Minggu, 25 Desember 2011

Natal di Tepian Kehidupan

            Aku adalah seorang penikmat lukisan. Aku suka berjalan ke daerah Pasar Baru dan Cikini, hanya untuk menikmati lukisan yang ada. Kadang-kadang, Aku melihat bagaimana cara Sang Pelukis itu melukis. Aku juga senang mampir ke toko-toko buku Kristen dan melihat keindahan lukisan yang menggambarkan kisah-kisah dalam Alkitab.
            Beberapa saat sebelum hari Natal, aku sering melihat banyak lukisan tentang peristiwa kelahiran Tuhan Yesus dijual di pertokoan. Namun, secara jujur kukatakan aku tidak dapat terlalu menikmati kemolekan dan keindahan lukisan-lukisan itu seperti biasanya. Muncul pikiran-pikiran nakal dalam pikiranku. Aku bertanya dalam hatiku, “Mengapa berbagai lukisan imaji peristiwa kelahiran Kristus selalu digambarkan dengan kemolekan? Maria dilukiskan dengan rupa perempuan yang ayu dan tidak kucel walaupun melahirkan di kandang domba. Yusuf digambarkan sebagai laki-laki gagah dan tidak kucel. Aku heran, bukankah Yesus lahir di kandang domba? Setahuku, kandang domba bukanlah tempat yang bersih. Kandang domba bukanlah tempat yang nyaman. Kandang domba itu bau dan jorok.
Aku kira, mungkin banyak pelukis yang terpasung dalam aliran romantisme dalam dunia seni rupa. Mereka tetap menggambar kondisi yang tidak menyenangkan sekalipun (seperti kondisi kelahiran Yesus) dengan lekukan-lekukan indah dan romantis. Lukisan-lukisan seperti ini menurutku, membawa dampak negatif bagi para pelihatnya. Keindahan dan kemolekan itu mengaburkan dimensi kesederhanaan dari berita kelahiran Yesus. Aku berharap, semoga kita tidak terjebak dalam romantisme lukisan kelahiran Yesus. Semoga kita tidak memaknai Natal dengan gemerlap kemewahan, keanggunan dan kemolekan semata.
Saat ini, aku ingin mengajak para pembaca untuk mengenang kembali dan menghadirkan kembali peristiwa kelahiran Yesus itu di masa kini. Yang menjadi seruan kunci adalah, “Mari kita mengenang bahwa Yesus, orang Nazareth itu, lahir di tepian kehidupan.” Apa yang dimaksud dengan Yesus lahir di tepian kehidupan? Semoga pertanyaan ini tidak membosankan di telinga Anda. Walaupun Natal adalah peristiwa yang selalu kita rayakan setiap tahunnya. Namun makna dari peristiwa ini tidak akan lekang digerogoti waktu. Selamat berefleksi dan beraksi!

Natal di Tepian Kehidupan: Allah yang Lahir di Zona Tak Nyaman
Pernahkah Anda bertanya mengapa Yesus orang tua Yesus adalah Maria (dan Yusuf)? Maria dan Yusuf tinggal di Nazaret, sebuah kota kecil yang berada di daerah Galilea, Palestina Utara. Orang-orang yang tinggal di Nazaret biasanya adalah orang-orang yang sederhana. Oleh karena itu, mereka seringkali diremehkan oleh ahli Taurat dan orang Farisi yang tinggal di Palestina Selatan. Apalagi pekerjaan Yusuf adalah seorang tukang kayu. Tentunya kehidupan Yesus setelah dilahirkan di tengah keluarga ini adalah kehidupan yang jauh dari kemewahan. Sungguh kehidupan yang tidak nyaman dan tidak nikmat, menurut ukuran dunia.
Tentu saja, pemilihan Allah untuk dilahirkan di keluarga yang sederhana seperti ini, bukanlah sebuah pemilihan yang tanpa dasar. Setiap detil peristiwa Natal dalam Alkitab memiliki makna yang sangat dalam. Pemilihan Allah untuk dilahirkan di keluarga yang sederhana ini, menunjukkan kesediaan Allah untuk berbelarasa bersama dengan kaum tersisih, dengan rakyat jelata yang hidup di tepian kehidupan. Allah mau merasakan penderitaan orang-orang yang berada di ambang kehidupan, yang merasakan pedihnya hidup antara makan dan tidak makan. 
Pernahkah Anda bertanya, mengapa Yesus dikandung oleh Maria, seorang perawan yang sudah bertunangan? Mengapa Ia tidak dikandung oleh seorang ibu yang sudah hamil tua seperti Zakaria? Status Maria yang sudah hamil duluan padahal ia dan Yusuf masih bertunangan, secara psikologis akan menjadi sebuah kondisi yang berat bagi Maria, Yusuf dan bayi dalam kandungan Maria. Walaupun kita saat ini mengetahui bahwa Yesus dikandung daripada Roh Kudus, orang-orang yang hidup pada saat itu mungkin saja tidak mengetahui bahwa Yesus dikandung dari Roh Kudus. Mungkin saja, pada saat Ia dikandung, banyak orang yang menebarkan fitnah dan gosip terhadap Maria dan Yusuf. Tentunya hal ini menjadi sesuatu yang berat bagi Maria, Yusuf dan Yesus. Mereka bertiga mungkin mendapat cercaan dari orang di sekitarnya.
Hal ini membuat aku berpikir bahwa Tuhan mau berbelarasa dengan orang-orang yang seringkali kita pergunjingkan. Maria, Yusuf dan Yesus tentunya tahu bagaimana pedihnya dipergunjingkan. Sadar ataupun tidak, kita sering mempergunjingkan orang lain, mungkin karena kesalahannya, mungkin karena kekurangannya, atau bahkan mungkin hanya karena kita membencinya. Hal ini menyadarkan kita bahwa ternyata Tuhan tidak berpihak pada orang-orang yang mempergunjingkan. Bahkan, banyak orang-orang yang harus difitnah karena sesuatu yang tidak ia perbuat. Tapi, Tuhan justru berpihak pada orang-orang yang berada jauh dari kenyamanan karena senantiasa dipergunjingkan.
Pernahkah Anda bertanya mengapa Yesus lahir di palungan? Dalam Injil Lukas 2: 7, dikatakan bahwa tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. Pdt. Ayub Yahya pernah menulis bahwa kata “tidak ada tempat” seringkali disalahartikan dalam drama-drama Natal. Di dalam drama Natal seringkali dikatakan bahwa semua penginapan itu penuh sehingga tidak ada tempat. Namun, yang terjadi pada saat itu sebenarnya adalah Maria dan Yusuf – yang merupakan orang-orang yang sederhana itu – tidak memiliki uang untuk membayar penginapan. Mengapa? Kita dapat membayangkan bahwa pada masa sensus penduduk seperti itu, akan ada banyak orang yang menuju ke kota asalnya masing-masing. Oleh karena itu, kemungkinan besar biaya tempat penginapan akan semakin meningkat. Maria dan Yusuf yang sangat sederhana itu tidak sanggup membayar penginapan.
Palungan adalah tempat yang jauh dari kenyamanan. Mungkin, ada banyak serangga di dalam palungan itu. Baunya pun tak sedap. Tapi Yesus mau lahir di tempat itu. Hal ini menjadi bukti bahwa Yesus tidak lahir ke dunia ini untuk menikmati nikmat dunia. Ia berbelarasa dengan yang tersisih, dengan orang yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak.

Harapan Natal: Sebuah Selebrasi Dengan Aksi Nyata
Sampai sejauh ini, aku menyimpulkan bahwa Tuhan Yesus tidak lahir di zona nyaman. Ia lahir di dalam ketidaknyamanan. Oleh karena itu, makna Natal bukanlah kehura-huraan belaka, melainkan solidaritas kepada orang-orang yang hidup di tepian kehidupan. Yesus lahir bersama-sama dengan orang yang seringkali dicerca dan tidak dipedulikan. 
Tapi mengapa, ketika aku mengamati perayaan Natal pada saat ini, aku melihat kondisi yang jauh dari kesederhanaan dan keberpihakan pada orang-orang yang hidup di tepian kehidupan. Secara sarkastik, kukatakan bahwa pada saat ini Natal menjadi sebuah selebrasi tanpa makna dan tanpa aksi yang nyata. Perayaan Natal telah dibeli oleh banyak mall menjadi sebuah selebrasi tanpa makna. Sinterklas gemuk duduk di mall-mall dan menjajakan dirinya untuk berfoto bersama anak-anak. Ia menawarkan jasa sebagai kurir kado kepada para orang tua yang ingin memanjakan anaknya dengan gelimang kado dan mainan. Tentu saja, Anda bisa berfoto jika Anda memiliki uang! Lalu bagaimana dengan orang-orang yang kesulitan dalam hal ekonomi, apa mereka tidak dapat merayakan Natal?
Lewat perenungan ini, kita diingatkan kembali untuk melangkahkan kaki kita ke zona yang tidak nyaman. Ada banyak orang-orang yang lapar dan tidak dapat makan. Ada banyak orang-orang yang kesulitan untuk minum karena ketiadaan air bersih. Ada banyak orang-orang yang mengalami kerapuhan karena stigma sosial dari masyarakat. Ada banyak anak-anak yang bermimpi untuk sekolah, namun harus putus sekolah karena tidak memiliki biaya. Ada banyak anak-anak yang lahir tanpa orang tua dan memerlukan cinta kasih dari kita semua. Natal bukanlah sebuah selebrasi tanpa aksi. Natal adalah sebuah selebrasi yang menuntut aksi. Mari merayakan Natal sambil beraksi!

Yesie