Kamis, 29 November 2012

Resensi: The Lost Girl


Pernahkah Anda mendengar tentang narrative healing? Narrative healing  adalah salah satu cara untuk menyembuhkan luka-luka batin melalui narasi, yakni menceritakan luka-luka itu kepada orang lain dan tidak menyimpannya seorang diri. Narrative healing dapat dilakukan melalui dua bentuk, yakni (1) dengan menuturkan pengalaman keterlukaan kita kepada orang lain dan dengan (2) menuliskan luka-luka kita dalam tulisan.

Bagi saya, metode ini cukup menarik. Biasanya, orang yang terluka cenderung akan menutup rapat lukanya dan tidak bersedia untuk membagikan lukanya pada khalayak ramai. Perasaan malu, tidak mudah percaya dan curiga membuat diri kita enggan untuk bercerita tentang luka batin yang kita alami. Tampakya, mengorek dan menunjukkan luka adalah sesuatu yang menyakitkan, menimbulkan kepedihan di hati. Namun, metode ini ternyata justru menolong orang untuk sembuh dari luka-luka batinnya dengan mengundang setiap orang yang terluka untuk mengakui luka-lukanya.

Saat berkeliling di Perpustakaan Umum Kota Istimewa (Yogyakarta), saya menemukan sebuah buku menarik berisi autobiografi Caroline Roberts, autobiografi seorang korban pelecehan seksual.  Caroline menggunakan metode narrative healing dalam menyembuhkan luka-lukanya. Buku ini sangat inspiratif dan layak untuk dibaca.

Caroline adalah seorang anak yang dilahirkan dari hasil perselingkuhan terselubung antara Eliizabeth Mills dan Michael Mahoney. Saat itu, Elizabeth sudah menikah dengan Albert. Saat Albert mengetahui perselingkuhan istrinya, ia mengusir istrinya dan kedua anak hasil perselingkuhannya. Setelah bercerai, Ellizabeth menikah kembali dengan Alf. Hubungan Alf dengan Caroline tidak baik. Alf dan kakak tirinya sering berlaku kasar pada Caroline. Alf dan kakak tirinya rajin memukuli Caroline dan mengata-ngatainya sebagai anak perempuan nakal. Sungguh malang nasib Caroline, pada usia 6 tahun ia hampir mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki tua yang tidak dikenalnya. Ia selamat dari pelecehan seksual itu, namun ayah tirinya menyalahkan Caroline atas apa yang ia alami.

Caroline bertumbuh menjadi gadis perempuan cantik yang memiliki wajah ganda. Ia tampak riang dan ceria di hadapan orang lain, namun sebenarnya ia sangat rapuh. Kepribadiannya tampak bertolak belakang. Di luar rumah ia menjadi anak yang periang, untuk menutupi kepedihannya.  Namun, di rumahnya ia menjadi anak yang pemberontak dan kasar.

Perjumpaan Caroline dengan Fred dan Rose West serta kecantikannya membuatnya terperangkap dalam “jeratan iblis”. Fred dan Rose adalah pasangan suami istri yang aneh. Mereka memiliki kebiasaan seksual yang aneh. Fred adalah seorang yang memiliki nafsu seksual yang liar dan tak tertahankan. Sementara itu, Rose adalah seorang biseksual. Hasratnya terhadap perempuan muncul saat ia mengandung. Sayangnya, Caroline malang tidak mengetahui kehidupan keluarga ini. Dengan polosnya, ia menerima tawaran Fred dan Rose untuk menjadi pengasuh anak-anak mereka.

Saat Caroline menjadi pengasuh, ia diperkosa oleh Fred dan Rose. Ia semakin memandang rendah dirinya. Citra dirinya hancur. Ia bahkan melakukan usaha bunuh diri. Ia tidak dapat memaafkan dirinya sendiri. Ia berhasil kabur dari rumah Fred dan Rose, namun Fred dan Rose kembali menculiknya bahkan memperlakukan dirinya dengan lebih kejam. Potret dirinya semakin rusak. Ia sebenarnya hanya ingin dicintai dengan tulus, namun ia tidak merasa pernah mendapatkannya. Tidak ada orang luar yang mengetahui pergumulannya. Ia mengubur lukanya, agar tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Ia terjebak dan terjerat, tak tahu bagaimana cara melepaskan diri.

Singkat cerita, ia berhasil meloloskan diri dan melaporkan kekejaman Fred dan Rose ke polisi. Namun, ia belum memaafkan dirinya. Pengalaman traumatis yang tidak ia selesaikan membuat dirinya menjadi pencemburu. Hubungannya dengan lawan jenis sering menemui kegagalan. Ia berkali-kali pacaran dan putus. Intuisinya yang tajam membuat ia semakin menderita karena ia berkali-kali menyadari bahwa pacarnya hanya memanfaatkannya untuk bercinta dengannya. Pada saat ada orang yang dengan tulus mengasihinya, orang tersebut meninggal pada saat hendak mengunjungi Caroline di hari ulang tahunnya. Pengalaman itu membuat Caroline merasa bahwa dirinya adalah seorang pembawa sial.

Citra diri Caroline menjadi semakin rusak ketika ia memenangkan kontes modeling yang disarankan ibunya. Ibunya berpikir bahwa kepercayaan diri Caroline akan membaik jika ia memenangkan kontes tersebut. Nyatanya, Caroline semakin merasa hancur. Pada saat ia memenangkan kontes tersebut, para wartawan menghancurkan citra dirinya dengan mengkonfirmasi berita pelecehan seksual yang pernah dialaminya dulu. Ia merasa sangat terpuruk dan tidak dapat menolong dirinya sendiri. Ia menjadi orang yang semakin bersifat curiga pada orang lain dan gemar menyakiti orang-orang yang mengasihinya.

Caroline yang terpuruk, perlahan-lahan mulai bangkit setelah dia mengalami pengalaman spiritual di sebuah gereja. Tuhan memulihkan citra dirinya melalui pengalamannya bersama dengan kelompok “lingkaran pengembangan” di gereja itu. Ia menyadari bahwa dirinya berharga. Ia menyadari bahwa masih ada orang-orang yang begitu mengasihinya. Ia pun menyadari bahwa ia tidak sendirian dan ia menerima balutan luka dari Tuhannya.

Caroline memerlukan waktu 10 tahun untuk menuliskan buku ini. Waktu yang tidak singkat. Ia mengatakan bahwa buku ini menjadi terapi baginya, seperti yang kita sebut di atas sebagai narrative healing. Ia sekarang dapat meneruskan hidupnya bersama dengan Tuhan. Ia kini berani mengambil keputusan dalam hidupnya. Trauma dan luka batinnya kini telah sembuh. Tuhan menggunakan gereja dan metode narrative healing untuk menyembuhkan lukanya.

Yogyakarta, 29 November 2012
dalam sebuah permenungan
YIL

KEPUSTAKAAN:
Judul buku: THE LOST GIRL: PENGALAMAN SEORANG KORBAN PELECEHAN SEKSUAL MELAWAN TRAUMA MASA LALUNYA
Penerbit : Gramedia
Penulis : Caroline Roberts
Genre : Autobiografi
Tahun terbit: 2007



Jumat, 23 November 2012

Imajinasi Pelenyap Kesepian




The world’s greatest tragedy is unwantedness,
The world’s greatest disease is loneliness
Mother Teresa


Apa itu kesepian? Kesepian adalah sebuah perasaan mengerikan yang dapat menghancurkan kita. Ya, perasaan ketika kita merasa merindukan sesuatu atau seseorang, namun kita merasa bahwa tidak akan ada orang yang merindukan, memahami dan mempedulikan kita. Namun, kesepian tidak sama dengan kesendirian. Aku senang menyendiri, namun aku tidak merasa sepi. Namun, di tengah keramaian aku dapat merasakan kesepian. Ya, kesepian tidak selalu hadir dalam kondisi sunyi, tanpa suara. Ia dapat mencengkrammu dalam keramaian ketika bising knalpot motor dan mobil menunjukkan kegagahannya. Begitu menyeramkannya cengkraman kesepian ini, sehingga aku pernah merasa bahwa kesepian ini melilit jiwaku. Aku ingin lari, namun tak dapat. Aku mencoba menari dalam keramaian, namun kini yang tertinggal hanya kesepian. Hampa! Maka dari itu, tidak salah jika Bunda Teresa mengatakan bahwa kesepian adalah penyakit terbesar di dunia.
Kesepian dapat dialami oleh siapapun, baik itu orang yang miskin maupun kaya. Kesepian dapat menghinggapi umat maupun para “pemimpin” umat. Dalam jalan yang kutekuni saat ini, aku pernah bertanya pada Tuhan, “Bagaimana aku dapat menemani orang yang kesepian jika aku sendiri kesepian?” Dalam sebuah refleksi imajiner, aku membayangkan sebuah percakapan antara Kristus dan diriku. Kristus tersenyum seraya menjawab pertanyaanku, “Aku juga pernah mengalami kesepian saat bergumul di taman Getsemani, Nak. Saat aku berharap murid-muridku menemaniku, ternyata mereka tertidur.” Aku terisak sambil mengeluh padaNya, “Ya Tuhan, aku pun demikian. Aku pernah merasakan ketiadaan kehadiran orang-orang yang kuharapkan mendukung dan menemaniku pada saat aku terpuruk. Aku kesepian.” Ia tersenyum mengangguk dan aku pun membalas senyumnya dalam imajiku karena Ia lebih dulu merasakan apa yang kurasakan.
Sambil memandang wajahNya, dengan tangan terbuka untuk menanti jawaban aku bertanya, “Tuhan apa yang lakukan kala itu? Kala kesepian mendedahkan kegeramannya di hadapan wajah kita, dapatkah kita sintas ataukah kita menyerah dan terlarut dalam pusaran kesepian? Bagaimanakah aku dapat terbebas dari kesepianku?”
Tiba-tiba aku teringat pada sebuah analisis yang dilakukan oleh Paul Tillich tentang tingkat-tingkat kesepian dalam diri manusia. Pada akhirnya Tillich menyimpulkan bahwa kesepian itu adalah suatu hal yang bersifat eksistensial dalam diri manusia. Kesepian menjadi tanda keterasingan manusia. Manusia teralineasi dari cinta kasih. Bagi Tillich, salah satunya cara untuk mengatasi kesepian adalah dengan merekatkan diri pada Sang Illahi. Manusia tak mampu melepaskan diri dari kesepiannya. Hanya Tuhanlah yang mampu membuatnya merasakan kehangatan, lepas dari kesepiannya.
Kini, kulihat gambaran Kristus yang berdoa dengan darah yang menetes. Kurasakan kelekatan Kristus dengan Bapa-Nya, an invisible person. Pribadi yang tidak terlihat itu merangkul-Nya dan memberikan-Nya kekuatan. Aku mengerti, bahwa doa adalah sebuah media untuk merasakan kehangatan bersama Bapa, sehingga kesepian pun lenyaplah. Ya, dan kini kesepian yang kurasakan pun lenyap bersamaan dengan kalimat penutup sebuah doa dalam rupa imaji bersama Kristus. Kehangatan Kristus melingkupi malam sunyi ini dan kesepian pun lenyaplah…

YIL
saat meninggalkan kesepian menuju kehangatan