Senin, 01 Juni 2015

Beragam Rasa Hidup dalam Sepiring Makanan

"Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki”
Matius 26:39 b

Kalau ditanya, tempat makanan mana yang paling berkesan di hidupku, maka aku akan segera menjawab: di rumah retreat daerah Bintaro. Jawaban ini muncul dari pengalamanku ketika aku mengikuti retreat tentang panggilan pelayan. Di ruang makan itu ada sebuah ikon Kristus, terang dunia. Aku duduk di depan ikon tersebut sambil menikmati makanku. Sorotan mata Kristus di dalam ikon itu tidak bercahaya, sangat rapuh. Sorotan matanya bukan sorotan mata yang menyiratkan terang dan binar cahaya. Di dalamnya kulihat kepedihan dan kerapuhan. Vulnerability of Christ!
Silent retreat! Aku makan sambil terdiam, sambil sesekali memandang ikon Kristus. Tanpa kata. Tanpa bicara. Aku memerintahkan pikiran yang berkecamuk untuk diam. Biar Allah yang diam itu menyatakan sesuatu dalam kediaman-Nya.
Perlahan-lahan air mata yang menetes ketika aku mengunyah makananku.  Air mata ini seperti menjadi penanda bahwa aku mulai memasuki misteri Allah yang Diam. Rasa asin, pedas, manis, pahit berpadu dalam mulutku. Aku teringat kehidupanku. Ada berbagai rasa yang kurasakan ketika menjalani panggilan ini. Di antara rasa-rasa itu, ada yang tak aku sukai dan kusukai. Ada yang menyenangkan hatiku dan ada yang menyayat hatiku.
Kupandang Kristus Sang Terang dunia yang tidak memancarkan sorotan mata yang berbinar. Aku teringat, ketika Ia bergumul di dalam taman. "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” Kristus Terang Dunia itu pun menjadi terang dalam kerapuhan-Nya. Kristus Sang Terang menjadi Terang ketika Ia menandaskan cawan yang Ia minum. Ia akhirnya menikmati beragam rasa dalam masa perutusan-Nya dengan menyelesaikan tugas-Nya.
Aku merasakan rasa makanan dari suapan terakhirku. Sambil menikmati beragam rasa di lidahku, air mataku menetes lagi. Memang perjalanan ini adalah ziarah beragam rasa, yang akan dan harus kutandaskan bersama Sang Illahi. Aku mengangkat piringku dan meletakannya pada tempat piring kotor. Rupanya, Allah yang diam itu sudah menyatakan diri-Nya lewat beragam rasa makanan di rumah retreat yang sunyi itu.

Jakarta, 1 Juni 2015

YIL