Kisah kerelaan Abraham dalam
mengorbankan Ishak anaknya (Kejadian 22:1-19) adalah kisah yang tidak asing lagi di telinga para penganut
agama Yahudi dan Kristen. Hal apakah yang ada di pikiran Anda setiap kali
membaca kisah ini? Dugaan saya, sebagian besar dari kita akan menjawab bahwa
kisah ini mengisahkan ujian ketaatan dari Allah terhadap Abraham. Singkat
cerita, Abraham berhasil melewati ujian dari Allah. Abraham berhasil mendapatkan
nilai 100! Ia mendapatkan pujian atas ketaatannya dan kerelaannya mengorbankan
Ishak bagi Allah. Tafsir popular semacam inilah yang berkembang di kalangan
umat.
Namun, izinkan saya untuk memilih
perspektif tafsir yang berbeda ketimbang tafsiran popular itu. Bagi saya, nilai
ujian Abraham bukan 100! Pilihan terhadap perspektif tafsir ini berangkat dari
sebuah imajinasi dan keprihatinan saya atas tindak terorisme yang semakin
merajalela. Kita teringat kisah pemboman WTC, bom Bali, dan bom Kuningan.
Beberapa waktu yang lalu, tanggal 21 September 2013, kelompok ekstrimis Al-Sahab
dari Somalia meledakkan bom di pusat perbelanjaan Nairobi Kenya. Sehari setelah
kejadian itu, 22 September 2013 terjadi ledakkan bom bunuh diri di All Saints Church, Pakistan.
Saya membayangkan bahwa kelompok
ekstrimis –dari agama manapun—dapat menggunakan teks ini untuk membenarkan
tindakkan kekerasan yang mereka lakukan atas nama Tuhan. Bukankah ketaatan
Abraham saja dipuji Allah atas kerelaannya untuk membunuh anaknya untuk menjadi
korban? Pararel dengan itu, bukankah teroris dapat dipuji karena kesediaan
mereka untuk mati demi ketaatan mereka kepada Allah? Oh, sungguh mengerikan
sekali cara tafsir ini!
Lalu, adakah alternatif tafsiran yang
lain? Tentu saja ada! Saya terkesima ketika membaca tafsiran God’s Call to End Zealotry dari Joshua
Stanton di Huffington Post. Dia mengatakan, ”Our desires sometimes lead
us astray from what we feel is right. But sometimes even what we feel is right
proves wrong.” Kira-kira
inilah yang terjadi pada Abraham. Dalam Kejadian 22, Abraham merasa yakin dan
bersedia membunuh Ishak, anak yang ia kasihi atas dasar penghormatan dan
ketaatan kepada Allah.
Menurut Esther M. Menn, sikap Abraham ini
dirangsang oleh kepercayaan masyarakat dalam tradisi timur dekat kuno.
Masyarakat pada masa itu melakukan tradisi pengorbanan anak pertama/ hewan
pertama yang lahir dari rahim ibu/induknya. Anak dan hewan yang pertama lahir
dibunuh untuk dipersembahkan kepada dewa-dewi yang menguasai daerah mereka.
Dengan demikian, Abraham pada poin ini
justru diuji untuk mengenal Allah. Hasilnya, Abraham kurang berhasil dalam
ujian untuk mengenal siapakah Allah yang ia sembah. Ia melupakan perjanjian
yang pernah Allah ucapkan pada dalam Kejadian 17. Ia lupa bahwa Allah adalah
Allah yang penuh kasih, yang mau berdialog, seperti ketika Abraham memohon agar
Allah tidak membinasakan semua orang di Sodom dan Gomora. Allah yang ia sembah
berbeda dengan dewa-dewa di Timur Dekat Kuno.
Kalau kita memperhatikan teks ini,
kita melihat respons Allah yang sungguh menarik, Allah langsung mengirimkan
malaikatnya untuk mencegah Abraham untuk membunuh anaknya. Panggilan malaikat
sebanyak dua kali --“Abraham! Abraham!”-- menandakan bahwa Allah tidak ingin
Abraham membunuh Ishak. Allah tidak sama dengan dewa-dewi di Timur Dekat Kuno
yang menghendaki persembahan berupa korban anak dan hewan sulung. Kata
menyediakan dalam ayat 14 berasal dari bahasa Ibradi yi’reh. Yi’reh dapat diterjemahkan dengan melihat. Dengan demikian,
dapat ditafsirkan bahwa Allah melihat. Allah menjadi saksi untuk menolak
pengorbanan anak yang selama ini terjadi di Timur Dekat Kuno.
Dalam benak kita mungkin muncul sebuah
pertanyaan, Bukankah Allah memuji Abraham atas ketaatannya kepada Allah dan
malah menganugerahkan berkat? Betul, Allah memang memuji loyalitas dan
pengorbanan Abraham kepada Allah. Namun, tokh Allah tetap tidak membenarkan
tindakkan Abraham untuk membunuh anaknya. Allah justru mencegahnya sebagai
suatu pembelajaran dalam ujian itu agar Abraham semakin mengenal Allah yang
penuh kasih dan bukan Allah yang kejam. Allah pun mengingatkan Abraham dengan mengulangi
janji yang pernah Ia sebutkan sebelumnya, bahwa Ia akan memberikan Abraham
keturunan yang banyak seperti bintang di langit dan pasir di laut.
Bagaimana dengan kita? Jangan-jangan
kita selama ini merasa benar seperti Abraham dan para teroris dalam berbagai
ujian hidup yang kita hadapi. Kita merasa bahwa kita melakukan hal yang benar
atas dasar ketaatan kepada Allah. Namun, faktanya hal tersebut malah melukai
orang-orang yang ada di sekeliling kita. Masih layakkah hal semacam ini disebut
sebagai ketaatan?
Periksalah prinsip ketaatan kita dalam
ruang lingkup manapun kita berkarya. Misalnya saja, Saya
teringat kisah orang tua yang mengusir dan tidak mengakui anaknya lagi karena
anaknya hamil di luar nikah. Orang tuanya merasa apa yang dilakukannya benar
karena anaknya dianggap menodai kekudusan Tuhan dan mencemarkan nama keluarga?
Dalam ruang lingkup pekerjaan, atas dasar ketaatan pada hukum kasih, kita tidak
menegur orang yang melakukan kecurangan atau bekerja dengan tidak benar. Apakah
itu dapat dibenarkan? Apakah benar, dengan berlandaskan ketaatan untuk melayani
Tuhan, kita membiarkan gaji karyawan berada di bawah UMR?
Bagi saya, ketaatan yang Allah
maksudkan bukanlah ketaatan buta. Ketaatan yang Allah maksudkan adalah ketaatan
yang kritis, untuk membedakan mana kehendak Allah dan mana yang bukan kehendak
Allah. Ketaatan yang Allah maksudkan adalah ketaatan penuh untuk mengenali
siapa Allah di dalam hidup kita. Bukankah ketaatan semacam ini yang perlu kita
lakukan? Selamat menunaikan ketaatan yang kritis dalam berbagai ujian di dalam
hidup kita.
Jakarta, 6 Oktober 2013
YIL