Kamis, 20 Desember 2012

KETEGANGAN ANTARA HOSPITALITY DAN HOSTILITY DALAM KISAH KELAHIRAN KRISTUS



Beberapa waktu terakhir ini, muncul beberapa usaha untuk merekonstruksi kisah Natal yang diwarnai dengan hostility, melalui suatu tafsiran imajinatif ala Joas Adiprasetya, dosen saya di STT Jakarta. Rekonstruksi ini cukup menarik dan menimbulkan pro-kontra tentunya. Awalnya, saya termasuk ke dalam kelompok yang kontra terhadap kemungkinan hospitality ini. Saya sempat berdebat dengan teman-teman saya dan dengan tegas mengatakan bahwa saya tidak setuju.
Namun, setelah melalui berbagai perdebatan, saya pun merenungkan kembali  kemungkinan adanya hospitality dalam kisah kelahiran Kristus. Hasil perenungan itu pernah saya tuliskan sebelumnya dalam kolom komentar di sebuah blog, yakni http://ngakawiweti.blogspot.com/2012/12/natal-sebagai-momen-keramahtamahan.html#comment-form. Seorang teman mengatakan bahwa dalam refleksi saya tersebut ada suatu lompatan pemikiran. Saya menerima kritikan itu dan dalam tulisan ini saya mencoba menata ulang hasil refleksi saya.
Pertama-tama, biarlah saya menceritakan mengapa saya mempertanyakan konsep hospitality itu. Saya dengan mudah menerima konstruksi teologis Joas bahwa Yesus tidak lahir di kandang domba, melainkan di ruang bawah tanah. Namun, saya sangat sulit untuk menerima konsep hospitality di dalam kisah Natal versi Lukas. Mengapa? Karena awalnya, dalam imajinasi saya (yang negatif, katakanlah begitu), saya tidak melihat adanya keramah-tamahan. Saya hanya melihat hostility, walaupun Yesus dilahirkan di ruang bawah. Pertanyaan yang berkecamuk dalam diri saya adalah, “Mengapa pemilik rumah tidak meminjamkan kamarnya saja? Mengapa pemilik rumah tidak memprioritaskan orang yang hamil tua, walaupun dia datang terlambat sekalipun?” Pada saat itu, saya masih belum dapat menerima argumentasi Joas bahwa ruangan yang diberikan bagi Maria dan Yusuf adalah ruangan yang terbaik bagi mereka.
Namun, setelah saya merenung-renung, saya pun menyadari kekeliruan saya. Saya menyadari bahwa masih ada kemungkinan ruang bagi hospitality. “Pertobatan” pemikiran saya ini terjadi setelah saya berdiskusi dengan teman-teman saya dan me-re-imajinasikan pergumulan pemilik penginapan. Re-imajinasi ini mungkin sedikit berbeda dengan yang disampaikan oleh Joas. Joas dalam tulisannya menggambarkan pergumulan pemilik penginapan dengan sebuah imajinasi seperti ini: 

" Maka, bisa dibayangkan betapa bingungnya tuan dan nyonya rumah. Sepasang sejoli muda datang terlambat, sementara rumah mereka telah penuh sesak. Dan, bukan hanya itu, si perempuan muda itu mengandung tua dan siap melahirkan. Bagaimana jika mereka dipaksa masuk ke kataluma, lalu di sana ia melahirkan? Bagaimana mungkin bayi yang bakal lahir dapat beristirahat? Bagaimana juga dengan ibu baru yang tentu membutuhkan ketenangan untuk memulihkan tenaga? Dan seribu satu pertanyaan penuh kekuatiran.” (http://www.facebook.com/notes/joas-adiprasetya/natal-perdana-ruang-keramahtamahan/10151172666821964)

Saya mengakui bahwa imaji Joas terhadap hospitality pemilik rumah sangat positif. Pertimbangan yang digumuli oleh pemilik rumah sangatlah positif. Namun, saya punya imaji lain dengan Joas. Boleh khan? Secara singkat, saya rangkumkan imaji saya dengan sebuah kalimat: pergumulan antara "hostility" dan "hospitality", yang "dimenangkan" oleh hospitality". Jadi, yang saya lihat adalah pertentangan batin di dalam diri pemilik rumah yang kemungkinan besar adalah sanak saudara dari Yusuf. Di dalam batin tuan dan nyonya rumah, mungkin muncul "hostility" yang bergesekan dengan "hospitality".

Saya membangun imajinasi itu dengan argumentasi teologis di bawah ini:
(1) Ada pergumulan batin untuk menghadirkan hospitality dalam diri pemilik penginapan. "Hospitality" ini disebabkan karena dua hal. Pertama, hospitality sudah menjadi adat istiadat bagi bangsa Israel (bahkan hospitality memang menjadi praktik yang sangat penting di dalam dunia kuno!) (Mercer dictionary of the Bible, 1990, pp. 393). Dalam Kitab Ayub 31:32, Ayub juga menjunjung tinggi hospitality. "malah orang asing pun tidak pernah bermalam di luar, pintuku kubuka bagi musafir." Kedua, secara manusiawi MUNGKIN SAJA pemilik rumah IBA melihat perempuan hamil besar dan mau melahirkan.
(2) Ada pergumulan "hostility" dalam diri pemilik penginapan. Setidaknya, menurut saya "hostility" ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena gosip hamil pra-nikah yang beredar di kalangan sanak keluarga Yusuf. Dalam Zondervan Dictionary of Biblical Imagery, dikatakan bahwa pemilik rumah (yang adalah sanak keluarga Yusuf) tidak mau menerima mereka karena gosip hamil pra-nikah yang sudah beredar di kalangan keluarga Yusuf. Kedua, karena pemilik rumah ketakutan jika orang-orang lain yang menginap di rumahnya merasa terganggu karena Maria hampir melahirkan. Perlu diingat bahwa orang-orang Yahudi merasa bahwa perempuan yang melahirkan adalah najis, bandingkan Imamat 12:1-5.
Jadi dalam imajinasi saya, terbentang suatu pergumulan batin di dalam diri pemilik penginapan, antara "memelihara tradisi hospitality" dengan "mempertahankan pagar taurat tentang kenajisan", antara "perasaan iba terhadap Maria" dengan "perasaan takut dihakimi oleh tamu yang lain karena tindakkannya".
Pada akhirnya pergumulan batin itu dapat diselesaikan oleh pemilik rumah dengan kemenangan "hospitality".  “Hospitality” menjadi keputusan etis yang diambil oleh tuan rumah saat mereka memberikan ruang bawah tanah bagi Maria dan Yusuf. Secara bentuk ruang, mungkin ruang bawah tanah memang bukanlah ruangan yang terbaik. Namun, pemberian ruangan ini adalah pilihan yang terbijak dari si tuan rumah, baik itu bagi Maria, Yusuf serta tamu-tamunya yang lain.
Melalui rekonstruksi ini, saya terbantu untuk melihat sisi positif dari manusia (baca: tuan rumah). Perlu diakui bahwa kecenderungan atas sifat baik dan buruk itu memang ada di dalam diri manusia. Saya jadi teringat sebuah novel kuno, Jackyll and Hyde, yang menggambarkan bahwa di dalam hidup manusia selalu ada sisi gelap-terang, sifat jahat dan baik. Namun, melalui rekonstruksi ini saya diingatkan bahwa tidak selamanya sisi gelap itu yang selalu menonjol. Saya pernah (dan kadang-kadang masih!) menjadi orang yang sangat curigaan terhadap orang lain dan bersikap skeptis terhadap orang-orang yang sudah saya cap buruk. Saya merasa bahwa tidak ada sisi baik dalam diri mereka. Yeah, itu juga yang menjadi “dosa komunal” gereja selama berabad-abad terhadap pemilik rumah itu. Kita memberikan label buruk sebagai “penolak Kristus yang kejam” kepada si pemilik rumah.  Namun, melalui rekonstruksi terhadap teks ini, saya diingatkan bahwa masih ada sisi baik di dalam diri pemilik rumah, begitu juga dengan orang lain yang selama ini saya sudah berikan cap buruk.  
Sebagai sebuah penutup, saya memohon ampun pada Tuhan karena sering bersikap skeptis terhadap keramah-tamahan Illahi yang tercermin dalam keramah-tamahan insani. Ampuni saya juga karena saya masih suka berpandangan negatif kepada orang-orang tertentu. Saya juga memohon maaf pada mereka yang pernah saya berikan label negatif. Saya percaya, sekalipun di dalam diri manusia ada sisi gelap dan terang serta sejuta pergumulan di dalamnya, Tuhan dapat bekerja untuk memunculkan sisi terang dan mereduksi sisi gelap itu dan menuntun kita untuk mengambil keputusan etis atas setiap pergumulan yang harus kita hadapi. J

Bandung, 20 Desember 2012
YIL

Kamis, 29 November 2012

Resensi: The Lost Girl


Pernahkah Anda mendengar tentang narrative healing? Narrative healing  adalah salah satu cara untuk menyembuhkan luka-luka batin melalui narasi, yakni menceritakan luka-luka itu kepada orang lain dan tidak menyimpannya seorang diri. Narrative healing dapat dilakukan melalui dua bentuk, yakni (1) dengan menuturkan pengalaman keterlukaan kita kepada orang lain dan dengan (2) menuliskan luka-luka kita dalam tulisan.

Bagi saya, metode ini cukup menarik. Biasanya, orang yang terluka cenderung akan menutup rapat lukanya dan tidak bersedia untuk membagikan lukanya pada khalayak ramai. Perasaan malu, tidak mudah percaya dan curiga membuat diri kita enggan untuk bercerita tentang luka batin yang kita alami. Tampakya, mengorek dan menunjukkan luka adalah sesuatu yang menyakitkan, menimbulkan kepedihan di hati. Namun, metode ini ternyata justru menolong orang untuk sembuh dari luka-luka batinnya dengan mengundang setiap orang yang terluka untuk mengakui luka-lukanya.

Saat berkeliling di Perpustakaan Umum Kota Istimewa (Yogyakarta), saya menemukan sebuah buku menarik berisi autobiografi Caroline Roberts, autobiografi seorang korban pelecehan seksual.  Caroline menggunakan metode narrative healing dalam menyembuhkan luka-lukanya. Buku ini sangat inspiratif dan layak untuk dibaca.

Caroline adalah seorang anak yang dilahirkan dari hasil perselingkuhan terselubung antara Eliizabeth Mills dan Michael Mahoney. Saat itu, Elizabeth sudah menikah dengan Albert. Saat Albert mengetahui perselingkuhan istrinya, ia mengusir istrinya dan kedua anak hasil perselingkuhannya. Setelah bercerai, Ellizabeth menikah kembali dengan Alf. Hubungan Alf dengan Caroline tidak baik. Alf dan kakak tirinya sering berlaku kasar pada Caroline. Alf dan kakak tirinya rajin memukuli Caroline dan mengata-ngatainya sebagai anak perempuan nakal. Sungguh malang nasib Caroline, pada usia 6 tahun ia hampir mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki tua yang tidak dikenalnya. Ia selamat dari pelecehan seksual itu, namun ayah tirinya menyalahkan Caroline atas apa yang ia alami.

Caroline bertumbuh menjadi gadis perempuan cantik yang memiliki wajah ganda. Ia tampak riang dan ceria di hadapan orang lain, namun sebenarnya ia sangat rapuh. Kepribadiannya tampak bertolak belakang. Di luar rumah ia menjadi anak yang periang, untuk menutupi kepedihannya.  Namun, di rumahnya ia menjadi anak yang pemberontak dan kasar.

Perjumpaan Caroline dengan Fred dan Rose West serta kecantikannya membuatnya terperangkap dalam “jeratan iblis”. Fred dan Rose adalah pasangan suami istri yang aneh. Mereka memiliki kebiasaan seksual yang aneh. Fred adalah seorang yang memiliki nafsu seksual yang liar dan tak tertahankan. Sementara itu, Rose adalah seorang biseksual. Hasratnya terhadap perempuan muncul saat ia mengandung. Sayangnya, Caroline malang tidak mengetahui kehidupan keluarga ini. Dengan polosnya, ia menerima tawaran Fred dan Rose untuk menjadi pengasuh anak-anak mereka.

Saat Caroline menjadi pengasuh, ia diperkosa oleh Fred dan Rose. Ia semakin memandang rendah dirinya. Citra dirinya hancur. Ia bahkan melakukan usaha bunuh diri. Ia tidak dapat memaafkan dirinya sendiri. Ia berhasil kabur dari rumah Fred dan Rose, namun Fred dan Rose kembali menculiknya bahkan memperlakukan dirinya dengan lebih kejam. Potret dirinya semakin rusak. Ia sebenarnya hanya ingin dicintai dengan tulus, namun ia tidak merasa pernah mendapatkannya. Tidak ada orang luar yang mengetahui pergumulannya. Ia mengubur lukanya, agar tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Ia terjebak dan terjerat, tak tahu bagaimana cara melepaskan diri.

Singkat cerita, ia berhasil meloloskan diri dan melaporkan kekejaman Fred dan Rose ke polisi. Namun, ia belum memaafkan dirinya. Pengalaman traumatis yang tidak ia selesaikan membuat dirinya menjadi pencemburu. Hubungannya dengan lawan jenis sering menemui kegagalan. Ia berkali-kali pacaran dan putus. Intuisinya yang tajam membuat ia semakin menderita karena ia berkali-kali menyadari bahwa pacarnya hanya memanfaatkannya untuk bercinta dengannya. Pada saat ada orang yang dengan tulus mengasihinya, orang tersebut meninggal pada saat hendak mengunjungi Caroline di hari ulang tahunnya. Pengalaman itu membuat Caroline merasa bahwa dirinya adalah seorang pembawa sial.

Citra diri Caroline menjadi semakin rusak ketika ia memenangkan kontes modeling yang disarankan ibunya. Ibunya berpikir bahwa kepercayaan diri Caroline akan membaik jika ia memenangkan kontes tersebut. Nyatanya, Caroline semakin merasa hancur. Pada saat ia memenangkan kontes tersebut, para wartawan menghancurkan citra dirinya dengan mengkonfirmasi berita pelecehan seksual yang pernah dialaminya dulu. Ia merasa sangat terpuruk dan tidak dapat menolong dirinya sendiri. Ia menjadi orang yang semakin bersifat curiga pada orang lain dan gemar menyakiti orang-orang yang mengasihinya.

Caroline yang terpuruk, perlahan-lahan mulai bangkit setelah dia mengalami pengalaman spiritual di sebuah gereja. Tuhan memulihkan citra dirinya melalui pengalamannya bersama dengan kelompok “lingkaran pengembangan” di gereja itu. Ia menyadari bahwa dirinya berharga. Ia menyadari bahwa masih ada orang-orang yang begitu mengasihinya. Ia pun menyadari bahwa ia tidak sendirian dan ia menerima balutan luka dari Tuhannya.

Caroline memerlukan waktu 10 tahun untuk menuliskan buku ini. Waktu yang tidak singkat. Ia mengatakan bahwa buku ini menjadi terapi baginya, seperti yang kita sebut di atas sebagai narrative healing. Ia sekarang dapat meneruskan hidupnya bersama dengan Tuhan. Ia kini berani mengambil keputusan dalam hidupnya. Trauma dan luka batinnya kini telah sembuh. Tuhan menggunakan gereja dan metode narrative healing untuk menyembuhkan lukanya.

Yogyakarta, 29 November 2012
dalam sebuah permenungan
YIL

KEPUSTAKAAN:
Judul buku: THE LOST GIRL: PENGALAMAN SEORANG KORBAN PELECEHAN SEKSUAL MELAWAN TRAUMA MASA LALUNYA
Penerbit : Gramedia
Penulis : Caroline Roberts
Genre : Autobiografi
Tahun terbit: 2007



Jumat, 23 November 2012

Imajinasi Pelenyap Kesepian




The world’s greatest tragedy is unwantedness,
The world’s greatest disease is loneliness
Mother Teresa


Apa itu kesepian? Kesepian adalah sebuah perasaan mengerikan yang dapat menghancurkan kita. Ya, perasaan ketika kita merasa merindukan sesuatu atau seseorang, namun kita merasa bahwa tidak akan ada orang yang merindukan, memahami dan mempedulikan kita. Namun, kesepian tidak sama dengan kesendirian. Aku senang menyendiri, namun aku tidak merasa sepi. Namun, di tengah keramaian aku dapat merasakan kesepian. Ya, kesepian tidak selalu hadir dalam kondisi sunyi, tanpa suara. Ia dapat mencengkrammu dalam keramaian ketika bising knalpot motor dan mobil menunjukkan kegagahannya. Begitu menyeramkannya cengkraman kesepian ini, sehingga aku pernah merasa bahwa kesepian ini melilit jiwaku. Aku ingin lari, namun tak dapat. Aku mencoba menari dalam keramaian, namun kini yang tertinggal hanya kesepian. Hampa! Maka dari itu, tidak salah jika Bunda Teresa mengatakan bahwa kesepian adalah penyakit terbesar di dunia.
Kesepian dapat dialami oleh siapapun, baik itu orang yang miskin maupun kaya. Kesepian dapat menghinggapi umat maupun para “pemimpin” umat. Dalam jalan yang kutekuni saat ini, aku pernah bertanya pada Tuhan, “Bagaimana aku dapat menemani orang yang kesepian jika aku sendiri kesepian?” Dalam sebuah refleksi imajiner, aku membayangkan sebuah percakapan antara Kristus dan diriku. Kristus tersenyum seraya menjawab pertanyaanku, “Aku juga pernah mengalami kesepian saat bergumul di taman Getsemani, Nak. Saat aku berharap murid-muridku menemaniku, ternyata mereka tertidur.” Aku terisak sambil mengeluh padaNya, “Ya Tuhan, aku pun demikian. Aku pernah merasakan ketiadaan kehadiran orang-orang yang kuharapkan mendukung dan menemaniku pada saat aku terpuruk. Aku kesepian.” Ia tersenyum mengangguk dan aku pun membalas senyumnya dalam imajiku karena Ia lebih dulu merasakan apa yang kurasakan.
Sambil memandang wajahNya, dengan tangan terbuka untuk menanti jawaban aku bertanya, “Tuhan apa yang lakukan kala itu? Kala kesepian mendedahkan kegeramannya di hadapan wajah kita, dapatkah kita sintas ataukah kita menyerah dan terlarut dalam pusaran kesepian? Bagaimanakah aku dapat terbebas dari kesepianku?”
Tiba-tiba aku teringat pada sebuah analisis yang dilakukan oleh Paul Tillich tentang tingkat-tingkat kesepian dalam diri manusia. Pada akhirnya Tillich menyimpulkan bahwa kesepian itu adalah suatu hal yang bersifat eksistensial dalam diri manusia. Kesepian menjadi tanda keterasingan manusia. Manusia teralineasi dari cinta kasih. Bagi Tillich, salah satunya cara untuk mengatasi kesepian adalah dengan merekatkan diri pada Sang Illahi. Manusia tak mampu melepaskan diri dari kesepiannya. Hanya Tuhanlah yang mampu membuatnya merasakan kehangatan, lepas dari kesepiannya.
Kini, kulihat gambaran Kristus yang berdoa dengan darah yang menetes. Kurasakan kelekatan Kristus dengan Bapa-Nya, an invisible person. Pribadi yang tidak terlihat itu merangkul-Nya dan memberikan-Nya kekuatan. Aku mengerti, bahwa doa adalah sebuah media untuk merasakan kehangatan bersama Bapa, sehingga kesepian pun lenyaplah. Ya, dan kini kesepian yang kurasakan pun lenyap bersamaan dengan kalimat penutup sebuah doa dalam rupa imaji bersama Kristus. Kehangatan Kristus melingkupi malam sunyi ini dan kesepian pun lenyaplah…

YIL
saat meninggalkan kesepian menuju kehangatan

Minggu, 21 Oktober 2012

Keluargaku: Inspiratif atau Destruktif?



I.              Beberapa Percikan Peristiwa
Percikan Peristiwa 1
Pada tanggal 27 Februari 2012, Usman, seorang warga di Palembang, ditangkap oleh polisi karena telah membunuh. Yang ia bunuh adalah mertua perempuannya. Ia membacok kepala ibu mertuanya yang sedang tidur dengan menggunakan golok yang dibawanya. Dari hasil pemeriksaan polisi, diketahui bahwa motif pembunuhan yang dilakukan Usman adalah karena dendam kesumat. Usman jengah karena martabatnya direndahkan oleh pihak keluarga istrinya. Berita ini dilansir dari www.indosiar.com.

Percikan Peristiwa 2
Niko Kili-kili, seorang mantan ketua preman yang sempat membuat keributan di Tanah Abang Jakarta, terlahir dari sebuah keluarga broken home. Ayahnya yang adalah seorang pengacara menikah dengan beberapa orang perempuan. Sejak kecil, ayahnya berkata padanya, “Jika kamu masuk penjara karena menghamili anak orang ataupun memakai narkoba, Papa tidak akan melepaskanmu dari penjara. Jika hendak melakukan kejahatan, bunuh saja orang sekalian! Papa akan membelamu dan membebaskanmu dari penjara.” Niko kili-kili tak dapat menemukan keluarga yang inspiratif dalam hidupnya. Saat dewasa, ia membunuh. Ia bermain judi. Ia menjadi pecandu narkoba.  

**************
Saya mengawali tulisan ini dengan kutipan yang sangat destruktif. Memang, tampaknya kutipan ini berada dalam titik ekstrim (baca: keluarga yang hancur dan rapuh). Namun, saya ingin menghindari kesan generalisir. Memang perlu diakui bahwa tidak selamanya hubungan mertua dan menantu yang retak berujung dengan sebuah golok. Tidak selamanya juga, seorang anak yang berasal dari keluarga broken home menjadi anak yang brutal. Namun, melalui percikan-percikan peristiwa ini, saya ingin menyampaikan sebuah pesan bahwa keluarga tetap memiliki peran yang penting bagi masing-masing anggotanya dalam mengarungi samudera hidup ini.

II.            Pengaruh Keluarga terhadap Kepribadian Anggota Keluarganya
Kontak sosial yang pertama terjadi dalam keluarga. Zdanowics, Pascal dan Reynart (2004) melakukan studi banding terhadap 814 orang remaja yang tidak bermasalah dengan 358 remaja yang mengalami gangguan psikologis dengan menggunakan kuesioner Oslon (kuesioner yang digunakan untuk melihat bagaimana kondisi keluarga seseorang). Dari hasil penelitian itu, diperoleh kesimpulan bahwa remaja yang tidak bermasalah tumbuh di lingkungan keluarga yang adaptif dan memiliki interaksi yang baik. Sementara itu remaja yang mengalami gangguan psikologis tumbuh di lingkungan keluarga yang berantakan (baca: tercerai berai) dan kaku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga mempunyai peluang untuk menjadi sumber inspirasi atau menjadi sumber destruksi bagi anggotanya.
Dalam Alkitab, kita juga melihat kisah beberapa tokoh Alkitab yang hidupnya berantakan karena kehidupan keluarganya yang tidak memberikan inspirasi. Menurut saya, prahara rumah tangga Daud yang berselingkuh dengan Batsyeba secara tidak langsung memberi dampak pada kehidupan keluarganya. Keluarganya hancur berantakan. Tamar, anak perempuannya diperkosa oleh Amnon, saudaranya sendiri. Selanjutnya Amnon dibunuh oleh Absalom, kakak kandung Tamar.
            Sebaliknya, kita juga dapat menemukan keluarga yang inspiratif dalam kehidupan keluarga Timotius. Ia dididik dalam cinta kasih Kristus oleh ibunya Eunike dan neneknya Louis (2 Timotius 1:5). Keluarga menjadi lokus disemainya benih-benih Injil dalam diri anak. Oleh karena itu, pada saat Timotius dewasa, ia bertumbuh menjadi pemimpin yang teguh dan mengasihi Tuhan.
            Dari pemaparan ini, sudah sangat jelas bahwa kehidupan keluarga kita pun berpengaruh terhadap pertumbuhan psikis dan iman masing-masing anggota keluarga. Pertumbuhan kedewasaan psikis dan iman tidaklah terbatas. Psikis dan iman dapat terus bertumbuh sampai kita berada di dalam titik akhir kehidupan. Pribadi-pribadi yang bertumbuh dalam keluarga yang inspiratif tentu saja akan mewarnai kehidupan di lokus yang lebih luas (baca: gereja dan masyarakat). Hal ini senada dengan apa yang diucapkan oleh Horminghausen dan Enklaar -teolog di bidang pendidikan Kristiani-. Mereka berkata bahwa kehidupan bergereja pun akan semakin sehat jika anggota-anggota jemaat hidup dalam keluarga yang sehat dan inspiratif. Oleh karena itu, marilah kita membangun keluarga Kristen yang inspiratif dan bukan keluarga yang destruktif! Pertanyaannya bagaimana membangun iklim keluarga yang inspiratif?

III.           Keluarga yang Inspiratif:
Menjadikan Tuhan sebagai Dasar keluarga
Keluarga Kristen harusnya menjadi gambaran dari keluarga Allah. Peristiwa kehadiran Yesus dalam perkawinan di Kana menunjukkan kepedulian Allah terhadap keluarga. Keluarga Kristen harus membangun dasar kehidupan berkeluarganya di atas dasar Kristus. Keluarga yang berjangkar pada Kristus menjadikan kehidupan Kristus sebagai teladan bagi keluarga kita untuk mengarungi hidup ini. Setiap anggota keluarga meneladani kasihNya, kerelaanNya untuk berkorban, kesetiaanNya, ketulusanNya dan perhatianNya. Sebaliknya, jika kita membangun kehidupan keluarga di atas hasrat keegoisan masing-masing anggota keluarganya, maka kita sedang membangun di atas pasir yang rapuh, dan bukan di atas batu karang (band. Mat 7:24-27).
Membangun di atas batu karang berarti menjadikan Kristus sebagai fondasi bagi kehidupan keluarga. Hal ini bukan berarti bahwa tidak akan ada badai hidup yang menimpa keluarga kita. Badai hidup, masalah, dan godaan akan tetap ada. Namun, cara menghadapi badai pada keluarga yang membangun dasarnya di atas Kristus tentunya akan berbeda dengan cara menghadapi badai pada keluarga yang membangun dasarnya di atas pasir. Keluarga yang berakar pada Kristus akan menjadikan Kristus sebagai sumber pertolongan dan kekuatan. Keluarga yang berakar pada Kristus akan mencari solusi yang sejalan dengan kehendakNya.

Mempererat komunikasi di antara anggota keluarga
Ada banyak kesalah-pahaman yang terjadi di dalam keluarga. Suami merasa istri hanya mementingkan dirinya, demikian sebaliknya. Anak-anak merasa orang tua tidak mengerti harapannya, demikian sebaliknya. Padahal, di dalam hati masing-masing anggota keluarga, ada benih-benih kasih untuk saling memperhatikan. Namun, yang sering terjadi adalah perhatianku untukmu tidak dimengerti sebagai pengertian olehmu, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, dalam kehidupan berkeluarga kita perlu mengubah persepsi kita. Berpikirlah untuk keutuhan dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga.
Kesalah-pahaman ini sering terjadi karena kurangnya komunikasi. Pada saat ini, kehidupan keluarga Kristen sudah dirasuki oleh perkembangan teknologi yang menyuburkan individualisme. Setiap makan di rumah makan, saya sering memperhatikan pola komunikasi di antara keluarga-keluarga yang makan bersama. Mereka memang duduk dalam satu meja makan. Namun, mereka memiliki dunia yang berlainan. Masing-masing sibuk dengan telepon genggamnya masing-masing. Tidak ada percakapan di antara anggota keluarga itu. Mereka tersenyum atau cemberut sendiri, sambil menatap telepon genggam. 
Pola komunikasi yang seperti ini membuat jarak yang dekat pun menjadi semakin jauh. Anak dan orang tua menjadi orang asing yang tidak saling mengenal dengan baik. Tidak ada kehangatan dalam keluarga. Akibatnya, kesalah-pahaman pun sering terjadi. Saya berpendapat bahwa setiap keluarga harus membuat perjanjian bersama untuk saling memperhatikan keberadaan masing-masing, serta menyimpan telepon genggam pada saat kebersamaan keluarga. Masing-masing keluarga juga perlu mengadakan persekutuan doa keluarga, walaupun persekutuan doa sangat sulit untuk dilakukan mengingat kesibukan masing-masing anggota keluarga dalam kehidupan keluarga di kota besar.


IV.          Ah, keluargaku sudah terlanjur kacau!
Jika memang pada saat ini kehidupan keluarga kita berada dalam titik rapuh dan menjurus ke arah destruksi, bukan tidak mungkin kita mengolah sesuatu yang destruktif menjadi inspiratif. Selalu ada harapan di dalam kekelaman. Niko Kili-Kili, dalam Percikan Peristiwa ke-2 pada  bagian tulisan di awal tadi pun akhirnya dapat bertobat dan mengampuni ayahnya. Hidupnya dipulihkan. Ia membaktikan hidupnya untuk melayani Tuhan. Ia bertobat dan ia berubah menjadi seseorang yang begitu mencintai istrinya. Ia tidak mau istrinya merasakan apa yang dialami oleh ibunya dulu. Selalu saja ada harapan untuk memutuskan rantai destruktif yang sudah membelit keluarga kita.
Di dalam Alkitab, kita dapat menjumpai banyak tokoh yang akhirnya dapat berdamai dengan pengalaman pahit di dalam keluarganya. Esau dan Yakub yang hidup dalam ketegangan karena favoritisme yang dilakukan oleh orang tuanya pun pada akhirnya dapat berdamai kembali. Tuhan meretas cinta kasih yang melunturkan kemarahan di dalam dua saudara ini. Mereka berdua pun akhirnya dapat berdamai. Mereka berpelukan, bertangis-tangisan dan bercium-ciuman (Kejadian 33:4). Kisah perdamaian antara Esau dan Yakub ini tentunya dapat menjadi inspirasi bagi keluarga yang berada di ambang kehancuran, untuk kembali lagi merekatkan bejana yang retak.

Selamat mengusahakan keluarga yang inspiratif. Di dalam Kristus selalu ada harapan untuk mengubah keluarga yang destruktif menjadi inspiratif.

YIL




PERJUMPAAN GEMBALA RINGKIH DENGAN DOMBA SULIT



Sebab Sebuah Pencarian....
Dalam ranah pelayanan gerejawi, salah satu hal yang dapat membuat seorang gembala frustrasi adalah keberadaan domba-domba sulit. Bayangkan, apa jadinya jika gembala itu harus harus berjumpa dengan 10, 20, 30, bahkan ratusan domba sulit di dalam ranah pelayanannya ? Apakah sang gembala harus bilang WOW? J
Dalam masa praktik jemaat beberapa waktu lalu, saya menjumpai beragam tipe domba sulit. Seringkali orang-orang yang suka mengkritik secara pedas digolongkan ke dalam kelompok domba sulit. Faktanya, domba sulit tidak hanya sebatas orang yang suka mengkritik dengan tajam. Ada domba sulit yang hanya suka memerintah gembalanya dan menjadikan gembalanya sebagai pembantu. Ada domba sulit yang mengatakan sanggup untuk melakukan tugas tertentu tapi tidak melakukan tugasnya. Ada domba sulit yang suka menggosip. Ada domba sulit yang marah dan lari jika idenya tidak diterima. Ternyata domba sulit itu pun memiliki keanekaragaman tipe.
Tidak dapat dipungkiri, hati ini sering tersakiti ketika berjumpa dengan domba-domba sulit. Namun, di tengah-tengah rasa sakit itu, saya bertanya pada Tuhan. Bagaimana saya harus menghadapinya? Bagaimana saya dapat bekerjasama dengan orang-orang sulit ini agar dapat membuahkan buah yang positif? Dalam pergumulan itu, saya teringat dengan sebuah buku tipis karangan Alm. Pdt. Eka Darmaputera yang saya pernah beli, namun belum sempat saya baca. Buku ini berjudul 10 Tipe Orang Menyebalkan dan Cara Menghadapi secara Alkitabiah. Saya juga mencoba menjilati remah-remah dari lautan informasi luas namun terbatas lewat sebuah pencarian pada google books dengan frasa kunci “dealing with difficult people”. Di sana saya menemukan sebuah buku menarik yang berjudul Dealing with difficult people: Handling problem people in your life yang diedit oleh Jill Briscoe, seorang istri pendeta. Saya merekomendasikan dua buku ini untuk dibaca oleh para gembala dan keluarganya yang sedang merasakan keringkihan ketika menghadapi para domba sulit di jemaatnya.

Mengubah Cara Pandang Siapa?
Dalam menulis bukunya yang berjudul 10 Tipe Orang Menyebalkan dan Cara Menghadapi secara Alkitabiah, Darmaputera diinspiasikan oleh Rick Brinkman dan Rick Kirschner, dua orang yang menulis buku Dealing With People You Can’t Stand. Kedua dokter ini mendefinisikan orang-orang yang menyebalkan sebagai orang-orang yang tidak melakukan apapun yang kita sukai, namun melakukan apapun yang tidak kita inginkan atau bahkan kita larang. Brinkman dan Kirscher mengusulkan sebuah strategi untuk berhubungan dengan orang-orang menyebalkan itu, yakni dengan kesediaan yang tulus dari diri kita untuk membangun jembatan terhadap mereka yang menyebalkan. Membangun jembatan dimulai dengan membangun kepercayaan. Kepercayaan hadir karena adanya ketulusan dan sikap mau mendengarkan. Dengan demikian, kita harus bersikap pro-aktif terhadap mereka yang menyebalkan, bukan menghindari mereka (Darmaputera 2010, 1-12).
Respons Darmaputera terhadap ide dari Brinkman dan Kirschner sangat menarik. Ia mengatakan bahwa jika kita berhadapan dengan orang “menyebalkan”, paling sedikit berusahalah agar kita tidak “menyebalkan” bagi mereka (Darmaputera 2010, 12). Menurut saya, ide ini sangat menarik. Ini berarti kita harus mengubah cara pandang kita terlebih dahulu agar dapat berhadapan dengan orang yang “menyebalkan”.    
Jill Briscoe, editor buku Dealing with difficult people: Handling problem people in your life, berhasil mengubah sudut pandangnya terhadap orang sulit setelah bergumul selama 30 tahun. Selama rentang waktu itu, istri pendeta ini merasa kelelahan karena ia tidak henti-hentinya mendengar kritikan dari domba-domba sulit terhadap suaminya. Dengan kreativitasnya, pada bagian pendahuluan ia membuat kata difficult menjadi sebuah kiat untuk menghadapi domba-domba sulit (Briscoe 2003, v).
D – deliberately. Go out of your way to make friends with difficult people. It’s amazing what a friendships can do. More people are lonely.
I – investigate what the Bible says about the problem, then apply the truth you learn
F – forgive them for being difficult.
F – forgive them again!
I – Intercede for them. It’s hard to be irritated with someone, when you’re in the presence of God.
C – Confront the difficulty and try to talk with them about it. A third part may help to reffere if necessary.
U – Understand “why” the person is behaving like he or she is.
L – Love them practicaly. Do something for them they don’t deserve
T – Thank God daily for the difficult people in your life. Praise change relationships. You’ll see.

Bukankah permainan kata ini adalah contoh yang menarik? Kata difficult mendapat sebuah kreasi sehingga difficult tidak lagi menjadi difficult, tetapi menjadi sebuah kata yang sarat makna dan kiat jitu untuk menghadapi si difficult. Dengan mengubah cara pandang kita terhadap domba-domba yang sulit, kita akan memiliki belas kasih ketika berhadapan dengan mereka.
            Saya sendiri pernah berjuang melawan sudut pandang saya terhadap domba yang menyebalkan semacam ini. Ada seorang jemaat yang entah mengapa menyebarkan berita bohong tentang saya. Dia mengatakan bahwa saya menyakiti dia dengan sengaja. Awalnya saya tidak tahu bahwa gosip ini sudah tersebar, sampai salah seorang jemaat memberi-tahu saya. Saya terkejut karena saya merasa tidak pernah melakukan kekeliruan itu padanya. Banyak jemaat yang menuntut saya untuk meminta maaf kepadanya. Setelah merenung-renung dan mendapatkan masukkan dari para sahabat, saya memutuskan untuk berkunjung ke rumahnya. Ternyata, pada saat perkunjungan itu, saya mengerti mengapa ia menyebarkan gosip itu. Ya, dia hanya ingin saya memperhatikannya. Kehidupannya suram. Ia dibuang oleh orang tuanya yang kaya raya karena ia adalah seorang difable. Ia tidak menikah, hidup sendirian dalam keterasingan karena ia merasa bahwa semua orang membencinya. Saat saya datang ke rumahnya, tanpa mengucapkan kata maaf, ia sudah tersenyum. Ia membiarkan saya masuk ke rumahnya, menemaninya mengaduk adonan kue, sambil mendengarkan kisahnya yang menyedihkan. Tuhan pun bekerja, Ia mengubah sudut pandang saya terhadap domba menyebalkan ini. Kemarahanku telah diubahNya menjadi rasa kasih dan iba terhadap domba menyebalkan ini.  

Tips menghadapi Mereka: “Mendesis, bukan menggigit”
            Ajahn Brahm, dalam Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya I, menceritakan sebuah kisah yang menarik tentang seekor ular jahat. Ular jahat ini bertobat setelah mendengar ceramah di vihara. Ia bersumpah untuk tidak menggigit orang lagi. Awalnya banyak orang yang tidak percaya. Mereka tetap merasa takut pada mantan ular jahat itu. Hingga satu saat, ada pemuda yang berani menggoda ular ini, namun ular itu hanya tersenyum dan tidak menggigitnya. Orang-orang di sekitar ular itu mulai yakin bahwa ular itu sudah benar-benar bertobat. Singkat cerita orang-orang di sekitar ular itu mulai menghina ular ini bahkan melemparinya sampai ia kesakitan. Mantan ular jahat ini tetap diam sampai pada batas kesabarannya. Akhirnya, ia berkeluh kesah pada ular suci. Ular suci tersenyum, lalu ia berkata, “Saya hanya melarangmu untuk tidak menggigit, namun itu bukan berarti bahwa kamu tidak boleh mendesis.” Dengan demikian, memiliki kasih kepada domba yang menyebalkan bukan berarti membiarkan mereka berlaku seenaknya pada kita. Memiliki belas kasih dapat berarti “mendesis” kepada mereka, namun tidak “menggigit” mereka.
            Darmaputera memaparkan kiat-kiat mendesis dengan baik untuk ketika menghadapi domba-domba yang menyebalkan. Kiat-kiat ini tersebar dalam seluruh tulisannya. Namun menurut saya, Darmaputera ingin mengatakan bahwa kita harus mengenali dulu tipe orang menyebalkan mana yang kita hadapi. Perlu diingat bahwa ada banyak tipe orang yang menyebalkan. Darmaputera menyebut ada 10 tipe orang menyebalkan, yakni tipe “tank”, tipe “sniper”, tipe “granat”, tipe “mister tahu segala”, tipe “saya juga tahu”, tipe “manusia seribu janji”, tipe “makhluk negatif”, tipe “barangkali”, tipe “tanpa ekspresi dan tipe “tanpa opini” (Darmaputera 2010, 34-169). Untuk menghadapi kesepuluh tipe itu, kita perlu menggunakan strategi khusus. Pendekatan yang digunakan untuk tiap tipe berbeda-beda. Cara “mendesis” (dalam bahasa Briscoe: mengkonfrontasi sifat dan pemikiran mereka) terhadap mereka pun berbeda-beda dan tidak dapat disama-ratakan. Sikap inilah yang disebut cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.

Penutup
“Gembalakanlah domba-domba-Ku!”
kata Yesus kepada Petrus
Tiga kali Yesus mengatakan hal ini kepada Petrus. Tuhan Yesus meminta Petrus, dan juga kita sebagai para gembala yang ringkih, untuk menggembalakan domba-dombaNya. Dia tidak mengatakan, “Gembalakanlah domba-domba-Ku yang mau diatur dan tinggalkanlah domba-domba-Ku yang menyebalkan!” Ini berarti kita harus mengembalakan semua domba-domba-Nya, termasuk domba yang menyebalkan. Demikian juga dengan Kristus, Ia tidak meninggalkan domba yang hilang, ia justru mencari domba yang terhilang.
            Pada akhirnya, saya berefleksi bahwa kita tidak akan mampu menghadapi domba-domba yang menyebalkan tanpa tuntunan tangan Tuhan. Kiranya Tuhan menolong para gembala untuk memiliki hati yang penuh kasih untuk mengasihi domba-domba yang menyebalkan. Kiranya Tuhan menolong kita untuk bersikap bijaksana ketika berjumpa dengan domba-domba yang menyebalkan.

Tuhan, tolonglah kami untuk menggembalakan domba-domba yang menyebalkan!
Tuhan, gembalakanlah kami jika kami pun menjadi gembala yang menyebalkan!
Amin.

Sumber: 
Brahm, Ajahn. 2009. Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 1. Jakarta: Awareness Publication
Briscoe, Jill. 2003. Dealing with difficult people: Handling problem people in your life. Eastbourne: Kingsway Communication.
Darmaputera, Eka. 2010. 10 Tipe orang Menyebalkan dan Cara Menghadapi Secara Alkitabiah. Jakarta: BPK Gunung Mulia.