Pada tahun 2010, saya pernah
melakukan kesalahan bodoh kepada rekan saya. Pada saat itu, dia mengalami
dukacita karena sahabat terkasihnya, M, meninggal dunia. Sayangnya, rekan saya tidak dapat menemani M hingga akhir
hayatnya karena ia tidak berada di kota yang sama. Sayalah yang justru
mendapatkan kesempatan untuk mendampingi M.
Rekan saya –yang sudah
mempunyai firasat bahwa M akan segera “pulang”-- menghubungi saya melalui pesan
singkat. Ia menanyakan kondisi M. Bodohnya, saya pada saat itu tidak
menempatkan diri pada posisinya. Saya membalas pesannya seperti ini, “M sudah
bahagia sekarang, ia sudah berada bersama dengan Bapa. Ini yang terbaik untuk
M.” Saya tidak menyangka bahwa rekan saya membalas sms saya dengan penuh
kemarahan. “Bagaimana kau dapat mengatakan bahwa hal itu adalah yang terbaik
untuk M (dan untuk saya)? Bagaimana kau mengatakan bahwa peristiwa kecelakaan
dan kematiannya adalah hal yang baik?” ujarnya dalam SMS singkatnya. Saya merasa
tertampar pada saat itu. Saya mulai menyadari bahwa saya belum bisa berempati.
Saya hanya membalas SMS-nya dengan kalimat, “Maafkan saya karena mengatakan hal
yang tidak seharusnya saya katakan padamu.”
C.S. Lewis, penulis buku The Chronicle of Narnia, membantu saya
untuk memahami bagaimana perasaan orang yang berduka. Lewis pernah mengalami
perasaan tersinggung yang sama dengan rekan saya ketika ia mengalami
kedukaan. Lewis menceritakan pengalamannya ini dalam bukunya A Grief Observed (Mengupas Duka). Ketika
istrinya meninggal karena leukemia, rekan-rekannya berusaha untuk menghiburnya
dengan mengutip kata-kata Paulus, “Jangan berdukacita seperti orang-orang lain
yang tidak mempunyai pengharapan.” Dalam kemarahannya, raksasa intelektual di
abad 20 ini berkata, “Jangan bicara padaku tentang penghiburan dalam agama,
atau aku akan curiga bahwa Anda tidak memahami apa-apa.”
Lewis
dengan terbuka menceritakan pengalaman dukacitanya ketika maut merenggut istrinya
yang mengidap Leukemia. sehingga lima tahapan dukacita yang dikemukakan oleh Elizabeth Kübler-Ross, tampak nyata dalam buku ini. Pada bab pertama dan kedua, dengan jujur ia
mempertanyakan keberadaan Allah dalam duka. Dengan penuh kemarahan, ia juga
menyatakan kekecewaannya pada Allah sebagai Si Sadis Sejagad. Si Sadis Sejagad
itu tidak nyata ketika dukacita melandanya, namun nyata pada saat sukacita. Ia
mempertanyakan keberadaan istrinya saat ini. Ia bertanya mengapa orang-orang di
sekitarnya begitu yakin dengan imaji surga sebagai tempat yang indah? Mengapa
orang-orang begitu yakin akan adanya “reuni keluarga setelah kematian”, padahal
tidak ada satu ayat pun dalam Alkitab yang menjelaskan tentang “reuni”
tersebut?
Dalam bab tiga dan empat, tampak
emosi Lewis sudah menurun. Pada bagian-bagian ini, ia mulai dapat menerima
kematian istrinya dan melihat bahwa kekalutannya membuat ia tidak dapat memandang “pintu”
yang Allah bukakan baginya. Ia menyadari bahwa kesedihan yang mendalam, membuat
dirinya semakin terpisah jauh dari Allah dan istrinya yang telah meninggal. Dia akhir
babnya, ia menyatakan bahwa kedukaan adalah sebuah proses perjalanan, bukan
sebuah peta. Yang menarik di akhir bukunya, ia mengatakan bahwa kematian dan
kebangkitan adalah sebuah misteri. Kita tidak dapat memahaminya dan bahkan kita
tidak tahu apa-apa tentangnya.
Bahasa Lewis yang sangat jujur
tentang kekecewaan dan ketidakmengertiannya sangatlah menarik untuk saya. Bagi saya,
kejujuran macam ini diperlukan untuk membantu proses pemulihan luka atas
kehilangan orang yang kita kasihi. Kemarahan-kemarahannya yang dengan gamblang dinyatakan
dalam tulisan ini, membuat saya terus bertanya. Bagaimana sikap kita ketika
melayankan kebaktian penghiburan? Bagaimana kontribusi “iman” itu dapat
dinyatakan kepada orang-orang yang berduka. Akh, tampaknya menulis
khotbah-khotbah penghiburan akan semakin sulit…. Atau mungkin, pada satu saat
nanti, saya hanya memeluk orang yang berduka sebagai ganti khotbah penghiburan
itu. Mungkinkah?
Bandung,
di penghujung Januari 2013
YIL
Judul : A Grief Observed (Mengupas Duka)
Penulis: C.S.Lewis
diterbitkan pada tahun 1961 oleh Harper Collins Publisher
diterbitkan pada tahun 2010 dalam bahasa Indonesia oleh Pionir Jaya.