Jumat, 28 September 2012

Memperlebar Kerajaan Allah?



 “Kiranya persembahan ini.....
.... dapat digunakan untuk memperlebar Kerajaan-Mu....
...Amin.”
Pernah mendengar doa semacam ini? Saya sering mendengar doa semacam ini diucapkan pada saat doa persembahan. Dengan malu-malu, perlu saya akui bahwa saya dulu juga mengucapkan doa semacam itu.
Oleh karena itu, pertama-tama tulisan ini ditulis sebagai sebuah seni menertawakan diri sendiri, seraya mengingat apa yang dilakukan oleh Alm. Gus Dur yang senantiasa mengasah kemampuannya untuk menertawakan dirinya sendiri. Dengan menertawakan diri sendiri kita akan menjadi lebih bijak dalam melangkah ke depan. Tanpa kemampuan menertawakan diri sendiri, kita akan terpenjara dalam kesombongan diri sehingga tidak akan ada kemajuan yang dicapai.
Kedua, tulisan ini ditulis sebagai sebuah catatan kritis atas percikan “teologi popular”[1] yang berkembang di ranah jemaat. Perlu diakui bahwa teologi popular tidak selamanya buruk. Yang saya kritisi di sini adalah teologi popular tentang Kerajaan Allah yang sifatnya sporadis dan memberikan dampak buruk dalam cara pandang umat terhadap misi Allah. Tulisan ini hanyalah sebuah trigger dan belum menjadi kajian yang mendalam. Oleh karena itu, saya mendorong pembaca (dan diri saya!) untuk melakukan kajian yang lebih mendalam atas percikan pemikiran ini. J

Menertawakan Diri Sendiri: Apakah Aku Pendoa yang Latah atau Pendoa yang Ekspansif?
Saya pernah membuat semacam observasi kecil-kecilan pada para katekisan yang saya ajar. Saya meminta mereka untuk menuliskan doa persembahan. Yang menarik dari riset kecil-kecilan ini adalah isi doanya relatif serupa. Ada unsur ucapan syukur dan juga permohonan kepada Tuhan agar mereka dapat menggunakan uang persembahan tersebut untuk pelebaran Kerajaan Allah.
            Setelah membaca doa itu, saya bertanya pada mereka. Apa maksudnya “pelebaran Kerajaan Allah”? Mengapa mereka mengucapkan kalimat itu? Jawaban para katekisan beragam. Anggaplah jawaban-jawaban ini merupakan sebuah potret saja, bukan representasi dari seluruh jawaban umat.
            Ada katekisan yang berkata bahwa ia sebenarnya tidak mengerti apa yang ia ucapkan dalam doa itu. Ia tidak mengerti makna “pelebaran Kerajaan Allah”. Ia hanya menuliskan dan mengucapkan apa yang biasa ia dengar saat ibadah minggu. Saya tersenyum --seraya menertawakan diri sendiri-- ketika mendengar jawaban ini karena saya pun dulu begitu. Kita terjebak dalam pola latah berdoa. Doa sudah menjadi hafalan dan latahan yang tidak keluar dari pergumulan batin, tanpa pemaknaan yang mendalam. Mimikri tanpa refleksi menjadi kalimat kunci dalam sikap latah berdoa ini.

Mempertimbangkan Ulang Konsep (Pelebaran) Kerajaan Allah
            Di samping orang yang latah berdoa, ada juga katekisan yang memiliki mental ekspansi. Dia memaknai “pelebaran Kerajaan Allah” sebagai suatu upaya untuk mengkristenkan dunia ini. Kerajaan Allah dimaknai sebagai gereja dan atau denominasi gereja tertentu. Pemahaman seperti ini dapat berdampak pada mentalitas pekabaran Injil yang merujuk padas ekspansi. Menurut saya, kita harus mengkaji ulang pemahaman tentang Kerajaan Allah itu.
Menurut saya, konsep Kerajaan Allah tidak dapat diidentikan dengan gereja, walaupun keduanya memiliki keterkaitan. Kerajaan Allah tidak sama dengan gereja. Pengidentikan konsep Kerajaan Allah dengan gereja berekses pada sebuah pemahaman extra ecclesiam nula salus (di luar gereja tidak ada keselamatan). Pemahaman semacam ini, menurut saya merupakan warisan dari superioritas kekristenan yang memuncak pada masa kolonial dengan semboyan 3G (Gold, Glory, Gospel).
Dengan meminjam pemikiran Focault tentang konstruksi sudut pandang historis oleh penguasa.untuk tujuan tertentu, saya menduga-duga bahwa cara pandang tentang pelebaran kerajaan Allah adalah warisan historis zaman kolonial yang kita telan mentah-mentah. Tidak ada proses perenungan ulang dan pendedahan terhadap makna doa yang menjadi hafalan itu.
Oleh karena itu, marilah kita mempertimbangkan ulang konsep Kerajaan Allah itu. Kerajaan Allah bukanlah sebuah wilayah yang dapat dipersempit atau diperlebar. M. Amaladoss, dalam Meniti Kalam Kerukunan, mengatakan bahwa Kerajaan Allah adalah lingkungan kehadiran Allah. Bagi saya, Allah tidak hanya hadir di dalam dinding gereja. Allah hadir dalam dunia ini. Dengan demikian, memperlebar dunia adalah suatu hal yang absurd.
Kerajaan Allah dapat dipahami juga sebagai realitas eskatologis yang sudah hadir dan akan digenapi nantinya (Markus 9:1). Kerajaan Allah bukanlah sebuah realitas yang jauh di awang-awang. Kerajaan Allah sudah hadir melalui Kristus yang menghadirkan keadilan, kedamaian dan keutuhan ciptaan. Oleh karena itu, kita juga tidak boleh terjebak dalam khayalan masa depan tanpa berbuat apa-apa. Kita harus berbuat sesuatu seraya menanti-nantikan pemenuhannya.
Pusat pelayanan gereja adalah turut membangun Kerajaan Allah, bukan memperluas! Kerajaan Allah ada di dunia ini sehingga jangkar pelayanan misi gereja adalah pada pelayanan terhadap dunia ini. Oleh karena itu dalam refleksi singkat ini saya mengajak untuk menelisik ulang doa kita. Mungkinkah kita memperlebar Kerajaan Allah (baca: dunia)? Saya rasa tidak. .

26 September 2012


[1] Terminologi teologi popular saya pinjam dari terminologi yang dipakai saat Konven Pendeta GKI Klasis Jakarta Barat tahun 2010.  Teologi popular didefinisikan sebagai pemikiran teologi yang sporadis (terlepas satu sama lainnya) dan kontraktual (terikat demi tujuan atau kepentingan tertentu). Teologi popular dapat ditemukan dalam berbagai doa-doa yang diucapkan jemaat, pemikiran umat pada saat rapat, dan lain sebagainya.