Sabtu, 23 Februari 2013

Resensi dan Refleksi: Peranakan Tionghoa di Indonesia


Dalam ingatan saya, ada beberapa fragmen peristiwa yang terekam dalam ingatan saya. Dari beberapa fragmen itu, saya mengenal diskriminasi. Peristiwa pertama terjadi ketika saya berusia sekitar 3 atau 4 tahun. Pada saat itu, saya bermain ke rumah seorang rekan yang tinggal di sekitar rumah. Namun, saya diusir oleh orang tuanya. Orang tuanya berkata kepada teman saya, “Jangan bermain dengan anak Cina! Mereka pelit dan rakus.” Pada saat itu, saya pulang ke rumah dengan hati yang sedih. Apa kesalahan saya sebagai anak peranakan Tionghoa sehingga saya tidak boleh bertandang ke rumah kawan saya? Peristiwa kedua terjadi ketika saya menginjak bangku sekolah dasar. Saya bersekolah di sekolah yang didominasi oleh anak peranakan Tionghoa. Dalam masa itu, ada seorang rekan saya yang non-peranakan Tionghoa yang mengalami bullying oleh rekan-rekannya. Saya –yang dulu sangat pendiam—bertanya kepada teman-teman saya. Mengapa dia dijauhi? Mengapa dia sering diejek-ejek. Jawaban teman saya mengejutkan. Katanya, “Karena dia bukan orang Tionghoa. Dia jorok dan hitam.”

Apa salahnya jika saya peranakan Tionghoa? Apa salahnya jika yang lain bukan peranakan Tionghoa? Apakah benar orang non-peranakan Tionghoa adalah orang yang malas, bodoh dan suka menipu? Apakah benar orang Tionghoa itu kaya, anti-sosial, pelit, rakus, individualis, gila uang, hanya bermain di ranah bisnis dan bukan di ranah politik? Pertanyaan-pertanyaan yang saya pertanyakan sejak kecil ini juga ditanyakan oleh Iwan Ong, penulis Peranakan Tionghoa di Nusantara.

Dalam Peranakan Tionghoa di Nusantara dikisahkan rekaman peristiwa dan kisah peranakan Tionghoa di Indonesia dalam corak penulisan etnografi. Kisah-kisah dalam buku ini diuntai secara apik dan seharusnya dapat mendobrak stigma dan stereotipe yang merasuki pemikiran rakyat Indonesia. Salah besar jika selama ini kita memandang bahwa hubungan antara peranakan Tionghoa dengan penduduk lokal tidak terjalin mesra. Pendapat ini dikukuhkan oleh Iwan Ong melalui pengalaman interaksi Cina Benteng dan orang Tionghoa di Bali bersama dengan penduduk lokal. Dengan demikian, cap bahwa orang peranakan Tionghoa yang individualis dan anti-sosial pun tidak dapat digeneralisir.

Stereotip bahwa orang peranakan Tionghoa kaya, pelit, rakus dan gila uang didobrak dengan kisah bayi Sherryl, Encim Ie Yong dan beberapa tokoh lainnya. Bayi Sherryl sakit dan hampir mati karena orang tuanya sangat miskin dan tidak dapat membiayainya untuk dirawat di rumah sakit. Orang tua Sherryl –Hartoyo dan Lina- meminta surat keterangan miskin dari kelurahan Kalideres. Namun, pihak kelurahan tidak memberikannya karena mereka tidak percaya bahwa ada orang Tionghoa yang miskin. Akhirnya mereka hanya mendapat surat keterangan tidak mampu saja sehingga mereka hanya mendapatkan setengah potongan biaya pengobatan dari rumah sakit. Belum lagi, ditambah dengan kisah Encim Ie Yong yang penghasilannya hanya Rp.150.000,- per bulan. Pekerjaannya adalah membungkus cotton bud, yang upah per lusinnya isi 100 batang hanya Rp. 200,- .  Yang menarik, di tengah kondisi kemiskinannya, ia masih tetap mau berderma di sebuah wihara di Jelambar.

Rekaman peristiwa yang disajikan oleh Iwan Ong ini seharusnya dapat mendobrak stigma yang muncul di kalangan masyarakat. Pertama-tama pemaparannya adalah sebuah otokritik bagi orang-orang peranakan Tionghoa yang harus belajar dari leluhurnya yang mau berbaur dengan penduduk non-peranakan Tionghoa. Kedua, pemaparannya juga menjadi otokritik bagi mereka yang memiliki stigma buruk terhadap orang peranakan Tionghoa. Dalam tulisan ini, saya hanya akan merefleksikan kontribusi Iwan Ong yang pertama, yakni otokritik bagi peranakan Tionghoa di Indonesia.
Sebagai sebuah otokritik terhadap diri saya sendiri --sebagai anak peranakan Tionghoa-- saya merasa perlu untuk meninjau ulang istilah sindiran yang sering ditujukan kepada orang non-Tionghoa seperti ingniren, huana dan tiko. Apakah orang yang menyebutkan memahami artinya?

Saya sempat penasaran dan mencari arti tiga kata itu di internet. Kata Huana berarti orang asing atau orang non-Han. Kata ini berasal dari dialek Hokkian. Bagi saya, kata ini bernada netral. Namun, kata ini menjadi bernada negatif karena diucapkan dengan nada melecehkan. Pertanyaan reflektif bagi saya adalah bukankah orang peranakan juga sudah menjadi huana? Bukankah saya dan orang Tionghoa peranakan lainnya sudah menjadi orang asing di negeri tirai bambu? 

Selanjutnya, kata Tiko berarti babi jantan. Bagaimana istilah babi jantan dapat dikenakan pada manusia? Sudah jelas bahwa istilah ini tidak pantas lagi diungkapkan kepada orang-orang non-Tionghoa. Sudah waktunya kata ini dikembalikan fungsinya. Sebutlah “babi” kepada babi, dan bukan kepada manusia!

Terakhir, kata Ingni ren berarti orang Indonesia asli. Kata ini dapat disejajarkan dengan kata Cungko ren yang artinya orang Cina asli. Saya berpendapat bahwa kata ini bernada netral, jika diungkapkan dengan netral. Saya sendiri sebagai seorang peranakan Tionghoa di Indonesia merasa sebagai Ingni ren. Saya lahir di Indonesia dan dibesarkan di Indonesia. Saya mencintai bangsa Indonesia. Menurut saya, saya melukai diri sendiri jika kata Ingni ren disalah-gunakan untuk merendahkan orang non-peranakan Tionghoa. Mengapa? Karena saya adalah seorang peranakan Tionghoa yang memiliki identitas sebagai orang Indonesia asli.

Dari ketiga kata itu, menurut saya ada kata-kata yang perlu ditinjau ulang penggunaannya, dikembalikan fungsinya dan dimaknai ulang agar menjadi positif. Sudah waktunya peranakan Tionghoa mendobrak dinding segregasi etnis. Diskriminasi dalam rupa apapun sudah waktunya dikremasi! Dibakar habis menjadi abu dan dibuang ke laut. Ya, mulailah dari lingkup yang paling kecil: dari diri sendiri. Marilah bersama-sama bertransformasi ke arah yang lebih baik. Marilah belajar untuk terbuka, seperti Yesus yang terbuka dan bersikap outside of the box. Ia mau cara pandang-Nya ditransformasi dalam perjumpaannya dengan perempuan Siro-Fenisia. J

Judul Buku      : Peranakan Tionghoa di Nusantara
Penerbit           : PT Kompas Media Nusantara
Penulis            : Iwan Ong
Tahun terbit     : 2012


YIL
Jakarta, 23 Februari 2013

Jumat, 01 Februari 2013

Tuhan, Berikan Kami....

Tuhan berikan kami air mata dan bukan tangan besi,
agar kami dapat berbagi penderitaan dengan orang yang kami layani
dan bukan membuat orang yang kami layani menderita karena perlakuan kami.

Tuhan berikan kami telinga yang terbuka dan bukan hati yang penuh ambisi,
agar kami dengan bijak mendengar masukan dan keluh kesah dari umat serta sahabat seperjalanan kami
dan bukan melayani demi ambisi: kedudukan dan jabatan.

Tuhan berikan kami kaki yang tak goyah dan bukan mulut yang menerima suap,
agar kami dapat melangkah untuk melayani Engkau dengan keteguhan hati
dan kami tidak dapat dibeli dan dikuasai oleh harta ataupun mereka yang mendaku punya kuasa.

Tuhan berikan kami mulut yang tajam dan bukan jari yang bersilang di balik badan,
agar kami dapat menyuarakan suara kebenaran-Mu
dan  kami tidak bermain curang di belakang-Mu dan umat-Mu.

Tuhan berikan kami leher tertunduk dan bukan kepala yang menengadah,
agar kami menunduk dalam penuh pengabdian pada-Mu
dan kami tidak menengadah untuk menyombongkan apa yang telah kami lakukan.

Amin. 

Bandung, 1 Februari 2012
YIL