Jumat, 22 Juni 2012

Zona Nyaman, Penting Nggak Sich?


Aku sering menulis tentang pentingnya keberanian untuk meninggalkan zona nyaman. Selain diriku, ada banyak teolog lain yang menulis tentang pentingnya melangkah meninggalkan zona nyaman. “Life begin at the end of your comfort zone!” kata Neale Donald Walsch, penulis buku Conversations with God. Aku mengakui bahwa melangkah dari zona nyaman adalah hal yang penting.
Namun, tiba-tiba terlintas dalam benakku, “Apakah zona nyaman itu tak penting?” Pertanyaan ini mungkin menjadi sebuah penyeimbang atas berbagai pernyataan yang menekankan pentingnya memasuki zona tak nyaman. Bagiku, zona nyaman itu tetap penting. Pernyataanku ini menjadi kontra posisi terhadap pernyataan Walsch yang menekankan bahwa seseorang baru memulai kehidupannya setelah dia memutuskan untuk meninggalkan zona nyamannya.
Manusia sungguhlah unik. Ada orang-orang yang baru dapat merasakan kehidupan dan mengekspresikan dirinya setelah ia merasa nyaman. Eka Darmaputera -dalam bukunya yang berjudul Sepuluh Orang yang Menyebalkan dan Cara Menghadapi Secara Alkitabiah- mengatakan bahwa kita harus menciptakan ruang kenyamanan bagi orang-orang yang tidak dapat mengekspresikan dirinya atau ragu memberikan pendapatnya. Ketidakberanian dan keraguan mereka dapat disebabkan tidak adanya zona nyaman.
Dalam bahasa pembangunan jemaat, pendapat Eka ini dapat kita sejajarkan dengan apa yang diusung oleh Jan Hendriks sebagai iklim yang positif. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pembangunan jemaat adalah iklim yang positif. Zona nyaman dalam rupa iklim positif perlu dibangun untuk meningkatkan kegairahan jemaat. Kita bersama-sama menciptakan ruang nyaman bagi kehidupan bergereja agar muncul kerelaan hati untuk berpartisipasi dalam misi gereja. Dalam zona nyaman, relasi yang dibangun adalah relasi subjek-subjek. Aku mengakui kau sebagai subjek sehingga aku mau membuat dirimu merasa nyaman, demikian juga sebaliknya. Aku bukanlah objek. Kau pun bukanlah objek.
Bukankah tindakkan menciptakan ruang nyaman ini juga yang dilakukan oleh Yesus? Yesus menciptakan zona nyaman bagi pemungut cukai, perempuan yang dikucilkan oleh masyarakat, orang-orang Samaria, dan orang-orang yang dikucilkan lainnya. Mereka yang enggan dan takut untuk bersuara, kini bersuara karena mereka merasa nyaman saat bergaul dengan Kristus.

Beranjak dari pentingnya zona nyaman ini, marilah kita melihat kehidupan bergereja kita. Apakah diri kita sudah membangun zona nyaman bagi orang lain? Ataukah kita malah menjadi orang yang menciptakan zona tak nyaman bagi orang lain? Sikap sinis, iri hati, dendam kesumat, memilih-milih orang untuk bergaul, membicarakan orang “di belakang”, menjadikan firman Tuhan sebagai sarana untuk menyerang orang lain, menyalah-gunakan otoritas gerejawi adalah sikap-sikap yang kontra terhadap pembangunan iklim positif dalam kehidupan bergereja. Bagaimana iklim gerejamu, seperti “neraka” atau “surga”? Ujilah dan tiliklah.
.

Kamis, 21 Juni 2012

Pentakosta di Desa itu


Pada hari pentakosta, seorang pengembara berjalan menyusuri sebuah desa untuk mencari sebuah gereja. Dalam perjalanannya, ia melihat seorang perempuan tua yang sedang duduk di samping puing-puing rumahnya. Matanya bengkak. Air matanya sudah hampir mengering. Ia menatap puing-puing itu dengan tatapan hampa. Angin kencang menerpa tubuh perempuan tua yang kurus itu, seolah-olah ingin menertawakan kepedihan perempuan itu. Pengembara itu, berhenti sejenak. Ia menghampiri perempuan itu dan berusaha untuk menyelami riak-riak pergumulannya.

Pengembara     : “Mengapa wajahmu muram?”
Perempuan       : “Tak cukupkah kondisi ini menyiratkan pergumulanku?”
Pengembara     : “Tak cukupkah engkau meratap untuk kebakaran yang terjadi pada malam lalu? Ini hari Pentakosta! Bergegaslah ke gereja bersamaku!”
Perempuan       : “Apalah artinya bagiku untuk merayakan Pentakosta? Hartaku habis. Apa yang hendak kubawa? Bukankah tanda-tanda kehadiran Roh Kudus, yang berupa api dan angin kencang itu, justru menghancurkan satu-satunya harta yang kumiliki?”
Pengembara     : “Maksudmu?”
Perempuan       : “Lihatlah ceritera pentakosta itu! Lidah api dan angin keras itu menjadi hal yang sangat menyeramkan bagiku dan bagi orang-orang yang rumahnya terbakar! Bagaimana aku dapat memaknai kisah Pentakosta dalam titik nadir ini? Untuk apalah aku pergi ke gereja? Biarlah aku meratap dalam tangis di depan puing-puing rumahku yang masih tersisa ini.”
Pengembara     : “…….”

Pengembara itu tak dapat menjawab gelombang pergumulan perempuan tua itu. Hatinya risau. Kegamangan meliputi dirinya. Ia mulai menyadari betapa sulitnya si perempuan itu untuk memahami makna pentakosta dalam pergumulan hidupnya.  Angin dan lidah api menjadi simbol yang sangat menyentuh bagi para murid pada saat pencurahan Roh Kudus terjadi. Namun, angin dan api itu menjadi symbol yang sangat menyeramkan bagi perempuan yang meratapi nasibnya itu. Pengembara itu pun meninggalkan perempuan itu dan melanjutkan perjalanannya menuju gereja.
            Di gereja ia melihat berbagai hasil panen dikumpulkan oleh warga desa. Hal ini tentu saja berbeda dengan kebiasaan orang kota, yang menggantikan hasil panen dengan persembahan berupa uang. Tampaknya, di desa ini tradisi pengumpulan hasil panen, seperti yang dicatat dalam Keluaran 23:16, masih dipertahankan.
Tapi, tunggu dulu! Ada yang aneh dalam perayaan Pentakosta di gereja ini. Wajah anggota jemaat di tempat ini muram dan tak seceria pakaian yang mereka pakai serta hasil panen yang mereka bawa. Sang Pengembara pun terheran-heran melihat situasi ini. Sebagai pendatang baru, ia tidak banyak bicara. Ia diam dan mengamati teka-teki kemuraman saat Pentakosta ini. Teka-teki ini terdedah saat pendeta setempat menyampaikan refleksinya terhadap Kisah Rasul 2 dan terhadap konteks desanya di hari pentakosta kali ini.
Pendeta            : “Ada dua hal yang menjadi ciri utama dalam hari Pentakosta pada gereja mula-mula. Pertama, semua orang percaya berkumpul di suatu tempat. Tak ada orang percaya yang tidak hadir dalam perkumpulan itu. Saya membandingkannya dengan perayaan Pentakosta pada hari ini. Apakah semua anggota jemaat di gereja ini hadir? Tidak! Kita tidak merasakan kehadiran saudara seiman kita yang baru saja mengalami musibah kebakaran. Saya melihat raut muka saudara sekalian muram. Mungkin, di antara kita juga mengingat mereka yang pada saat ini tidak bersama-sama dengan kita karena rumahnya porak poranda dilahap api yang dibawa angin itu. Ya, inilah kali pertama Pentakosta yang menyedihkan di desa ini.
            Ciri kedua dari Pentakosta pada gereja mula-mula adalah peristiwa dicurahkannya Roh Kudus yang ditandai dengan adanya tiupan angin keras, lidah api dan bahasa yang dikaruniakan Roh itu. Peristiwa ini sungguh mencengangkan bagi jemaat pada saat itu dan juga bagi orang-orang yang berada pada saat itu. Namun, bagi jemaat yang rumahnya terbakar pada saat ini api dan angin menjadi sesuatu yang menakutkan. Bagaimanakah kisah ini dapat didengungkan bagi mereka yang rumahnya dihancurkan api dan angin keras?
             Saudara, yang menjadi panggilan kita pada saat ini adalah bagaimana menyampaikan berita Pentakosta kepada mereka yang rapuh, tak berdaya. Ada tiga hal yang harust kita lakukan. Pertama, nyatakanlah api kehangatan cinta Roh Kudus kepada mereka yang rapuh itu. Kobarkanlah semangat untuk menyapa mereka dengan uluran tangan kita. Kobarkanlah api Roh Kudus yang tak pernah padam menyinari dunia yang ringkih. Kedua,  hembuskanlah angin kedamaian bagi mereka yang berada dalam kegalauan, paska bencana itu. Hadirlah bersama-sama dengan mereka yang menderita untuk menjadi sarana Roh Kudus untuk membangkitkan dan menghangatkan jiwa yang kehilangan asa. Ketiga, suarakanlah bahasa cinta, bahasa yang dapat dipahami oleh semua orang di dunia ini. Kita memang memiliki keragaman bahasa, namun bahasa cinta menjadi bahasa dari Roh Kudus yang dapat dipahami oleh semua makhluk. Bukankah bahasa cinta adalah bahasa yang terus hadir sebagai karunia dari Roh Kudus itu? Mengapa kita enggan menggunakannya? Marilah kita bergandengan erat untuk menyatakan bahasa cinta lewat uluran tangan kita kepada mereka. Biarlah mereka yang berada dalam himpitan pergumulan pun merasakan curahan Roh Kudus yang terus melimpah dalam persekutuan umat Tuhan hingga saat ini.”

Si pengembara tertegun mendengar khotbah pendeta tersebut. Ia mengerti mengapa desa itu dipenuhi kemuraman pada saat Pentakosta di tahun itu. Dia pun mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalanannya ke tempat lainnya. Ia pun memutuskan untuk mengembara menyebarkan api, angin, dan bahasa cinta melalui kehadirannya bersama-sama dengan para korban kebakaran di desa itu. Ya, Roh Kudus pun terus hadir. Hembusan Roh Kudus menembus kebekuan hati mereka yang awalnya tak peduli. Kobaran api cinta Roh Kudus terlukis dalam semangat warga desa itu untuk membangun rumah warga yang terbakar. Bahasa kasih terpancar dari dukungan warga jemaat bagi penduduk yang rumahnya terbakar. Ya, bahasa kasih itu dinyatakan kepada korban kebakaran yang adalah anggota jemaat mereka dan bahkan kepada korban kebakaran yang tidak seiman dengan mereka.

Selamat mendulang makna Pentakosta dari kisah ini!
Kobarkanlah Api Cinta, Hembuskanlah Angin Kedamaian, Suarakanlah Bahasa Cinta!

Yesie Irawan
ditulis untuk Buletin Mercusuar, GKI KP

Minggu, 03 Juni 2012

Berkaca pada Allah yang Merasa Tak Nyaman


            Peristiwa kenosis dalam inkarnasi Kristus adalah sebuah bukti bahwa Allah berani mengambil posisi yang tidak nyaman. Allah yang transenden (trans = melewati atau berada di seberang dan sedere= duduk) itu kini duduk bersama-sama dengan kita. Ia merasakan secara langsung pergumulan umat manusia yang memiliki keterbatasan. Peristiwa kesediaan Allah yang tak terbatas untuk menjadi yang terbatas adalah sebuah bentuk komitmen cinta kasihNya terhadap manusia. J. Moltmann mengatakan bahwa cinta kasih Allah ini adalah suatu bentuk divine-self-humilition. Allah adalah Allah yang memiliki kerendahan hati untuk meninggalkan zona nyaman-Nya untuk berelasi dengan manusia.
            Dalam kehidupan bergereja, peristiwa perjamuan kudus menjadi peristiwa yang sangat kunikmati. Pada saat perjamuan kudus, jemaat dari berbagai lapisan ekonomi, etnis dan usia (walaupun sayangnya anak-anak belum ikut serta!) yang berbeda dapat menikmati perjamuan Tuhan tanpa adanya pembedaan hak. Semua mendapat roti dan anggur dan mengenang karya Kristus. Semua umat diajak meninggalkan zona nyamannya yang dibentengi oleh kemapanan ekonomi dan kenyamanan rasial.
Setidaknya, kondisi gereja-gereja di Indonesia kini sudah tidak seperti kondisi gereja-gereja di Amerika pada zaman Martin Luther King yang sangat eksplisit mempertontonkan kemegahan segregasi dan diskriminasi etnis serta ekonomi.Namun, bukan berarti kita dapat berleha-leha. Jangan-jangan apa yang kita rasakan saat ini hanyalah sebuah fenomena gunung es. Jangan-jangan segregasi etnis dan ekonomi masih ada di dalam gereja kita, namun kesungkanan membuat kita enggan mengakuinya. Lepas dari benar atau tidaknya ketakutanku ini, mari kita menelisik bagaimana kondisi bergereja kita di mana pun kita berada, bahkan dari hal-hal yang terkecil dan samar sekalipun.
Teladan Kristus dalam peristiwa inkarnasi ini menjadi inspirasi bagiku (dan mungkin bagi pembaca), sekaligus menjadi pisau bedah untuk membedah dinamika kehidupan bergereja dan tentunya membedah diriku sendiri. Berkaca dari Kristus yang berani berinkarnasi dan meninggalkan zona nyaman-Nya, jika memang segregasi dan diskriminasi itu masih ada dalam kehidupan bergereja, umat pun harus diajak untuk melangkah menuju periferi kehidupan dan merasakan ketidaknyamanan. Bergaul dengan orang yang berbeda tentunya tidak nyaman karena kita harus meredam prasangka dan bahkan merasakan apa yang Jacques Derrida sebutkan sebagai hostility dalam keberanian untuk beramah-tamah dalam zona yang tak nyaman.
Tentunya, keberanian untuk berani mengajak umat meninggalkan zona nyaman ini menuntut keberanian di dalam diri sendiri untuk juga meninggalkan zona nyaman yang kita rasakan. Pada titik ini, kerendahan hati Allah untuk meninggalkan zona nyaman menjadi pisau bedah yang membuka selubung kesombongan dan keengganan yang ada dalam diri kita. Tentunya menyampaikan sesuatu yang bersifat profetik bukanlah hal yang mudah. Apalagi, mungkin yang harus kita hadapi adalah para pemegang tahta dan harta yang mungkin saja secara tidak langsung membuat kita merasa nyaman. Dengan meneladani Kristus, Johannes Hus, Martin Luther, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Junior, Oscar Romero dan sejumlah tokoh lainnya telah mendahului kita untuk menyampaikan suara profetik yang menggoyang para penikmat beragam zona zaman pada masa dan tempatnya masing-masing. Tentunya, perjalanan mereka tak mudah dan berat.
Kita pun akan merasa sangat berat untuk beranjak dari zona nyaman masing. Tentu saja, siapakah aku ini yang dapat sanggup meninggalkan zona nyamanku? Hanya Allahlah yang dapat terus menempa kita untuk melampaui zona nyaman yang ada. Hanya Allah yang memberikan keberanian untuk menyuarakan suara kenabian, entah dalam khotbah dan teguran. Jika pada suatu saat nanti dalam pengembaraan yang kita lalui, kita harus menjumpainya, kiranya Allah yang memberikan kita kerendahan hati dan keberanian untuk beranjak dari kenyamanan dan menyampaikan suara kenabian.