Minggu, 06 Oktober 2013

NILAIMU BUKAN 100!


Kisah kerelaan Abraham dalam mengorbankan Ishak anaknya (Kejadian 22:1-19) adalah kisah yang tidak asing lagi di telinga para penganut agama Yahudi dan Kristen. Hal apakah yang ada di pikiran Anda setiap kali membaca kisah ini? Dugaan saya, sebagian besar dari kita akan menjawab bahwa kisah ini mengisahkan ujian ketaatan dari Allah terhadap Abraham. Singkat cerita, Abraham berhasil melewati ujian dari Allah. Abraham berhasil mendapatkan nilai 100! Ia mendapatkan pujian atas ketaatannya dan kerelaannya mengorbankan Ishak bagi Allah. Tafsir popular semacam inilah yang berkembang di kalangan umat.
            Namun, izinkan saya untuk memilih perspektif tafsir yang berbeda ketimbang tafsiran popular itu. Bagi saya, nilai ujian Abraham bukan 100! Pilihan terhadap perspektif tafsir ini berangkat dari sebuah imajinasi dan keprihatinan saya atas tindak terorisme yang semakin merajalela. Kita teringat kisah pemboman WTC, bom Bali, dan bom Kuningan. Beberapa waktu yang lalu, tanggal 21 September 2013, kelompok ekstrimis Al-Sahab dari Somalia meledakkan bom di pusat perbelanjaan Nairobi Kenya. Sehari setelah kejadian itu, 22 September 2013 terjadi ledakkan bom bunuh diri di All Saints Church, Pakistan.
            Saya membayangkan bahwa kelompok ekstrimis –dari agama manapun—dapat menggunakan teks ini untuk membenarkan tindakkan kekerasan yang mereka lakukan atas nama Tuhan. Bukankah ketaatan Abraham saja dipuji Allah atas kerelaannya untuk membunuh anaknya untuk menjadi korban? Pararel dengan itu, bukankah teroris dapat dipuji karena kesediaan mereka untuk mati demi ketaatan mereka kepada Allah? Oh, sungguh mengerikan sekali cara tafsir ini!
Lalu, adakah alternatif tafsiran yang lain? Tentu saja ada! Saya terkesima ketika membaca tafsiran God’s Call to End Zealotry dari Joshua Stanton di Huffington Post. Dia mengatakan, ”Our desires sometimes lead us astray from what we feel is right. But sometimes even what we feel is right proves wrong.Kira-kira inilah yang terjadi pada Abraham. Dalam Kejadian 22, Abraham merasa yakin dan bersedia membunuh Ishak, anak yang ia kasihi atas dasar penghormatan dan ketaatan kepada Allah.
Menurut Esther M. Menn, sikap Abraham ini dirangsang oleh kepercayaan masyarakat dalam tradisi timur dekat kuno. Masyarakat pada masa itu melakukan tradisi pengorbanan anak pertama/ hewan pertama yang lahir dari rahim ibu/induknya. Anak dan hewan yang pertama lahir dibunuh untuk dipersembahkan kepada dewa-dewi yang menguasai daerah mereka.
Dengan demikian, Abraham pada poin ini justru diuji untuk mengenal Allah. Hasilnya, Abraham kurang berhasil dalam ujian untuk mengenal siapakah Allah yang ia sembah. Ia melupakan perjanjian yang pernah Allah ucapkan pada dalam Kejadian 17. Ia lupa bahwa Allah adalah Allah yang penuh kasih, yang mau berdialog, seperti ketika Abraham memohon agar Allah tidak membinasakan semua orang di Sodom dan Gomora. Allah yang ia sembah berbeda dengan dewa-dewa di Timur Dekat Kuno.
Kalau kita memperhatikan teks ini, kita melihat respons Allah yang sungguh menarik, Allah langsung mengirimkan malaikatnya untuk mencegah Abraham untuk membunuh anaknya. Panggilan malaikat sebanyak dua kali --“Abraham! Abraham!”-- menandakan bahwa Allah tidak ingin Abraham membunuh Ishak. Allah tidak sama dengan dewa-dewi di Timur Dekat Kuno yang menghendaki persembahan berupa korban anak dan hewan sulung. Kata menyediakan dalam ayat 14 berasal dari bahasa Ibradi yi’reh. Yi’reh dapat diterjemahkan dengan melihat. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa Allah melihat. Allah menjadi saksi untuk menolak pengorbanan anak yang selama ini terjadi di Timur Dekat Kuno.
Dalam benak kita mungkin muncul sebuah pertanyaan, Bukankah Allah memuji Abraham atas ketaatannya kepada Allah dan malah menganugerahkan berkat? Betul, Allah memang memuji loyalitas dan pengorbanan Abraham kepada Allah. Namun, tokh Allah tetap tidak membenarkan tindakkan Abraham untuk membunuh anaknya. Allah justru mencegahnya sebagai suatu pembelajaran dalam ujian itu agar Abraham semakin mengenal Allah yang penuh kasih dan bukan Allah yang kejam. Allah pun mengingatkan Abraham dengan mengulangi janji yang pernah Ia sebutkan sebelumnya, bahwa Ia akan memberikan Abraham keturunan yang banyak seperti bintang di langit dan pasir di laut.
Bagaimana dengan kita? Jangan-jangan kita selama ini merasa benar seperti Abraham dan para teroris dalam berbagai ujian hidup yang kita hadapi. Kita merasa bahwa kita melakukan hal yang benar atas dasar ketaatan kepada Allah. Namun, faktanya hal tersebut malah melukai orang-orang yang ada di sekeliling kita. Masih layakkah hal semacam ini disebut sebagai ketaatan?
Periksalah prinsip ketaatan kita dalam ruang lingkup manapun kita berkarya. Misalnya saja, Saya teringat kisah orang tua yang mengusir dan tidak mengakui anaknya lagi karena anaknya hamil di luar nikah. Orang tuanya merasa apa yang dilakukannya benar karena anaknya dianggap menodai kekudusan Tuhan dan mencemarkan nama keluarga? Dalam ruang lingkup pekerjaan, atas dasar ketaatan pada hukum kasih, kita tidak menegur orang yang melakukan kecurangan atau bekerja dengan tidak benar. Apakah itu dapat dibenarkan? Apakah benar, dengan berlandaskan ketaatan untuk melayani Tuhan, kita membiarkan gaji karyawan berada di bawah UMR?
Bagi saya, ketaatan yang Allah maksudkan bukanlah ketaatan buta. Ketaatan yang Allah maksudkan adalah ketaatan yang kritis, untuk membedakan mana kehendak Allah dan mana yang bukan kehendak Allah. Ketaatan yang Allah maksudkan adalah ketaatan penuh untuk mengenali siapa Allah di dalam hidup kita. Bukankah ketaatan semacam ini yang perlu kita lakukan? Selamat menunaikan ketaatan yang kritis dalam berbagai ujian di dalam hidup kita.

Jakarta, 6 Oktober 2013
YIL

Kamis, 12 September 2013

Traveling bersama Yesus Sang Penyintas (Matius 2:13-23)


Banyak orang yang menyukai traveling. Mereka berpergian kian kemari. Mereka menikmati berbagai tempat baru dan berjumpa dengan orang baru dalam perjalanan mereka. Mereka mungkin saling berhospitalitas dengan berbagai penduduk lokal dalam perjalanan mereka. Namun, aku tidak menyukai traveling! Badanku gemetar dan kepalaku pening setiap kali mendengar kata itu disebut. Hatiku menciut dan bersembunyi di balik tubuhku yang bertopengkan kegagahan saat melakukan traveling.
Aku dan keluarga mungilku –istri dan anakku-- dipaksa untuk melakukan sebuah traveling yang traumatik. Kami dan kaum bangsaku harus mengadakan perjalanan menuju Mesir sebagai seorang pengungsi. Seluruh traveling ini terpaksa kami lakukan karena kekejaman para penguasa Romawi  yang memerintah di zamanku.
Pertama, kami dipaksa untuk mengadakan traveling dalam kondisi kehamilan besar istriku hanya demi sebuah sensus pajak!  Kedua, kami terpaksa melakukan traveling lagi menuju Mesir karena pembunuhan kejam terhadap anak-anak berusia dua tahun ke bawah. Pembunuhan itu dilakukan oleh Herodes dan para penasihatnya, sekelompok penguasa yang diracuni oleh virus ketakutan dan ketamakan akan kuasa. Ia takut takhtanya direbut oleh anak kecil yang berumur di bawah dua tahun ke bawah (Joerg Rieger, 2011: 37).
Oh sungguh! Aku, keluargaku dan orang-orang pada zamanku hidup dalam suasana traumatik yang mengerikan. Jeritan anak-anak kecil yang tak bersalah terdengar karena mereka dipaksa meregang nyawa di usia yang dini. Pedang yang tajam ditancapkan oleh para prajurit suruhan itu ke tubuh mungil anak-anak kecil itu. Darah yang mengalir dari tubuh anak-anak itu semakin memperkeras jeritan pilu para orang tua. Raungan kepedihan terdengar tanpa henti. Air mata menetes deras di pipi para korban dan kerabat yang menjadi penyintas. Orang tua mana yang tak sedih ketika harus melihat anak-anaknya berpulang terlebih dahulu. Selama setahun penuh, dalam masa perkabungan itu, para penyintas yang kehilangan anak-anaknya merintih dan menghindari perayaan-perayaan pesta. Abu dan kain kabung mewarnai hari-hari mereka (W.f Browning 2008, 4).
Aku bertanya kepada Allah? Di manakah Engkau dalam tragedi itu? Apakah Engkau bersembunyi dan membiarkan kekejaman itu terjadi? Di mana Allah yang penuh kasih dan kepedulian itu? Di mana Allah yang Maha Kuasa yang dapat menghentikan kekejaman dalam sekejap mata?
Kisah traumatik itu tetap tersimpan di dalam hatiku. Kejadian tersebut menghantui aku dan keluarga kecilku di kala siang dan malam. Aku masih merasa takut paska peristiwa itu. Aku tidak tahu bagaimana aku harus bertahan dan mengakhiri traveling yang penuh dengan trauma ini. Ingatan itu tidak mungkin terkikis dan menjadi kabur. Sebenarnya, ada kerinduan dalam diriku untuk kembali ke kampung halamanku. Namun, kerinduan itu bercampur baur dengan ingatan akan kekejaman Herodes.
Pergolakan antara ketakutan dan kerinduan untuk kembali pulang menjadi semakin menjadi-jadi saat malaikat itu datang dalam mimpiku. Ia memintaku untuk membawa istri dan anakku untuk melakukan traveling kembali ke Israel.  Seluruh tubuhku gemetar. Keringat tiba-tiba mengucur dari tubuhku. Menurut istriku, wajahku menjadi pucat pasi. Apalagi, aku tahu bahwa Arkhelaus yang lebih kejam dari Herodes kini duduk di tahta menggantikan ayahnya yang telah tiada (Stefan Leks, 2003: 55-57).
Akhirnya, dalam sebuah mimpi aku disuruh membawa keluargaku untuk melakukan traveling yang selanjutnya ke Nazaret, sebuah kota kecil yang tak semarak di daerah Galilea. Setibanya di Nazaret, aku memandang ke arah Yesus, anakku yang semakin bertumbuh besar. Aku mengingat peristiwa kelahiran-Nya yang ajaib. Aku terngiang akan ketakutan Herodes terhadap anakku, anak yang masih mungil ini.
Tiba-tiba di dalam batinku terlintas peristiwa Keluaran bangsa Israel yang dikisahkan turun temurun itu. Entah mengapa, aku tiba-tiba menghubungkan traveling yang kami alami dengan peristiwa Keluaran. Dalam kisah Keluaran, tidak ada seorangpun yang akhirnya dapat pulang ke tanah terjanji itu. Mereka meninggal dunia sebelum kembali ke tanahnya, termasuk Musa pemimpin bangsa Israel itu. Hanya Yesus, anakku yang beranjak dewasa ini yang berhasil menjadi penyintas yang kembali ke Israel (Stefan Leks, 2003: 55-57).
Aku kembali memandang wajah anakku Yesus yang sedang tersenyum ke arahku. Pertanyaanku beberapa tahun silam mengenai keberadaan Allah di dalam peristiwa pembunuhan anak-anak itu pun terjawab. Di dalam diri Yesus, Allah hadir dalam ruang-ruang trauma. Allah ada bersama-sama dengan para pengungsi di Mesir yang meratap karena peristiwa mengerikan itu. Allah memang sedang tidak menunjukkan kemaha-kuasaan-Nya. Sebaliknya, Allah menjadi penyintas di dalam diri Yesus yang turut menjadi penyintas dalam peristiwa itu. Anak inilah yang memberikan kekuatan bagiku, bagi istriku Maria dan bagi para penyintas lainnya.
Aku tersadar bahwa kita adalah orang-orang yang akan terus melakukan traveling hingga ajal menjemput kita. Pengalaman traumatis dalam traveling hidup ini mungkin akan kita jumpai dan mungkin sukar kita elakkan. Peristiwa traumatis akan tetap ada dalam memori dan mungkin tidak hilang seutuhnya. Namun, aku dan para penyintas lainnya tidak akan takut lagi untuk ber-traveling bersama Yesus, Sang Penyintas sampai ajal menjemput kami.
Kami akan tetap menjalani hidup dengan penuh pengharapan karena Anak itu adalah Allah yang menemani kami sebagai penyintas. Ia mampu memulihkan kita dan memberi pengharapan kepada kita. Aku merasa anakku Yesus kelak akan menjadi penyaksi dan pembela bagi orang-orang yang mengalami trauma, seperti yang Ia alami di masa kecil-Nya. Aku pun yakin bahwa Ia akan mengubah ketakutan-ketakutan kita --para penyintas peristiwa G30SPKI-- yang muncul karena pengalaman traumatis di dalam traveling itu menjadi keberanian untuk menolong orang-orang lain yang juga mengalami trauma.

Konteks           : penyintas peristiwa G30SPKI.
Ketika menentukan konteks, saya terinspirasi dari novel Pulang, karya Leila S. Chudori. Novel ini menceritakan tentang orang-orang yang mendapat diskriminasi karena salah satu anggota keluarganya dituduh sebagai anggota PKI. Orang-orang ini harus berpergian dari satu tempat ke tempat lainnya agar tidak mendapatkan siksaan. Sebagian dari mereka cenderung menutupi identitas dirinya agar tidak mendapatkan diskriminasi. Mereka menjauhi pentas percaturan demokrasi dan politi. Akan tetapi, anomali terjadi pada seorang pemuda yang bernama Alam Sagara. Ia yang menjadi penyintas setelah melihat bapaknya dibunuh, kini menjadi aktivis HAM yang menolong orang-orang lainnya yang hidup dalam penindasan pada era Soeharto.

Jakarta, awal September 2013
YIL
Bibliografi
Chudori, Leila S. 2012. Pulang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Rieger, Joerg. 2011. Traveling. Minneapolis: Fortress Press
Leks, Stefan. 2003. Tafsir Injil Matius. Yogyakarta: Kanisius

Browning, W.R.F. 2008. Kamus Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia 

Jumat, 02 Agustus 2013

Imajinasi Kreatif terhadap Pengikut Kristus



Tuhan Yesus dan para penulis Alkitab menggunakan berbagai perlambang terhadap pengikut Kristus. Misalnya saja, pengikut Kristus digambarkan sebagai anggota tubuh (Efesus 1:23), garam dan terang (Matius 5:13-16), ranting dari Pokok Anggur (Yohanes 15:15), batu-batu hidup (1 Petrus 2:5b), prajurit Kristus (Efesus 6:10), atlet, sebagai kawanan domba Allah dan lain sebagainya. Berbagai perlambang ini digunakan agar orang-orang pada zamannya semakin terdorong untuk sungguh-sungguh menghadirkan kasih Allah di dalam kehidupannya. Apalagi manusia diciptakan seturut dengan gambar dan rupa Allah. Wajah Allah pun tercoreng jika hal yang kita lakukan tidak sesuai dengan spirit cinta kasih Allah.
                   Apa yang saya deskripsikan di atas menunjukkan bahwa para penulis Alkitab adalah orang-orang yang kreatif. Mereka menggunakan imajinasinya secara kreatif dan kontekstual untuk menjelaskan siapa diri mereka dan hakikat keberadaan mereka di dunia ini. Hal-hal tersebut netral adanya. Garam, terang, atlet, dan lain sebagainya adalah hal yang netral. Namun, tergantung kita memberi makna terhadapnya. Yang penting adalah bagaimana kita memaknainya dengan sudut pandang yang positif. Menurut saya, kreatifitas ini perlu dikembangkan dari zaman ke zaman. Apalagi, orang Kristen hidup di dunia yang berubah dan dinamis.
                Salah satu problem yang muncul adalah banyak gambaran yang tidak dipahami oleh orang yang hidup di dunia kontemporer. Misalnya saja, saya yang dilahirkan di kota besar kurang memahami simbol ranting anggur karena saya tidak pernah melihat pohon anggur. Apalagi generasi selanjutnya yang kini sudah sangat jarang berkenalan dengan simbol-simbol semacam itu. Walaupun demikian, simbol-simbol yang dituliskan oleh para penulis Alkitab pada masanya tetaplah penting dan masih dapat diwarisi dari generasi ke generasi. Misalnya, kendala ini dapat dihadapi dengan visualisasi dan penceritaan.
Namun, bagi saya rasa-rasanya kita perlu meneruskan spirit kreatifitas Kristus dan para penulis Alkitab. Mengapa kita tidak membebaskan diri kita untuk berimajinasi secara kreatif sesuai dengan konteks zaman kita? Saya terinspirasi dari sebuah acara sweet seventeen seorang remaja di tempat saya melayani saat ini. Di dalam acara itu, MC bertanya kepada para undangan, “Seperti apakah kamu menggambarkan temanmu yang berulang tahun?” Ia berkata, seperti ATM karena temannya penting baginya. WOW, suatu hal yang kreatif bukan?
Kembangkanlah imajinasi sekreatif dan sekontekstual mungkin. Misalnya, kita dapat mengimajinasikan diri kita sebagai Wikipedia, memberikan informasi dan pengetahuan yang kita punya untuk semua sahabat. Bagi saya, tidak masalah kita mengimajinasikan bahwa pengikut Kristus seperti BH sekalipun yang berfungsi untuk melindungi dan menopang. Yah, bukankah kita memang bertugas untuk melindungi dan menopang orang lain yang perlu ditopang? Yang penting, bebaskanlah diri kita dari tembok-tembok kekakuan yang membelenggu kita untuk berpikir kreatif. Jadi orang Kristen harus kreatif dan kontekstual bukan?
Jakarta, 2 Agustus 2013

YIL

Selasa, 16 Juli 2013

Belajar tentang Integritas dari Mutiara Hitam


Majalah Tempo edisi 3-9 Juni 2013, memberikan pernyataan yang menarik tentang figure Yap Thiam Hien. Yap Thiam Hien mendapatkan gelar minoritas dalam tiga lapisan: Cina, Kristen dan jujur. Pernyataan di majalah Tempo ini menarik karena orang yang jujur dimasukkan ke dalam kategori minoritas. Pada masa kini, orang yang jujur mungkin termasuk pada kategori “langka”. Manusia terjerat untuk menukar kejujuran –yang menunjukkan integritas pribadinya—dengan gelimang harta, kedudukan, kekuasaan, nama baik, dan tawaran menggiurkan lainnya.
            Dalam perjalanan ke tanah Papua beberapa waktu yang lalu, saya menjumpai seorang mutiara hitam Kristen yang jujur. Dengan penuh kejujuran dan keberanian, alumnus dari salah satu perguruan tinggi di Surabaya ini berani menyatakan kebenaran. Ia berani mengkritisi para penguasa dari tanahnya sendiri. Ia mengkritisi saluran yang meraup alokasi dana yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat Papua di pedalaman. Dalam sebuah perjumpaan antara para penguasa dengan perwakilan lembaga internasional yang memberikan bantuan dana bagi masyarakat Papua di pedalaman, dengan lantang ia berkata, “Kalian salah memberikan dana kepada orang-orang ini. Dananya mereka pangkas sehingga masyarakat di pedalaman tidak merasakannya. Desa-desa tetap tidak dibangun. Pendidikan minim dan pelayanan kesehatan sangat buruk”
Sebagai upah dari tindakannya, mutiara hitam ini dibuang selama lima tahun ke desa Sanfarmun, kecamatan Soukorem Papua Barat. Desa ini dianggap sebagai desa yang terisolasi, karena akses transportrasi menuju ke sana sangat sulit. Pada saat saya menuju ke sana bersama dengan rombongan GKI Kayu Putih, kondisinya memang tidak begitu baik. Tidak ada tenaga medis di sana. Hanya ada seorang kepala sekolah di sana dan mungkin satu hingga dua orang guru lainnya. Entah bagaimana kondisi yang harus dihadapi oleh putra daerah ini beberapa tahun yang lalu pada saat ia ditugaskan di desa itu. Mungkin saja kondisinya lebih buruk.
Dalam “pembuangannya”, Ia ditugaskan untuk menjadi mantri selama lima tahun di desa itu. Dengan penuh keberanian, ia menanggung akibat dari integritasnya sebagai manusia yang jujur, yang tak dapat dibeli oleh uang. Yang menarik, ia dapat menikmati hidup bersama dengan masyarakat di tempat pembuangan itu. Ia menata dan mengusahakan kesejahteraan desa tersebut. Ia mendidik masyarakat di Sanfarmun agar tidak mengalami ketergantungan pada suplay beras bulog. Sayangnya, waktu lima tahun memang belum cukup untuk membuat masyarakat untuk menjadi mandiri. Tampaknya, perlu orang-orang yang memiliki cinta yang besar untuk melayani di sana dalam rentang waktu yang lebih lama.
Di akhir percakapan dengan saya, ia mengatakan untaian kalimat yang membuat saya tersentak. Saya merasa Tuhan berbicara kepada saya melalui orang ini. Ia mengatakan, “Walaupun mereka membuang ke tempat ini, saya tetap bertahan. Saya bertahan karena saya hidup untuk Tuhan, bukan untuk penguasa. Tuhan yang memberikan kehidupan kepada saya, untuk apa saya kuatir.” Terima kasih mutiara hitam yang telah memberikan inspirasi bagi saya tentang arti integritas melalui kejujuran dan keberanianmu. Wajah Allah sungguh nyata dalam dirimu.
Jakarta, 17 Juli 2013
YIL

Minggu, 14 Juli 2013

Peduli Sesama (dalam rangka bulan anak)


Teks dari: Lukas 11:1-13


Biasanya, kalau membaca perikop tentang hal berdoa, mata kita selalu tertuju pada ayat ini. “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” (Lukas 11:9) Penafsiran yang dominan adalah perihal permohonan pribadi pada Tuhan. Ketika berada dalam pergumulan, tak henti-hentinya kita berdoa meminta pertolongan pada Tuhan dengan tekun dan gigih. Kita yakin bahwa ketika kita mengetuk terus-menerus, maka Tuhan akan membukakan pintu.
Sebenarnya, perikop ini dapat dibaca dari sisi yang lain. Oleh karena itu, saya tidak akan membahas perihal kegigihan dalam berdoa. Saya justru ingin mengajak saudara-saudara sekalian untuk melihat sisi lain dari perikop tentang doa ini. Perikop tentang doa ini juga mengajarkan tentang kita tentang KEPEDULIAN. Ada tiga hal yang menunjukkan dimensi kepedulian dalam teks ini
1.            Dimensi kepedulian yang pertama
Kalau kita memerhatikan ayat yang ke-13, dikatakan “Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya”. Kalimat ini berbeda dengan kalimat doa bapa kami dalam injil Matius. Dalam Injil Matius dikatakan, “Berikanlah kami hari ini makanan kami yang secukupnya.” Perbedaannya adalah pada setiap hari dan hari ini. Mengapa penulis Lukas menulis setiap hari? Karena pada konteks zaman ketika Lukas menulis injilnya banyak orang yang menderita kelaparan. Lukas menulis teks ini dengan penuh keprihatinan sambil membayangkan betapa beratnya beban hidup mereka. Jangankan untuk makan esok hari, makan untuk hari ini saja entah dari mana. Mereka hidup dari hari ke hari tanpa jaminan apapun, tanpa asuransi.
Saudara-saudara yang terkasih, dari Lukas sebenarnya kita dapat belajar bahwa kepedulian diawali dengan sikap mau merasakan bagaimana penderitaan orang lain. Dalam bahasa Inggris kata peduli adalah care. Care ini berasal dari bahasa Gothic, yaitu Kara, yang berarti meratap bersama-sama, merasakan penderitaan dan menangis bersama.
Dari konteks kepedulian Lukas dan dari definisi ini saya tersadar akan kekeliruan yang seringkali kita pahami. Seringkali kita memandang bahwa kepedulian adalah sebuah sikap dari yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah. Dari yang lebih punya kuasa terhadap yang kurang berkuasa. Misalnya saja, ketika ada orang yang kecelakaan di jalan, ada di antara kita mungkin yang merasa enggan menolong karena takut disangka penabrak lah, dll.
Namun, kepedulian melampaui batasan kuat-lemah itu. Dalam definisi tadi ada kata “with” atau kata “bersama” yang ditekankan. Ini berarti kita berada setara dengan orang yang perlu kita pedulikan. Kesetaraan membuat kita untuk melihat apa yang dilihat oleh orang lain dengan berada di dalam posisi mereka. Ibaratnya, kita duduk di kursi berhadap-hadapan dengan orang lain, apakah kita dapat melihat yang ia lihat? Tentu tidak! Sebaliknya, ketika kita berpindah posisi, dari berhadapan menjadi sejajar, kita akan melihat apa yang menjadi keprihatinannya. Demikian pula dengan kepedulian. Kepedulian diawali ketika kita mau merasakan apa yang ia rasakan.
Saya belajar peduli justru dari anak-anak. Pada saat camp anak kemarin, ada seorang anak yang menangis. Yang menarik, ketika melihat temannya menangis, teman-temannya langsung datang dang menghampiri dia. Ada yang membawakan temannya kue, ada yang membawakan temannya snack. Ada yang menemani sambil bertanya, “Kamu kenapa sedih? Aku temani ya.” Anak-anak dengan sangat polos dan lugu punya kesediaan untuk merasakan penderitaan orang lain.

2.    Dimensi kepedulian yang kedua
Saudara-saudara, Allah digambarkan sebagai pribadi yang melampaui orang yang membuka pintunya dengan terpaksa. Allah adalah Allah pribadi yang penuh kasih. Ia selalu sigap mendengarkan orang-orang yang meminta pertolongan dalam doanya. Ini berarti kepedulian, salah satunya diwujudnyatakan dalam sikap siap untuk mendengarkan, sama seperti Allah yang selalu sigap mendengarkan kita. Jika Allah adalah pribadi yang selalu mendengarkan kita, dalam kerangka “imitation Dei” alias “mengikuti jejak Allah” kita pun perlu menjadi orang yang sigap mendengarkan. Ini berarti dimensi kepedulian yang kedua adalah siap mendengarkan.
Pada suatu saat, Henry Nouwen pernah ditanya, “Siapakah teman yang paling peduli dalam hidup Anda? Henri Nouwen mengatakan bahwa jawabannya bukanlah orang yang banyak memberikan masukan, saran atau solusi. Orang yang paling peduli adalah orang yang ada bersama-sama dengan kita pada saat-saat kita berada di dalam pergumulan, yang dapat memahami beban kita. Orang yang mau mendengarkan kita menangis, bahkan tanpa berbicara apapun juga. Cukup hanya dengan berbicara, aku berada di sampingmu.
Saudara-saudara, dalam bulan anak ini, mari kita memeriksa kepedulian kita kepada anak-anak. Bagi yang sudah berkeluarga, pertanyaannya adalah apakah kita sudah menjadi orang tua yang peduli kepada anak? Kepedulian bukan sekadar memberikan keperluan fisik anak-anak, seperti makanan dll. Kepedulian juga adalah memberikan keperluan psikis dan spiritual bagi anak, yakni mendengarkan pergumulan mereka. Dalam camp anak yang lalu, dilakukan acara “survey” pada anak-anak. Anak-anak diminta untuk menceritakan pengalaman mereka apakah mereka pernah mengalami bullying dan menceritakan perasaan mereka. Dari 104 anak yang ikut, 28 anak sering mengalami bullying. 64 anak kadang-kadang. 9 orang tidak pernah.
Ketika diminta mengungkapkan perasaannya mereka rata-rata merasa sedih karena ada yang pernah dikata-katai, dipukul, ditendang, dikucilkan teman sekelasnya dan bahkan dibuka roknya di depan teman laki-lakinya. Apakah Anda sebagai orang tua tahu? Seberapa care kita pada anak-anak? Bagi yang berkeluarga dan memiliki anak-anak, adakah quality time di dalam keluarga, untuk secara khusus mendengarkan pergumulan mereka?

3.  Dimensi kepedulian yang ketiga
Dimensi kepedulian yang ketiga ditemukan dalam perumpamaan tamu yang datang di malam hari. Saudara-saudara, pada abad pertama, orang Yahudi sangat menjunjung tinggi hospitalitas. Tuan rumah harus menghidangkan tiga buah roti untuk para tamu yang datang ke rumah mereka, bahkan ketika mereka tiba pada tengah malam sekalipun. Ada kalanya sang empunya rumah kehabisan roti, sehingga mereka harus meminta pada tentangga mereka.
Tetangga tersebut harus membukakan pintunya dan memberikan roti, walaupun itu tengah malam sekalipun. Perlu diakui bahawa sebagian memberikan roti mereka dengan tulus, namun ada juga tetangga yang terpaksa memberikan karena mereka takut kehilangan nama baik di kampungnya jika tidak memberikannya.
Terlepas dari berbagai kecenderungan tersebut, kita melihat bahwa kepedulian bukanlah sekadar hal yang personal. Kepedulian adalah sebuah tindakkan membangun jejaring. Ada kalanya kita merasakan penderitaan orang lain, tapi kita tidak tahu harus bagaimana membantunya. Namun, orang lain tahu bagaimana membantunya. Sama seperti orang yang harus menerima orang lain, namun ia tidak punya roti tersebut. Ia meminta tolong lagi kepada orang lain untuk memberikan roti bagi si pendatang.

Penutup
Dalam budaya Yahudi, mereka tidak asal mengetuk pintu rumah orang lain. Mereka mengetuk orang yang mempunyai persediaan roti segar karena pada saat itu para ibu di Palestina tahu siapa tetangganya yang memiliki roti. Mereka hanya membuat roti sekali seminggu. Anda pasti pernah menjumpai orang-orang yang berharap mendapatkan kepedulian dari Anda. Mereka yang perlu dipedulikan adalah orang-orang yang tahu siapa kita dan berharap kita menunjukkan kepedulian pada mereka. Pertanyaannya, apakah kita mau menunjukkan kepedulian kita pada mereka dengan menempatkan diri kita pada posisi mereka, mendengarkan mereka dan dengan sigap mebuat koneksi untuk menolong, seperti yang telah diteladankan oleh Allah yang senantiasa membukakan pintu bagi kita yang mengetuk kepada-Nya? Amin J

Jakarta, 14 Juli 2013
16.00 WIB
YIL

Kamis, 27 Juni 2013

MARI “MENGACAUKAN BAHASA”!



Dalam gereja, ada berbagai macam kelompok mulai dari kategori usia, hobby hingga corak spiritualitas. Semuanya memang harus diwadahi dan mendapatkan ruang di dalam gereja. Biasanya, orang-orang yang sudah merasakan zona nyaman di kelompoknya, akan terus hadir untuk mengikuti setiap kegiatan di kelompoknya. Misalnya saja saya memerhatikan bahwa orang-orang yang datang ke kelompok meditasi adalah orang-orang yang sudah nyaman. Guru-guru Sekolah Minggu yang sangat setia berpuluh-puluh tahun mengajar di Sekolah Minggu dan disebut sebagai kakak. Pengurus komisi-komisi yang sudah sangat solid. Ini hanyalah sebagian contoh kecil, ada banyak contoh lainnya di dalam gereja yang dapat kita perhatikan.
Di satu sisi, kedekatan ini baik karena mereka memiliki ruang nyaman di dalam komunitasnya. Gereja menjadi rumah kedua, di mana mereka selalu nyaman untuk datang dan berbagi. Ada sukacita ketika berjumpa rekan-rekan dalam komunitasnya di dalam zona nyaman dan hangat. Di sisi lain, kedekatan ini dapat menjadi berbahaya ketika kedekatan ini tidak dikelola dengan baik dan berujung pada eksklusivisme. Virus eksklusivisme dapat membuat manusia menjadi sangat solid dalam kelompoknya, namun menjadi asing bagi orang atau kelompok lain.
Ketika merenungkan virus eksklusivisme yang berpotensi memecah gereja menjadi gereja-gereja kecil yang terpisah dan tidak terkoneksi satu sama lain, saya teringat dengan kisah penduduk yang membangun kota dan menara Babel. Kisah ini menjadi inspirasi bagi saya dalam memikirkan kondisi yang berpotensi (ataupun sudah)  menjadi masalah. Sebagai intermezo, saya sengaja tidak menggunakan frasa “menara Babel” untuk menghindari kelirumologi pemahaman bahwa TUHAN menghancurkan menara Babel.
Ada banyak orang yang menafsirkan tindakkan Tuhan mengacaukan bahasa penduduk Babel sebagai sebuah tindakkan penghukuman untuk menentang kesombongan dan arogansi penduduk Babel. Terlepas dari pengetahuan bahwa kisah ini adalah mitologi atau tidak, saya melihatnya sebagai hal yang lain. Menurut saya, tidak ada indikasi kesombongan dalam kalimat yang diucapkan manusia di ayat ke-3. Pertanyaan yang muncul dalam diri saya adalah, “Bukankah cita-cita manusia di Babel itu ingin bersatu supaya mereka tidak terserak di bumi? Lalu mengapa TUHAN menentang rencana untuk bersatu ini dan justru menyerakkan mereka dengan mengacaukan bahasa mereka? Apakah TUHAN menggunakan politik devide et impera?”
Dengan mengacu pada beberapa sumber tafsir, saya melihat tindakkan TUHAN ini sebagai tindakkan untuk mencegah dan meminimalisir kecenderungan ekslusivitas manusia yang lahir dari kelompok yang terlalu solid sehingga menjadi rigid. Bila kita memerhatikan, mitologi ini berasal dari Mesopotamia, bukan Palestina. Bisa jadi mereka belum berjumpa dengan kelompok lain. Apalagi, kalau kita memerhatikan perikop sebelumnya di pasal 10 yang berasal dari sumber yang berbeda dengan sumber kisah mitologi Babel, di ayat 5 dikatakan bahwa “keturunan Yafet masing-masing di tanahnya, dengan bahasanya sendiri, menurut kaum dan bangsa mereka.” Dalam konteks Mitologi sekalipun, sudah ada bangsa lain yang berbeda bahasa. Saya rasa, perjumpaan penduduk Babel yang diserakkan TUHAN dengan bangsa lain akan menimbulkan kesulitan dan kebahagiaan sendiri sebagai pengalaman perjumpaan dengan mereka yang berbeda. Mereka akan berjumpa dengan orang-orang lain setelah terserak ke bumi, walaupun kota itu berhenti dibangun. Mereka akan belajar  bergaul dalam keberagaman dan menikmati keindahannya, di luar kelompoknya yang mempunya tendensi untuk menjadi eksklusif.
 Kembali pada pergumulan “gereja-gereja kecil yang terpisah” itu, saya menjadi berpikir. Apakah kita perlu mengikuti teladan TUHAN untuk “mengacaukan bahasa”?
Dalam pengamatan saya, kelompok yang sudah solid memiliki bahasa kelompoknya sendiri yang mungkin tidak dipahami oleh orang lain atau kelompok lain. Yang paling mudah untuk diamati adalah pada remaja. Sebuah geng anak remaja memiliki bahasa simbolik sendiri yang tidak dipahami oleh kelompok lainnya. Ambil contoh, ketika saya praktik di salah satu gereja, ada sekelompok anak perempuan yang kalau bertemu bersama-sama menunjukkan symbol huruf L dan A melalui jari-jari tangan mereka. Saya terheran-heran apa itu “L A”? Apakah Los Angeles? Saya bertanya kepada mereka. Ternyata L A adalah singkatan dari Labil Alay, nama kelompok mereka.
Bahasa-bahasa kelompok ini tidak hanya dimiliki oleh kelompok remaja saja. Orang dewasa pun memilikinya dalam bentuk yang berbeda tentunya. Pada suatu kali, saya menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan salah seorang anggota pengurus wilayah. Saya bertanya, “Dari pengalaman Anda, menurut Anda mengapa orang enggan datang ke kegiatan yang dirancang wilayah?” Dia menceritakan pengalamannya. Dia mengaku bahwa dia belum lama tergabung menjadi pengurus wilayah. Awalnya, ia merasa tidak nyaman ketika masuk ke wilayah tersebut. Menurutnya, pengurusnya sibuk dengan percakapan dengan menggunakan bahasa di komunitasnya yang ia tidak pahami. Ia tidak nyaman. Menurutnya, hal ini juga yang dirasakan oleh anggota wilayah yang lain yang pertama kali datang. Dampaknya ada orang yang tidak merasa nyaman dan tidak mau lagi datang ke kegiatan wilayah. Namun, pribadinya yang cuek dan ingin melayani Tuhan membuat ia pun mencoba memahami bahasa kelompok tersebut.
Tidak semua orang seperti orang tersebut. Ada orang yang justru akan mundur setelah merasakan ketidaknyamanan itu. Oleh karena itu, saya terus bertanya, “Apakah kita perlu mengacaukan bahasa komunitas yang sudah solid?” Mungkin tidak seekstrim itu. Namun, rasanya perlu ada pembekalan bagi kelompok-kelompok yang sudah solid untuk “mengacaukan bahasa kelompok mereka sendiri” ketika berjumpa dengan pendatang yang baru dan komunitas di luar komunitasnya.
Bentuk konkret yang pertama adalah dengan melakukan pembinaan untuk berbahasa dengan “bahasa” yang digunakan oleh orang baru. Bukan mereka yang dipaksakan untuk memahami “bahasa komunitas” itu, tetapi kita lah yang menjemput bola untuk “memahami bahasa” mereka yang baru datang. Bukankah kita pun akan diperkaya dengan “bahasa” mereka yang baru datang? Bentuk konkret yang kedua adalah dengan membuat kelompok yang solid menjadi terserak dan berjumpa dengan kelompok lainnya. Beragam bentuk kebersamaan dapat digunakan untuk memfasilitasi proses “penyerakan” ini. Dengan penyerakan, kita akan berjumpa dengan kelompok lain sehingga kita merasakan kebahagiaan dalam perjumpaan dengan orang yang berbeda.
Mungkin dengan “mengacaukan bahasa” setiap kelompok yang bertendensi untuk menjadi eksklusif, orang yang baru datang tidak akan merasa menjadi orang asing di tengah bahasa yang tidak mereka mengerti. Mungkin dengan “mengacaukan bahasa” kelompok yang bertendensi menjadi eksklusif akan merasakan indahnya keberagaman untuk berbahasa dengan orang yang baru dan kelompok yang baru, tanpa harus meninggalkan kelompoknya yang lama. Mari kita “mengacaukan bahasa” bersama TUHAN!




 Jakarta, 28 Juni 2013
YIL