai ibu mereka. Sebagai Ibu, alam menyediakan makanan bagi umat manusia. Sebagai seorang anak, manusia harus mengolah alam itu dengan baik, bukan menghancurkannya. Menghancurkan alam sama dengan menghancurkan ibu sendiri. Dari kearifan lokal ini, kita bisa melihat bahwa masyarakat Papua memiliki ikatan relasi yang sangat kuat terhadap alam. Alam disentuh dan disapa sebagai ibu. Ibu yang padanya kita bergantung saat kita masih kanak-kanak. Juga ibu, yang juga tergantung pada kita saat ia menua. Sungguh kearifan lokal ini menunjukkan kekayaan kearifan lokal yang luar biasa. Alam dipandang, disapa, dan disentuh sebagai subjek, sebagai engkau, sebagai “Thou!
            Dalam relasi subjek-subjek, Aku tidak hanya memikirkan kepuasan dan kepentingan diriku untuk mendapatkan rumah yang mewah, tapi aku juga akan mengingat rumput hijau dan kunang-kunang yang memerlukan tempat untuk hidup. Aku tidak hanya akan memikirkan diriku dan keluargaku untuk mendapatkan fasilitas hidup mewah, tapi aku juga akan memikirkan orang-orang lain yang memerlukan ruang untuk bekerja. Aku tidak hanya akan memikirkan proyek-proyek pembangunanku, tanpa memikirkan pentingnya ruang hijau bagi anak cucuku. Aku dulu pernah merasakan sentuhan langsung dengan alam ketika bermain di lapangan yang penuh rumput. Aku juga sempat merasakan indahnya berimajinasi tentang kisah kelahiran Tuhan Yesus di lapangan rumput di dekat rumahku... Ah, masihkan bisa anak cucuku kelak berimajinasi tentang kelahiran Yesus seperti aku? Masihkah mereka bisa menyentuh dan disentuh oleh alam?
Mari kembali merenungkan makna Natal! Berikanlah sentuhan kehangatan kepada sesama, alam dan Allah! Biarlah melalui sentuhan dan kehangatan relasi “aku dan engkau”, aku, kamu, anak-anak cucu kita, orang-orang yang berada di tepian kehidupan, burung di udara, rumput di padang, dan kunang-kunang yang mungil dapat memberitakan kabar sukacita Natal! Selamat Natal...
Yesie
Mahasiswa STT Jakarta

Fenomena Penarikan Sumbangan

Pagi itu, setelah berkhotbah di kebaktian remaja, salah seorang bapak mengantarku pulang. Di perempatan jalan, kami melihat ada banyak mahasiswa dan anak SMA mencari dana untuk menolong korban bencana erupsi Merapi. Bapak itu tersenyum dan memandangku. Lalu, dia bertanya, “Menurutmu, jika aku menyumbangkan uangku kepada mereka, apakah uangnya akan benar-benar diberikan kepada korban?” Hmmm, aku tersentak. Aku tersenyum tanpa memberikan jawaban. Dengan menghela nafas ia berkata, “Musim bencana membangkitkan musim sumbangan. Baik, tentu saja. Namun saya tidak yakin uang itu disampaikan kepada si korban. Kalaupun diberikan, mungkin tidak semua.” 

Mendengar pendapatnya, aku tersentak..... Sedih rasanya hati ini. Walaupun pendapatnya belum tentu benar, aku menangkap adanya ketidakpercayaan publik. Publik mungkin sudah terlalu sering dibohongi oleh sistem pemintaan sumbangan. Sungguh aku sedih, sangat sedih.  

Aku teringat perkataan romo di tempat praktik lapanganku dulu. Aku dulu tidak mengerti, apa yang dimaksud dengan menjual penderitaan orang lain. Namun, sekarang perlahan-lahan mataku terbuka. Ya, banyak orang yang menjadi kaya karena bencana. Banyak orang yang mendapat keuntungan dari penarikan sumbangan. 

Ah, sudahlah, sepenggal tulisan ini, mungkin hanya menguak sisi minor dari bahaya penarikan sumbangan yang sedang marak akhir-akhir ini. Aku, bukan apatis terhadap bencana ini. Aku hanya ingin memberikan sumbangan kepada pihak yang tepat dan kupercaya, bukan pada penarik sumbangan yang belum terlalu jelas.

Untuk putra-putri daerah yang sungguh berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang baik


CP2 telah berlalu. Tapi ada banyak kisah yang kusimpan dan menarik untuk dibagikan. Tempat CP2ku adalah di lingkungan orang kulit putih. Rasanya, langka sekali mencari orang kulit hitam dan hispanik. Mencari mereka dan mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan mereka, rasanya seperti mencari jarum dalam setumpukan jerami. Aku, dengan agak sedikit ngotot, meminta agar bisa berjumpa dengan Angela, seorang perempuan kulit hitam yang menjadi pendeta di salah satu jemaat di gereja tempat CP2ku.

Umurnya sudah sekitar 50 tahun. Tapi, ia baru menjadi pendeta sekitar 5 tahun. Ia menjadi seorang lulusan perempuan kulit hitam pertama yang berkuliah di salah satu seminary di kota yang jaraknya sekitar 30 menit dari kota tempat CP2ku. Aku agak terkejut memang, karena sampai hare gene, baru ada perempuan kulit hitam yang dapat bersekolah di tempat itu. Kami terlibat dalam sebuah perbincangan yang sangat menarik tentang problematika rasial. Angela menjadi sebuah kitab terbuka, yang di dalamnya dapat kujumpai seribu pengalaman dan refleksi yang menarik. Bagiku, membaca kitab terbuka sungguh lebih menarik daripada membaca buku teks.

Setelah pulang dari tempat Angela, aku berbincang-bincang dengan mentorku. Aku bertanya, mengapa seminary itu begitu lambat menerima perempuan kulit hitam sebagai mahasiswanya. Menurut prespektif mentorku, seminary itu sangat menekankan pendidikkan yang berkualitas tinggi, sehingga banyak mahasiswa (kulit hitam) yang tidak mendapatkan pendidikkan yang memadai di jenjang sebelumnya, tidak bisa mengikuti standar mereka. menurutnya di sanalah ketidakadilan terjadi...

Saat ini, aku kembali bertanya-tanya, terlepas dari prasangka rasial yang mungkin ada pada setiap orang. Aku kembali bertanya-tanya, apakah pendidikan di Indonesia sudah memberlakukan keadilan itu? Ada banyak anak-anak yang berasal dari desa, dan tidak mendapat pendidikan yang sebaik anak-anak kota. Lalu, saat test masuk, banyak putra-putri daerah yang tidak berhasil masuk ke perguruan tinggi yang unggulan karena test masuknya sangat sulit. Dia sudah "ditendang" sebelum mencicipi pendidikan yang sangat baik itu.

Akan tetapi, sebenarnya mungkin saja si anak memiliki semangat yang luar biasa. Saya pernah berjumpa dengan orang-orang seperti ini. Ada banyak putra-putri daerah yang memiliki semangat yang luar biasa. Permasalahannya adalah, mereka terlambat untuk memiliki kesempatan mendapatkan pendidikan yang baik di jenjang pendidikkan sebelumnya. Ya, memang perguruan tinggi membutuhkan syarat yang sangat tinggi karena akreditasi.

Akan tetapi, sepertinya persoalan ini harus menjadi pergumulan kita bersama. Masih relevankah test masuk perguruan tinggi, hanya dilakukan berdasarkan test tertulis? Menurut saya, harus dilakukan test wawancara! Untuk menguji, keinginan dan kegigihan para calon mahasiswa. Injustice will happen if we judge someone only by one point of view.....

Surat untuk Kak Christin

Jul 9, '10 11:02 PM


Untuk sahabatku terkasih,
Saya tidak tahu sekarang, tubuhmu ada di mana. Sudah hampir dua minggu yang lalu kau pergi dengan cra yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Kau pergi begitu cepat, tidak sempat kita berucap kata untuk mengucapkan salam perpisahan.

Seperti aku dan kau mengetahuinya, kita tidak pernah akur. Aku marah padamu. Aku malas menyapamu. Di tanah air kita, aku tidak pernah menyapamu. Aku melewatimu begitu saja saat kau ada di depanku. Yah, itu karena aku sungguh marah padamu. Aku marah saat kau memberikan nilai C padaku, tanpa memeriksa ujianku. Aku tahu itu! Menyapamu saja aku malas. Ya, Aku marah padamu!

Entah kenapa, Tuhan memberikan kesempatan bagi kita untuk berjumpa di benua yang lain untuk mengikuti sebuah acara yang besar. Aku tidak tahu sebelumnya bahwa aku harus berjumpa denganmu lagi di kampus itu. Ya, di kampus itu, aku berjumpa lagi denganmu. Entah mengapa, kita saling berpelukan. Agak aneh dan lucu kurasa. Aku mencoba untuk mulai memaafkanmu. Aku mencoba. Tapi, dua hari sebelum kau pergi, lagi-lagi kau mengatakan sesuatu yang membuat aku terluka. Sungguh aku terluka dan kesal. Sekali lagi, aku marah padamu!

Haripun berlalu dan acara besar ini pun selesai. Dengan tarian jari-jarimu di tuts piano, kau mengiringi ibadah dengan sempurna. Lagi-lagi, kau mendekatiku dan mengajakku foto. Kau memeluk erat diriku. Tersenyum dengan penuh gembira. Kau memintaku untuk mengambil gambarmu dengan teman-teman yang lain. Lambat laun, aku mulai merasakan kedamaian di hatiku. Suara hatiku bicara, “Ah, dia nampaknya ingin berdamai denganku.”

Tapi, setan dalam hatiku masih bicara. Aku masih malas menatap wajahmu. Aku masih menggunakan topeng senyum di hadapanmu. Aku tahu, kau juga mengetahuinya dan merasakan kepura-puraanku. Sekali lagi, kau mencoba untuk mendekatiku, kau memberikan sejumlah wayang unik untukku. Katamu, “Aku tidak mungkin membawanya ke tanah air, ngapain coba?” Aku tertegun melihat sikapmu. Aku terima wayang itu, dan aku mulai merasakan kasih hadir di hatiku untukmu.

Mentari pun pergi, dan malampun menyelimuti kalbu. Aku membuka komputer mini kepunyaanku, dan membuka facebook. Aku nampak terkejut melihat permintaanmu untuk menjadi temanku di facebook. Aku semakin bahagia, dan menyadari bahwa kau menginginkan sebuah rekonsiliasi denganku. Aku berharap, setelah sampai di negeri pertiwi hubungan kita akan membaik.

Tidak lebih dari 1 menit, sejak aku menerimamu sebagai temanku di facebook, seseorang meneleponku. Waktu itu, tepat pukul 22.32 waktu Grand Rapids. Dia mengaku bernama John, dan dia berteriak padaku lewat telepon. Dia menyampaikn kabar yang menyayat hatiku, dia bilang bahwa kau kecelakaan. Dia memintaku untuk mencri ibu Erry dan menyampaikan kabar ini. Aku terkejut sungguh terkejut. Aku masih menyangkali hal itu. Aku pikir ini tidak mungkin! Saat itu. Aku lari dari kamarku, dan mencari Yael, sepupuku. Aku dan Yael berlari dan mencari pertolongan untukmu. Tapi sungguh, aku tidak menemukan kamar Ibu Erry. Aku dan kawan-kawanku berlari mencari kamar Delegasi Indonesia yang lain, hingga akhirnya kita menemukan Bapak Kadarmanto, rekan dosenmu di kampus kita.

Aku memutuskan untuk tidak ikut ke Rumah Sakit. Aku memilih untuk menunggu kabar tentangmu. Ah, pukul 12.00, sepupuku meneleponku dan mengatakan bahwa kau ada dalam kondisi kritis. Sungguh, aku terkejut. Aku berlari lagi dan meminta pertolongan agar aku bisa pergi ke rumah sakit. Akhirnya, aku mendapat pertolongan, aku pun pergi ke rumah sakit.

Aku menunggumu di rumah sakit. Aku mendengar kabar yang sangat buruk dari dokter yang mengoperasimu. Aku masuk, terjun ke dalam tahap penolakan. Aku tidak yakin, bahwa kau separah itu.
Waktu pun berpacu, dan aku melompat ke tahap tawar menawar.

Aku bicara pada Tuhan, Sang empunya kehidupan. Ah, Tuhan belum lebih dari 24 jam aku merasakan kedamaian ketika berada di dekatnya. Masa Engkau mau mengambilnya? Aku tidak rela Tuhan. Berikan dia kesempatan untuk hidup dan sembuh.
Belum selesai aku menawar dengan Tuhan, dokter sudah datang dan membawa kabar yang berat untuk kuterima. Kau telah pergi.

Kau telah pergi sahabatku. Berat rasaya menerima kenyataan ini, tapi kau memang sudah pergi bersama Tuhan Yesus, Tuhan yang selalu memelihara aku dan kau. Tuhan yang memiliki rancangan indah. Aku menatap wajahmu, kau sudah merasakan kedamaian di sana. Terimakasih sahabat, karena aku masih bisa merasakan indahnya rekonsiliasi dan persahabatan denganmu, walau hanya satu hari. Terimakasih, kau mengajarkanku arti rekonsiliasi dan persahabatan. Kau sahabat dan guru bagi makna hidup. Selamat jalan sahabatku... Tuhan menyayangimu....

Holland, 8 Juli 2010.
Sahabatmu,
Yesie

Cinta Hadir karena Relasi


 "Tapi saya selalu berpikir bahwa cara terbaik untuk mengenal Allah adalah mencintai banyak hal." -Vincent Van Gogh 

Kutipan pemikiran Viincen Van Gogh di atas sebenarnya ingin menunjukkan kepada kita bahwa pembicaraan tentang cinta adalah hal yang tidak ada matinya. Pembicaraan tentang cinta tidak hanya sebatas pembicaraan tentang hubungan asmara di antara dua insan. Pembicaraan tentang cinta adalah sebuah pembicaraan yang universal. Cinta berakar dari sebuah relasi yang baik. Dalam relasi Allah dengan ciptaan-Nya ada cinta. Dalam relasi manusia dengan sesamanya, ada cinta. Dalam relasi manusia dengan ciptaan-Nya yang lain ada cinta.
Cinta tidak mungkin ada tanpa relasi. Bayangkan saja, apabila kita hidup sendiri di dalam sebuah ruangan yang kosong dan gelap di sepanjang hidup kita, mungkinkah kita mencintai? Saya rasa tidak mungkin. Seorang anak bayi dapat mencintai keluarganya, karena ia memiliki hubungan yang intim dengan keluarganya. Ia menikmati kehangatan relasi dengan keluarganya. Dengan demikian, kita dan Allah dapat saling mencintai karena kita memiliki relasi dengan Allah.
Cinta antara Allah dengan Ciptaan
            Hingga saat ini, Kekristenan masih sering menganggap bahwa kasih Allah terhadap ciptaan-Nya hanya ditunjukkan saat Yesus menebus manusia di kayu salib. Jika memang demikian, apakah sebelum-sebelumnya Allah tidak pernah mengasihi atau mencintai ciptaan-Nya? Tentu tidak!  Allah yang adalah kasih tentu saja sudah menjalin kasih dengan ciptaan-Nya sejak seluruh ciptaan itu diciptakan. Allah yang adalah kasih menciptakan dunia ini. Penciptaan menunjukkan sebuah keinginan dari Allah untuk menjalin relasi kasih dengan manusia. Jika semesta ini tidak ada, maka dengan siapa Allah akan menjalin kasih?
Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk bertindak. Allah bukanlah seperti sutradara film yang memaksakan aktor dan aktrisnya untuk berakting seperti boneka yang Ia kendalikan. Dengan demikian, Allah memberikan kebebasan. Allah memberikan hak asasi bagi manusia. Pementasan yang dipentaskan manusia adalah pementasan yang penuh dengan spontanitas dan kebebasan yang bertanggung jawab dalam artian berada dalam rel-rel yang ditetapkan Allah. Sayang sekali, manusia tidak menggunakan kebebasannya dengan bertanggung jawab. Manusia terjebak dalam lumpur dosa dan merugikan dirinya sendiri. Manusia merusak gambaran Allah yang ada pada dirinya sendiri.
Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, relasi manusia dengan Allah dicemari dosa. Akan tetapi, pernahkah kita memikirkan bagaimana caranya manusia yang dipenuhi dosa dapat berelasi dengan Allah yang kudus, mulia, dan sulit untuk digapai oleh manusia yang berdosa? Yang kudus itu tentu saja tidak dapat bercampur dengan yang kotor, yang penuh dosa. Dalam zaman Perjanjian Lama, hanya ada beberapa orang istimewa yang bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, misalnya Musa dan Elia.
Akan tetapi, dalam Mazmur 103: 8-14 dikatakan bahwa Tuhan adalah penyayang, pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Tuhan tidak selalu menuntut dan mendendam. Tuhan sayang kepada kepada umat-Nya, seperti seorang Bapa yang mengasihi anak-anak-Nya. Nah, saat ini, kita dapat memanggil Allah dengan sapaan Bapa. Sapaan yang menunjukkan sebuah relasi yang sangat dekat. Bagaimana hal ini dapat terjadi?
Saya akan memberikan sebuah ilustrasi untuk membantu kita memahami cara Allah memperbaiki relasi yang telah dirusak oleh manusia. Kisah ini adalah tentang Raja Aleksis. Raja Aleksis adalah seorang raja yang hidup mewah di istananya. Di sekitarnya, hidup ratusan rakyat jelata yang hidup dalam kemiskinan dan memiliki pola hidup yang buruk.  Aleksis ingin memperbaiki kehidupan rakyatnya. Setelah itu ia mengunjungi mereka. Rakyatnya tentu saja memperlakukan Aleksis dengan hormat. Mereka takut dan canggung kepada rajanya. Perasaan takut dan canggung ini menyebabkan  Aleksis sadar bahwa ia tidak bisa mendekati mereka untuk menolong mereka. Akhirnya, Aleksis menggunakan cara lain untuk mendekati rakyatnya. Ia menyamar menjadi seorang dokter yang ingin menolong rakyat tersebut sukarela. Ia menggunakan pakaian jelek yang sama seperti yang digunakan oleh rakyatnya. Ia pun memberikan pengobatan gratis dan menolong banyak orang. Akibatnya, dalam waktu singkat, ia berhasil menarik simpati rakyatnya dan mengubah pola hidup rakyatnya. Tidak ada yang menyadari bahwa dokter itu adalah Raja mereka sendiri yang menjadi orang biasa untuk menolong rakyatnya.  Hal itu tidak akan mungkin dilakukan oleh seorang Raja bila ia tidak mengasihi rakyatnya.
Demikian pula dengan Yesus, Ia mau mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa untuk menjadi seorang hamba. Kristus mau merendahkan diri-Nya hingga sama seperti kita manusia yang berdosa. Kristus yang adalah gambaran Allah yang sempurna, menjadi jalan bagi kita untuk memahami maksud Allah. Yesus menggunakan bahasa dan tindakkan yang sederhana untuk menjelaskan maksud Allah kepada manusia. Dalam relasi-Nya yang unik dengan manusia, Yesus Kristus mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kita hidup dan menggunakan kebebasan kita sebagai manusia ciptaan Allah. Hingga akhirnya ia mau merendahkan diri-Nya untuk disalib (Filipi 2: 5-8). Sejak peristiwa pengorbanan-Nya di kayu salib, relasi kita dengan Allah kembali dipulihkan.
Lagi-lagi, pengorbanan Kristus ini menunjukkan bahwa Allah benar-benar mencintai dunia. Allah sungguh mau mengampuni kesalahan manusia itu agar relasi dengan manusia bisa kembali pulih. Akibatnya, kita memiliki relasi yang sangat dekat dengan Allah, bahkan kita sekarang bisa memanggil Allah dengan sapaan Bapa. Sapaan Bapa menunjukkan sebuah relasi yang sangat dekat. Bukankah tidak mungkin bila saya memanggil seseorang yang tidak saya kenal dengan sebutan “Papa”?

Belajar Mencintai dari Cara Allah Mencintai
Dari kasih Allah, kita dapat belajar beberapa hal. Pertama, cinta kasih terjadi melalui relasi. Kasih Allah terhadap ciptaan-Nya muncul dari sebuah relasi. Oleh karena itu, manusia juga dipanggil untuk berelasi dengan seluruh ciptaan. Dalam Yohanes 3: 16 dikatakan bahwa karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Dikatakan melalui ayat ini bahwa Allah mengasihi semua orang, tidak hanya terbatas mengasihi kelompok tertentu saja. Kasih Allah tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi. Oleh karena itu, kita dipanggil untuk menempatkan semua orang yang berbeda dengan kita —baik itu berbeda agama, gender maupun berbeda suku bangsa— sebagai orang yang setara dengan kita, sama seperti Allah mengasihi semua ciptaan-Nya.
Kedua, Allah mau memberikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada ciptaan-Nya. Kita perlu merespon kebebasan yang Allah berikan itu dengan penuh tanggung jawab. Kita perlu mengingat dan menyadari bahwa kebebasan kita itu dibatasi oleh kebebasan orang lain. Terkadang kita tidak merespon kebebasan itu dengan tanggung jawab. Seringkali, kita hanya mementingkan kepentingan dan kebebasan kita sehingga kita mengenyampingkan kepentingan dan kebebasan Allah maupun ciptaan yang lain. Misalnya saja, kita bisa saja boros menggunakan minuman atau makanan instan dalam kemasan plastik dengan alasan praktis dan tidak merepotkan. Kita tidak menyadari bahwa dengan kebebasan kita itu, kita sudah membuat alam semesta semakin menjerit karena efek buruk yang ditimbulkan sampah plastik. Atau bahkan, kita menggunakan kebebasan kita itu untuk membatasi kebebasan orang lain. Misalnya, karena kita terlalu menyayangi anak kita, kita menggunakan kebebasan kita sebagai orang tua untuk membatasi kreasi anak kita. Kita mengharuskan anak untuk memasuki sekolah sesuai dengan sekolah yang kita inginkan, bukan yang anak harapkan. Kita menuntut secara paksa hal-hal yang kita harapkan untuk dilakukan oleh orang yang menyayangi kita. Apakah tindakan-tindakan itu benar-benar melukiskan cinta kasih, atau jangan-jangan malah menimbulkan penderitaan? Bukankah Allah lebih banyak berkorban daripada menuntut? Sudahkah kita berkorban untuk segenap ciptaan yang seharusnya kita cintai?
Ketiga, kasih Allah ditunjukkan melalui pengorbanan-Nya dan kesediaan-Nya untuk mengampuni. Tanpa pengorbanan dan pengampunan yang Allah berikan, manusia hanya akan terjebak di dalam jurang dosa. Kita tidak bisa memungkiri bahwa dalam relasi kita dengan sesama sering terjadi pertengkaran ataupun konflik. Konflik adalah hal yang sangat wajar. Rasa-rasanya tidak ada orang yang tidak pernah berkonflik dengan sesamanya. Namun, walaupun konflik itu adalah hal yang wajar, konflik itu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Konflik harus diselesaikan. Konflik yang dibiarkan menumpuk ibarat gulungan bola salju yang terus berguling dan membesar. Akhirnya konflik itu akan meledak dan menimbulkan efek yang sangat menghancurkan sama seperti bola salju yang akhirnya menabrak sesuatu. Ledakannya sangat keras dan menghancurkan. Dengan demikian, konflik harus diselesaikan. Titik awal untuk menyelesaikan konflik adalah dengan memiliki kesediaan untuk mengampuni dan memohon ampun. Apakah kita sudah mencerminkan cinta kasih Allah di dalam kehidupan kita? Mari bersama-sama menggumulinya dan melakukan rekoreksi diri.
Sumber:
Polkinghorne , John (ed.). 2001. THE Work of Love USA: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.

TUHAN ITU BAIK KEPADA SETIAP ORANG?


TUHAN ITU BAIK KEPADA SETIAP ORANG?
Bersyukur Puji Tuhan…
Ia sungguh baik
Bersyukur Puji Tuhan…
Halleluya… (PKJ 299)      
Tuhan itu Baik kepada Setiap Orang?
Sepenggal syair di atas adalah sebuah lagu yang diadaptasi dari komunitas Taize yang berjudul Bersyukur Puji Tuhan. Melalui syair tersebut kita diajak untuk mengucapkan syukur dan memuji Tuhan karena kebaikan-Nya. Syair ini sepertinya merupakan parafrase syair yang terdapat dalam Mazmur 145. Dalam kitab Mazmur 145 ini, digambarkan ungkapan syukur Pemazmur terhadap kemurahan Tuhan.  Dalam ayat ke 1-3 dan ayat 21, pelantun kidung Mazmur ini mengundang kita untuk bersama-sama dengannya untuk memuji Tuhan yang sungguh Baik.
Tentunya, ungkapan syukur akan kebaikan Tuhan ini bukan muncul begitu saja. Ungkapan syukur ini lahir dari sebuah titik kritis refleksi si Pemazmur akan kehidupannya dan kehidupan bangsanya.  Pemazmur mengucap syukur akan pekerjaan-pekerjaan Tuhan di dunia ini. Karya-Nya agung dan tidak terbatas. Tuhan mengatur semua dinamika kehidupan manusia dalam kebenaran dan kasih. Angkatan demi angkatan merasakan kebaikan Tuhan.
Jika angkatan demi angkatan dapat merasakan kebaikan Tuhan, kita pun tentu seharusnya merasakan kebaikan Tuhan juga. Namun, bagaimanakah kita merasakan kebaikan Tuhan? Apakah kita hanya mengucapkan syukur akan kebaikan Tuhan itu ketika kita sedang mengalami kebahagiaan, kemakmuran, dan kesuksesan?
Lalu, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa Tuhan itu baik kepada orang-orang yang sedang mengalami musibah dan bencana alam? Seorang teman saya yang menjadi relawan di Padang, menceritakan kepada saya bagaimana keadaan yang terjadi di sana. Di sana, Ia berjumpa dengan manusia-manusia yang merindukan kondisi seperti sebelum gempa. Namun, rasanya awan pekat yang menyelimuti mereka enggan bergeser dari sana. Jeritan kepedihan mereka yang muncul karena kehilangan harta benda bahkan keluarga terkasih terus bergaung di sana. Seorang anak kecil yang kehilangan orangtuanya hanya bisa  menangis, merintih dan menjerit saat ia mengetahui orang tuanya sudah tidak ada lagi untuk selama-lamanya.
Bagaimana kita dapat mengatakan Tuhan itu baik bagi orang-orang yang sedang mengalami sakit penyakit? Pertanyaan ini muncul ketika saya melihat penderitaan yang sangat berat yang dialami oleh seorang nenek di Rumah Sakit. Waktu itu, dalam perkunjungan itu saya menemui seorang nenek yang terbaring lemah, membalikkan tubuhnya pun ia tidak mampu. Air matanya menetes. Ia sudah lelah menderita. Rasa sakit yang ia rasakan menjadi seperti duri dalam dagingnya. Ia memegang tangan saya dengan kuat, kuat sekali, seraya menahan rasa sakitnya. Ketika saya menghampirinya, Ia berkata “Pulang”. Ia ingin pulang. Ia bukan ingin pulang ke rumahnya. Ia ingin pulang ke rumah Sang Khalik.
Dua kisah yang saya ceritakan di atas belum selesai, kisah itu akan dilanjutkan pada bagian sebelumnya. Namun, melalui dua kisah itu, saya ingin mengajak kita untuk masuk ke dalam pertanyaan kritis sebagai seorang manusia. Ketika kita melihat atau bahkan mengalami hal itu, kita akan sangat sulit untuk mengatakan Tuhan itu baik. Jika Tuhan itu baik, sampai kapan derita mereka harus berakhir? Sampai kapan mereka harus merasakan hal itu? Pertanyaan yang  saya tanyakan itu, mungkin saja serupa dengan apa yang anda pikirkan. Pertanyaan itu juga adalah pertanyaan yang wajar untuk ditanyakan. Jadi, bagaimanakah kita dapat turut serta melantunkan kidung pujian itu bersama-sama dengan si Pemazmur yang mengatakan bahwa Tuhan itu baik?
               
Kebaikan Tuhan dapat Kita Pahami ketika Kita Berefleksi
                Tidak ada manusia yang hanya mengalami keberhasilan dan kebahagiaan saja dalam hidupnya. Setiap manusia pasti pernah mengalami masa-masa kegagalan, kepedihan dan dukacita. Saya sangat senang mendengarkan kisah-kisah dari orang-orang yang sudah lanjut usia. Kisah-kisah yang mereka tuturkan sarat dengan pengalaman yang sangat bermakna. Di dalam kisah hidup mereka ada kegagalan, ada keberhasilan, ada jerih payah, ada kemudahan, ada kebahagiaan dan ada dukacita. Tidak jarang para lansia itu menceritakan cerita kehidupan yang sangat pedih. Misalnya saja ketika mereka harus mengalami pedihnya kehilangan orang tuanya yang tewas di medan perang ketika mereka kecil. Namun yang menarik adalah mereka tetap bisa mengatakan bahwa Tuhan itu baik.
                Teman saya yang menjadi relawan di Padang itu pun menuturkan kembali kisahnya. Anak yang kehilangan orang tua akibat gempa itu, tidak terlarut dalam kepedihannya. Teman saya itu menunjukkan video kepada saya dan dalam video itu saya melihat keceriaan anak yang kehilangan orang tua itu ketika bermain-main beberapa minggu setelah peristiwa itu. Sementara itu, nenek tua yang terkapar di rumah sakit itu mengatakan kepada saya, bahwa ia masih menanti-nantikan kedatangan Tuhan. Ia ingin cepat pulang ke rumah Bapa, karena ia mengimani bahwa Bapa adalah Bapa yang sangat baik. Nenek tua itu tetap setia menantikan pelangi di “negeri seberang” sambil menunggu hujan itu reda.
                Kisah di atas adalah contoh-contoh refleksi hidup manusia. Dalam kepedihan sekalipun, mereka dapat mengatakan Tuhan itu baik. Salah satu cara untuk merasakan kebaikan Tuhan adalah dengan melakukan refleksi. Setiap manusia harus melakukan refleksi dalam kehidupannya agar dapat memahami kebaikan Tuhan itu. 
                Salah satu cara yang sering saya gunakan untuk memahami kebaikan Tuhan adalah dengan menggambar grafik kehidupan. Saya belajar membuat grafik kehidupan saat saya tinggal di asrama. Cara ini juga mungkin bisa membantu para pembaca untuk berefleksi agar dapat merasakan kebaikanTuhan. Grafik kehidupan adalah gambaran kehidupan manusia dari lahir hingga saat ini.
                Melalui grafik ini, kita bisa melihat campur tangan Tuhan di dalam kehidupan kita. Kita dapat melihat bahwa di dalam kehidupan kita selalu ada suka dan duka. Kita dapat merasakan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita ketika kita berada di lembah kesesakan, buktinya kita dapat melewatinya walaupun itu pedih dan menyakitkan. Setiap malam tahun baru, saya suka membuat grafik kehidupan ini. Ketika membuat grafik itu saya selalu bertanya, kejutan peristiwa apakah yang akan saya alami di tahap kehidupan yang baru yang akan saya alami. Rasanya tidak sabar untuk mengalami kebaikan-kebaikan Tuhan melalui berbagai warna-warni peristiwa yang akan dialami nanti bersama Kristus di masa dan di tahap yang baru.
Pemazmur pun mengatakan bahwa Tuhan itu baik berdasarkan refleksinya atas setiap pengalaman-pengalaman hidupnya. Ia tidak asal mengatakan bahwa Tuhan itu baik. Pemazmur juga pernah mengalami rasa sakit ketika ia jatuh di lembah persoalan yang kelam (Mazmur 145: 14). Ia juga pernah merasakan tertunduk di dalam kepenatan. Namun, ia senantiasa menanti-nantikan pertolongan Tuhan. Tuhan senantiasa mendengarkan rintihan minta tolong dari orang-orang yang menanti-nantikanNya. Hal ini berarti, Pemazmur melihat kebaikan Tuhan melalui seluruh pengalaman kehidupannya, tidak hanya melalui sepenggal kehidupannya ketika ia mengalami kebahagiaan saja.
               
Memancarkan Kebaikan Tuhan
Kita tidak cukup apabila hanya merasakan kebaikan Tuhan saja. Cara untuk lebih merasakan kebaikan Tuhan itu adalah dengan memancarkan kebaikan Tuhan kepada segenap ciptaan. Pemazmur mengajak kita bersama-sama untuk mengumandangkan pujian syukur bahwa Tuhan itu baik. Pujian syukur bahwa Tuhan itu baik dapat kita kumandangkan melalui tindakan kebaikan yang dapat kita bagikan kepada seluruh ciptaan, baik itu manusia dan alam.
Tidak hanya pemazmur, Allah pun memang mengundang kita untuk memancarkan kebaikan-Nya itu, walaupun kita memang tidak tahu kapan ‘hujan bencana dan masalah’ yang sedang dialami oleh kita dan sesama kita itu berakhir. Namun, yang harus tetap kita yakini adalah bahwa Allah akan menyediakan pelangi pada waktunya. Dalam masa-masa penantian akan datangnya pelangi itu, Tuhan tetap menjadi penolong tetap menjadi penolong di tengah ‘hujan masalah dan bencana’ itu. Allah mampu melebarkan bahu-Nya untuk menjadi tempat kita bersandar. Allah senantiasa menopang setiap manusia yang mengalami penderitaan. Allah pun mengundang kita untuk menjadi bagian dari Bahu-Nya dalam memancarkan kebaikan Tuhan.
Umat-Nya yang berkecimpung dalam bidang ilmu pengetahuan, dapat mengumandangkan kebaikan Tuhan itu, dengan terus mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan semua ciptaan. Tuhan memperlengkapi kita dengan akal budi. Kita bisa memanfaatkan akal budi itu untuk terus mengembangkan penemuan-penemuan untuk mengobati yang menderita dan meminimalisir dampak dari bencana alam yang mengerikan. Umat-Nya yang tergerak sebagai sukarelawan juga dapat mengumandangkan kebaikan-Nya dengan memberikan hati, tenaga dan pikirannya untuk membantu saudara-saudara yang sedang menderita bencana. Walaupun kita bukan seorang sukarelawan yang terjun langsung ke lapangan, kita bisa membantu dengan memberikan bantuan materi. Para pelawat yang selalu mengunjungi sesama jemaat yang sedang sakit pun sudah mengumandangkan kebaikan Tuhan ketika hadir dan berempati terhadap sesama kita yang sedang sakit dan menderita. Maukah kita memancarkan kebaikan-Nya untuk menjadi sandaran bagi mereka yang menderita sambil menanti datangnya Pelangi itu?