Rabu, 17 September 2014

Misteri Allah: Menerima karena Tak Sempurna

"Apa yang membuat seseorang percaya kepada Tuhan Yesus dan pergi ke gereja?" tanya seorang rekan. Saat aku mendengarar pertanyaan itu, aku segera menjawab, "Ya karena umat merasakan Misteri Allah, mysterium tremendeum et fascinosum." Lalu temanku bertanya kembali, "Di mana letak misteri Allah itu?

Aku terdiam ketika mendengar pertanyaan lanjutan darinya. Dan aku mencoba menerka-nerka. Apakah di bagian berkat? Apakah di bagian pengakuan dosa? Temanku hanya berkata, pikirkanlah itu. Kalau kau menemukannya, gereja tidak akan mati.

Aku mulai mencari-cari jawabannya. Di manakah misteri Allah itu? Saat khotbah, aku mulai memperhatikan jemaatku. Aku pun terkadang duduk bersama dengan jemaat dan menikmati ibadah. Lalu aku mencari-cari, "Dalam titik manakah jemaat merasakan kehadiran Sang Misteri itu?" Pertanyaan ini masih menghantui pikiranku hingga beberapa bulan lamanya.

Suatu ketika aku berjumpa dengan seorang pembantu rumah tangga. Awanya aku hanya bercakap-cakap dengan dia. Kami mulai bercakap-cakap hingga akhirnya percakapan lewat pesan singkat itu berlanjut ke obrolan via telepon. Ia menceritakan berbagai keluh kesahnya kepadaku dan penderitaannya. Hingga pertemuan itu berlanjut pada pertemuan tatap muka. Saya melihat ekspresinya yang awalnya sungkan bertemu dengan saya, hingga akhirnya saya merasa dia menganggap saya sebagai kakaknya sendiri (agak ge-er.com, dan sebenarnya kami seumur loh. hehehe). Dalam perjumpaan itu, saya melihat ada satu misteri Allah yang dia rasakan, yakni: penerimaan. Dia merasa diterima dan diperlakukan sebagai manusia ketika majikannya menolak dia.  

Ketika saya merasakan "AHA" momen itu, batin saya pun langsung melayang pada hasil survey yang dilakukan oleh GKI Kayu Putih. Salah satu poin penting dari survey itu adalah perihal ketakutan jemaat untuk tidak dikenal dan diterima. Hasil survey ini menarik karena yang mengalami ketakutan tidak diterima bukan hanya "anggota baru", melainkan "anggota lama". Ada kebutuhan yang besar akan penerimaan satu sama lain. Mengapa? Karena di sanalah kasih Allah itu nyata. Allah yang merangkul dan menerima semua orang. Allah yang memberikan matahari dan hujan pada orang yang baik maupun orang yang jahat.

Penerimaan... penerimaan...penerimaan... kata itu terus berbunyi di kepala saya setiap kali saya hendak memejamkan mata di penghujung malam. Aku bertanya, kenapa Allah bisa menerima manusia yang berdosa ini sedemikian rupa? Mungkin, karena Allah pernah merasakan bagaimana rasanya rapuh. Allah yang "tidak sempurna" dalam rupa manusia. Spiritualitas ketidak-sempurnaan ini jugalah yang harus dimiliki manusia. Kita perlu menyadari bahwa diri kita rapuh dan membutuhkan orang lain. Ada banyak kebencian dalam gereja yang tumbuh karena penolakan. Penolakan tumbuh karena kesombongan dan sikap merendahkan orang lain. Ada perasaan bahwa pelayanan yang kulakukan lebih baik daripada orang lain. Perfeksionis dan sombong!

Mungkin aku termasuk ke dalam kategori perfeksionis (sila bertanya pada teman-teman sekampusku dulu). Sifat perfeksionis ini membuat aku masuk ke dalam lingkaran over-critics. Dengan cepat dan jeli, aku melihat kesalahan dan kekurangan dalam diri orang lain ataupun dalam sebuah sistem.  Padahal sikap over-critics dapat menimbulkan perasaan tertolak pada diri orang lain. Setidaknya, orang yang terdekat denganku pernah mengkritisi aku perihal sifat over-critics-ku. 

Selama 1,5 tahun ini, aku merasa Allah banyak memperjumpakan aku dengan ke-tak-sempurnaan. Banyak hal yang tak berjalan sesuai dengan rencanaku, mulai dari rencana pribadi sampai mimpi besarku. Belum lagi, di gereja aku harus bisa bekerja sama dengan banyak orang yang kadang tidak sama kemauannya dengan kemauanku. Hidupku menjadi tidak perfect. Akan tetapi, di sinilah aku belajar arti misteri Allah. Aku belajar arti kebergantungan pada Allah dan ketidak-sempurnaan. Aku belajar untuk menerima kelemahan diriku. Aku belajar menerima bahwa ada banyak hal yang tidak bisa aku raih ketika ngotot. Aku belajar bahwa orang lain, walaupun memiliki kekurangan, pasti punya kelebihan yang mungkin aku tidak punya. Kita harus berani membuka mata bahwa ada ruang ketidak-sempurnaan. Di dalam spiritualitas ke-tidak-sempurnaan,  Allah menciptakan orang lain bagi kita agar kita saling mengasihi dan melengkapi. 

Aku kini menikmati spiritualitas ketidak-sempurnaan. Mengutip refleksinya Om Paulus, "Dalam kelemahankulah, kuasaMu menjadi sempurna." Spiritualitas ketidak-sempurnaan menuntun kita pada penerimaan. Penerimaan menuntun kita atas jawaban dari sebuah pertanyaan, "Mengapa orang mau pergi ke gereja dan mencintai Kristus?" Penerimaan menuntun kita pada gairah dan orgasme kehidupan bergereja. Dalam penerimaan kita merasakan dimensi "misteri Allah"

Jakarta, 17 September 2014 
YIR

Rabu, 03 September 2014

Just a Free Writing about my experiences

Saat ini, saya sedang mengerjakan sebuah proyek penulisan untuk ibadah syukur pernikahan dan pelayanan Opa Loing yang akan diselenggarakan pada bulan Februari 2015. Tugas saya sangat sederhana. Saya diminta untuk mendengarkan kisah pernikahan dan pelayanan Opa Loing dan Oma Anneke dan kemudian merangkumnya dalam bentuk tulisan.

Tidak menduga, proyek ini justru menjadi berkat buat saya. Lewat kisah hidup mereka, saya melihat bagaimana kuasa Tuhan bekerja dalam kehidupan mereka. Yang paling menarik adalah kesimpulan mereka, "Kalau kami diminta mengulang masa-masa itu, kami mau." Terus terang, saya terkejut mendengar pernyataan itu karena buat saya masa-masa kehidupan mereka sungguh berat dan tak mudah. Lewat kisah itulah, saya melihat bahwa mereka berdua adalah orang yang sangat mengabdikan diri bagi Tuhan dan sangat dicintai Tuhan.

Apa kisahnya? Penasaran khan? Sayangnya kisahnya masih rahasia, tunggu saja kisahnya di tahun depan. Hehehehe...

Anyway, sedikit "jump up" ah, rupanya lewat percakapan dengan mereka, saya merasakan bimbingan Tuhan untuk melihat karya nyata Tuhan dalam hidup saya, khususnya sejak saya memutuskan untuk memasuki jalur kependetaan. Ada momen ketika saya hampir menyerah dan seakan tiada jalan untuk masalah yang saya hadapi. Masa terberat adalah sekitar dua tahun lalu. Rasanya cita-cita dan cinta itu dipertaruhkan. Padahal bagi saya, keduanya adalah panggilan. Ya, panggilan untuk melayani dan mencintai. Namun, Tuhan membuka jalan, dengan diterimanya orang yang saya cintai di salah satu universitas terkemuka di Indonesia. Terus terang, saya masih memiliki kekuatiran. Namun, percakapan dengan Opa Loing dan Oma Anneke, membuat saya yakin bahwa ada yang disebut "the invisible hand" yang akan menolong kami, asal kami pun tulus mencintai Allah.

Thanks God for this opportunity.
Jakarta, 4 September 2014
YIR