Kamis, 27 Februari 2014

Panggilan Sebagai Sahabat



“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat tuannya,

tetapi aku menyambut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang  telah Kudengar dari Bapa-Ku.”

Yohanes 15:15

Dasar Panggilan: Sahabat bagi Allah, Diri Sendiri dan Umat

            Konsep-konsep yang biasa digunakan untuk menggambarkan panggilan pelayanan seorang pendeta adalah seorang hamba atau pemimpin yang melayani. Namun, saya tidak memilih konsep-konsep tersebut untuk mendasari dan memaknai panggilan saya. Konsep yang saya pilih adalah konsep persahabatan.

            Terus terang, persahabatan adalah hal yang saya rindukan sejak kecil, karena konsep tersebut pernah menjadi asing di dalam hidup saya. Pada masa kanak-kanak, saya pernah mengalami bullying. Segerombolan anak yang dominan memusuhi saya. Saya pernah merasa malas sekali untuk pergi ke sekolah. Saya menjadi “hamba” yang mengalami olok-olok dari “para tuan” yang adalah rekan sebaya saya. Pengalaman itu lekat di ingatan saya dan membentuk saya menjadi seorang anak yang pemurung, pendendam, minder, kaku dan sukar percaya pada orang lain. Dengan kondisi semacam itu, saya pernah berpikir bahwa menjadi pendeta itu adalah kemustahilan bagi saya.

            Tuhan menjawab keragu-raguan saya melalui apa yang saya alami dalam proses kependetaan ini. Tuhan mentransformasikan kehidupan saya dengan cara yang sangat natural. Saya belajar menerima masa lalu dan seluruh kerapuhan saya. Kemudian, secara pelan-pelan Tuhan mengubah saya. Ia mengikis sifat-sifat buruk hingga saya sendiri terheran-heran dengan perubahan yang ada di dalam diri saya.

Tidak hanya itu, Tuhan menguatkan saya lewat orang-orang yang ada di sekitar saya dengan cara yang tak terduga. Khususnya, saat saya berkali-kali ingin mundur dalam proses kependetaan karena menghadapi kenyataan yang tidak sesuai dengan yang saya pikirkan.  Misalnya saja, saat saya dulu berencana untuk menyampaikan permohonan pengunduran diri sebagai kader pendeta GKI, mantan dosen pembimbing saya, Pdt. Em. Lazarus Purwanto menelepon saya. Pertanyaan pertama yang ia tanyakan adalah, “Yes, masih mau jadi pendeta?” Pada saat itu, diam-diam saya menangis dan terkejut dengan cara Tuhan mengingatkan saya sebagai sahabat-Nya.

Dari berbagai pengalaman itu, saya menyimpulkan dua hal yang mendasari pemahaman panggilan saya. Pertama, Tuhan memperlakukan saya sebagai sahabat dan bukan sebagai hamba, sebagaimana yang tertulis dalam Yohanes 15:15. Sebagai Sahabat, Tuhan menyingkapkan hal-hal yang menjadi pertanyaan bagi saya, walaupun jawabannya terkadang tidak sesuai dengan kehendak saya. Kedua, Tuhan mengubahkan hidup saya sehingga saya dapat menjadi sahabat bagi diri saya sendiri. Perubahan yang terjadi di dalam diri saya adalah karya Tuhan yang terjadi secara natural dan membuat saya sendiri pun terheran-heran.

Dalam refleksi saya, saya menyadari bahwa persahabatan dengan Allah dan diri saya sendiri, menghantarkan saya pada sebuah implikasi logis dari keyakinan panggilan saya yaitu menjadi sahabat bagi umat dan dunia, sebagaimana yang ditulis oleh Edward C. Zaragoza dalam No Longer Servants, but Friends. Zaragoza berkata biarlah kita menjadi sahabat bagi diri kita sendiri, sahabat bagi Allah, dan sahabat bagi sesama. Saya mau membuka pintu persahabatan bagi siapapun, khususnya bagi setiap pribadi yang merasakan hal yang dulu saya alami: terasing dan sendiri, tanpa sahabat.

.

Praksis Pastoral: Menjalani Panggilan Sebagai Sahabat

            Pemahaman panggilan saya sebagai sahabat bagi Tuhan, diri sendiri dan umat memberi dampak terhadap praksis pastoral yang saya jalankan di dalam jemaat yang Tuhan karuniakan kepada saya. Saya terinspirasi dari beberapa pokok pikiran Zaragosa mengenai praksis pastoral dalam panggilan sebagai sahabat.

Pertama, Zaragoza berkata bahwa di dalam relasi persahabatan pada sebuah komunitas, harus terdapat kesetaraan dan persatuan dalam ikatan cinta kasih untuk memberdayakan dunia. Berangkat dari definisi ini, saya mau memperlakukan semua orang dengan setara, sebagai sahabat saya. Saya tidak mau memandang orang berdasarkan usia, gender, suku dan jabatan gerejawi. Perbedaan adalah kekayaan dalam sebuah persahabatan yang harus dikelola dengan baik. Bagi saya, semua orang adalah setara di hadapan Tuhan.

Kalaupun saya akan menerima jabatan sebagai seorang penatua, hal itu tidak menjadikan bahwa seorang penatua (ataupun pendeta) lebih tinggi kedudukannya di hadapan Tuhan ketimbang seseorang yang tidak berjabatan gerejawi. Ingatlah bahwa kita semua adalah sahabat yang setara! Saya tidak mau terjadi pengkultusan individu di dalam gereja. Saya tidak mau menjadi sombong dan kemudian meremehkan orang yang tidak berjabatan gerejawi. Sebagai imamat am orang percaya, kita semua harus bahu membahu bersama dengan Tuhan yang telah menjadikan kita sebagai sahabat-Nya untuk memberdayakan dunia ke arah yang lebih baik. Apa yang saya yakini ini juga merupakan pemahaman GKI, sebagaimana yang ditulis dalam penggalan alinea ke-5 dalam Mukadimah Tata Gereja dan Tata Laksana GKI, yang berbunyi, “…Hubungan antara pejabat gerejawi dan anggota gereja bukan merupakan hubungan yang hierarkis, melainkan hubungan fungsional yang timbal balik dan dinamis, dialasi oleh kasih Allah.

Kedua, menurut Zaragoza tidak ada kepalsuan dalam persahabatan karena dalam persahabatan ada kejujuran terhadap kerapuhan kita. Praksis pastoral kedua inilah yang saya hendak kembangkan di dalam gereja. Kejujuran bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan karena kejujuran adalah sebuah sikap membongkar kepalsuan yang menutupi diri. Tidak mudah untuk jujur atas kerapuhan dan kesalahan kita. Kita tidak ingin, orang lain melihat kelemahan kita. Buktinya, manusia seringkali marah jika menerima masukan walaupun masukan itu sudah disampaikan dengan bahasa yang konstruktif.

Saya tidak mau menjadi seorang calon pendeta yang anti-kritik dan menyelubungi kelemahan saya. Berikanlah masukan terhadap saya jika memang saya melanggar hal-hal yang prinsipil di dalam panggilan kependetaan saya. Saya pun memiliki filter tersendiri (yakni Firman Tuhan) untuk menyaring masukan yang konstruktif bagi pelayanan terhadap umat Tuhan.

Saya mau mengakui keterbatasan saya bahwa saya membutuhkan Tuhan dan orang lain untuk berjalan bersama-sama dengan saya di dalam pelayanan ini. Tentu saja, kejujuran ini tidak dapat hanya terjadi secara satu arah. Saya membutuhkan kejujuran dari jemaat GKI Kayu Putih, untuk bersama-sama menyadari keterbatasan kita. Mungkin, ada orang yang berpikir bahwa kejujuran atas keterbatasan adalah hal yang memalukan dan menunjukkan identitas kepemimpinan yang lemah. Namun, ingatlah bahwa keterbatasan adalah hal yang dipilih oleh Allah kita. Allah yang tidak terbatas itu, berinkarnasi menjadi Manusia yang terbatas. Bahkan, keterbatasan-Nya pun dikisahkan turun temurun lewat tradisi lisan maupun tulisan yang terdapat dalam Alkitab.

Hal ketiga, menurut Zaragoza dalam persahabatan ada kepercayaan. Tanpa kepercayaan, seorang pastor akan menjadi pastor yang kelelahan karena mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Karena itu, pastor yang mengembangkan prinsip panggilan persahabatan harus berani memberikan kepercayaan kepada umat. Memberikan kepercayaan kepada umat dimulai ketika pastor mengakui potensi umat, berbagi mimpi dan informasi. Ya, sebagaimana yang ditulis oleh Alyce Mckenzie. To be a friend is to share a personal relationship and to be made aware of the plans and purposes of the other.” 

Saya tahu untuk memberikan kepercayaan bukanlah hal yang mudah, apalagi jika kepercayaan itu dikecewakan. Seringkali, kita menyalahkan orang lain pelayanan kita menjadi “gagal” dan “berantakan”. Betul bahwa memang ada orang-orang yang tidak mengemban kepercayaan kita dengan baik dan bahkan mengkhianati kita. Namun, saya berdoa agar kita semua memiliki semangat anti-kapok yakni mau mencoba untuk percaya lagi walaupun kita pernah dikecewakan. Atau jangan-jangan “kegagalan” tersebut disebabkan oleh diri kita sendiri yang tidak membagikan mimpi dan informasi dengan jelas.

Hal yang keempat yang saya tambahkan yaitu: dalam persahabatan ada penerimaan. Sikap menerima bukan hanya menerima perbedaan pandangan, suku, gender, dan tingkat ekonomi. Sikap penerimaan pun perlu dilakukan bahkan terhadap orang yang membenci kita sekalipun. Terus terang, hal ini tidak mudah untuk kita lakukan. Tentu saja, sebagai manusia kita merasa pedih dan sedih jika ada orang yang membenci kita. Namun, panggilan untuk menjadi sahabat bukan hanya ditujukan terhadap orang yang menyayangi kita dan sepandangan dengan kita.

Bagaimana caranya? Menurut saya, kuncinya adalah pengertian. Ketika kita berhadapan dengan orang-orang yang meremehkan dan membenci kita, cobalah mengerti mengapa mereka melakukannya terhadap kita. Seringkali, ketika harus berhadapan dengan situasi semacam ini, saya hanya berdoa, “Tuhan tolong saya agar saya dapat memahami dan menerima mereka. Tolong saya agar tidak membenci dia dan tetap menjadi sahabat bagi mereka.” Dalam pengalaman iman saya, Tuhan sering memberikan berbagai insight pada saya. Ia memampukan saya untuk menerima dan mengampuni, sesuatu hal yang tidak ada di dalam diri saya pada masa lalu saya.

 

Mengarungi Lautan Bersama Sahabat

Ada sebuah lagu yang sangat berkersan bagi saya, judulnya The Summons. Lagu karya John Bell dari Iona Community ini disharingkan oleh sahabat saya, pada saat saya sedang mengalami kebimbangan dalam menjalani proses kependetaan ini beberapa tahun yang lalu. Lewat lagu ini, Tuhan mengingatkan saya untuk tetap setia mengikuti-Nya yang telah menjadikan saya sebagai seorang sahabat. Demikian liriknya:

Will you come and follow me if I but call your name?
Will you go where you don't know and never be the same?
Will you let my love be shown? Will you let my name be known,
will you let my life be grown in you and you in me?

Will you leave yourself behind if I but call your name?
Will you care for cruel and kind and never be the same?
Will you risk the hostile stare should your life attract or scare?
Will you let me answer prayer in you and you in me?

Will you let the blinded see if I but call your name?
Will you set the prisoners free and never be the same?
Will you kiss the leper clean and do such as this unseen,
and admit to what I mean in you and you in me?


Will you love the "you" you hide if I but call your name?
Will you quell the fear inside and never be the same?
Will you use the faith you've found to reshape the world around,
through my sight and touch and sound in you and you in me?

Lord your summons echoes true when you but call my name.
Let me turn and follow you and never be the same.
In Your company I'll go, where Your love and footsteps show.
Thus I'll move and live and grow in you and you in me.

 

Lagu ini, menjadi semacam gambaran tentang panggilan untuk mengarungi lautan kehidupan pelayanan yang harus ditempuh. Tuhan memanggil nama kita dengan cara yang secara personal. Ia memanggil kita untuk ikut menyebarkan cinta kasih-Nya. Ia memanggil kita untuk menjadi sahabat bagi orang-orang yang terpinggirkan. Ia memanggil kita untuk tetap peduli terhadap orang yang kejam dan membenci kita. Tuhan memanggil kita untuk hidup di dalam-Nya dan Ia di dalam diri kita.

Saya memahami kata “you” dalam lagu di atas bukan untuk diri saya sendiri, melainkan untuk semua orang percaya, khususnya yang berada di GKI Kayu Putih. Dengan demikian, panggilan untuk mengarungi lautan pelayanan ini berlaku untuk kita semua. Saya tidak mungkin berjalan sendirian. Tuhan sudah lebih dulu mengulurkan tangan-Nya untuk bersahabat dengan saya. Saya membutuhkan dukungan Anda, sebagai sahabat saya, untuk mengarungi lautan pelayanan ini. Ya, sebagaimana sebuah ungkapan dalam peribahasa Irlandia, “Ada banyak bahtera yang terbuat dari kayu yang baik untuk mengarungi lautan. Namun, bahtera yang terbaik dalam mengarungi lautan hidup adalah persahabatan.”
Jakarta, 2 Februari 2014
YIL