Sabtu, 29 Maret 2014

Relung Renung

Malam ini, aku hanya duduk diam memandangi layar notebook di hadapanku. Aku sengaja diam dan merenung. Ya, momen yang diperlukan oleh seorang introvert untuk memaknai kehidupannya. Waktu yang sempat hilang dalam kehidupanku karena aku tertelan berbagai aktivitas organisatoris yang terkadang melelahkan.

Dalam relung renung, aku kembali memikirkan perjalanan selama setahun ini. Tak terasa sudah setahun lewat 1 bulan aku di sini. Hidup di kota besar tidaklah mudah. Aku biasa diantar oleh orang tua dan pacar selama kuliah. Namun, sekarang aku harus berjuang sendiri: mengurus tempat tinggal, mencari makanan, memasak makanan, menyiapkan khotbah, mengemudikan kendaraan, mengurus diri jika sakit, dan lain sebagainya. Aku tenggelam dalam rutinitas tanpa makna.

Aku teringat orang-orang yang menorehkan kata-kata pedas yang membakar amarah. Aku teringat berbagai kritikan yang diucapkan tanpa arah yang jelas. Aku teringat berbagai kata tak sesuai fakta yang dihujamkan. Aku mencoba menerimanya dalam senyum. Namun, aku terkadang lupa memohon agar Tuhan memulihkan aku. Aku terjebak dalam luka dan trauma yang belum dibalut.

Rutinitas tanpa makna, luka dan trauma membuat aku kadang  merasa kering-kerontang tanpa nyawa.  Nafsu cepat selesai kala menyusun refleksi terkadang muncul. Namun, aku tidak membiarkan Dia bicara pada diriku. Api yang membara itu terasa jauh dariku. Ah, kenapa lah aku seperti itu? Dalam keluluh-lantakan perasaan batin yang hampa kubertanya, "Mengapa hampa terasa, ya Tuhan?"

Malam ini, Tuhan seraya membisikan sesuatu di telingaku. Aku membuka hard-disk yang sudah lama tak kubuka. Isinya adalah panduan doa meditasi keheningan batin. File itu tertanggal bulan Maret 2013. Satu tahun lalu: masa ketika Api Roh Tuhan menyala-nyala dalam diriku. Aku mengerti yang Tuhan maksudkan. Aku hanya perlu waktu tenang, setiap pagi dan malam. Satu jam saja. Aku mau menemukan Dia dalam keheningan dan penulisan refleksi. Bukan Dia yang menjauhi aku. Akulah yang menjauhiNya. Ah, rasanya aku sudah terlalu banyak bicara. Kini saatnya aku mendengar Dia berbicara. Biarlah nyala api ini berkobar kembali.

Jakarta, akhir Maret 2014
YIL