Rabu, 30 Januari 2013

A Grief Observed (Mengupas Duka)


Pada tahun 2010, saya pernah melakukan kesalahan bodoh kepada rekan saya. Pada saat itu, dia mengalami dukacita karena sahabat terkasihnya, M, meninggal dunia. Sayangnya, rekan saya tidak dapat menemani M hingga akhir hayatnya karena ia tidak berada di kota yang sama. Sayalah yang justru mendapatkan kesempatan untuk mendampingi M.
Rekan saya –yang sudah mempunyai firasat bahwa M akan segera “pulang”-- menghubungi saya melalui pesan singkat. Ia menanyakan kondisi M. Bodohnya, saya pada saat itu tidak menempatkan diri pada posisinya. Saya membalas pesannya seperti ini, “M sudah bahagia sekarang, ia sudah berada bersama dengan Bapa. Ini yang terbaik untuk M.” Saya tidak menyangka bahwa rekan saya membalas sms saya dengan penuh kemarahan. “Bagaimana kau dapat mengatakan bahwa hal itu adalah yang terbaik untuk M (dan untuk saya)? Bagaimana kau mengatakan bahwa peristiwa kecelakaan dan kematiannya adalah hal yang baik?” ujarnya dalam SMS singkatnya. Saya merasa tertampar pada saat itu. Saya mulai menyadari bahwa saya belum bisa berempati. Saya hanya membalas SMS-nya dengan kalimat, “Maafkan saya karena mengatakan hal yang tidak seharusnya saya katakan padamu.”  
C.S. Lewis, penulis buku The Chronicle of Narnia, membantu saya untuk memahami bagaimana perasaan orang yang berduka. Lewis pernah mengalami perasaan tersinggung yang sama dengan rekan saya ketika ia mengalami kedukaan. Lewis menceritakan pengalamannya ini dalam bukunya A Grief Observed (Mengupas Duka). Ketika istrinya meninggal karena leukemia, rekan-rekannya berusaha untuk menghiburnya dengan mengutip kata-kata Paulus, “Jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan.” Dalam kemarahannya, raksasa intelektual di abad 20 ini berkata, “Jangan bicara padaku tentang penghiburan dalam agama, atau aku akan curiga bahwa Anda tidak memahami apa-apa.”
Lewis dengan terbuka menceritakan pengalaman dukacitanya ketika maut merenggut istrinya yang mengidap Leukemia. sehingga lima tahapan dukacita yang dikemukakan oleh Elizabeth Kübler-Ross, tampak nyata dalam buku ini. Pada bab pertama dan kedua, dengan jujur ia mempertanyakan keberadaan Allah dalam duka. Dengan penuh kemarahan, ia juga menyatakan kekecewaannya pada Allah sebagai Si Sadis Sejagad. Si Sadis Sejagad itu tidak nyata ketika dukacita melandanya, namun nyata pada saat sukacita. Ia mempertanyakan keberadaan istrinya saat ini. Ia bertanya mengapa orang-orang di sekitarnya begitu yakin dengan imaji surga sebagai tempat yang indah? Mengapa orang-orang begitu yakin akan adanya “reuni keluarga setelah kematian”, padahal tidak ada satu ayat pun dalam Alkitab yang menjelaskan tentang “reuni” tersebut?
Dalam bab tiga dan empat, tampak emosi Lewis sudah menurun. Pada bagian-bagian ini, ia mulai dapat menerima kematian istrinya dan melihat bahwa kekalutannya membuat ia tidak dapat memandang “pintu” yang Allah bukakan baginya. Ia menyadari bahwa kesedihan yang mendalam, membuat dirinya semakin terpisah jauh dari Allah dan istrinya yang telah meninggal. Dia akhir babnya, ia menyatakan bahwa kedukaan adalah sebuah proses perjalanan, bukan sebuah peta. Yang menarik di akhir bukunya, ia mengatakan bahwa kematian dan kebangkitan adalah sebuah misteri. Kita tidak dapat memahaminya dan bahkan kita tidak tahu apa-apa tentangnya.
Bahasa Lewis yang sangat jujur tentang kekecewaan dan ketidakmengertiannya sangatlah menarik untuk saya. Bagi saya, kejujuran macam ini diperlukan untuk membantu proses pemulihan luka atas kehilangan orang yang kita kasihi. Kemarahan-kemarahannya yang dengan gamblang dinyatakan dalam tulisan ini, membuat saya terus bertanya. Bagaimana sikap kita ketika melayankan kebaktian penghiburan? Bagaimana kontribusi “iman” itu dapat dinyatakan kepada orang-orang yang berduka. Akh, tampaknya menulis khotbah-khotbah penghiburan akan semakin sulit…. Atau mungkin, pada satu saat nanti, saya hanya memeluk orang yang berduka sebagai ganti khotbah penghiburan itu. Mungkinkah?

Bandung, di penghujung Januari 2013
YIL


Judul   : A Grief Observed (Mengupas Duka)
Penulis: C.S.Lewis
diterbitkan pada tahun 1961  oleh Harper Collins Publisher 
diterbitkan pada tahun 2010 dalam bahasa Indonesia oleh Pionir Jaya.

Minggu, 13 Januari 2013

Ketika Dia Berdoa Untukku

Beberapa waktu lalu, aku datang ke kota tembakau untuk memenuhi janjiku. Aku pergi ke sana untuk mengunjungi seorang nenek tua, yang kisahnya sudah lebih dari dua kali kutuliskan. Namun, rasanya menulis tentangnya tiada ada habisnya. Dia bukan orang terpelajar. Dia bukan orang kaya. Dia adalah orang yang rumahnya beralaskan tanah, di sela-sela dua rumah yang hampir berdempetan.

Di sela-sela hujan yang semakin deras, aku mengetuk pintu rumahnya, yang tak layak juga disebut sebagai pintu. Dia tidak menyahut. Kutengok ke dalam rumah tak berjendela itu, namun ia tidak ada. Firasatku tak enak. Aku berlari menuju ke kios rokok, tempat ia berjualan. Lalu, kulihat dirinya memegang payung rombengnya. Aku berlari menerobos hujan dan kupeluk dia. Aku terkejut melihat wajahnya yang biru lebam. Dia menarik aku agar berlindung di bawah naungan payungnya.

Dengan tak sabar menahan rasa penasaran dan keterkejutanku, aku bertanya padanya, "Ma, kenapa mukanya biru?" Dia menahan isak tangis dan masih belum mau menceritakan pengalamannya padaku. Dia balik bertanya, "Kamu dari mana? Sekarang kerja di mana?" Aku termenung untuk sesaat karena dirinya masih dapat memerhatikan orang lain dalam kondisinya yang buruk. Aku pun menjawab pelan, "Aku sedang menunggu penempatan dan panggilan, Ma. Aku sedang berada dalam masa tenang dan ke sini khusus untuk bertemu dengan Ema."

Nenek tua itu mengucurkan air matanya dan menceritakan kejadian yang menimpanya kepadaku. Ia baru saja dirampok untuk yang ke-8 kalinya. Uangnya diambil. Ia tidak memegang uang sedikitpun. Ia dapat pergi ke rumah sakit karena diantar tukang becak dan masyarakat di sekitarnya.

Aku sedih sekali ketika memandang nenek tua ini. Anganku melayang menembus dimensi waktu, yakni sehari sebelum aku pulang dari kota tembakau itu. Di sore hari, ia datang memberiku amplop dan kue. "Ini bekal untuk di jalan, Nak" katanya. Aku mencium nenek tua renta ini. Pemberian ini sangat berharga bagiku. Seorang yang sangat terbatas, rela memberikanku hadiah. Bagi kebanyakan orang mungkin jumlahnya tak banyak. Namun bagiku, pemberian ini sangat berarti. Ia memberi dari apa yang ia miliki, bukan dari kelebihannya. Aku merasakan keharuan yang sulit digambarkan. Perasaan yang mungkin juga dialami Kristus, sewaktu Ia melihat janda miskin yang memberi persembahan.

Lamunanku buyar, ketika ia memegang tanganku dan berkata dengan suara lirih, "Ema tidak punya apa-apa. Ema mau berdoa untukmu dan untuk pekerjaanmu, agar Tuhan menempatkanmu di tempat yang sesuai dengan kehendak-Nya." Aku terisak. Perempuan ini berkata, "Jangan menangis dan jangan takut, ada Tuhan bersamamu." Ah, lagi-lagi Tuhan mengingatkanku untuk tetap berjuang melalui nenek tua ini. Aku menutup mataku dan mendengarkan doanya. Aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa isi doanya. Ia berdoa dalam bahasa Jawa dan dengan suara yang lirih. Namun, kurasakan getaran batin dan Tuhan berbicara melaluinya ketika ia berdoa untukku. Seolah-olah, dalam lirih ia berkata, "Maju dan yakinlah Tuhan akan menjaga dan menolongmu."

Aku membuka mataku ketika selesai berdoa. Kucium dan kupeluk dirinya. Aku selalu menemukan pengalaman berharga setiap kali mengunjunginya. Terima kasih untuk ketulusanmu. Aku tidak akan melupakanmu, engkau yang masih berdoa untuk orang lain walaupun dirimu mengalami penderitaan.


YIL
ketika mengenang perjalanan spiritual di bulan November 2012
Jakarta-Jogja-Temanggung-Bandung.

Jumat, 11 Januari 2013

Pulang: Novel Karya Leila S. Chudori




 “Rumah adalah tempat di mana aku bisa pulang.” 

Dimas Suryo


Percikan kalimat pendek di atas menjadi jantung dari novel Pulang. Pulang mengisahkan pergumulan para eksil yang terlibat maupun dituduh terlibat dalam peristiwa berdarah di tahun 1965. Mereka “terjebak” di Perancis dan tak dapat menjejakkan kakinya kembali ke Indonesia karena mengalami berbagai peraturan diskriminatif dari rezim Orde Baru. Hingga akhirnya mereka dapat kembali pulang --dalam bentuk manusia utuh ataupun seonggok mayat—ke Indonesia, setelah kejatuhan rezim Orde Baru di tahun 1998.

Novel bergenre sejarah ini berlatarkan tiga peristiwa kunci: Indonesia di tahun 1965, gerakan mahasiswa di Perancis di tahun 1968, dan kerusuhan Mei 1998 di Indonesia. Dengan alur yang sangat memikat di tengah-tengah ketakberaturannya, novel ini menggiring saya untuk memasuki tiga konteks itu dan dengan sigap menyerap saya dalam pusaran imajinasi tentang sisi lain dari peristiwa sejarah 1965, yakni pergumulan orang-orang yang dicap oleh pemerintah sebagai aktor beserta keluarganya. 


Novel bercorak pos-kolonial ini menceritakan fragmen-fragmen pergumulan para tokoh utama dan orang-orang yang dicap sebagai antek-antek PKI. Novel ini adalah sebuah bentuk penentangan terhadap gelombang besar produk tunggal historis yang diangkai oleh satu rezim. Dimas Suryo, Lintang Utara dan Segara Alam menjadi tiga tokoh utama dengan berbagai orang di sekitarnya. Bagi saya, keberadaan lebih dari satu tokoh kunci dan pergumulan orang-orang di sekitarnya membuat novel ini menjadi lebih memikat. 


Dimas Suryo menjadi seorang eksil –yang terpaksa menjadi eksil—di Perancis, karena menggantikan Hananto Prawiro (seorang redaktur di kantor Berita Nusantara yang berkaitan dengan PKI dan Lekra) untuk mengikuti Konferensi Wartawan Asia Afrika di Peking. Dimas Suryo bukanlah seorang golongan kaum kiri. Ia hanya terjebak dan dipandang sebagai golongan kaum kiri. Pada saat itu, Indonesia tidak mengenal warna dan arah lain selain hitam dan putih serta kiri dan kanan. Tidak ada kata bagi moderat dan sejuta warna lainnya. Dimas dicemplungkan ke dalam warna hitam dan kiri karena keterlibatannya di kantor Berita Nusantara. Hubungan Dimas dengan Hananto terpilin karena keberadaan Surti, mantan kekasih Dimas yang akhirnya memilih Hananto. Hananto menitipkan Surti dan ketiga anaknya kepada Dimas, setelah ia harus diburu dan akhirnya dihukum mati karena keterlibatannya dalam tubuh PKI. 

Dalam pelariannya di Perancis, ia berjumpa dengan Vivenne Deveraux. Vivenne adalah mahasiswi yang mengikuti unjuk rasa melawan pemerintah Perancis. Vivenne menjadi istri Dimas karena cinta pada pandangan pertama. Di Perancis, Dimas berjumpa kembali dengan kawan-kawannya yang menjadi eksil yakni: Nug, Tjai, dan Risjaf. Mereka merindukan untuk pulang ke rumah mereka: I.N.D.O.N.E.S.I.A. Hanya Risjaf yang berhasil pulang. Namun selebihnya tidak dapat pulang ke tanah airnya karena diskriminasi yang mereka alami sebagai orang-orang yang dicap “berbahaya” oleh polisi. Mereka pun mendirikan restoran Tanah Air sebagai ekspresi atas kerinduan mereka terhadap Indonesia dan desakkan dari dewa ekonomi yang memaksa mereka untuk bertahan hidup di Perancis. Di sela-sela alur besar ini, kita dapat menemukan kisah cinta dan prahara rumah tangga yang menarik serta alunan nada sedih dari orang-orang yang mereka tinggalkan di tanah air melalui untaian surat dan telegram yang mereka terima dari kerabat mereka yang harus menderita di Indonesia karena dianggap sebagai keluarga PKI. 

Lintang Utara Suryo adalah putri cantik dan pintar dari pasangan Dimas dan Vivenne. Ia menguasai tiga bahasa: Perancis, Inggris dan Indonesia. Cita-cita Dimas untuk menjejak ke tanah air diwakili oleh Lintang anaknya yang harus merampungkan tugas akhir studi strata satunya dengan membuat sebuah film dokumenter bertemakan pergumulan dan penderitaan keluarga orang-orang yang terlibat maupun dituduh sebagai anggota PKI.  Lintang berhasil mendapatkan visa ke Indonesia atas bantuan Narayana Lavebre (kekasihnya) dan teman-temannya. Mereka memasukkan nama Utara sebagai nama keluarga Lintang dan membuang nama Suryo dalam formulir pendaftaran visa milik Lintang.

Lintang pulang ke Indonesia pada saat-saat yang berat. Ayahnya, Dimas Suryo, sedang mengidap cirrhosis, penyakit yang dirahasiakan Dimas pada Lintang. Tidak hanya itu, keadaan politik dan ekonomi di Indonesia sedang memanas, yakni pada kisaran bulan Mei 1998. Di Indonesia, ia ikut mengalami peristiwa Mei 1998, yakni kerusuhan besar, penganiayaan terhadap etnis Tionghoa dan jatuhnya rezim Orde Baru, yang telah “menghadiahi” keluarga besar mereka dengan sebuah cap besar: DISKRIMINASI. Di Indonesia, ia harus mendengar kisah pedih dari keluarga orang-orang yang dicap terlibat PKI. Ia mendengarkan pedihnya ungkapan tante Surti Anandari yang mengalami pelecehan seksual pada saat diinterogasi. Ia merasakan kepedihan ketika ayahnya dimaki-maki oleh golongan “elit” yang mencicipi gelimang harta dari rezim orde baru. Ia merasakan pergumulan keluarga pamannya, Aji Suryo yang mengalami diskriminasi untuk mendapat pekerjaan di instansi pemerintahaan. Kisah hidup Lintang menjadi semakin menarik dengan bumbu kisah cinta segitiga yang dialaminya dengan Narayana dan Alam Sagara.

Alam Sagara adalah putra bungsu dari Surti Anandari (mantan kekasih Dimas) dan Hananto Prawiro. Laki-laki tampan ini memikat hati Lintang dalam cinta pada pandangan pertama. Ialah yang membantu lintang membuat film dokumenter itu dengan menghubungkan Lintang pada para korban dan tokoh-tokoh perjuanan Hak Asasi Manusia. Keterlibatannya dalam perjuangan menegakkan Hak Asasi Manusia, membuatnya memiliki jejaring dengan berbagai tokoh penting seperti Pramoedya Ananta Toer, Rendra dan tokoh-tokoh lainnya. Lintang dan Alam terlibat dalam pengejaran intel Orde Baru yang mengincar Alam sebagai targetnya. 


Tidak mudah untuk menceritakan kekayaan novel ini dalam sebuah tulisan singkat ini. Dari novel ini, saya belajar sisi lain sejarah dari perspektif orang-orang yang mengalami diskriminasi. Selama ini, orde baru memanipulasi dan menumpulkan daya kritis rakyatnya dengan membentuk sebuah narasi historis tunggal dari sudut pandang P.E.N.G.U.A.S.A.  Mereka yang disebut penguasa ini memercikan roh kebencian dan roh diskriminatif pada mereka dan keluarga mereka yang dimasukkan ke dalam kategori pelaku G.30. SPKI. Saya ingat setiap tanggal 30 September, diputar film tentang penembakan jendral yang dilakukan oleh anggota PKI, tanpa pernah menceritakan bagaimana pergumulan mereka dan orang-orang tak bersalah yang dianggap terlibat dalam pergerakkan ini. Di samping itu, dari novel ini saya juga mencicipi kebudayaan Indonesia yang berharga yakni kisah-kisah pewayangan Mahabarata dan berbagai kutipan dari pujangga Indonesia. Kekayaan budaya dan karya ini perlu diketahui oleh kaum muda bangsa Indonesia. Demi menimbulkan hasrat penasaran, saya tidak akan menceritakan detilnya dalam tulisan ini. Akhirnya, saya merekomendasikan para pencinta novel dan orang yang baru mau mencintai sastra untuk mengalami apa yang saya rasakan: terjun ke dalam pusaran imajinasi apik dalam novel berjudul Pulang.

Judul : Pulang
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit : Desember 2012


YIL
Januari 2013, 
dalam keheningan rumahku di Bandung 
rumah dan kota yang selalu membuat aku ingin pulang.