Jumat, 20 Juli 2012

Manusia Makhluk Sempurna?



Manusia adalah makhluk yang paling sempurna karena manusia memiliki akal budi.”

Kalimat pernyataan itu kudengar berulang kali saat aku mengenyam pendidikan di tingkat sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Pernyataan itu menggelitik diriku. Aku jadi bertanya-tanya. Jika manusia paling sempurna, mengapa manusia berdosa? Bukankah sesuatu dikatakan sempurna jika ia tidak bercacat cela. Bukankah sesuatu yang sempurna tidak memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa?
Ah, kalimat pertanyaan seperti itu muncul karena percikan-percikan pengaruh pemikiran di abad pencerahan yang terlalu menekankan pentingnya akal budi. “Corgito ergo sum!“ kata Descartes. Katakanlah dalam hipotesis awal refleksi ini, aku kurang setuju dengan para pemikir abad pencerahan yang terlalu menekankan pentingnya akal budi untuk menunjukkan eksistensi manusia. katakanlah, aku juga tidak setuju dengan pernyataan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna karena memiliki akal budi.
Manusia tidak sempurna? Apakah itu berarti aku menghina Sang Pencipta? Apakah ini berarti aku merendahkan karya Sang Pencipta?  Tidak, sekali-kali tidak. Aku hanya berteologi dari beberapa fragmen pengalaman hidupku saja. Tentunya, teologi operatif ini masih dapat disanggah jika memang tak relevan.
                Bagiku, Tuhan menciptakan manusia dengan amat baik namun tidak sempurna. Sempurna itu sudah pasti baik. Namun, baik belum tentu sempurna. Aku meminjam sejumput pemikiran Gerrit Singgih dalam penafsiran kisah Kejadian 1-3. Baginya, manusia tidaklah sempurna. Ia menafsirkan penciptaan manusia sebagai sesuatu yang amat baik dan bukan sempurna. Kata tob dalam bahasa Ibrani diterjemahkan sebagai kata baik dalam bahasa Indonesia.
Kesempurnaan mengandaikan sebuah sistem yang an sich tertutup. Sesuatu yang sudah sempurna tidak perlu disempurnakan lagi. Jika Allah menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna, itu berarti manusia tidak perlu mendapat pembaharuan karena penciptaan sudah mencapai puncaknya. Segala sesuatu akan menjadi stagnan dan tidak perlu ada yang diperbaharui.
Sebaliknya, pandangan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai ciptaan yang baik dan bukan sempurna memungkinkan kita untuk memahami bahwa penciptaan itu adalah suatu sistem yang terbuka sekaligus tertutup pada dirinya sendiri. Mengutip pendapat Juergen Moltmann, di satu sisi penciptaan adalah suatu sistem yang terbuka. Ia terbuka karena ia berada dalam sebuah proses perkembangan yang belum selesai, dari yang belum sempurna menuju kesempurnaan. Walaupun aku juga perlu mengakui bahwa dalam prosesnya sesuatu yang baik itu belum tentu berkembang menjadi lebih baik, kita tetap berpengharapan bahwa setelah fase destruksif itu pemulihan akan terus terjadi. Di sisi lain, penciptaan menjadi menjadi sistem yang tertutup dalam kerangka tujuan penciptaan itu sendiri, yakni menyingkapkan kemuliaan Allah pada saat penyempurnaan Kerajaan-Nya kelak.
                Penafsiran bahwa Allah menciptakan manusia itu baik adanya namun tidak sempurna, setidaknya membantuku untuk merefleksikan pengalamanku beberapa waktu lalu ketika aku berjumpa dengan seorang eksibionis[1]. Siapa yang menyangka berjumpa dengan seorang eksibionis di pagi buta?  Awalnya aku jijik dan muak ketika berjumpa dengan dia yang memamerkan penisnya yang sedang ereksi di hadapanku. Apa maksud Tuhan memberikanku kejutan dengan mempertontonkanku hal seperti itu saat aku hendak berangkat doa pagi? Aku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menulis refleksi atas pengalamanku ini. Eureka! Pemahaman di atas membantuku untuk merefleksikannya.
Seorang eksibionis itu juga dilahirkan ke dunia dengan baik adanya. Namun, ada hal-hal yang membuatnya menjadi “tak baik”. Meminjam pemikiran psikolog, ada beberapa faktor psikologis yang mendorong seseorang untuk menjadi seorang eksibionis. Orang yang pada masa kecilnya terlalu ditekan akan mengalami hal ini. Tidak hanya itu, orang yang depresi dalam mengarungi bahtera rumah tangganya pun dimungkinkan untuk menjadi seorang eksibionis.        Aku mencoba memahami bahwa orang ini pun pada dasarnya baik. Hanya saja, dalam proses perkembangannya sebagai seorang manusia ia mungkin banyak mengalami distraksi sehingga ia menjadi seperti yang sekarang.
Aku masih berpengharapan bahwa satu saat nanti dia menjadi seseorang yang kembali menjadi baik. Tentunya, pengharapan ini bercorak prolepsis. Kita bergerak maju dan Kerajaan Allah itu bergerak mendekat. Kita bergerak maju untuk menjadi mitra Allah dalam menghadirkan apa yang akan terjadi di masa depan. Apa yang dapat kita (baca: gereja) lakukan? Menurutku, gereja harus peka terhadap permasalahan-permasalahan yang menjalar dalam tataran masyarakat (termasuk persoalan sang penderita eksibionis ini) dan jangan berdiam diri. Tokh Allah juga mengundang kita- manusia yang pada dasarnya baik namun tidak sempurna ini- untuk berproses di dalam Allah menuju ke arah kesempurnaan itu. Hmmmh, andai saja Tuhan memberikanku kesempatan kedua untuk berjumpa dengan seorang eksibionis itu, maka aku akan..... J

 YIL,Temanggung, 21 Juli 12


[1] Eksibionis memiliki akar kata yang mirip dengan exhibition, yang artinya pameran. Eksibionis adalah orang-orang yang memiliki dorongan fantasi seksual untuk memamerkan alat genitalnya (lelaki biasanya memamerkan penis, sementara perempuan biasanya memamerkan bokong, payudara dan alat vitalnya) kepada orang lain (lihat http://psikologiabnormal.wikispaces.com/Eksibisionis).  

Rabu, 11 Juli 2012

Jembatan antara 2X3 dan 20X30


Dua kali empat! Ukuran rumahnya hanya 2X3. Rumahnya beralaskan tanah dan beratapkan atap oranye yang tentunya dapat ditembus air cucuran hujan. Lemari rusak, barang-barang rongsok dan botol plastik bekas yang dikumpulkan untuk dijual, memenuhi ruangan berukuran 2X3 itu. Hanya ada tiga buah kursi plastik untuk duduk. Ya, itu adalah rumah milik seorang perempuan tua yang kusebut dengan sebutan “Ema” (ema adalah panggilan orang Hokkian terhadap nenek). Ema sudah terlalu banyak merasakan pahit getirnya hidup.
            Dia sudah berkali-kali merasakan kehilangan. Dalam rentang umurnya yang sudah tiga per empat abad, sudah terlalu sering ia mencucurkan air mata. Ia hanya pedagang kios kecil-kecilan. Semesta pun menunjukkan sengatnya ketika raja setan mencekik lehernya seraya merampas uangnya yang sedikit itu dengan cara yang kejam. Batinnya perih. Belum lama perasaan kehilangan itu sembuh, saat ibunya baru berpulang ke pangkuan Bapa setahun lalu. Kini, air mata itu harus tumpah kembali saat ia harus kehilangan seorang anaknya yang menemaninya sejak sekitar 40 tahun yang lalu. Sungguh berat rasanya kehilangan orang yang melahirkan kita ditambah lagi kehilangan orang yang kita lahirkan.
            Aku tak bisa berucap apapun selama 10 menit pertama ketika memasuki rumahnya. Aku membayangkan, bagaimana ia bisa hidup sebatang kara, tanpa penghasilan. Pernah ia diajak untuk pergi dari kota ini untuk tinggal bersama dengan keluarganya di kota lain. Namun ia menolak. Ia menolak karena cintanya pada Tuhan dan gerejanya.
Perjumpaan dengannya membuatku berpikir ulang tentang peran gereja sebagai jembatan. Jembatan berfungsi untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain yang terpisah oleh jurang dan sungai. Gereja (dalam konteks ini izinkanlah saya mempersempit terminologi gereja sebagai orang-orang yang terlibat menjadi pegiat gerejawi) sebagai jembatan juga berfungsi untuk menghubungkan pergumulan penghuni rumah ukuran 2X3 dengan kerinduan penghuni rumah ukuran 20X30 meter..
Di dalam rumah ukuran 2X3 itu tinggal Ema, seorang anak Tuhan yang sungguh setia. Ia sedang bergumul dalam kesedihannya. Sementara itu, dalam rumah ukuran  20X30 ada anak-anak Tuhan yang mendapatkan berkat lebih. Mereka dianugerahkan materi yang tidak dimiliki Ema, anak Tuhan yang tinggal dalam rumah beralaskan tanah dan beratapkan genting bocor. 
Memiliki harta dan kekayaan tentu tidaklah salah. Penghuni 20X30 mungkin juga memiliki kerinduan untuk mengulurkan tangan kepada penghuni 2X3. Mungkin mereka hanya kurang tahu bagaimana menyalurkannya. Menurutku, di sinilah peran gereja sebagai jembatan. Ya, gereja adalah jembatan. Gereja bukanlah toko emas yang hanya memamerkan deretan emas-emas mahal yang tak terjangkau oleh pembeli. Gereja bukanlah tempat penimbunan harta kekayaan yang tolok ukur keberhasilannya diukur dari berapa banyak aset, emas dan tanah yang bisa dikumpulkan dalam rentang periode tertentu.
Dengan meminjam serta mengembangkan doa Franciscus dari Asisi, "Kiranya Allah mengaruniakan kepada kita air mata untuk berbela rasa kepada mereka yang menderita sehingga kita dapat menjadi jembatan." Ya, kiranya Allah memberikan kita hati yang tak tentram sehingga kita mau menjadi jembatan dalam memikirkan dan mengaplikasikan cara-cara untuk menghubungkan kerinduan penghuni 20X40 dengan pergumulan penghuni 2X3. Selamat berdiakonia!

12 Juli 2012
YIL