Søren Kierkegaard, seorang teolog abad ke-19 dari Denmark, pernah membuat
sebuah metafora tentang ibadah. Ia berkata bahwa ibadah ibarat sebuah
pertunjukkan drama. Manusia (baca: setiap anggota jemaat) adalah lakon dalam
pertunjukkan itu. Pengkhotbah menjadi semacam pembisik kepada para pendengarnya
untuk memerankan lakon. Para petugas dalam ibadah menjadi sutradara dalam drama
itu. Sementara itu, Allah adalah penonton dari pertunjukkan itu. Allah menjadi
pihak yang mengevaluasi drama tersebut. Oleh karena itu, “pertunjukkan” itu
harus disiapkan sebaik-baiknya agar Sang Penonton Agung dapat menikmatinya.
Konsep berpikir ini agaknya diadopsi oleh ahli liturgi di Indonesia.
Setidaknya, aku pernah mendengar pandangan Kierkegaard ini dikutip dalam
sebuah pembinaan tentang liturgi GKI yang kuikuti dalam proses Belajar Bersama
II.
Aku sendiri kurang setuju dengan konsep berpikir ini. Namun
sebelumnya, aku mengakui bahwa pemikiran ini masih prematur dan memang perlu
kajian yang lebih mendalam. Anggaplah tulisan ini dibuat sebagai percikan
refleksi yang perlu dituangkan agar tidak lenyap ditelan kesibukan dan faktor
“pelupaan” yang terjadi karena keterbatasan otakku yang secara tak sengaja
(atau sengaja!) menyeleksi mana memori yang harus disimpan dan tidak.
Ada dua hal yang menjadi dasar refleksiku atas ketidak-setujuanku
atas konsep ini. Pertama, dalam konsep Kierkegaard ini, Allah ditempatkan seperti sebuah komentator pasif,
yang tugasNya hanya memberikan komentar paska drama usai. Pada saat
pertunjukkan itu, Allah tampak tidak berperan apa-apa. Padahal, sejatinya Allah
memiliki peranan yang sangat penting dalam ibadah. John Thompson, dalam Modern Trinitarian Prespective, meminjam
laporan dari B.C.C Study Commision on
Trinitarian Doctrine Today. Ia mengatakan bahwa liturgi jangan dipandang
semata-mata hanya terjadi sebagai hasil kerja kita, melainkan harus dipandang
sebagai sebuah anugerah dari Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dengan demikian,
ibadah bukanlah sebuah tugas berat yang ditetapkan Allah bagi kita. Dalam
ibadah peranan Allah sangat nyata. Tanpa Allah, ibadah tidak akan terjadi
(bandingkan formulasi votum).
Kedua, menurutku pola Allah sebagai penonton yang mengevaluasi
dapat menumbuhkan sisi negatif dalam diri manusia. Alih-alih dirinya ingin
mendapatkan pujian dari Allah karena liturgi yang baik, maka pola beragama
manusia hanya terkungkung dalam pola reward
and punishment[1].
Umat dituntut menyajikan yang terbaik agar mendapatkan “tepuk tangan” dari
Allah. Seolah-olah, kita berkata betapa absurdnya ibadah ini jika kita tak
mendapat tepuk tangan dari Tuhan. Ah, menyedihkan sekali saat ibadah dilakukan
hanya karena reward and punishment, bukan
karena mencintai Tuhan!
Dalam pola reward
and punishment, ibadah dapat menjadi kering dan kaku. Jemaat dapat
kehilangan gairah dan semangat dalam ibadah. Ekstatis kegembiraan yang luar
biasa dalam ibadah, seperti yang diungkapkan Paul Tillich, dapat menjadi lenyap
sirna. Yang terjadi adalah formalisme yang kaku. Pemberhalaan dan transendensi
atas ibadah yang palsu pun muncul. Ibadah dengan pola A dipandang lebih hidup,
khusyuk dan agung dibandingkan dengan ibadah pola B. Pemberhalaan ini pada
akhirnya hanya akan menggiring jemaat pada keputusasaan yang tak berujung.
Menurut saya, kita sebaiknya mengganti pola reward and punishment dalam ibadah ini
dengan pola to love. Kita mengasihi
Allah Tritunggal yang telah mengosongkan diri-Nya untuk memberi ruang pada kita
yang sangat dikasihi-Nya. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita mengasihi-Nya.
Dalam ibadah, kita bersama-sama “menari” dengan Allah Tritunggal dalam tarian
cinta kasih-Nya. Kiranya dijumpailah ibadah yang hidup, yang tidak dikekang
oleh roh kekakuan dan formalisme karena Allah bukanlah penonton. Ia “menari”
bersama-sama degan kita.
YIL, Temanggung, 24 Agustus 2012.
[1] Untuk mendalami lebih
jauh tema reward and punishment, kita
dapat membaca teori F.B Skinner dalam kajian ilmu jiwa.