Pada
hari pentakosta, seorang pengembara berjalan menyusuri sebuah desa untuk
mencari sebuah gereja. Dalam perjalanannya, ia melihat seorang perempuan tua
yang sedang duduk di samping puing-puing rumahnya. Matanya bengkak. Air matanya
sudah hampir mengering. Ia menatap puing-puing itu dengan tatapan hampa. Angin
kencang menerpa tubuh perempuan tua yang kurus itu, seolah-olah ingin
menertawakan kepedihan perempuan itu. Pengembara itu, berhenti sejenak. Ia
menghampiri perempuan itu dan berusaha untuk menyelami riak-riak pergumulannya.
Pengembara : “Mengapa wajahmu muram?”
Perempuan : “Tak cukupkah kondisi ini menyiratkan
pergumulanku?”
Pengembara : “Tak cukupkah engkau meratap untuk
kebakaran yang terjadi pada malam lalu? Ini hari Pentakosta! Bergegaslah ke
gereja bersamaku!”
Perempuan : “Apalah artinya bagiku untuk merayakan
Pentakosta? Hartaku habis. Apa yang hendak kubawa? Bukankah tanda-tanda
kehadiran Roh Kudus, yang berupa api dan angin kencang itu, justru menghancurkan
satu-satunya harta yang kumiliki?”
Pengembara : “Maksudmu?”
Perempuan : “Lihatlah ceritera pentakosta itu!
Lidah api dan angin keras itu menjadi hal yang sangat menyeramkan bagiku dan
bagi orang-orang yang rumahnya terbakar! Bagaimana aku dapat memaknai kisah
Pentakosta dalam titik nadir ini? Untuk apalah aku pergi ke gereja? Biarlah aku
meratap dalam tangis di depan puing-puing rumahku yang masih tersisa ini.”
Pengembara : “…….”
Pengembara
itu tak dapat menjawab gelombang pergumulan perempuan tua itu. Hatinya risau.
Kegamangan meliputi dirinya. Ia mulai menyadari betapa sulitnya si perempuan
itu untuk memahami makna pentakosta dalam pergumulan hidupnya. Angin dan lidah api menjadi simbol yang sangat
menyentuh bagi para murid pada saat pencurahan Roh Kudus terjadi. Namun, angin
dan api itu menjadi symbol yang sangat menyeramkan bagi perempuan yang meratapi
nasibnya itu. Pengembara itu pun meninggalkan perempuan itu dan melanjutkan
perjalanannya menuju gereja.
Di gereja ia melihat berbagai hasil
panen dikumpulkan oleh warga desa. Hal ini tentu saja berbeda dengan kebiasaan
orang kota, yang menggantikan hasil panen dengan persembahan berupa uang. Tampaknya,
di desa ini tradisi pengumpulan hasil panen, seperti yang dicatat dalam
Keluaran 23:16, masih dipertahankan.
Tapi,
tunggu dulu! Ada yang aneh dalam perayaan Pentakosta di gereja ini. Wajah
anggota jemaat di tempat ini muram dan tak seceria pakaian yang mereka pakai
serta hasil panen yang mereka bawa. Sang Pengembara pun terheran-heran melihat
situasi ini. Sebagai pendatang baru, ia tidak banyak bicara. Ia diam dan
mengamati teka-teki kemuraman saat Pentakosta ini. Teka-teki ini terdedah saat
pendeta setempat menyampaikan refleksinya terhadap Kisah Rasul 2 dan terhadap
konteks desanya di hari pentakosta kali ini.
Pendeta : “Ada dua hal yang menjadi ciri
utama dalam hari Pentakosta pada gereja mula-mula. Pertama, semua orang percaya
berkumpul di suatu tempat. Tak ada orang percaya yang tidak hadir dalam
perkumpulan itu. Saya membandingkannya dengan perayaan Pentakosta pada hari
ini. Apakah semua anggota jemaat di gereja ini hadir? Tidak! Kita tidak
merasakan kehadiran saudara seiman kita yang baru saja mengalami musibah
kebakaran. Saya melihat raut muka saudara sekalian muram. Mungkin, di antara
kita juga mengingat mereka yang pada saat ini tidak bersama-sama dengan kita
karena rumahnya porak poranda dilahap api yang dibawa angin itu. Ya, inilah
kali pertama Pentakosta yang menyedihkan di desa ini.
Ciri kedua dari Pentakosta pada
gereja mula-mula adalah peristiwa dicurahkannya Roh Kudus yang ditandai dengan
adanya tiupan angin keras, lidah api dan bahasa yang dikaruniakan Roh itu.
Peristiwa ini sungguh mencengangkan bagi jemaat pada saat itu dan juga bagi
orang-orang yang berada pada saat itu. Namun, bagi jemaat yang rumahnya
terbakar pada saat ini api dan angin menjadi sesuatu yang menakutkan.
Bagaimanakah kisah ini dapat didengungkan bagi mereka yang rumahnya dihancurkan
api dan angin keras?
Saudara, yang menjadi panggilan kita pada saat
ini adalah bagaimana menyampaikan berita Pentakosta kepada mereka yang rapuh,
tak berdaya. Ada tiga hal yang harust kita lakukan. Pertama, nyatakanlah api
kehangatan cinta Roh Kudus kepada mereka yang rapuh itu. Kobarkanlah semangat
untuk menyapa mereka dengan uluran tangan kita. Kobarkanlah api Roh Kudus yang
tak pernah padam menyinari dunia yang ringkih. Kedua, hembuskanlah angin kedamaian bagi mereka yang
berada dalam kegalauan, paska bencana itu. Hadirlah bersama-sama dengan mereka
yang menderita untuk menjadi sarana Roh Kudus untuk membangkitkan dan
menghangatkan jiwa yang kehilangan asa. Ketiga, suarakanlah bahasa cinta,
bahasa yang dapat dipahami oleh semua orang di dunia ini. Kita memang memiliki
keragaman bahasa, namun bahasa cinta menjadi bahasa dari Roh Kudus yang dapat
dipahami oleh semua makhluk. Bukankah bahasa cinta adalah bahasa yang terus
hadir sebagai karunia dari Roh Kudus itu? Mengapa kita enggan menggunakannya?
Marilah kita bergandengan erat untuk menyatakan bahasa cinta lewat uluran
tangan kita kepada mereka. Biarlah mereka yang berada dalam himpitan pergumulan
pun merasakan curahan Roh Kudus yang terus melimpah dalam persekutuan umat
Tuhan hingga saat ini.”
Si
pengembara tertegun mendengar khotbah pendeta tersebut. Ia mengerti mengapa
desa itu dipenuhi kemuraman pada saat Pentakosta di tahun itu. Dia pun
mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalanannya ke tempat lainnya. Ia pun
memutuskan untuk mengembara menyebarkan api, angin, dan bahasa cinta melalui
kehadirannya bersama-sama dengan para korban kebakaran di desa itu. Ya, Roh
Kudus pun terus hadir. Hembusan Roh Kudus menembus kebekuan hati mereka yang
awalnya tak peduli. Kobaran api cinta Roh Kudus terlukis dalam semangat warga
desa itu untuk membangun rumah warga yang terbakar. Bahasa kasih terpancar dari
dukungan warga jemaat bagi penduduk yang rumahnya terbakar. Ya, bahasa kasih
itu dinyatakan kepada korban kebakaran yang adalah anggota jemaat mereka dan
bahkan kepada korban kebakaran yang tidak seiman dengan mereka.
Selamat
mendulang makna Pentakosta dari kisah ini!
Kobarkanlah
Api Cinta, Hembuskanlah Angin Kedamaian, Suarakanlah Bahasa Cinta!
Yesie
Irawan
ditulis untuk Buletin Mercusuar, GKI KP