Sabtu, 28 Juni 2014

Mengenang Dwinda


1 Timotius 4:12 adalah ayat yang tidak lazim dipakai pada ibadah penghiburan. Namun, saya menggunakannya karena ayat ini menggambarkan kehidupan Dwinda. Dwinda sudah melakukan semua pesan Paulus kepada Timotius. Di dalam Alkitab, kita mengenal bahwa Timotius adalah seorang muda. Sebenarnya, dia tidak muda-muda banget. Dia sudah 15 tahun membantu pelayanan Paulus. Usianya sudah sekitar 40 tahunan, namun ia masih sering disepelekan karena dalam masyarakat Israel yang bercorak patriakal, orang yang berumur segitu dianggap belum kompeten untuk memimpin. Walaupun begitu, Paulus mempercayai Timotius. Nasihat ini disampaikan Paulus kepada Timotius agar tidak ada yang merendahkannya.

Dwinda belum berumur 40 tahun, namun ia sudah melakukan semua nasihat Paulus itu di usianya yang masih belia. Saya mengenal Dwinda sejak kurang lebih setahun lalu. Ia adalah salah seorang anak katekisasi yang saya ampu bersama-sama dengan Ka Linna dan Ko Ocep. Saya mengenal Dwinda sebagai anak yang ceria. Kemana-mana dia selalu tersenyum, walaupun tentunya sebagaimana anak remaja yang lainnya kadang dia suka galau. Galau karena teman, keluarga ataupun karena cinta.

Akan tetapi, dibalik semua kepolosannya dan keceriaannya, Dwinda justru menjadi pengajar buat saya. Ia mengajarkan kepada saya bagaimana menjadi pengikut Kristus yang penuh kasih, kesetiaan dan kesucian. Dwinda adalah anak yang penuh kasih. Kasih adalah suatu tindakkan menaklukan diri karena melalui kasih kita menumbuhkan kepedulian kepada orang lain. Dwinda anak yang sangat care pada teman-temannya. Kalau membuka facebooknya, maka yang ada adalah foto teman-teman katekisasinya. Biasanya, profile picture anak remaja itu menunjukkan bagaimaana isi hatinya. Dwinda tahu betul arti persahabatan, sebuah nilai yang dibangung sejak kelas katekisasi ini dimulai.

Saya yakin, semua sahabat-sahabatnya di kelas katekisasi  tahu betul betapa peka dan pedulinya Dwinda terhadap sahabat. Saya ingat, suatu ketika sepulang gereja, dia bersaama teman-temannya menahan saya untuk pulang. Dia sedang membuat video untuk temannya yang sangat berarti di hatinya. Pada saat itu, temannya hendak pergi ke luar negeri. Kasih itu terwujud lewat perhatian yang Dwinda berikan. Hatinya lembut dan penuh perhatian. Mungkin apa yang saya rasakan ini pun yang dirasakan oleh keluarga dan para sahabatnya.

Dwinda juga mengajarkan kepada saya arti kesetiaan dalam mengikut Kristus. Dia anak yang selalu bersemangat untuk mengikuti katekisasi. Kesan inilah yang kami dapatkan sebagai pengajar. Sebagaimana yang tantenya ceritakan, Dwinda selalu happy setiap kali mau masuk kelas katekisasi. Dia dengan penuh antusias mengikuti camp katekisasi. Saya ingat pada saat camp dia bertemu dengan saya di depan kamar mandi, ketika saya hendak turun ke Jakarta. Dia bilang, “Ka Yesie, saya senang banget ikut soloing. Ini baru pertama kalinya. Pertamanya aku takut bagaimana gitu, tapi aku bisa melewatinya dan bisa merasakan bagaimana Tuhan.” Bahkan yang membuat saya kagum dengan dia, dia tetap mau datang untuk disidi bersama teman-temannya, walaupun dia sedang sakit dan akhirnya tidak sanggup memasuki gedung gereja. Saudara, kesetiaan dalam mengikut Kristus membutuhkan keberanian untuk melangkah walaupun kita sedang berada di dalam ketakutan dan penderitaan. Dan Dwinda yang manis itu mengajarkan kepada saya arti kesetiaan kepada Kristus. Ya, kesetiaan adalah ketaatan totalitas kepada Tuhan yang tak dapat ditaklukan, apapun resikonya.

Terakhir, Dwinda mengajarkan kepada saya arti kesucian di hadapan Tuhan. Orang yang suci adalah orang yang bersih, ibarat gandum yang bersih dari sekam-sekamnya akibat hembusan angin. Orang yang suci adalah orang yang berhati tulus dan murni di hadapan Tuhan, apapun tempaan yang ia alami. Bagi saya, dengan berbagai pergumulan yang ia hadapi dan “miracle-miracle” yang dirasakannya dalam hidupnya, ia menjalani hidup ini dengan kesucian hati. Hatinya murni, motivasinya lurus, tanpa pamrih. Ia mengasihi karena ia mengasihi, bukan karena ada apa-apanya. Ia tertawa dan bersuka ria karena ia memang ceria, bukan karena ia ingin mendapatkan sesuatu. Bahkan, ketika teman-temannya ataupun pembimbingnya kurang memperhatikannya, ia tidak mendendam. Hatinya suci, bebas dari motivasi buruk dan dendam.

Dalam Injil Matius 5:28, dikatakan Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”. Dwinda telah merasakan kehadiran Allah saat ia hidup karena kehadiran Allah memenuhi dirinya yang suci hatinya. Terlebih saat ini, Dwinda sudah melihat Allah. Pejamkanlah mata saudara dan lihatlah dengan mata batin kita bahwa Bapa sedang menggandeng Dwinda yang sedang tersenyum. Dwinda ingin dikenang ketika kita melakukan apa yang ia sudah lakukan yakni saat kita hidup dengan penuh kasih, kesetiaan dan kesucian di hadapan Tuhan.

 

To know you is a miracle for me…
Jakarta, 26 Juni 2014
YIR

Kamis, 26 Juni 2014

Surat Cinta Kristus

Oma Wiryani....

Oma adalah orang yang paling pertama saya kunjungi saat saya memasuki masa perkenalan di GKI Kayu Putih, di akhir Februari 2013. Setahun setengah yang lalu, oma masih ceria. Oma masih suka duduk di luar, melihat orang lalu lalang. Oma senang bercerita tentang anak-anak dan cucu-cucunya. Semua yang dikisahkannya adalah hal yang baik-baik. Kadang dia bilang bahwa dia kesepian, tapi dia mengerti kesibukan anak-anak dan cucu-cucunya. Oma sangat rindu dengan cucu terdekatnya yang berada di Australia. Kalau tidak salah oma pernah merawatnya semasa ia kecil. Ia sayang sekali pada keluarganya. Oma adalah orang yang ramah. Ia meminta kami makan biskuit yang diberikannya. Katanya harus dicoba karena perjalanan untuk melawat masih panjang. Di penghujung kunjungan, oma minta didoakan. Ia tidak minta didoakan untuk dirinya sendiri. Ia minta anak-anaknya yang didokan. Terutama cucu-cucunya, apalagi yang jauh di Australia.

Kunjungan tetakhir saya adalah beberapa bulan lalu. Oma tampaknya sedang tidak enak badan. Oma bilang tulangnya sakit semua. Ia tidak kuat duduk. Kami mendoakannya di kasur. Tapi sebelum berdoa dia minta anak cucunya didoakan. Setelah berdoa, dia teringat bahwa kami belum makan kue. Maka dengan sedikit memaksa, ia mendesak kami dengan nafasnya yang terengah-engah agar kami makan kue. Saya terharu saat itu.

Bagi saya Oma mengajarkan arti keramah tamahan dan cinta kasih. Ia begitu terbuka menerima kami yang mengunjunginya. Bahkan di tengah kesakitan, ia masih ingat untuk menyuguhi kami kue. Sungguh saya merasa pengalaman ini jarang sekali dijumpai kita, masyarakat di kota besar yang sibuk dengan diri masing-masing. Ia mengajarkan kepada saya arti tidak mementingkan diri.
 
Oma juga mengajarkan saya arti cinta kasih kepada keluarga. Oma paham kesibukan anak-anak dan cucunya. Namun, ia tetap mendoakan. Begitu sayangnya pada keluarganya, sehingga ia selalu menceritakan kisah keluarganya yang ada di dindingnya. Bahkan, si mbak mengatakan bahwa ia begitu girang setiap kali mendapat telepon dari cucunya yang berada di Australia.

Sekarang Oma sudah pulang. Oma tidak lagi merasa sakit dan linu di tulangnya. Di usianya yang sudah lanjut. Namun satu hal yang pasti ada hal yang sungguh nyata dalam diri Oma, oma sudah menjadi surat Kristus yang terbuka dan dibaca semua orang, sebagaimana yang ditulis Paulus dalam 2 Korintus 3:2-3 "Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang. Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia."

Saudara, Paulus berpesan kepada jemaat Korintus agar menjadikan dirinya surat yang terbuka. Dengan menjadi surat terbuka, maka kemuliaan Tuhan akan dinyatakan sehingga kerasulan Paulus pun tidak diragukan. Pada saat itu sedang muncul fenomena penulisan surat. Seorang guru akan diakui kalau muridnya memuji-muji dia dan menyaksikan kehebatan sang guru. Namun, Paulus berpendapat bahwa hal tersebut tidaklah perlu. Menurut Paulus setiap orang adalah "iklan" dalam kekristenan. Kemuliaan Kristus ada di dalam diri pengikut-Nya. Sebagaimana perumpamaan yang dikatakan Barclay: kita mengenal penjaga toko berdasar barang yang dijualnya. Kita mengenal pembuat barang dari barang yang kita pakai. Kita menilai gereja berdasarkan tindakkan manusia di dalamnya.

Kehidupan Oma menjadi surat Kristus bagi saya dan juga keluarga. Surat itu tidak dapat terbakar oleh api dan tidak basah oleh air. Surat itu tidak lapuk dimakan rayap. Ya, karena surat itu hidup dalam hati kita semua yang pernah mengenal Oma, khususnya keluarga. Mengapa? Karena yang mengisi kehidupannya adalah Roh Allah. Roh Allahlah yang menuntun pelayanannya. Dalam peristiwa pelawatan itu tidak hanya oma yang terlayani. Kami pun dilayani dengan nilai keramahtamahan dan cinta kasih yang ia nyatakan.

Roh Allah itu menghidupkan. Buktinya kasihnya masih kita rasakan walaupun ia sudah meninggal. Ya, sebagaimana yang tertulis dalam Yohanes 11:25  Jawab Yesus: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati. Sekarang tinggal kita yang melanjutkan karya oma di dalam hidup ini untuk menjadi surat Kristus.... Percayalah kita pun kelak akan hidup walaupun sudah mati.

 

YIR
Yogjakarta-Jakarta, Senja Utama
created for O Wiryani's remembering service