Jumat, 18 April 2014

AKU TELAH MELIHAT TUHAN (First Perspective Biblical Story)


Tidak salah aku lewat ke tempat ini. Aku jadi punya kesempatan untuk melihat pertunjukkan yang keren itu. Eh, adik-adik…. Aku saat ini sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat untuk menyampaikan sebuah berita. Namaku, hmmm…. Kasih tahu ga yah? Oh ya, setelah aku selesai bercerita, kalian boleh menebak siapa aku.

Baiklah, aku lanjutkan ceritaku. Tadi aku bilang bahwa aku pembawa berita. Aku mau menyampaikan satu berita penting kepada murid-murid Yesus. Beritanya begini, “Aku telah melihat Tuhan.” Wah kalian tentu bertanya-tanya khan, kapan aku melihat Tuhan?
Ceritanya begini: Pada saat itu, aku pergi ke kubur Yesus pagi-pagi benar, waktu ayam juga belum bangun. Aku melihat pintu kuburnya terbuka. Oh ya, kuburan di tempatku berbeda dengan kuburan di tempat ini. Kuburan di tempatku bentuknya seperti itu: (ppt kuburan Yesus). Ah, jangan-jangan mayatnya dicuri. Aku pun diam-diam masuk ke dalam kuburan itu. Dan ternyata benar! Mayatnya tak ada! Yang ada hanyalah dua orang berpakaian sangat putih dan mereka bertanya, “Ibu mengapa engkau sangat sedih?”

Huh! Siapa yang tidak sedih? Aku sedih sekali pada saat itu. Air mataku lagsung menetes waktu melihat mayat Tuhan Yesus tak ada. Orang-orang itu menyalibkan Tuhan Yesus. Dan sekarang mereka mencuri mayatnya. Aku merasa sedih karena mayat guruku dicuri. Bagiku, Tuhan Yesus itu orang yang sangat berarti. Dulu, aku tidak punya teman. Tidak ada seorangpun yang mau mendekati aku. Aku selalu sendirian. Orang-orang lain takut terhadapku karena di dalam diriku ada tujuh setan. Tapi, Tuhan Yesus tidak menjauhi aku. Ia menolong aku. Ia mengusir setan yang ada di dalam diriku. Karena itulah, aku sangat sedih ketika mayatnya dicuri. Aku merasa pelindungku hilang. Jika Dia tak ada, aku takut kalau setan itu masuk ke tubuhku lagi.

Tiba-tiba dari belakang ada yang menepuk pundakku. Dia bertanya, “Ibu kenapa engkau menangis?” Uh, sepertinya ada penunggu taman yang iseng. Dia tidak tahu apa kalau aku sedang sedih. Aku langsung kesal. Mungkin, dia yang mengambil mayat Tuhan Yesus. aku katakan padanya, “Pak kalau bapak yang memindahkan mayatnya, tolong beri tahu saya di mana Bapak mengambil mayatnya. Tapi laki-laki itu tidak menjawab pertanyaanku. Ia malah memanggil namaku. Aku tersadar, bahwa dia adalah Tuhan Yesus. Ah, aku telah melihat Tuhan. Ternyata benar yang dikatakannya dulu bahwa Ia akan bangkit pada hari ke-3 setelah ia mati. Aku telah melihat Tuhan! Adik-adik, Tuhan Yesus telah bangkit. Berita ini yang mau aku sampaikan pada kalian semua. Ia telah memberi kemenangan kepadaku. Aku tidak sedih lagi. Aku tidak takut lagi setan masuk ke tubuhku karena Tuhanku telah menang.

Adik-adik, Tuhan Yesus telah bangkit. Ia memberikan kemenangan buat kita. Karena itu, kita harus menggunakan talenta kita untuk memberitakan bahwa Tuhan Yesus telah bangkit dan menang. Tadi, aku lihat semua peserta sudah menunjukkan semua talentanya: Ada yang bisa main sulap, ada yang bisa nyanyi, ada yang bisa nari! Semuanya sudah  mempersiapkan dengan baik sehingga semua peserta menang! Tuhan kita memberikan kemenangan buat kalian semua yang sudah mempersiapkan dengan baik. Tuhan tidak melihat pertunjukkan mana yang paling bagus atau tidak. Ya, lupa dan salah-salah sedikit gak apa-apalah. Yang Tuhan lihat adalah kalian telah mempersiapkan semuanya dengan baik. Kalian berlatih dengan semangat dan ceria! Kalian menang karena kalian telah menggunakan talenta yang kalian punya untuk memberitakan bahwa Tuhan Yesus sudah bangkit di hari paskah ini.


Terakhir nich! Adik-adik, ngomong-ngomong, kalian sudah tahu belum siapa namaku? Aku adalah Maria Magdalena. Talentaku adalah bercerita. Karena itu, aku selalu bercerita untuk menyampaikan bahwa Tuhan Yesus telah bangkit! Sekarang, aku mau pergi dulu yah! Aku mau menceritakan kepada orang lain bahwa Aku sudah melihat Tuhan yang bangkit dan hidup! Ayo siapa yang mau menggunakan kemampuannya untuk mengatakan bahwa Tuhan itu sudah bangkit dan hidup? Daaahh… sampai ketemu lagi di lain waktu. J

Jumat, 11 April 2014

Selayang Pandang Trauma dan Sikap Gereja (Antara Impian dan Kenyataan)


Menjaring Definisi dari Suatu Pengalaman Traumatik

“Kepalaku sakit setiap mendengar suara keran air yang dibuka di kamar mandi. Wajahku mendadak pucat pasi dan badanku gemetar saat mendengar suara air mulai mengalir dari keran di kamar mandi. Kamar mandi menjadi tempat yang menakutkan untukku sejak aku berusia 10 tahun. Aku tak kuasa mengingat peristiwa itu. Peristiwa ketika pamanku memutar keran air dan membiarkan air mengalir. Pamanku membekap aku. Ia membuka bajuku dan menarik aku dalam pangkuannya. Dekapan tubuhnya yang kekar membuatku tak kuasa untuk memberontak. Ia memperkosa aku di usiaku yang ke-10. Hatiku hancur. Aku merasa bersalah dan malu. Aku tak mengerti lagi apa artinya keintiman. Aku tidak paham makna kasih sayang. Aku tak bisa lagi berada di dekat laki-laki dewasa dengan nyaman. Taka ada yang mengetahuinya, hingga sahabat perempuanku memperhatikan keanehan-keanehanku yang muncul dari luka yang berteriak saat aku berada di toilet umum. Ya, aku gemetar saat aku mendengar laki-laki di sebelah kamar mandi itu batuk dan mengucurkan air keran.”
(diambil dari studi kasus dalam kelas teologi trauma di STTJ)

Peristiwa itu dialami perempuan tanpa nama itu di usianya yang ke-10. Luka fisik akibat pemerkosaan: lebam-lebam sudah hilang dari fisiknya. Namun, trauma akibat pemerkosaan itu masih saja tersisa. Hal ini menyiratkan ada tiga hal yang terkandung dalam definisi trauma.
Pertama, realitas trauma menembus dimensi waktu. Trauma tidak dapat diatur dan ditentukan waktu dan lokasinya. Sekalipun peristiwa itu terjadi di masa yang lampau, trauma pada perempuan itu masih tersisa.  Perempuan tanpa nama itu kembali gemetar dan ketakutan ketika mendengar air keran yang mengucur, walaupun itu terjadi di toilet umum: lokasi yang berbeda dengan toilet di rumahnya.
Kedua, trauma tidak hanya merujuk pada luka fisik. Dalam studi trauma, terminologi trauma juga merujuk pada luka batin. Trauma pada batin disebabkan oleh kekerasan yang dialami manusia: baik itu kekerasan fisik maupun verbal yang menghancurkan batin. Trauma pada batin menunjukkan betapa rapuhnya jiwa manusia. Sama seperti luka tubuh yang dapat mematikan, trauma pada batin juga dapat menghancurkan kehidupan manusia. Trauma pada batin tak terlihat dan dapat menghancurkan manusia dengan perlahan namun pasti (Jones 2009, 12-13).
Ketiga, realitas trauma akan mempengaruhi cara pandang kita terhadap dunia dan cara kita memperlakukan diri kita. Dalam kisah di atas, cara pandang perempuan itu terhadap intimacy dan konsep dirinya menjadi hancur. Ada rasa bersalah yang muncul dalam dirinya walaupun ia tidak bersalah. Bahkan intimacy pun menjadi ruang yang menakutkan baginya.
            Trauma dalam definisi di atas tampak sebagai trauma yang timbul pada satu pribadi. Akan tetapi, studi trauma menunjukkan bahwa trauma dapat terjadi secara komunal, seperti tragedi pemboman WTC dan Boston. Tragedi ini menyisakan trauma besar bagi masyarakat Amerika. Infrastruktur sudah kembali dibangun, tetapi trauma masih tetap menghantui mereka.

Karakteristik Orang yang Mengalami Trauma
Dalam, Unclaimed Experience, Cathy Caruth mengungkapkan bahwa trauma mental dan batin memang tidak terlihat dalam bukti fisik.[1] Namun, trauma mental dan batin dapat muncul melalui kesaksian yang muncul dari luka yang tersimpan dalam dirinya. Kesaksian itu tampak dari ciri-ciri psikis yang tampak dari bahasa tubuh (Caruth, 1996 3-5).
Serene Jones memaparkan beberapa ciri/karakteritik psikologis yang dapat kita cermati untuk mendeteksi apakah seseorang mengidap trauma pasca peristiwa kekerasan. Karakteristik ini disebut PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Adapun karakteristiknya adalah sebagai berikut (Jones 2009, 16-18) :
(1) Tidak kuat mendengar suara keras/ribut, mudah panik.
(2) numbness (mati rasa) dan disorientasi.
Orang yang mati rasa mengalami ketidaknyambungan antara emosi dan kognisinya.  
(3) tidak bisa tidur dan merasakan kecemasan yang akut.
(4) unarticulated compulsions.
(misalnya orang yang selalu mengulang gerak tubuh tertentu pada saat ada peristiwa yang menyerupai kejadian traumatik yang pernah dialaminya)
(5) Berkurangnya ingatan dan kosakata yang biasa kita pakai.
Biasanya orang yang pernah mengalami peristiwa traumatis, sulit untuk mengingat traumanya. Ia tidak dapat bercerita dengan runut dan bahkan kehilangan memori-memori terntentu. Hal ini disebabkan bagian otak langsung menolak untuk mengingat peristiwa traumatis tersebut.
(6) Kehilangan rasa percaya diri dan merasa kehilangan harapan akan hari esok. Situasi ini biasanya terjadi pada orang-orang yang mengalami peristiwa yang sangat kuat dan kekerasan seksual.
(7) Perasaan dibuang dan terisolasi dari teman-temannya. 
(8) mimpi buruk (kemunculan mimpi buruk adalah salah satu bentuk teriakan dari luka, karena tubuh tetap tidak dapat menahan luka).

Antara Impian dan Kenyataan:
Peran Gereja dalam Menghadapi Orang-orang yang Trauma
1.     Memikirkan dan merumuskan ulang teologi operatif yang kita kembangkan di jemaat.
Pertanyaan kunci dari saran yang pertama ini adalah, “Pikirkanlah apakah bahasa gereja merengkuh persoalan real traumatik di jemaat? Atau jangan-jangan bahasa teologi kita tidak terkoneksi dengan bahasa dari luka karena teologi menjadi sangat optimistik dan serba tahu?” Jones, dengan tajam menyatakan tugas ini dalam tulisannya

Theology task is to re-narrate to us what we have yet to imagine (21). If grace has power to reshape the imagination, then theology is the language that both describes that power and evokes it in the loves of people by telling grace-filled stories of new imagining (21-22). Not a systematic theology of trauma and grace, but a glimpse grace
           
Salah satu contoh teologi yang harus dikritisi misalnya pemahaman tentang anugerah. Jones mengatakan seperti ini: Apabila benar bila kita berpandangan bahwa manusia bersih dan bebas dari yang jahat ketika anugerah dicurahkan? Apakah perspektif itu tepat untuk orang-orang yang mengalami pengalaman traumatik? Perspektif trauma mengkritik konsep berpikir semacam ini. Kita terlalu naïf dalam optimisme tentang struktur dosa dan anugerah. Bagaimana dengan penyintas yang sampai akhir hidupnya masih terjebak dalam trauma (Jones 2009; 155)? Trauma itu masih tersisa di ruang-ruang kehidupan kita.
            Jones, mengkonstruksi cara berpikir tentang anugerah. Anugerah Allah adalah saat Allah hadir bersama-sama dengan kita yang terluka. Allah menyembuhkan dengan cara yang lembut, tapi tidak kehilangan dimensi bahwa Allah “menggoyang” luka kita sambil memegang kita. Kita diingatkan bahwa kita masih akan terluka, namun akan ada yang selalu mendampingi kita yakni Allah. Jadi, anugerah bukanlah sesuatu yang radikal: yang mengubah kehidupan kita secara hitam putih. Grace needed to be larger than the lives of those who never recovered. It needed also to be sturdier than a tale of straightforward recovery, less sanguine, less optimistically (Jones 2009, 157)Mungkin, ada banyak lagi teologi operatif yang perlu kita kritisi karena justru dapat membuat orang-orang yang mengalami peristiwa traumatik menjadi semakin terpuruk. Mari memikirkannya bersama-sama :)

2. Melakukan trauma healing.
Shelly Rambo mengusulkan dua dalam trauma healing. Pertama, tracking the undertow. Dalam pendekatan ini, kita diajak untuk menggali kedalaman yang tidak ada di permukaan. Bersama-sama dengan Roh Kudus, kita diajak untuk memasuki perasaan kehilangan, kemarahan, dukacita dan kekacauan dalam hidup ini. Roh Kudus menyingkapkan dan menyaksikan realitas yang tertinggal di dalam bahasa trauma (Rambo 2010, 161)
Kedua, Rambo mengusulkan agar dalam trauma healing, ada pendekatan yang disebut dengan sensing life. Bersaksi berarti ‘sensing life’. Menurut Rambo, dengan “sensing” kita tengah menempatkan diri pada hal-hal yang tak terketahui (Rambo 2001, 163). Bagi orang-orang yang traumatis, kehidupan ini dipenuhi oleh berbagai pemicu sensori trauma sehingga kehidupan menjadi kejam. Menurut Rambo, orang yang trauma itu perlu diajak untuk merasakan bahwa harapan dan bahkan kehidupan yang indah itu masih ada.
Oleh karena itu, diperlukan proses pendampingan untuk mengkoneksikan kembali mereka dengan kehidupan. Kita mendengarkan bahasa trauma dengan melihat dengan peka teriakan luka yang muncul dari bahasa tubuh orang-orang yang berada dalam trauma. Setelah itu, diperlukan proses penerjemahan kembali kehidupan kepada mereka yang berada di dalam trauma.
Menurut Rambo, peran Roh Kudus sangatlah besar dalam proses ini. Roh Kudus memampukan konselor untuk mendengarkan teriakan luka. Roh Kudus menolong orang-orang yang trauma untuk menautkan kembali diri mereka dengan nafas kehidupan mereka. Roh Kudus memampukan korban untuk merasa, melihat secara lebih tajam, dan mengecap kehidupan lebih sensitive (Rambo 2001, 163).

3.     Menjadi Saksi yang Penuh Belas Kasih (Compassionate Witnessing)
Pada saat kita membaca kisah-kisah kesaksian hidup orang (literature of testimony), kita menjadi saksi untuk peristiwa itu sendiri. Ketika kita menyaksikan pengalaman kita maupun pengalaman orang lain, kita sedang membangun teologi sebagai diskursus kesaksian, bukan diskursus kebenaran doktrinal. Jika diibaratkan dengan posisi dalam ruang pengadilan, teologi berfungsi sebagai saksi, bukan sebagai hakim yang menentukan apa yang benar dan yang saling. Oleh karena itu, dalam percakapan trauma, kita pertama-tama mendengarkan apa yang terjadi dan selanjutnya menyaksikan apa yang terjadi. Tujuan kesaksian itu adalah agar kekerasan tidak terjadi lagi.
Menurut Kaethe Weingarten, dengan menjadi saksi yang penuh belas kasih, kita belajar untuk mendengarkan apa yang terjadi melalui teriakan dan tangisan dari luka. Tidak hanya itu, menjadi saksi  yang berbelas kasih juga berarti memikirkan apa yang telah kita saksikan dan membangun rencana konkrit untuk mencegah peristiwa traumatik itu terulang kembali. Dengan demikian, menjadi saksi juga harus mengusahakan pemikiran-pemikiran inovatif dalam kebijakan di ranah publik untuk mencegah peristiwa traumatik itu. Salah satu contoh hal sederhananya adalah: kecelakaan lalu lintas dapat menjadi peristiwa traumatik bagi banyak orang. Lalu bagaimana gereja memikirkan dan mewujudkan cara dan aturan agar di lingkungan sekitar gereja kecelakaan lalu lintas dapat diminimalisir.

REFERENSI

Caruth, Cathy. Unclaimed Experience: Trauma, Narrative, and History. Maryland: The John Hopkins University Press. 1996.
Jones, Serene. Trauma and Grace: Theology in a Ruptured World. Louisville: Westminster John Knox Press, 2009.
Rambo, Shelly. Spirit and Trauma: A Theology of Remaining. Louisville: Westminster John Knox Press, 2010.
Wengarten, Keaethe. Common Shock: Witnessing Violence Every Day. New York: New American Library.

Kiranya gereja menjadi komunitas yang menyembuhkan, bukan menyemai trauma

Jakarta, 4 April 2014
YIL




[1] Ada kisah perempuan Papua yang diperkosa. Vaginanya dimasukan baterai. Dalam kejadian tersebut, yang dicari adalah bukti faktualnya: di mana baterainya. Namun, baterainya sudah tidak ada karena sudah dihancurkan. Padahal buktinya sebenarnya ada pada tubuh karena tubuh tersebut meneriakan luka.

Minggu, 06 April 2014

Ketika Gereja Menyemai Luka


Beberapa waktu yang lalu, aku membuat sebuah paper tentang teologi trauma. Aku mengirimkannya kepada sejumlah rekan-rekan calon pendeta dan pendeta. Dari sekian banyak respons, ada satu respons yang sangat menarik buatku. Kira-kira bunyi responsnya begini: “Semoga gereja tidak menjadi tempat untuk menumbuhkan trauma.”
Terus terang, saya agak terkejut membaca responsnya. Responsnya menyentak saya. Tidak dapat disangkal, bahwa gereja pun dapat menyebabkan trauma dan luka batin. Saya ingat, dalam kuliah sejarah gereja, dikisahkan bahwa pada abad-abad pertama, gereja pernah menangkap dan menyiksa para perempuan yang disangka sebagai penyihir. Fakta yang mengerikan bukan?  Mungkin, saat ini kita tidak sekejam itu, namun bukan berarti kekejaman dalam gereja tak ada lagi.
Saya ingat sebuah refleksi yang ditulis oleh Craig Groeschel dalam Christian Atheis. Dalam bab 12, ia memberi judul yang menarik: Ketika Kau Percaya kepada Tuhan tapi tidak kepada Gereja-Nya. Groeschel mengutip sebuah kesaksian dari orang yang ia jumpai, “Aku tidak percaya kepada gereja karena gereja-gereja yang pernah kudatangi begitu jauh dari apa yang kubaca di dalam Firman Tuhan – aku piker aku bisa menjadi Kristen yang lebih baik tanpa gereja daripada aku dengan gereja.” Bahasa yang disampaikan orang ini adalah bahasa kekecewaan atas inkonsistensi antara apa yang diyakini dan apa yang diperbuat.
Misalnya saja, gereja bicara tentang kasih, namun kita bersekongkol untuk menjauhi seseorang dalam gereja. Kita mengatakan bahwa kita berpihak pada yang menderita, namun kita memaksa anggota paduan suara yang kondisi keuangannya kurang baik untuk memakai baju seragam yang mahal. Kita berkata bahwa kita mengasihi anak-anak, namun mengeluarkan uang lebih untuk mengembangkan pendidikan anak dan kaum muda di gereja begitu sulit. Kita berkata bahwa kita menegakkan kebenaran, namun kita memfitnah dan memelintirkan fakta di dalam gereja. What an ironic!
Malam ini, saya kembali berefleksi, sejauh mana gereja menjadi komunitas yang memulihkan. Selama 8 tahun saya terjun ke dunia pelayanan gerejawi dan mengamat-amati proses kehidupan bergereja, ada sebuah percakapan yang saya ingat dan tertancap di batin saya. Percakapan ini terjadi pada salah satu gereja yang pernah saya layani. Suatu waktu, seorang rekan saya bertanya pada koster gereja di halaman depan gereja. Dia bertanya pada koster itu, “Apa sich harapan Anda untuk gereja ini?” Jawab koster yang beragama Islam ini, “Saya ingin orang-orang dating ke gereja dengan hati bersih dan soleh. Saya ingin gereja menjadi tempat yang rukun. Jangan suka menyalahkan orang saat rapat. Jangan suka mencari keuntungan dari orang lain” Saya tertunduk sedih mendengar perkataan koster ini. Ah, rupanya dia mengamati dinamika yang terjadi paska rapat.
Bagi saya, sudah waktunya gereja melakukan pertobatan kembali. Ya, gereja yang definisinya adalah kumpulan orang percaya yang mengikut Kristus harus melakukan pertobatan kembali. Mengikut Kristus bukan hanya sekadar memakai topeng, melainkan menjadi pembawa damai dan kasih. Bukan munafik! Oh gereja, masihkah engkau mau menyemai luka? Saya sedih dengan kondisi seperti ini. Tuhan pun pasti sedih, jauh lebih sedih ketimbang saya. Dia menangis tertahan dan sedih.

Jakarta, 6 April 2014

YIL

Rabu, 02 April 2014

Sepenggal coretan

Hal yang membuat spiritualitas kita kering adalah kenihilan pengalaman perjumpaan dengan Tuhan. Ini bukan berarti kita tidak pernah berjumpa dengan Tuhan. Ini berarti bahwa kita tidak pernah merefleksikan perjumpaan dengan Tuhan. Perjumpaan dengan Tuhan menjadi hal yang biasa dan tak terasa. Ketiadaan refleksi akan perjumpaan dengan Tuhan membuat kita hanya bicara dalam tataran kognitif: "Ya, Tuhan itu baik. Tuhan itu juru selamat. Tuhan itu sahabat." Betul, kita tahu namun kita tidak dapat merasakannya. Sebenarnya, ketika kita dapat merasakan pengalaman akan Tuhan dan mengenal siapa Dia, kita akan berjuang sampai akhir untuk mencintai-Nya dan melayani-Nya.

Tulisan ini semata-mata bukanlah sebuah tulisan kognitif. Tulisan ini adalah tentang rasa yang tersamar dalam deretan huruf-huruf. Tulisan ini adalah hasil dari sebuah momen pengenangan akan berbagai peristiwa perjumpaan dengan Tuhan yang membuat saya begitu mencintai-Nya. Walaupun harus mengalami rasa pedih perih, Tuhan ada bersama-sama dengan kita. Ia telah menunjukkan mercusuar yang telah saya cari. Ia yang akan menolong saya menaiki dan melihat ujung jalan ini.

Ketika jalan tampak suram
Ingatlah bahwa Ia pernah melalui jalan ini
Ketika kamu merasa sendirian
Rasakanlah bahwa Ia mendampingimu
Ketika kamu merasa tak dapat keluar dari pusaran
Rasakanlah bahwa Ia sedang menggapai tanganmu
Ketika kamu merasa dikecewakan
Percayalah Ia dapat mengubah hati
Ketika kamu merasa dipojokkan
Rasakanlah bahwa ia memelukmu di sudut terjauh dari kehidupan
Ketika kamu tidak mampu berjalan
Rasakanlah bahwa Ia dengan sabar sedang memapahmu

Biarlah Roh Tuhan terus menyala-nyala dalam diri kita. Kiranya Roh Tuhan menolong kita untuk berjuang, apapun yang kita hadapi di dalam hidup ini.
4 Maret 2014
YIL