Minggu, 22 Maret 2015

Di Balik Kata “Saudara” atau “Kita”

Setiap saya selesai berkhotbah, saya suka memperhatikan kata ganti yang saya gunakan. Beberapa kata ganti yang sering saya gunakan adalah kata “saudara” dan “kita”. Saya berusaha sekonsisten mungkin menggunakan kata “kita” ketika berkhotbah. Penggunaan kata ini dijiwai dari sebuah semangat bahwa saya berkhotbah bukan hanya untuk orang lain, melainkan untuk diri sendiri.

Akan tetapi, ada kalanya ketika saya keceplosan menggunakan kata “saudara”. Dan saya memperhatikan momen-momen ketika saya menggunakan kata “saudara”. Rupanya kata-kata itu muncul ketika saya menyadari bahwa apa yang saya khotbahkan sangatlah berat dan rasanya saya ingin menampik firman itu dari wajah saya.

Inilah yang saya renungkan setelah kemarin berkhotbah di Kebaktian Pemuda. Ayat yang menjadi kunci adalah “Barangsiapa mencintai nyawanya, akan kehilangan nyawanya.” Sulit rasanya mengkhotbahkan sesuatu yang sangat berat, apalagi melakukannya. Saya lebih sering mengucapkan kata “saudara” ketimbang “kita”. Ya, ini menunjukkan bahwa di balik khotbah saya kemarin, ada keengganan bahwa saya pun harus belajar mencintai secara benar.

Dalam perjalanan proses kependetaan ini, ada satu permintaan saya kepada Tuhan. Tuhan jangan ambil hal yang paling berarti di dalam hidup saya. Hal itu adalah “nyawa” saya. Saya tahu permintaan itu menjadi titik lemah saya. Sedihnya, pada hampir penghujung proses ini Tuhan membenturkan saya dengan permintaan saya itu. Saya diperhadapkan dengan pergumulan mencinta itu sendiri. Apa yang saya inginkan dan pertahankan, seolah hendak direbut oleh Tuhan. Saya merasa seperti Ayub yang dibenturkan dengan berbagai pengalaman kehilangan, tuduhan negatif dari orang sekitarnya dan merasakan serangan gatal di tubuhnya. Seluruh tubuh, jiwa dan roh menahan perih pedihnya sakit.

Saya berteriak mencari Tuhan, namun Tuhan senyap. Ia tidak berbicara. Saya berlari hingga terjatuh. Namun, sungguh Tuhan menyayangkan nyawa saya. Ia tidak membiarkan saya mati tergilas mobil. Sekali lagi, Ia menyayangkan nyawa saya. Suatu pengalaman iman yang penuh tanda tanya. Di tengah kesedihan saya, Ia tidak menunjukkan suaranya sedikitpun. Bahkan, tidak sama sekali. Saya bertanya, mengapa Tuhan Engkau diam? Saya bertanya tentang orang lain dalam doa dan Engkau menjawab. Namun mengapa saat saya bertanya tentang diri saya, Engkau tidak menjawab. Seolah Tuhan tidak mau dipusingkan dengan apa yang saya pikirkan dan gumulkan.

Sampai satu titik ketika saya harus mengkhotbahkan perikop kemarin. Saya semakin sukar untuk menuliskan refleksi saya dalam notebook saya, seperti yang biasa saya lakukan. Dan saya tertegun karena Allah rupanya ingin menggocok saya hingga saya mengenal siapa Dia dalam pergumulan ini. Ia menyatakan kepada saya arti cinta yang sesungguhnya. Ya, arti cinta yang membangun dan bukan cinta yang destruktif.

Cinta yang destruktif adalah cinta yang posesif dan obesesif. Posesif karena menganggap sesuatu yang kita cintai sebagai objek, boneka. Obsesif karena kita menghalalkan segala cara agar mendapatkan sesuatu yang kita cintai. Akan tetapi, cinta yang destruktif tidaklah kekal. Cinta yang destruktif mengakibatkan kehilangan. Ya, barangsiapa mencintai nyawanya akan kehilangan nyawanya.

Lawan dari cinta yang destruktif adalah cinta yang membangun. Cinta yang membangun tidak takut kehilangan. Cinta yang membangun tidak takut menahan perihnya luka. Cinta yang membangun tidak takut mati. Ini seperti yang dikatakan oleh penulis 1 Yohanes 4:18, “No fear in love”. Cinta yang sesungguhnya tidak posesif sehingga tidak takut kehilangan. Cinta yang sesungguhnya tidak takut memberi. Bahkan ketika kehilangan pun, ia rela.

Terima kasih kata “kita” dan “saudara” karena sudah mengingatkan bahwa saya pun masih harus belajar mencinta.

Jakarta, 23 Maret 2015
YIL