Kamis, 03 Juli 2014

Ibu Berjilbab Merah


40 km/jam…

50 km/jam….

Cittttt….. Braaaak….  

Aku menahan motorku dengan tubuhku yang kurus kering ini. Untung saja, jalanan sedang lengang. Tidak ada motor dan mobil yang lewat yang mungkin saja dapat menggilasku. Tangan dan kakiku gemetaran. Aku diam mematung di tengah jalan. Aku masih terkejut dengan kejadian itu. Barang belanjaanku tumpah berhamburan ke jalan. Aissshhh…

Tiba-tiba, aku melihat seorang ibu lari tergopoh-gopoh ke arahku. Ia memakai kerudung merah. Tangannya menggenggam tas belanjaan berwarna merah. Ia langsung berjalan menuju ke arah barang belanjaanku yang jatuh berantakan.

Hmmmm…. Ada apa ini, pikirku. Aku menduga ia hendak mengambil barang belanjaanku lalu kabur. Aku hanya memperhatikannya, sambil meringis menahan rasa sakit di pahaku. Tapi, ia tidak menjauhiku. Ia malah mendekatiku. Jantungku berdetak kencang. Tanganku memegang tasku dengan semakin erat.  Ah, ada apa ini. Mencurigakan sekali!

Rupanya, ia mengulurkan barang belanjaanku ke lenganku. Lalu, dengan tersenyum ia berkata, “Hati-hati ndu, kalau mengendarai motor. Alon-alon.” Wajahku memerah ketika mendengarkan ia berkata begitu. Ia menolongku. Ia tak meminta apapun dariku. Ia menolongku berdiri. Setelah ia melihatku sudah bangkit, ia pamit.

Aku tertunduk malu karena telah mencurigai perempuan berjilbab merah itu. Ia adalah orang baik. Ia melakukan apa yang dikatakan oleh Daud dalam Amsal 3:27. “Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya.” Kebaikan yang dilakukan ibu berkerudung merah itu adalah kebaikan sederhana. Ia tidak menahan-nahan kebaikan yang ada pada dirinya. Namun, kebaikannya meluluhkan kecurigaanku. Ternyata benar bahwa kebaikan itu melintasi agama dan suku. Terima kasih, ibu berjilbab merah.

 

Jakarta, 3 Juli 2014
YIR