Jumat, 06 April 2012

24 Jam Setiap Hari


 
                Pada malam itu sekitar pukul 02.00 dini hari, saya ditelepon oleh seorang teman. Saya terkejut menerima teleponnya pada larut malam ini. Dia meminta saya untuk datang ke tempat kosannya. Dalam dinginnya malam, saya segera berangkat ke tempat kosnya yang berjarak hanya sekitar 20 meter dari tempat kos saya. Saat saya tiba di sana, teman saya sedang merintih kesakitan. Dia meminta tolong kepada saya untuk membelikan obat di apotek. Saya segera pergi bersama dengan seorang teman yang lain untuk mencari obatnya di apotek yang buka selama 24 jam setiap hari.
                Di pagi buta itu, saya pergi ke apotek terdekat, namun ternyata obat yang dicari tidak ada. Lalu, saya menuju apotek lain yang jaraknya lebih jauh. Ah, mengesalkan sekali! Namanya apotek 24 jam, namun faktanya apotek itu tutup. Jika apotek itu tidak buka 24 jam setiap harinya, mengapa harus memasang papan “buka 24 jam”? Saya pergi mencari apotek lainnya. Wah syukurlah, ada apotek yang buka. Lampunya menyala. Saya mencoba memanggil-manggil apoteker yang seharusnya berjaga. Namun, yang saya dapatkan hanya keheningan. Tidak ada respons dari apoteker yang menjaga. Saya mengintip dari sela-sela loket jaga itu. Ternyata, apoteker itu sedang tertidur dengan lelapnya.
                Pengalaman ini membuat saya menyadari bahwa tidak semua manusia dapat mengabdi dengan optimal. Padahal, ada saat-saat tertentu ketika kita sangat membutuhkan pertolongan darurat. Mengabdi dengan optimal untuk menolong orang lain menuntut sebuah pengorbanan. Dalam kasus yang saya hadapi, mengabdi dengan optimal berarti harus siap sedia tidak tidur semalaman untuk melayani orang yang membutuhkan obat. Ada harga yang harus dibayar untuk sebuah pengabdian dalam pelayanan.
Manusia memang seringkali lalai untuk mengabdi. Pengabdian manusia adalah pengabdian yang bersyarat.  Namun, kali ini marilah kita merenungkan pengabdian Tuhan Yesus. Ia mengabdi pada Bapa-Nya untuk mengangkat kita dari lumpur dosa. Pengabdian-Nya menuntut pengurbanan diri-Nya di kayu salib. Mari menelusuri jejak-jejak pengabdian-Nya yang penuh!

Pengabdian 24 Jam: Ia Rela Menyangkal diri
Siapa yang ingin mati muda? Siapa yang ingin mati pada saat berada di puncak karier? Tidak ada seorang pun yang ingin mengalaminya, termasuk Tuhan Yesus. Pergumulan Yesus untuk menyangkal diri-Nya tampak jelas ketika Ia bergumul di taman Getsemani. Pada saat itu dengan sangat lugas Ia menggambarkan perasaan-Nya. Tuhan Yesus merasakan kepedihan dan kesedihan yang sangat dalam. Ia merasakan kegentaran hingga Ia merasa seperti mau mati rasanya.
Dalam titik kerapuhan-Nya, Ia yang turun dari sorga itu harus menjadi manusia dan merasakan penderitaan yang luar biasa: mati disalib simbol kehinaan dan penderitaan. Dalam hati kecil-Nya, Ia tidak mau menderita. Ia bergumul dan berdoa kepada Bapa-Nya. Pernyataan “Ya Bapa-Ku jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki. (Mat 26:39 bandingkan dengan Mark. 14:36 dan Luk. 22:42)” merupakan sebuah pernyataan yang sangat sukar untuk diucapkan apalagi dilakukan.
Jika kita mengingat doa-doa kita, berapa sering kita mengatakan, “Ya Bapa biarlah kehendak-Mu yang terjadi.” Saya merasa bahwa doa ini sangat sulit diucapkan, apalagi ketika kita berada dalam kerapuhan dan pergumulan hidup. Dalam masa-masa kritis, kita senantiasa berharap biarlah kehendak kita yang jadi, bukan kehendak Tuhan yang jadi. Kita marah saat kehendak Tuhan tidak sama dengan kehendak kita. Ah, jangankan dalam titik rapuh kehidupan, dalam kondisi kehidupan normal pun kita sangat sulit untuk menyangkal diri. Bukankah yang kita pentingkan hanyalah kepentingan pribadi kita saja? Kita cenderung bersikap seperti apoteker yang lebih memilih tidur daripada menjaga apotek di kala pagi buta. Lebih nyaman bila kita mementingkan diri sendiri. Lebih nyaman bila tidak usah mempedulikan pergumulan orang lain. Namun, di manakah letak pengabdian kita kepada Bapa?
                  Inilah perbedaan mendasar antara Tuhan Yesus dengan kita sebagai manusia yang berdosa. Tuhan Yesus memiliki ketaatan penuh kepada Bapa-Nya. Pengabdian-Nya dibuktikan dengan kesiapannya untuk menyediakan waktu-Nya selama 24 jam setiap harinya untuk mematuhi kehendak Bapa-Nya. Ia memberikan seluruh waktu dan diri-Nya untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia ini, walau Ia tahu bahwa Ia harus menapaki via dolorosa, jalan penuh penderitaan. Kasih-Nya kepada manusia dan kesetiaan-Nya kepada Bapa membuat Ia rela untuk menyangkal diri-Nya. Pengabdian-Nya adalah pengabdian yang penuh. Ia mengabdi 24 jam non-stop setiap hari dalam hidup-Nya!
               
Pengabdian 24 jam: Ia rela memikul salib
Kosuke Koyama, seorang teolog Jepang mengatakan bahwa tidak ada gagang pada salib. Hal ini berarti, salib itu harus dipikul. Salib tidak bisa dijinjing atau disorong seperti koper yang memiliki gagang. Memikul salib bukanlah hal yang mudah. Mengapa? Salib terbuat dari kayu yang kasar dan berat. Tuhan Yesus telah merasakan lebih dulu sulit dan beratnya memikul salib. Ia merasakan perihnya luka karena tergores kayu salib yang kasar itu ketika Ia harus memikulnya ke bukit Golgota. Ia pun harus merasakan sakitnya tertindih kayu salib saat Ia jatuh.
Sebenarnya, tidak sulit bagi Tuhan Yesus untuk mengangkat salib itu dengan kuasa Illahi yang ada pada-Nya. Namun, Ia tidak melakukannya. Pengabdian Yesus tampak jelas ketika Ia berjalan memikul salib dengan kerapuhan sebagai manusia biasa. Penyangkalan diri yang dilakukan-Nya disertai dengan bukti yang nyata lewat tindakkan memikul salib.
Peristiwa salib menunjukkan kepada kita sebuah bukti konkret bahwa keselamatan yang kita peroleh adalah anugerah Allah. Anugerah Allah ini merupakan sebuah pengorbanan besar dari Allah untuk manusia. Sang Bapa merasa pedih ketika melihat anak-Nya harus menderita dan disalibkan. Sang Anak pun merasakan kesakitan yang dahsyat karena  Ia harus menyangkal diri, memikul salib hingga mati di kayu salib. Namun, semuanya ini dilakukan Allah karena kasih-Nya kepada kita semua. Pengabdian Kristus dalam memikul salib merupakan sebuah bukti konkret bahwa Allah sungguh-sungguh mengasihi kita semua.

Pengabdian: Suatu Respons Iman
                Keselamatan yang kita terima bukanlah hasil usaha kita. Keselamatan yang kita terima adalah anugerah dari Allah melalui pengabdian Kristus. Kristus telah menyangkal diri-Nya. Dalam pengabdian penuh, Ia juga telah memikul salib dan mati untuk kita semua. Anugerah Allah ini patut kita syukuri melalui respons iman kita kepada Allah. Apa yang harus kita lakukan sebagai respons iman kita? Jawabannya hanya satu: mengabdi kepada Allah, seperti Kristus mengabdi kepada Bapa-Nya. Pengabdian ini diwujudkan dengan dua hal utama yakni menyangkal diri dan memikul salib. Bagaimana cara konkret agar kita dapat menyangkal diri dan memikul salib dalam kehidupan sehari-hari?
Di lingkungan keluarga, kita mungkin terbiasa untuk memaksakan kehendak kita kepada anggota keluarga yang lain. Kita lebih banyak berbicara daripada mendengarkan. Ketika kita memiliki kesadaran untuk menyangkal diri, kita akan mencoba untuk menahan ego kita dan berusaha untuk mendengarkan.
Dalam interaksi kita bersama alam, sudah saatnya kita menyangkal diri kita dengan cara mengurangi konsumsi benda-benda plastik kemasan yang sekali pakai. Penggunaan barang-barang itu memang praktis dan menina bobokan kita dengan kenyamanan. Namun, Tuhan menangis dan alam juga menjerit ketika kita tidak mau menyangkal diri untuk tidak menggunakan barang-barang itu.
Di lingkungan pekerjaan misalnya, jika kita terbiasa menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisi kita dalam meraih prestasi atau keuntungan, kini sudah saatnya kita menyangkal diri dan menggunakan cara-cara yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Memang tidak mudah untuk melakukannya, apalagi dalam dunia pekerjaan yang menghalalkan segala cara. Orang yang jujur justru dipergunjingkan dan bahkan dikucilkan. Ya, itulah salib yang harus kita pikul sebagai respons iman kita. Hal ini sulit untuk dilakukan. Namun, Tuhan pasti akan memberikan kekuatan bagi kita untuk menanggung salib itu. Tuhan Yesus berkata, “Setiap orang yang mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku!” Selamat menjadi pengikut Kristus yang mengabdi selama 24 jam setiap harinya!

By: Yesie I. L.