Selasa, 16 Juli 2013

Belajar tentang Integritas dari Mutiara Hitam


Majalah Tempo edisi 3-9 Juni 2013, memberikan pernyataan yang menarik tentang figure Yap Thiam Hien. Yap Thiam Hien mendapatkan gelar minoritas dalam tiga lapisan: Cina, Kristen dan jujur. Pernyataan di majalah Tempo ini menarik karena orang yang jujur dimasukkan ke dalam kategori minoritas. Pada masa kini, orang yang jujur mungkin termasuk pada kategori “langka”. Manusia terjerat untuk menukar kejujuran –yang menunjukkan integritas pribadinya—dengan gelimang harta, kedudukan, kekuasaan, nama baik, dan tawaran menggiurkan lainnya.
            Dalam perjalanan ke tanah Papua beberapa waktu yang lalu, saya menjumpai seorang mutiara hitam Kristen yang jujur. Dengan penuh kejujuran dan keberanian, alumnus dari salah satu perguruan tinggi di Surabaya ini berani menyatakan kebenaran. Ia berani mengkritisi para penguasa dari tanahnya sendiri. Ia mengkritisi saluran yang meraup alokasi dana yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat Papua di pedalaman. Dalam sebuah perjumpaan antara para penguasa dengan perwakilan lembaga internasional yang memberikan bantuan dana bagi masyarakat Papua di pedalaman, dengan lantang ia berkata, “Kalian salah memberikan dana kepada orang-orang ini. Dananya mereka pangkas sehingga masyarakat di pedalaman tidak merasakannya. Desa-desa tetap tidak dibangun. Pendidikan minim dan pelayanan kesehatan sangat buruk”
Sebagai upah dari tindakannya, mutiara hitam ini dibuang selama lima tahun ke desa Sanfarmun, kecamatan Soukorem Papua Barat. Desa ini dianggap sebagai desa yang terisolasi, karena akses transportrasi menuju ke sana sangat sulit. Pada saat saya menuju ke sana bersama dengan rombongan GKI Kayu Putih, kondisinya memang tidak begitu baik. Tidak ada tenaga medis di sana. Hanya ada seorang kepala sekolah di sana dan mungkin satu hingga dua orang guru lainnya. Entah bagaimana kondisi yang harus dihadapi oleh putra daerah ini beberapa tahun yang lalu pada saat ia ditugaskan di desa itu. Mungkin saja kondisinya lebih buruk.
Dalam “pembuangannya”, Ia ditugaskan untuk menjadi mantri selama lima tahun di desa itu. Dengan penuh keberanian, ia menanggung akibat dari integritasnya sebagai manusia yang jujur, yang tak dapat dibeli oleh uang. Yang menarik, ia dapat menikmati hidup bersama dengan masyarakat di tempat pembuangan itu. Ia menata dan mengusahakan kesejahteraan desa tersebut. Ia mendidik masyarakat di Sanfarmun agar tidak mengalami ketergantungan pada suplay beras bulog. Sayangnya, waktu lima tahun memang belum cukup untuk membuat masyarakat untuk menjadi mandiri. Tampaknya, perlu orang-orang yang memiliki cinta yang besar untuk melayani di sana dalam rentang waktu yang lebih lama.
Di akhir percakapan dengan saya, ia mengatakan untaian kalimat yang membuat saya tersentak. Saya merasa Tuhan berbicara kepada saya melalui orang ini. Ia mengatakan, “Walaupun mereka membuang ke tempat ini, saya tetap bertahan. Saya bertahan karena saya hidup untuk Tuhan, bukan untuk penguasa. Tuhan yang memberikan kehidupan kepada saya, untuk apa saya kuatir.” Terima kasih mutiara hitam yang telah memberikan inspirasi bagi saya tentang arti integritas melalui kejujuran dan keberanianmu. Wajah Allah sungguh nyata dalam dirimu.
Jakarta, 17 Juli 2013
YIL

Minggu, 14 Juli 2013

Peduli Sesama (dalam rangka bulan anak)


Teks dari: Lukas 11:1-13


Biasanya, kalau membaca perikop tentang hal berdoa, mata kita selalu tertuju pada ayat ini. “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” (Lukas 11:9) Penafsiran yang dominan adalah perihal permohonan pribadi pada Tuhan. Ketika berada dalam pergumulan, tak henti-hentinya kita berdoa meminta pertolongan pada Tuhan dengan tekun dan gigih. Kita yakin bahwa ketika kita mengetuk terus-menerus, maka Tuhan akan membukakan pintu.
Sebenarnya, perikop ini dapat dibaca dari sisi yang lain. Oleh karena itu, saya tidak akan membahas perihal kegigihan dalam berdoa. Saya justru ingin mengajak saudara-saudara sekalian untuk melihat sisi lain dari perikop tentang doa ini. Perikop tentang doa ini juga mengajarkan tentang kita tentang KEPEDULIAN. Ada tiga hal yang menunjukkan dimensi kepedulian dalam teks ini
1.            Dimensi kepedulian yang pertama
Kalau kita memerhatikan ayat yang ke-13, dikatakan “Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya”. Kalimat ini berbeda dengan kalimat doa bapa kami dalam injil Matius. Dalam Injil Matius dikatakan, “Berikanlah kami hari ini makanan kami yang secukupnya.” Perbedaannya adalah pada setiap hari dan hari ini. Mengapa penulis Lukas menulis setiap hari? Karena pada konteks zaman ketika Lukas menulis injilnya banyak orang yang menderita kelaparan. Lukas menulis teks ini dengan penuh keprihatinan sambil membayangkan betapa beratnya beban hidup mereka. Jangankan untuk makan esok hari, makan untuk hari ini saja entah dari mana. Mereka hidup dari hari ke hari tanpa jaminan apapun, tanpa asuransi.
Saudara-saudara yang terkasih, dari Lukas sebenarnya kita dapat belajar bahwa kepedulian diawali dengan sikap mau merasakan bagaimana penderitaan orang lain. Dalam bahasa Inggris kata peduli adalah care. Care ini berasal dari bahasa Gothic, yaitu Kara, yang berarti meratap bersama-sama, merasakan penderitaan dan menangis bersama.
Dari konteks kepedulian Lukas dan dari definisi ini saya tersadar akan kekeliruan yang seringkali kita pahami. Seringkali kita memandang bahwa kepedulian adalah sebuah sikap dari yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah. Dari yang lebih punya kuasa terhadap yang kurang berkuasa. Misalnya saja, ketika ada orang yang kecelakaan di jalan, ada di antara kita mungkin yang merasa enggan menolong karena takut disangka penabrak lah, dll.
Namun, kepedulian melampaui batasan kuat-lemah itu. Dalam definisi tadi ada kata “with” atau kata “bersama” yang ditekankan. Ini berarti kita berada setara dengan orang yang perlu kita pedulikan. Kesetaraan membuat kita untuk melihat apa yang dilihat oleh orang lain dengan berada di dalam posisi mereka. Ibaratnya, kita duduk di kursi berhadap-hadapan dengan orang lain, apakah kita dapat melihat yang ia lihat? Tentu tidak! Sebaliknya, ketika kita berpindah posisi, dari berhadapan menjadi sejajar, kita akan melihat apa yang menjadi keprihatinannya. Demikian pula dengan kepedulian. Kepedulian diawali ketika kita mau merasakan apa yang ia rasakan.
Saya belajar peduli justru dari anak-anak. Pada saat camp anak kemarin, ada seorang anak yang menangis. Yang menarik, ketika melihat temannya menangis, teman-temannya langsung datang dang menghampiri dia. Ada yang membawakan temannya kue, ada yang membawakan temannya snack. Ada yang menemani sambil bertanya, “Kamu kenapa sedih? Aku temani ya.” Anak-anak dengan sangat polos dan lugu punya kesediaan untuk merasakan penderitaan orang lain.

2.    Dimensi kepedulian yang kedua
Saudara-saudara, Allah digambarkan sebagai pribadi yang melampaui orang yang membuka pintunya dengan terpaksa. Allah adalah Allah pribadi yang penuh kasih. Ia selalu sigap mendengarkan orang-orang yang meminta pertolongan dalam doanya. Ini berarti kepedulian, salah satunya diwujudnyatakan dalam sikap siap untuk mendengarkan, sama seperti Allah yang selalu sigap mendengarkan kita. Jika Allah adalah pribadi yang selalu mendengarkan kita, dalam kerangka “imitation Dei” alias “mengikuti jejak Allah” kita pun perlu menjadi orang yang sigap mendengarkan. Ini berarti dimensi kepedulian yang kedua adalah siap mendengarkan.
Pada suatu saat, Henry Nouwen pernah ditanya, “Siapakah teman yang paling peduli dalam hidup Anda? Henri Nouwen mengatakan bahwa jawabannya bukanlah orang yang banyak memberikan masukan, saran atau solusi. Orang yang paling peduli adalah orang yang ada bersama-sama dengan kita pada saat-saat kita berada di dalam pergumulan, yang dapat memahami beban kita. Orang yang mau mendengarkan kita menangis, bahkan tanpa berbicara apapun juga. Cukup hanya dengan berbicara, aku berada di sampingmu.
Saudara-saudara, dalam bulan anak ini, mari kita memeriksa kepedulian kita kepada anak-anak. Bagi yang sudah berkeluarga, pertanyaannya adalah apakah kita sudah menjadi orang tua yang peduli kepada anak? Kepedulian bukan sekadar memberikan keperluan fisik anak-anak, seperti makanan dll. Kepedulian juga adalah memberikan keperluan psikis dan spiritual bagi anak, yakni mendengarkan pergumulan mereka. Dalam camp anak yang lalu, dilakukan acara “survey” pada anak-anak. Anak-anak diminta untuk menceritakan pengalaman mereka apakah mereka pernah mengalami bullying dan menceritakan perasaan mereka. Dari 104 anak yang ikut, 28 anak sering mengalami bullying. 64 anak kadang-kadang. 9 orang tidak pernah.
Ketika diminta mengungkapkan perasaannya mereka rata-rata merasa sedih karena ada yang pernah dikata-katai, dipukul, ditendang, dikucilkan teman sekelasnya dan bahkan dibuka roknya di depan teman laki-lakinya. Apakah Anda sebagai orang tua tahu? Seberapa care kita pada anak-anak? Bagi yang berkeluarga dan memiliki anak-anak, adakah quality time di dalam keluarga, untuk secara khusus mendengarkan pergumulan mereka?

3.  Dimensi kepedulian yang ketiga
Dimensi kepedulian yang ketiga ditemukan dalam perumpamaan tamu yang datang di malam hari. Saudara-saudara, pada abad pertama, orang Yahudi sangat menjunjung tinggi hospitalitas. Tuan rumah harus menghidangkan tiga buah roti untuk para tamu yang datang ke rumah mereka, bahkan ketika mereka tiba pada tengah malam sekalipun. Ada kalanya sang empunya rumah kehabisan roti, sehingga mereka harus meminta pada tentangga mereka.
Tetangga tersebut harus membukakan pintunya dan memberikan roti, walaupun itu tengah malam sekalipun. Perlu diakui bahawa sebagian memberikan roti mereka dengan tulus, namun ada juga tetangga yang terpaksa memberikan karena mereka takut kehilangan nama baik di kampungnya jika tidak memberikannya.
Terlepas dari berbagai kecenderungan tersebut, kita melihat bahwa kepedulian bukanlah sekadar hal yang personal. Kepedulian adalah sebuah tindakkan membangun jejaring. Ada kalanya kita merasakan penderitaan orang lain, tapi kita tidak tahu harus bagaimana membantunya. Namun, orang lain tahu bagaimana membantunya. Sama seperti orang yang harus menerima orang lain, namun ia tidak punya roti tersebut. Ia meminta tolong lagi kepada orang lain untuk memberikan roti bagi si pendatang.

Penutup
Dalam budaya Yahudi, mereka tidak asal mengetuk pintu rumah orang lain. Mereka mengetuk orang yang mempunyai persediaan roti segar karena pada saat itu para ibu di Palestina tahu siapa tetangganya yang memiliki roti. Mereka hanya membuat roti sekali seminggu. Anda pasti pernah menjumpai orang-orang yang berharap mendapatkan kepedulian dari Anda. Mereka yang perlu dipedulikan adalah orang-orang yang tahu siapa kita dan berharap kita menunjukkan kepedulian pada mereka. Pertanyaannya, apakah kita mau menunjukkan kepedulian kita pada mereka dengan menempatkan diri kita pada posisi mereka, mendengarkan mereka dan dengan sigap mebuat koneksi untuk menolong, seperti yang telah diteladankan oleh Allah yang senantiasa membukakan pintu bagi kita yang mengetuk kepada-Nya? Amin J

Jakarta, 14 Juli 2013
16.00 WIB
YIL