Beberapa waktu terakhir ini, muncul
beberapa usaha untuk merekonstruksi kisah Natal yang diwarnai dengan hostility, melalui suatu tafsiran
imajinatif ala Joas Adiprasetya, dosen saya di STT Jakarta. Rekonstruksi ini
cukup menarik dan menimbulkan pro-kontra tentunya. Awalnya, saya termasuk ke
dalam kelompok yang kontra terhadap kemungkinan hospitality ini. Saya sempat berdebat dengan teman-teman saya dan
dengan tegas mengatakan bahwa saya tidak setuju.
Namun, setelah melalui berbagai
perdebatan, saya pun merenungkan kembali kemungkinan adanya hospitality dalam kisah kelahiran Kristus. Hasil perenungan itu
pernah saya tuliskan sebelumnya dalam kolom komentar di sebuah blog, yakni http://ngakawiweti.blogspot.com/2012/12/natal-sebagai-momen-keramahtamahan.html#comment-form.
Seorang teman mengatakan bahwa dalam refleksi saya tersebut ada suatu lompatan
pemikiran. Saya menerima kritikan itu dan dalam tulisan ini saya mencoba menata
ulang hasil refleksi saya.
Pertama-tama, biarlah saya menceritakan
mengapa saya mempertanyakan konsep hospitality
itu. Saya dengan mudah menerima konstruksi teologis Joas bahwa Yesus tidak
lahir di kandang domba, melainkan di ruang bawah tanah. Namun, saya sangat
sulit untuk menerima konsep hospitality
di dalam kisah Natal versi Lukas. Mengapa? Karena awalnya, dalam imajinasi saya
(yang negatif, katakanlah begitu), saya tidak melihat adanya keramah-tamahan.
Saya hanya melihat hostility, walaupun
Yesus dilahirkan di ruang bawah. Pertanyaan yang berkecamuk dalam diri saya
adalah, “Mengapa pemilik rumah tidak meminjamkan kamarnya saja? Mengapa pemilik
rumah tidak memprioritaskan orang yang hamil tua, walaupun dia datang terlambat
sekalipun?” Pada saat itu, saya masih belum dapat menerima argumentasi Joas
bahwa ruangan yang diberikan bagi Maria dan Yusuf adalah ruangan yang terbaik
bagi mereka.
Namun, setelah saya merenung-renung,
saya pun menyadari kekeliruan saya. Saya menyadari bahwa masih ada kemungkinan
ruang bagi hospitality. “Pertobatan” pemikiran
saya ini terjadi setelah saya berdiskusi dengan teman-teman saya dan
me-re-imajinasikan pergumulan pemilik penginapan. Re-imajinasi ini mungkin
sedikit berbeda dengan yang disampaikan oleh Joas. Joas dalam tulisannya
menggambarkan pergumulan pemilik penginapan dengan sebuah imajinasi seperti
ini:
"
Maka, bisa dibayangkan betapa bingungnya tuan dan nyonya rumah. Sepasang sejoli
muda datang terlambat, sementara rumah mereka telah penuh sesak. Dan, bukan
hanya itu, si perempuan muda itu mengandung tua dan siap melahirkan. Bagaimana
jika mereka dipaksa masuk ke kataluma,
lalu di sana ia melahirkan? Bagaimana mungkin bayi yang bakal lahir dapat
beristirahat? Bagaimana juga dengan ibu baru yang tentu membutuhkan ketenangan
untuk memulihkan tenaga? Dan seribu satu pertanyaan penuh kekuatiran.” (http://www.facebook.com/notes/joas-adiprasetya/natal-perdana-ruang-keramahtamahan/10151172666821964)
Saya
mengakui bahwa imaji Joas terhadap hospitality
pemilik rumah sangat positif. Pertimbangan yang digumuli oleh pemilik rumah
sangatlah positif. Namun, saya punya imaji lain dengan Joas. Boleh khan? Secara singkat, saya rangkumkan
imaji saya dengan sebuah kalimat: pergumulan antara "hostility" dan "hospitality",
yang "dimenangkan" oleh hospitality".
Jadi, yang saya lihat adalah pertentangan batin di dalam diri pemilik rumah
yang kemungkinan besar adalah sanak saudara dari Yusuf. Di dalam batin tuan dan
nyonya rumah, mungkin muncul "hostility" yang bergesekan dengan
"hospitality".
Saya
membangun imajinasi itu dengan argumentasi teologis di bawah ini:
(1) Ada pergumulan batin untuk menghadirkan hospitality dalam diri pemilik penginapan. "Hospitality" ini disebabkan karena dua hal. Pertama, hospitality sudah menjadi adat istiadat bagi bangsa Israel (bahkan hospitality memang menjadi praktik yang sangat penting di dalam dunia kuno!) (Mercer dictionary of the Bible, 1990, pp. 393). Dalam Kitab Ayub 31:32, Ayub juga menjunjung tinggi hospitality. "malah orang asing pun tidak pernah bermalam di luar, pintuku kubuka bagi musafir." Kedua, secara manusiawi MUNGKIN SAJA pemilik rumah IBA melihat perempuan hamil besar dan mau melahirkan.
(2) Ada pergumulan "hostility" dalam diri pemilik penginapan. Setidaknya, menurut saya "hostility" ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena gosip hamil pra-nikah yang beredar di kalangan sanak keluarga Yusuf. Dalam Zondervan Dictionary of Biblical Imagery, dikatakan bahwa pemilik rumah (yang adalah sanak keluarga Yusuf) tidak mau menerima mereka karena gosip hamil pra-nikah yang sudah beredar di kalangan keluarga Yusuf. Kedua, karena pemilik rumah ketakutan jika orang-orang lain yang menginap di rumahnya merasa terganggu karena Maria hampir melahirkan. Perlu diingat bahwa orang-orang Yahudi merasa bahwa perempuan yang melahirkan adalah najis, bandingkan Imamat 12:1-5.
(1) Ada pergumulan batin untuk menghadirkan hospitality dalam diri pemilik penginapan. "Hospitality" ini disebabkan karena dua hal. Pertama, hospitality sudah menjadi adat istiadat bagi bangsa Israel (bahkan hospitality memang menjadi praktik yang sangat penting di dalam dunia kuno!) (Mercer dictionary of the Bible, 1990, pp. 393). Dalam Kitab Ayub 31:32, Ayub juga menjunjung tinggi hospitality. "malah orang asing pun tidak pernah bermalam di luar, pintuku kubuka bagi musafir." Kedua, secara manusiawi MUNGKIN SAJA pemilik rumah IBA melihat perempuan hamil besar dan mau melahirkan.
(2) Ada pergumulan "hostility" dalam diri pemilik penginapan. Setidaknya, menurut saya "hostility" ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena gosip hamil pra-nikah yang beredar di kalangan sanak keluarga Yusuf. Dalam Zondervan Dictionary of Biblical Imagery, dikatakan bahwa pemilik rumah (yang adalah sanak keluarga Yusuf) tidak mau menerima mereka karena gosip hamil pra-nikah yang sudah beredar di kalangan keluarga Yusuf. Kedua, karena pemilik rumah ketakutan jika orang-orang lain yang menginap di rumahnya merasa terganggu karena Maria hampir melahirkan. Perlu diingat bahwa orang-orang Yahudi merasa bahwa perempuan yang melahirkan adalah najis, bandingkan Imamat 12:1-5.
Jadi dalam imajinasi saya, terbentang
suatu pergumulan batin di dalam diri pemilik penginapan, antara
"memelihara tradisi hospitality" dengan "mempertahankan pagar
taurat tentang kenajisan", antara "perasaan iba terhadap Maria"
dengan "perasaan takut dihakimi oleh tamu yang lain karena
tindakkannya".
Pada akhirnya pergumulan batin itu
dapat diselesaikan oleh pemilik rumah dengan kemenangan "hospitality". “Hospitality”
menjadi keputusan etis yang diambil oleh tuan rumah saat mereka memberikan
ruang bawah tanah bagi Maria dan Yusuf. Secara bentuk ruang, mungkin ruang
bawah tanah memang bukanlah ruangan yang terbaik. Namun, pemberian ruangan ini
adalah pilihan yang terbijak dari si tuan rumah, baik itu bagi Maria, Yusuf
serta tamu-tamunya yang lain.
Melalui rekonstruksi ini, saya
terbantu untuk melihat sisi positif dari manusia (baca: tuan rumah). Perlu diakui
bahwa kecenderungan atas sifat baik dan buruk itu memang ada di dalam diri
manusia. Saya jadi teringat sebuah novel kuno, Jackyll and Hyde, yang menggambarkan bahwa di dalam hidup manusia
selalu ada sisi gelap-terang, sifat jahat dan baik. Namun, melalui rekonstruksi
ini saya diingatkan bahwa tidak selamanya sisi gelap itu yang selalu menonjol. Saya
pernah (dan kadang-kadang masih!) menjadi orang yang sangat curigaan terhadap
orang lain dan bersikap skeptis terhadap orang-orang yang sudah saya cap buruk.
Saya merasa bahwa tidak ada sisi baik dalam diri mereka. Yeah, itu juga yang
menjadi “dosa komunal” gereja selama berabad-abad terhadap pemilik rumah itu. Kita
memberikan label buruk sebagai “penolak Kristus yang kejam” kepada si pemilik
rumah. Namun, melalui rekonstruksi
terhadap teks ini, saya diingatkan bahwa masih ada sisi baik di dalam diri
pemilik rumah, begitu juga dengan orang lain yang selama ini saya sudah berikan
cap buruk.
Sebagai sebuah penutup, saya memohon
ampun pada Tuhan karena sering bersikap skeptis terhadap keramah-tamahan Illahi
yang tercermin dalam keramah-tamahan insani. Ampuni saya juga karena saya masih
suka berpandangan negatif kepada orang-orang tertentu. Saya juga memohon maaf
pada mereka yang pernah saya berikan label negatif. Saya percaya, sekalipun di
dalam diri manusia ada sisi gelap dan terang serta sejuta pergumulan di
dalamnya, Tuhan dapat bekerja untuk memunculkan sisi terang dan mereduksi sisi
gelap itu dan menuntun kita untuk mengambil keputusan etis atas setiap
pergumulan yang harus kita hadapi. J
Bandung, 20
Desember 2012
YIL