Minggu, 06 Oktober 2013

NILAIMU BUKAN 100!


Kisah kerelaan Abraham dalam mengorbankan Ishak anaknya (Kejadian 22:1-19) adalah kisah yang tidak asing lagi di telinga para penganut agama Yahudi dan Kristen. Hal apakah yang ada di pikiran Anda setiap kali membaca kisah ini? Dugaan saya, sebagian besar dari kita akan menjawab bahwa kisah ini mengisahkan ujian ketaatan dari Allah terhadap Abraham. Singkat cerita, Abraham berhasil melewati ujian dari Allah. Abraham berhasil mendapatkan nilai 100! Ia mendapatkan pujian atas ketaatannya dan kerelaannya mengorbankan Ishak bagi Allah. Tafsir popular semacam inilah yang berkembang di kalangan umat.
            Namun, izinkan saya untuk memilih perspektif tafsir yang berbeda ketimbang tafsiran popular itu. Bagi saya, nilai ujian Abraham bukan 100! Pilihan terhadap perspektif tafsir ini berangkat dari sebuah imajinasi dan keprihatinan saya atas tindak terorisme yang semakin merajalela. Kita teringat kisah pemboman WTC, bom Bali, dan bom Kuningan. Beberapa waktu yang lalu, tanggal 21 September 2013, kelompok ekstrimis Al-Sahab dari Somalia meledakkan bom di pusat perbelanjaan Nairobi Kenya. Sehari setelah kejadian itu, 22 September 2013 terjadi ledakkan bom bunuh diri di All Saints Church, Pakistan.
            Saya membayangkan bahwa kelompok ekstrimis –dari agama manapun—dapat menggunakan teks ini untuk membenarkan tindakkan kekerasan yang mereka lakukan atas nama Tuhan. Bukankah ketaatan Abraham saja dipuji Allah atas kerelaannya untuk membunuh anaknya untuk menjadi korban? Pararel dengan itu, bukankah teroris dapat dipuji karena kesediaan mereka untuk mati demi ketaatan mereka kepada Allah? Oh, sungguh mengerikan sekali cara tafsir ini!
Lalu, adakah alternatif tafsiran yang lain? Tentu saja ada! Saya terkesima ketika membaca tafsiran God’s Call to End Zealotry dari Joshua Stanton di Huffington Post. Dia mengatakan, ”Our desires sometimes lead us astray from what we feel is right. But sometimes even what we feel is right proves wrong.Kira-kira inilah yang terjadi pada Abraham. Dalam Kejadian 22, Abraham merasa yakin dan bersedia membunuh Ishak, anak yang ia kasihi atas dasar penghormatan dan ketaatan kepada Allah.
Menurut Esther M. Menn, sikap Abraham ini dirangsang oleh kepercayaan masyarakat dalam tradisi timur dekat kuno. Masyarakat pada masa itu melakukan tradisi pengorbanan anak pertama/ hewan pertama yang lahir dari rahim ibu/induknya. Anak dan hewan yang pertama lahir dibunuh untuk dipersembahkan kepada dewa-dewi yang menguasai daerah mereka.
Dengan demikian, Abraham pada poin ini justru diuji untuk mengenal Allah. Hasilnya, Abraham kurang berhasil dalam ujian untuk mengenal siapakah Allah yang ia sembah. Ia melupakan perjanjian yang pernah Allah ucapkan pada dalam Kejadian 17. Ia lupa bahwa Allah adalah Allah yang penuh kasih, yang mau berdialog, seperti ketika Abraham memohon agar Allah tidak membinasakan semua orang di Sodom dan Gomora. Allah yang ia sembah berbeda dengan dewa-dewa di Timur Dekat Kuno.
Kalau kita memperhatikan teks ini, kita melihat respons Allah yang sungguh menarik, Allah langsung mengirimkan malaikatnya untuk mencegah Abraham untuk membunuh anaknya. Panggilan malaikat sebanyak dua kali --“Abraham! Abraham!”-- menandakan bahwa Allah tidak ingin Abraham membunuh Ishak. Allah tidak sama dengan dewa-dewi di Timur Dekat Kuno yang menghendaki persembahan berupa korban anak dan hewan sulung. Kata menyediakan dalam ayat 14 berasal dari bahasa Ibradi yi’reh. Yi’reh dapat diterjemahkan dengan melihat. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa Allah melihat. Allah menjadi saksi untuk menolak pengorbanan anak yang selama ini terjadi di Timur Dekat Kuno.
Dalam benak kita mungkin muncul sebuah pertanyaan, Bukankah Allah memuji Abraham atas ketaatannya kepada Allah dan malah menganugerahkan berkat? Betul, Allah memang memuji loyalitas dan pengorbanan Abraham kepada Allah. Namun, tokh Allah tetap tidak membenarkan tindakkan Abraham untuk membunuh anaknya. Allah justru mencegahnya sebagai suatu pembelajaran dalam ujian itu agar Abraham semakin mengenal Allah yang penuh kasih dan bukan Allah yang kejam. Allah pun mengingatkan Abraham dengan mengulangi janji yang pernah Ia sebutkan sebelumnya, bahwa Ia akan memberikan Abraham keturunan yang banyak seperti bintang di langit dan pasir di laut.
Bagaimana dengan kita? Jangan-jangan kita selama ini merasa benar seperti Abraham dan para teroris dalam berbagai ujian hidup yang kita hadapi. Kita merasa bahwa kita melakukan hal yang benar atas dasar ketaatan kepada Allah. Namun, faktanya hal tersebut malah melukai orang-orang yang ada di sekeliling kita. Masih layakkah hal semacam ini disebut sebagai ketaatan?
Periksalah prinsip ketaatan kita dalam ruang lingkup manapun kita berkarya. Misalnya saja, Saya teringat kisah orang tua yang mengusir dan tidak mengakui anaknya lagi karena anaknya hamil di luar nikah. Orang tuanya merasa apa yang dilakukannya benar karena anaknya dianggap menodai kekudusan Tuhan dan mencemarkan nama keluarga? Dalam ruang lingkup pekerjaan, atas dasar ketaatan pada hukum kasih, kita tidak menegur orang yang melakukan kecurangan atau bekerja dengan tidak benar. Apakah itu dapat dibenarkan? Apakah benar, dengan berlandaskan ketaatan untuk melayani Tuhan, kita membiarkan gaji karyawan berada di bawah UMR?
Bagi saya, ketaatan yang Allah maksudkan bukanlah ketaatan buta. Ketaatan yang Allah maksudkan adalah ketaatan yang kritis, untuk membedakan mana kehendak Allah dan mana yang bukan kehendak Allah. Ketaatan yang Allah maksudkan adalah ketaatan penuh untuk mengenali siapa Allah di dalam hidup kita. Bukankah ketaatan semacam ini yang perlu kita lakukan? Selamat menunaikan ketaatan yang kritis dalam berbagai ujian di dalam hidup kita.

Jakarta, 6 Oktober 2013
YIL