Jumat, 24 Agustus 2012

ALLAH BUKAN PENONTON!


Søren Kierkegaard, seorang teolog abad ke-19 dari Denmark, pernah membuat sebuah metafora tentang ibadah. Ia berkata bahwa ibadah ibarat sebuah pertunjukkan drama. Manusia (baca: setiap anggota jemaat) adalah lakon dalam pertunjukkan itu. Pengkhotbah menjadi semacam pembisik kepada para pendengarnya untuk memerankan lakon. Para petugas dalam ibadah menjadi sutradara dalam drama itu. Sementara itu, Allah adalah penonton dari pertunjukkan itu. Allah menjadi pihak yang mengevaluasi drama tersebut. Oleh karena itu, “pertunjukkan” itu harus disiapkan sebaik-baiknya agar Sang Penonton Agung dapat menikmatinya. Konsep berpikir ini agaknya diadopsi oleh ahli liturgi di Indonesia. Setidaknya, aku pernah mendengar pandangan Kierkegaard ini dikutip dalam sebuah pembinaan tentang liturgi GKI yang kuikuti dalam proses Belajar Bersama II.
Aku sendiri kurang setuju dengan konsep berpikir ini. Namun sebelumnya, aku mengakui bahwa pemikiran ini masih prematur dan memang perlu kajian yang lebih mendalam. Anggaplah tulisan ini dibuat sebagai percikan refleksi yang perlu dituangkan agar tidak lenyap ditelan kesibukan dan faktor “pelupaan” yang terjadi karena keterbatasan otakku yang secara tak sengaja (atau sengaja!) menyeleksi mana memori yang harus disimpan dan tidak.
Ada dua hal yang menjadi dasar refleksiku atas ketidak-setujuanku atas konsep ini. Pertama, dalam konsep Kierkegaard ini, Allah ditempatkan seperti sebuah komentator pasif, yang tugasNya hanya memberikan komentar paska drama usai. Pada saat pertunjukkan itu, Allah tampak tidak berperan apa-apa. Padahal, sejatinya Allah memiliki peranan yang sangat penting dalam ibadah. John Thompson, dalam Modern Trinitarian Prespective, meminjam laporan dari B.C.C Study Commision on Trinitarian Doctrine Today. Ia mengatakan bahwa liturgi jangan dipandang semata-mata hanya terjadi sebagai hasil kerja kita, melainkan harus dipandang sebagai sebuah anugerah dari Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dengan demikian, ibadah bukanlah sebuah tugas berat yang ditetapkan Allah bagi kita. Dalam ibadah peranan Allah sangat nyata. Tanpa Allah, ibadah tidak akan terjadi (bandingkan formulasi votum).
Kedua, menurutku pola Allah sebagai penonton yang mengevaluasi dapat menumbuhkan sisi negatif dalam diri manusia. Alih-alih dirinya ingin mendapatkan pujian dari Allah karena liturgi yang baik, maka pola beragama manusia hanya terkungkung dalam pola reward and punishment[1]. Umat dituntut menyajikan yang terbaik agar mendapatkan “tepuk tangan” dari Allah. Seolah-olah, kita berkata betapa absurdnya ibadah ini jika kita tak mendapat tepuk tangan dari Tuhan. Ah, menyedihkan sekali saat ibadah dilakukan hanya karena reward and punishment, bukan karena mencintai Tuhan!
Dalam pola reward and punishment, ibadah dapat menjadi kering dan kaku. Jemaat dapat kehilangan gairah dan semangat dalam ibadah. Ekstatis kegembiraan yang luar biasa dalam ibadah, seperti yang diungkapkan Paul Tillich, dapat menjadi lenyap sirna. Yang terjadi adalah formalisme yang kaku. Pemberhalaan dan transendensi atas ibadah yang palsu pun muncul. Ibadah dengan pola A dipandang lebih hidup, khusyuk dan agung dibandingkan dengan ibadah pola B. Pemberhalaan ini pada akhirnya hanya akan menggiring jemaat pada keputusasaan yang tak berujung.
Menurut saya, kita sebaiknya mengganti pola reward and punishment dalam ibadah ini dengan pola to love. Kita mengasihi Allah Tritunggal yang telah mengosongkan diri-Nya untuk memberi ruang pada kita yang sangat dikasihi-Nya. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita mengasihi-Nya. Dalam ibadah, kita bersama-sama “menari” dengan Allah Tritunggal dalam tarian cinta kasih-Nya. Kiranya dijumpailah ibadah yang hidup, yang tidak dikekang oleh roh kekakuan dan formalisme karena Allah bukanlah penonton. Ia “menari” bersama-sama degan kita.

YIL, Temanggung, 24 Agustus 2012.


[1] Untuk mendalami lebih jauh tema reward and punishment, kita dapat membaca teori F.B Skinner dalam kajian ilmu jiwa.

Rabu, 22 Agustus 2012

Virus Pengkhotbah ala Klinik Tong Fang


 Sudah 3 tahun saya terkena kencing manis.
Setelah saya berobat ke Klinik Tong Fang, kencing saya menjadi asin!
Terima kasih Klinik Tong Fang.”
(disadur dari www.sidomi.com)

Kita mungkin tertawa saat membaca iklan di atas. Iklan di atas mungkin sudah tak asing bagi kita. Iklan di atas adalah sebuah plesetan dari iklan Klinik Tong Fang di Jakarta. Plesetan ini muncul dan mewabah karena iklan Klinik Tong Fang dianggap berlebihan. Fenomena plesetan iklan ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah tidak lagi percaya pada para penipu iklan. Saya menduga, para pekerja dan pembuat iklan di klinik Tong Fang pun belum pernah merasakan khasiat penyembuhan dari Klinik Tong Fang. Ya, tong kosong nyaring bunyinya. Mereka mengiklankan sesuatu yang tidak mereka buktikan sendiri.
Virus iklan Klinik Tong Fang dapat menghampiri kehidupan siapa saja. Tatkala kita mengucapkan sesuatu yang tidak dapat kita lakukan, kita harus waspada karena kita bisa saja sedang terjangkit virus itu. Menurutku, yang paling rentan terjangkit virus itu adalah para motivator dan para pengkhotbah. Motivator dan pengkhotbah dapat mengeluarkan sejuta kata hingga berbusa, namun belum tentu mereka dapat melakukannya. Mereka berselancar dengan lidah tanpa tulang, ibarat seorang komentator bola yang dengan pedasnya memberi komentar namun sesungguhnya ia tidak dapat bermain bola.
Aku sendiri merasa terjangkit virus ini. Pernah suatu ketika, aku merasa berat untuk berkhotbah tentang pengendalian diri. Untuk menulis khotbah saja aku enggan. Kusadari bahwa diriku pun masih sulit untuk mengendalikan diri terhadap kecanduan yang kualami. Ya, kecanduan bermain games. Aku pernah menghabiskan waktu hampir seharian hanya untuk bermain games di notebook. Padahal waktu itu dapat kuisi dengan hal yang lebih berguna. Tapi aku masih saja melakukannya. Ah, sungguh benar apa yang diungkapkan Martin Luther! Simmul peccator et iustus!
Walaupun kita mungkin bukan pengkhotbah atau motivator, kita berkemungkinan untuk terjangkit virus ini. Misalnya, sebagai orang tua, kita mengajarkan kedisiplinan pada anak, tapi kita sendiri tidak berdisiplin dalam berlalu lintas. Sebagai sahabat, kita dapat memberikan nasihat pada sahabat yang putus cinta. Akan tetapi, nasihat itu tidak dapat kita lakukan saat kita sendiri yang putus cinta. Kita berteriak-teriak mengumandangkan keadilan dan anti korups namun kita sendiri tidak adil dan gemar korupsi. Ah, Tong Fang banget sich!
Hmmmh, semoga kita semua mulai waspada akan virus pengkhotbah ala Tong Fang. Menyadari bahwa kita masih terjerat virus pengkhotbah ala klinik Tong Fang adalah sesuatu yang baik. Itu berarti kita masih memiliki rasa malu pada Tuhan yang Maha Tahu. Namun, terjerat dalam rasa tak layak yang berlarut-larut karena terjangkit virus ini juga tidaklah sehat. Aku menyadarinya setelah menerima pesan dari seorang sahabat yang kukenal pada saat Bina Kader. Siang ini, ia mengirimkan sebuah pesan yang sangat berarti bagiku. Ia mengutip tulisan John of the Climacus. “If some are still dominated by their former bad habits, and yet can teach by mere words, let them teach... For perhaps, being put to shame by their own words, they will eventually begin to practice what they teach.”

Aku tak mungkin lepas dari virus pengkhotbah ala Klinik Tong Fang jika aku tidak berpaut pada Allah. Ya, Allah bebaskanlah aku dari perangkap rasa malu yang berlarut-larut yang membuatku menjauh dariMu. Namun, tambahkan rasa malu yang sehat dalam diriku agar aku terus belajar melakukan apa yang aku katakan atau khotbahkan.

YIL, Temanggung 22 Agustus 2012

Kamis, 16 Agustus 2012

Pemakaman Pertama: Memakamkan Seorang Penerjemah Kasih Allah

            Aku terkejut, ketika aku dan temanku mendapat telepon dari gereja. Ah ternyata, ada seorang anggota jemaat yang meninggal. Beritanya simpang siur, ada yang berkata bahwa yang meninggal adalah seorang perempuan tua yang sudah sakit-sakitan. Lalu, ada yang berkata bahwa yang meninggal adalah anak laki-laki dari perempuan itu.
Di tengah kesimpang siuran itu, jantungku berdebar kencang. Perasaanku berkata bahwa aku harus memakamkannya karena pendeta jemaat di tempatku praktek sedang tidak ada di tempat. Perasaan tegang tidak karuan itu langsung surut dan berganti menjadi perasaan sedih, setelah aku mengetahui dengan pasti siapa yang meninggal.
Dia yang meninggal dan harus kumakamkan adalah laki-laki yang sangat menarik perhatianku, sejak aku pertama kali datang ke jemaat ini. Laki-laki itu sering datang terlambat ke gereja. Pakaiannya tidak mewah, bahkan kadang lusuh. Namun, kepada orang inilah aku kagum. Dalam dirinya kutemukan nilai kegigihan, rasa syukur dan kecintaan yang tulus pada Tuhan.
            Laki-laki ini sering terlambat karena dia tidak memiliki kaki yang mudah diayunkan untuk melangkah, seperti kakiku. Badannya bongkok, karena tulangnya yang menonjol. Dia harus berjalan mundur sambil bertumpu pada kedua tongkatnya untuk naik ke gedung gereja. Sesuatu yang sering kita sebut sebagai “keterbatasan” dalam dirinya, tidak membuatnya merasa dibatasi. Tak ada yang dapat membatasi kecintaannya kepada Tuhan, bahkan kondisinya yang buruk pun tidak.
Ia berbeda dengan sebagian besar penduduk bumi yang lebih suka menengadahkan tangannya untuk meminta belas kasihan orang. Ia bukanlah peminta-minta. Sekitar 20 meter dari rumah kosnya yah hanya sepetak, ia membuka kios rokok kecil-kecilan. Usahanya ini pasang surut. Ada banyak orang yang berbelas kasih. Mereka merelakan uang kembaliannya untuk dinikmati oleh laki-laki yang berusia empat puluh lima tahun ini. Namun, ada juga orang-orang yang jahat. Berkali-kali kiosnya dirampok. Oh, manusia memang kejam dan tidak ada bedanya dengan predator.
Walaupun menurut kacamata kita, hidupnya penuh penderitaan, dia begitu menikmati hidupnya dengan penuh ucapan syukur. Dalam peribahasa Jawa, dirinya nampi lakon ingkang prihatin (menerima kenyataan hidup yang berlumuran kesulitan). Ungkapan doa Reinhold Niebuhr, “God grant me the serenity to accept the things I cannot change; courage to change the things I can and wisdom to know the difference.” telah nyata jelas dilakoni olehnya. Penerimaannya akan kenyataan dirinya membuat laki-laki yang tampak lebih tua dari orang-orang sebayanya ini dapat menjalani kehidupannya dengan penuh ungkapan syukur.
Oey Liong Tjoan, engkau meninggal dengan terhormat. Engkau begitu dikasihi oleh orang banyak. Bahkan, dalam kematianmu, batas segregasi agama dan rasial pun menjadi luntur. Engkau dapat dimakamkan di tengah-tengah kuburan orang Muslim dan pribumi[1]. Ketionghoaan dan kekristenanmu tidak menjadi penghalang bagi orang lain untuk mengasihimu.
Mengapa?  Dengan mengutip apa yang disampaikan oleh Eka Darmaputera, aku menyatakan bahwa engkau benar-benar menjadi penerjemah berita Injil di dunia ini. Engkau menunjukkan nilai kegigihan, di tengah dunia yang pragmatis dan serba instan. Engkau menjalani hidup dengan penuh syukur, di tengah dunia yang rakus dan konsumtif. Engkau membaktikan hidupmu untuk mencintai Tuhan, di tengah dunia yang menggeser Allah dengan Mamon. Engkau mencintai sesamamu, di tengah dunia yang penuh pengkotak-kotakkan.
Ibadah pemakamanmu menjadi kenangan yang sangat berharga bagiku. Bukan semata-mata karena ini adalah pemakaman pertama yang kulayani, melainkan karena aku memakamkan orang yang sangat istimewa di hadapan Tuhan. Aku memakamkan Oey Liong Tjoan, sang penerjemah berita Injil. Engkau membuatku benar-benar mengerti akan berita Injil. Melaluimu, aku diingatkan untuk terus menerjemahkan berita Injil di dalam hidupku.

YIL, Temanggung, 16 Agustus 2012



[1] Dalam konteks ini, kuburan orang Kristen biasanya dipisahkan dengan kuburan orang Muslim. Kuburan orang Tionghoa biasanya dipisahkan dengan kuburan orang pribumi. Pemisahan ini merupakan warisan pemerintah kolonial. Sebenarnya, di balik hal-hal yang sudah kita anggap biasa ini, terkandung sebuah segregasi rasial dan agama yang dilahirkan pemerintah Belanda melalui politik devide et impera. Sungguh menyedihkan! Segregasi etnis dan agama tidak hanya terjadi pada saat manusia Indonesia hidup. Sampai matipun, segregasi itu tetap terjadi dan diteruskan sampai generasi ini. Masih layakkah orang Indonesia disebut bangsa yang merdeka karena masih mempertahankan warisan bangkai ala kolonial?

Senin, 13 Agustus 2012

S-E-N-D-I-R-I


Dalam semarak gempita pancaran kegembiraan serta kesibukan yang melilit mengitari diri, aku memilih untuk menepi pada titik sendiri. Ya, hanya untuk sesaat saja, tidak lama. Aku hendak pergi meninggalkan semarak dan kesenangan-kesenangan itu. Kulakukan ini, bukan karena aku adalah seorang masokis! Pusaran sepi dan keheningan menuntun jiwa ini untuk memeriksa hamparan alasan keberadaan diri. Kunikmati sepi. Tiada bising kendaraan. Tiada bising orang bernyanyi. Tiada bising orang berdebat. Tiada bising senda gurau. Tiada tangisan. Dalam ketiadaan itu, aku membuka hamparan keberadaan diri. Kutemukan kegelisahan. Kutemukan kejenuhan. Kutemukan kecurangan. Kutemukan ambisi. Kutemukan kesombongan. Kutemukan dendam. Kutemukan kebahagiaan semu akan cinta dan harapan palsu. Aku tertunduk malu. Penyesalan menjadi kata kunci dalam ruang batinku. Aku telah merebut tahta milik Dia yang harusnya menjadi sentral hidupku. Ampuni aku ya Khalik, aku sungguh tak layak. Tariklah aku dalam lumpur penyesalan. Rengkuhlah aku dalam rahimMu.   
Dalam pusaran keheningan, 13 Agustus 12