Sabtu, 24 Desember 2016

Perspektif Baru

            Ketika kelam membayangi kehidupan kami,
            Ajarlah kami melihat keindahan dari Allah,
            Melalui desahan angin malam
            Yang menerpa wajah kami.

            Ketika putus asa melilit kehidupan kami,
            Ajarlah kami melihat pengharapan dari Allah,
            Melalui daun-daun yang berguguran, jatuh ke tanah lalu mati,
            namun menyuburkan tanaman lainnya...
                           
            Ketika trauma membuat kami tak dapat lagi melihat cinta,
            Ajarlah kami melihat cinta Allah,
            Melalui rasa sakit yang ditahan oleh seorang ibu
            Ketika ia dengan penuh cinta melahirkan dan menyusui bayinya
           
            Ketika pengalaman pahit menyergap kami,
            Ajarilah kami mengecap aneka rasa dari Allah
            Melalui beragam rasa makanan yang kami makan
            Agar kami dapat merayakan kehidupan dengan perspektif baru.
 Jakarta, 24 Desember 2016
YIR



Jumat, 23 Desember 2016

Kelahiran Sang Bayi

Sang Bayi lahir...
                di malam yang sepi,
                untuk mengingat perasaan kesepian
                yang melilit insan dengan mengerikan
Sang Bayi lahir...
                di pondok orang asing,
                untuk memahami perasaan terasing
                yang mencekik insan dalam suasana bising
Sang Bayi lahir...
                disambut para gembala yang terjaga
                untuk mengingat orang-orang sederhana
                yang terjaga demi makanan secukupnya
Sang Bayi menjadi kanak-kanak...
                disambut para Majus dari jauh
                untuk merayakan keberagaman yang utuh
                yang kini rasanya agak menjauh
Sang Bayi menjadi kanak-kanak...
                Di tengah pembantaian penguasa
                Untuk merengkuh korban kekerasan
                Yang penuh cucuran air mata
Sang Bayi menjadi kanak-kanak...
                Di tengah ratapan air mata di Rama
                Untuk menemani orang-orang yang dibelit trauma
                Yang sukar melihat hidup yang berirama


Selamat menyambut Sang Bayi dalam keheningan...

Jakarta, 24 Desember 2016
YIR 

Kamis, 08 Desember 2016

JATUH-LUKA-JATUH-LUKA, DI MANAKAH KESEMBUHAN?

Di masa kecil, saya senang sekali bermain di sawah. Berlari-lari ke sana-sini di sawah kering untuk mengejar layangan putus. Suatu kali, kaki saya tersangkut di antara tanah lempung kering hingga akhirnya saya terjatuh. Wajah saya hancur dan dipenuhi luka. Minggu-minggu itu, rasanya saya malu sekali ke sekolah. Teman-teman saya menertawakan saya. Sebagian ada yang berkata, “Anak cewek koq mainnya ngejar layangan putus.”
Selain diejek, penderitaan yang juga berat adalah ketika mama saya membersihkan luka saya. Perih sekali. Luka itu tidak boleh dibiarkan bernanah. Harus dibersihkan, dibasuh, dan ditaburi “obat merah” resep Cina yang perihnya bukan main. Jadilah, selama beberapa hari, saya kapok pergi ke sawah. Saya hanya melihat layangan putus dari belakang kaca jendela rumah. Sayangnya, kapok itu tidak cukup ampuh untuk menahan saya yang ceroboh dan sering jatuh. Saya kembali jatuh terantuk di rumah. Luka di wajah belum kering, kini bertambah luka di kaki.
Entah mengapa dalam beberapa hari ini, saya teringat peristiwa itu. Jatuh-luka-jatuh-luka menjadi hal yang sering terjadi di dalam kehidupan saya. Kadang, saya berlari menghindari luka. Namun, kadang saat luka hampir sembuh, saya pun jatuh lagi. Kadang, saya sudah berhati-hati, namun saya tetap jatuh. #nasib
Saya teringat percakapan yang mengejutkan dengan Mince, rekan semasa kuliah saya. Ada momen ketika dia sudah hampir melupakan luka-lukanya, namun Tuhan kembali seperti memukul dan mengingatkannya kembali akan lukanya. Dan itu sakit! Tokh yang Mince alami ini juga saya berulang kali rasakan. Kalau saya mengilas balik perjalanan hidup saya selama setahun terakhir, rasanya Tuhan membiarkan saya untuk jatuh-luka-jatuh terus menerus. Ada kelelahan yang amat sangat ketika mengilas balik perjalanan di tahun ini. Saya pun bertanya kembali tentang siapa Tuhan? Dan mengapa saya berulang kali terjatuh? Kapan saya sembuh ya Tuhan?
Hosea 8:2-3 melukiskan gambaran yang menarik tentang Tuhan dalam fase jatuh-luka-jatuh itu. “Mari kita berbalik kepada TUHAN, sebab Dialah yang telah menerkam dan yang akan menyembuhkan kita, yang telah memukul dan yang akan membalut kita. Ia akan menghidupkan kita sesudah dua hari, pada hari yang ketiga Ia akan membangkitkan kita, dan kita akan hidup di hadapan-Nya. Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal TUHAN; Ia pasti muncul seperti fajar, Ia akan datang kepada kita seperti hujan, seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi.
Sungguh menarik karena Tuhan digambarkan sebagai penerkam dan penyembuh; pemukuldan pembalut; yang muncul bagai fajar dan hujan. Barangkali, proses diterkam-disembuhkan;  dipukul-dibalut inilah yang terjadi dalam misteri yang tak terjelaskan. Barangkali,sang penulis ingin menggambarkan kerinduannya sekaligus ketidaksanggupannya untuk mengenal TUHAN yang wajahNya tidak tunggal. TUHAN yang tak bisa dipahami seutuhnya, namun hadir dalam proses jatuh-luka-jatuh.
Lalu di manakah kesembuhan? Kesembuhan hadir dalam kesadaran pertobatan, sebagaimana yang dikatakan dalam Hosea 8:2, “Mari kita berbalik kepada TUHAN”. Pertobatan adalah sebuah kesadaran penuh bahwa kita adalah manusia yang rapuh yang lukanya belum kering dan selalu punya potensi untuk terjatuh. Atau bahkan jatuh lagi dan lagi! Kesembuhan adalah kerinduan untuk kembali kepada Sang Misteri dalam proses JATUH-LUKA-JATUH-LUKA, di mana kata SEMBUH tersembunyi dan berkelindan di antara kata JATUH-LUKA-JATUH-LUKA. Kiranya Tuhan menolong setiap kita yang sedang ada dalam proses yang pahit namun manis ini.
Jakarta, 8 Desember 2016
YIR


Minggu, 20 November 2016

Allah yang Mengejutkan

Allah itu memang mengejutkan!

Saya tidak pernah menyangka....
bahwa saya bisa berkhotbah di GKI Kayu Putih bersama dengan Mince, teman kuliah saya 


Saya tidak pernah menyangka...
bahwa tema pada hari itu adalah tentang "Yesus, ingat aku!"

Saya tidak pernah menyangka...
bahwa dalam proses beriman kami, kami sama-sama pernah merasakan dilupakan Tuhan.

Saya tidak pernah menyangka...
bahwa sebelum berkhotbah kami sama-sama mengingat pengalaman penolakan yang dilakukan oleh supir taksi sepulang dari RSCM kepada Mama Mince, yang adalah mama kami juga

Saya tidak pernah menyangka....
bahwa cerita kehidupan Mince yang ia khotbahkan paska kami lulus justru menguatkan saya.

Saya tidak pernah menyangka bahwa...
kami punya kesamaan, yakni pada saat kami mau "move on", Tuhan justru memperjumpakan kami dengan kelemahan masing-masing

Saya tidak pernah menyangka bahwa....
ayat yang sudah bergema sejak penahbisan, "Cukuplah kasih karuniaKu kepadamu, sebab di dalam kelemahanmulah, kuasaKu menjadi sempurna" dibunyikan lagi oleh Mince pada saat kami berkhotbah bersama. 

Saya tidak pernah menyangka bahwa...
Tuhan mengingat saya melalui Mince, demikian juga barangkali sebaliknya.

Saya tidak pernah menyangka bahwa...
dalam momen khotbah dan doa bersama kami sama-sama dikuatkan Tuhan...

Saya tidak pernah menyangka bahwa...
kegelapan dan air mata, menuntun kami untuk semakin terbenam dalam cinta dan rahmatMu.

Saya tidak pernah menyangka bahwa...
Firdaus itu adalah ketika kami diingat Tuhan, hari ini juga melalui perjumpaan yang mengejutkan. 
 
Jakarta, 21 Nopember 2011

Minggu, 13 November 2016

Tentang Kepedihan


Pada keanehan indra yang benderang
Dengan balutan intuisi yang bergelinjang
Data-data menjadi telanjang
Dalam ruang yang tak terang

Badan kami terasa berat.
Saat pengkhianatan begitu pekat
Kemarahan dan kepedihan telah berurat
Membuat mata kami pekat

Tuhan,  ajarilah kami mengampuni
Sebagaimana Engkau Allah yang rahimi
Agar cinta tetap bersemi
Dalam kesederhanaan alami


Minggu, 16 Oktober 2016

Sebuah Pertanyaan

Malam menyapa dalam keheningan
Kedatangan mentari seolah tertahan
Dalam pengujian makna yang terpilin

Kepedihan meninggalkan goresan
Yang tak tergambarkan
Dengan sejumput bahasa insan

Sayup-sayup muncul sinar kebahagiaan
Menjadi hadiah pada proses misteri iman
Yang terus dipertanyakan

Liminalitas menjadi penanda keraguan
Sekaligus penanda pengharapan
Yang ada dalam kesempatan

Sang Khalik,  dalam doa kutanyakan
Mengenai sebuah intusi dan kepekaan
Dalam rasa yang berkejaran

Pada sebuah percepatan
Menerka sebuah pertanyaan dalam persimpangan
Yang penuh misteri dan kejutan

Jakarta,  17 Oktober 2016
YIR

Menang Atas Diri Sendiri (Kejadian 32:22-32)



“Kenalilah musuhmu, kenalilah diri sendiri.
Maka kau bisa berjuang dalam 100 pertempuran tanpa risiko kalah.

Kalimat itu adalah kalimat yang diucapkan oleh Sun Tzu, seorang ahli perang yang sangat terkenal dari negeri Tiongkok. Buat saya kalimat itu sangat menarik, karena rupanya yang menjadi penentu kemenangan kita bukan hanya musuh melainkan diri sendiri. Dengan kata lain, musuh terbesar di dalam hidup ini adalah diri sendiri.

Dalam teks Alkitab yang kita baca kali ini, kita melihat kehidupan dari seorang tokoh Alkitab yang sudah diwarnai dengan sejumlah keberhasilan menurut standar dunia. Yakub memiliki banyak istri dan anak. Yakub mendapat berkat dan hak kesulungan. Yakub memiliki banyak harta dan juga budak. Semuanya ia punya, namun hidupnya tidak tenang dan penuh kekosongan. Mengapa? Karena ia dibayang-bayangi oleh musuh besarnya yakni dirinya sendiri.

Yakub mendapatkan semua itu dengan sebuah pola dosa yang berulang yakni dengan menipu. Betul, bahwa dengan menipu ia mendapatkan hak kesulungan dan berkat ayahnya, namun ia lari dari kemarahan kakaknya dan kekecewaan ayahnya. Betul bahwa dengan menipu, Yakub mendapatkan harta yang banyak, namun ia lari dari mertuanya. Dan ketidakjujurannya itu menimbulkan sikap pengecut di dalam dirinya. Kalau kita baca bagian perikop sebelumnya, kita tahu betapa pengecutnya Yakub. Ia tak berani pada Esau. Ia takut ditolak atau bahkan dibunuh oleh Esau karena kejadian di masa lampau. Karena itu, ia berusaha menyogok Esau dengan harta bendanya dan ia sendiri tertinggal jauh paling belakang. Sungguh pedih, karena orang yang kaya dan punya segala hal namun hidupnya tidak tenang dan menjadi sebuah pelarian.

Barangkali di hidup ini mungkin kita juga pernah merasakan apa yang dialami oleh Yakub. Kita memiliki segalanya. Pacar yang baik. Harta yang banyak. Nilai kuliah yang bagus. Pekerjaan yang mapan. Namun, ada kekosongan di jiwa kita yang disebabkan karena pergumulan dalam diri sendiri. Diri sendiri menjadi musuh yang paling menakutkan bagi kita. Kita berkali-kali jatuh pada perangkap yang sama dalam pola berulang. Kita sampai pada suatu titik bahwa tidak bisa mengendalikan diri sendiri untuk tidak melakukan hal yang salah, meskipun kita tahu bahwa itu salah. Kita membungkus diri kita dengan sejumlah daya tipu, karena kita tidak berani merengkuh kerapuhan dalam diri sendiri. Kita takut tidak diterima oleh orang lain, karena sebenarnya diri kita sendiri pun tidak menerima diri kita sendiri.

Namun satu hal, yang saya alami, yakini dan juga imani adalah bahwa Allah itu tidak pernah menyerah dengan kita, walaupun kita menyerah terhadap diri kita sendiri. Dalam kisah Yakub, Allah datang pada masa ketika Yakub sangat rapuh dan tidak dapat mengontrol rasa takut dalam dirinya sendiri. Namun, kali ini Allah tidak hadir sebagai pemberi janji, melainkan sebagai sebuah tokoh antagonis, yakni seorang laki-laki yang mengajak Yakub bergulat. Dengan demikian, kita pun dipaksa bergulat dengan Allah, dengan orang yang rusak relasinya dengan kita dan dengan diri kita sendiri. 

Perhatikanlah masa-masa ketika kita memasuki masa-masa yang disebut dengan “lembah kekelaman”. Ketika kita merasa bahwa hidup kita sangat berat, dan malam menjadi terang, disitulah Tuhan menantang saya bergulat. Dalam rasa yang lemah dan rasanya hidup ini hampir padam, Tuhan menyadarkan bahwa ternyata ada sisi gelap di dalam hidup kita yang selama ini kita enggan hadapi. Namun, di poin pergulatan itu, Tuhan menyadarkan kita bahwa ketika Tuhan mencintai kita, itu lebih dari cukup.
Dalam kisah Yakub di Yabok. Ada beberapa hal yang menarik yang menunjukkan keindahan proses transformasi dalam diri Yakub terjadi.

Pertama, perhatikanlah bahwa Allah sengaja menantang Yakub untuk berdiri tegak dan bergulat dengan penyerang. Di akhir bagian kisah ini, tampaknya disimpulkan bahwa yang menyerang adalah Allah, sebagai tokoh antagonis. Namun, saya membayangkan bahwa bisa saja sebenarnya Yakub awalnya tidak tahu siapa orang yang bergulat dengannya dalam kegelapan. Beberapa penafsir mengatakan, sebagai orang yang sangat ketakutan dan merasa berdosa terhadap Esau, barangkali Yakub dapat berpikir bahwa orang tersebut adalah Esau. Di sini Yakub seperti dipaksa untuk menghadapi ketakutan terbesarnya, dalam sebuah pergulatan, di mana ia tidak dapat menggunakan sejumlah jurus tipuannya lagi. Dia pun kini berjuang melawan ketakutan dan keberdosaan dirinya sendiri terhadap Esau. Dia bergulat bersama dengan Esau.

Kedua, hal yang menarik setelah pergulatan itu berakhir, Yakub tidak membiarkan orang itu pergi tanpa memberkatinya. Kita lihat bahwa dari awal kehidupan Yakub, problem yang dihadapi Yakub adalah ia tergila-gila dengan berkat, baik itu kekayaan maupun ucapan berkat ayahnya yang dipercaya oleh mereka sebagai pemberi keberuntungan. Dan dalam masa lalunya yang kelam, Yakub mendapatkan berkat-berkat itu dengan cara-cara yang culas. Namun, di saat ini ia belajar mendapatkan berkat dengan jujur, dengan meminta langsung pada sang pemberi berkat, bahkan orang yang pernah bergulat dengan kita. Bagi saya, ini sebuah transformasi diri yang sangat dahsyat. Bahwa, kita meminta orang yang bergulat dengan kita memberikan berkat dan mendoakan kita. Hal ini meruntuhkan sebuah ego dan harga diri yang besar.

Hasil gambar untuk fajarKetiga, perhatikanlah waktunya. Yakub bergulat dari malam hari sampai matahari terbit. Dalam tradisi Yahudi, fajar adalah waktu ambang batas antara malam dan siang. Antara terang dan gelap. Ada sayup-sayup kegelapan. Namun, ada semburat cahaya fajar yang menunjukkan pengharapan. Dan fajar yang hadir itu adalah anugerah dari Tuhan, bukan sesuatu yang lahir dari usaha kita. Dan simbolisme ini menunjukkan hidup kita. Yakni, bahwa kita selalu hidup di ambang batas antara malam dan siang, terang dan gelap. Ketika kita berjumpa dengan Tuhan, tak semerta-merta kita berubah menjadi lebih baik, 180 derajat. Kita tetap bergumul dengan dosa-dosa kita antara “kegelapan” dan “terang”. Kita tetap bergumul dengan persoalan self control atas luka di masa lalu dan masa kini serta pengharapan di masa mendatang. Luka kita tidaklah hilang, membekas seperti kepincangan yang terjadi pada Yakub. Namun, kita tahu bahwa kita menang. Dan kemenangan perjuangan kita melawan diri sendiri itu disebabkan karena kekuatan anugerah Tuhan yang muncul bagai mentari yang menyapa kita.

Hingga dalam kisah penutup ini, dikatakan bahwa nama Yakub diubahkan. “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah.” Pada poin ini, kita menyadari bahwa transformasi diri bukan lahir dari kekuatan kita, namun dari anugerah Allah. Selamat bergulat dengan Allah J

Jakarta 15 Oktober 2016
Khotbah pemuda GKI Kaput
YIR

Senin, 29 Agustus 2016

Hujan Tanpa Kata

Air tertumpah deras dari atas bumi
Dalam desahan suara curahannya yang alami
Tak tersaingi denting piano dan petikan harpa
Pada malam yang hening, tanpa kata

Air tertumpah membasuh bumi yang tertutup debu
Yang tercipta dari hiruk pikuk keramaian
Air menelanjangi kepongahan hidup kelabu
Dalam bisu yang menggelisahkan

Desahan hujan mengantar pada kesunyian
Genangannya memantulkan realita
Yang samar terlihat oleh mata
Pada semburat misteri dalam perjalanan

Jakarta,  30 Agustus 2016
YIR

Minggu, 28 Agustus 2016

GKI, SUDAHKAH MENJADI GEREJA YANG MENGINDONESIA?

 Lukas 14:1, 7-14

Setiap kita pasti pernah melihat foto di samping ini. Ini adalah foto saat Soekarno membacakan teks proklamasi Indonesia. Namun, apakah Anda tahu siapa yang menjadi fotografernya? Fotografernya adalah Frans Sumarto Mendur dan Alexius Impurung Mendur. Karena jasa mereka berdua, kita dapat melihat foto yang menjadi saksi sejarah kemerdekaan kita.
                Yang menarik, baik Frans maupun Alexius tidak mendapat instruksi dari siapapun untuk mengabadikan momen tersebut melalui foto. Mereka hanya mendengar informasi dari Harian Asia Raya bahwa tanggal 17 Agustus 1945 akan ada peristiwa penting di kediaman Soekarno. Karena itu, mereka pergi ke Cikini dan tiba pkl. 05.00. Proklamasi dilangsungkan pkl. 10.00 dan mereka mengabadikan foto-foto itu. Namun, setelah upacara, mereka berdua disergap tentara Jepang. Alex tertangkap. Kameranya disita dan dibakar. Sementara itu Frans menyembunyikan kameranya di dalam tanah dan berkilah bahwa kameranya diambil barisan pelopor. Setelah dirasa aman, barulah keduanya mengendap-ngendap di tengah malam untuk mengambil kamera tersebut, mencari lab foto dan mencetaknya. Mereka mau melakukan hal ini, walaupun mereka terancam hukuman mati oleh Jepang.
                Saudara, dari kisah Frans dan Alex, ada salah satu nilai yang sangat penting di dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu sikap berani berkorban, tanpa memikirkan untung rugi. Sikap berani berkorban, tanpa mementingkan untung rugi juga merupakan perintah yang diajarkan Tuhan Yesus kepada kita. Dalam perjamuan makan yang dihadiri Tuhan Yesus, Tuhan Yesus menasihatkan tentang siapa saja orang yang harus diundang hadir dalam perjamuan. Lazimnya, sang tuan rumah akan mengundang orang-orang yang sama status sosialnya dengan dirinya atau orang-orang yang dekat dengannya, baik itu teman, keluarga atau tetangganya, bahkan orang yang kaya. Kemudian, sudah menjadi kebiasaan jika mereka yang diundang akan mengundang kembali orang yang pernah mengundangnya pada perjamuan selanjutnya. Spirit yang terjadi adalah spirit untung rugi. Dan inilah yang dikritik oleh Tuhan Yesus.
Karena itu, menurut Tuhan Yesus yang justru harus diundang adalah orang-orang yang tak mampu makan dengan layak, seperti orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Mereka merupakan orang-orang yang biasanya tak dianggap dalam kalangan masyarakat Yahudi. Bahkan, mereka dicap sebagai orang yang tak diberkati oleh Tuhan. Mereka dianggap orang yang tak layak dan bukan manusia yang utuh. Karena itu, tidak ada yang mengundang mereka makan. Yang lebih menarik lagi, di ayat 14 dikatakan dan engkau akan berbahagia karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Ajaran Tuhan Yesus ini mau mengatakan bahwa ketika kita melayani, maka layanilah dengan tulus, jangan memikirkan untung dan rugi. Bahkan beranilah untuk berkorban demi mereka. Dan dasar dari pengorbanan tersebut adalah kasih persaudaraan, sebagaimana yang dengan senada diungkapkan dalam Ibrani 13:1-2. Dengan demikian, orang cacat, orang lumpuh, orang miskin dan yang terabaikan itu adalah saudara kita. Masakan kita tak mau berkorban bagi sesama kita?
Lihat, betapa spirit rela berkorban menjadi nilai penting dalam Injil dan dalam sejarah bangsa kita. Karena itu, saat ini, pada momen HUT GKI, maka kita pun perlu berefleksi, apakah kita sudah menjadi gereja yang mengindonesia? Keindonesiaan GKI tidak ditentukan dari apakah kita pakai pakaian adat saat HUT GKI. Kekristenan dan Keindonesiaan GKI ditentukan dari sebuah pertanyaan, apakah spirit mau berkorban dan tidak berpikir soal untung rugi –yang merupakan nilai hidup Kristus dan nilai hidup Bangsa Indonesia-- itu sudah ada pada kita? Apakah nilai rela berkorban mewarnai spirit kehidupan kita? Apakah pelayanan GKI di seperti pelayanan rumah sakit, sekolah, universitas, pelayanan kemanusiaan, dlsb apakah sudah didasarkan pada spirit mengasihi orang lain dan bukan untung rugi?
Dalam sebuah sharing, ada gereja yang memberikan pelayanan kebersihan lingkungan, agar mereka dipinjamkan tempat parkir. Lihat, pola relasinya. Kita berpikir, kita memberi agar “aman”, agar “nyaman”. Atau ada yang membangun poliklinik agar gereja tidak diganggu oleh masyarakat sekitar. Pelayanan semacam ini masih pola untung rugi. Kita tidak berpikir bahwa kita melayani untuk melayani.
Di gereja kita masing-masing, apakah kita sudah sangat ramah terhadap orang-orang yang Tuhan katakan sebagai orang yang cacat, miskin, lumpuh dan buta. GKI manakah yang sudah sangat peduli pada orang yang cacat? Bagaimana jika ada anggota jemaat kita yang tuli? Bagaimana ia mendengarkan khotbah dan rangkaian liturgi? Sudahkah kita menyediakan fasilitas baginya? Bagaimana jika ada anggota jemaat kita yang lumpuh? Sudahkah kita menyediakan akses baginya agar dapat beribadah? Atau jangan-jangan kita masih sibuk menolak dengan prinsip ah ngapain wong yang lumpuh hanya 2-3 orang? Sangat diskriminatif!
Karena itu, pada HUT GKI kali ini, marilah kita melakukan otokritik pada diri kita sendiri. Marilah bersama-sama belajar untuk menjadi Gereja yang Meng-Indonesia dengan sebuah spirit pelayanan yang rela berkorban dan tidak berpikir untung rugi.


Jakarta, 27 Agustus 2016

Minggu, 31 Juli 2016

Tentang Doa

Ada hal yang barangkali saat ini tidak lazim, namun terjadi pada masa kanak-kanak saya. Dulu, tetangga saya suka mengetuk pintu rumah untuk meminta pertolongan. Misalnya saja, kalau ia sedang memasak dan kehabisan garam atau cabai, tentulah ia akan mengetuk pintu rumah saya. Lazimnya, kita meminta pertolongan kepada tetangga pada waktu siang. Jarang sekali kita mengetuk pintu rumah orang lain saat malam hari, kecuali kondisinya sangat mendesak. Hal yang serupa juga terjadi dalam tradisi Yahudi.
Dalam Injil Lukas 11:5-13, Tuhan Yesus mengumpamakan orang yang berdoa dengan orang yang mengetuk pintu rumah sahabatnya hanya untuk meminjam tiga roti pada malam hari. Ia mengetuk pintu rumah sahabatnya karena ia terdesak. Pasalnya ada seorang tamu di rumahnya dan rotinya habis. Karena itu, Ia tidak jemu-jemu mengetuk pintu tetangganya hingga akhirnya si tetangganya membuka pintu rumahnya.
Ketika membaca kisah ini, kita barangkali akan begitu semangat berdoa. Ayat yang kita baca dalam Lukas 11:1-13 tampak membahagiakan dan sangat menjanjikan. “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.  Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.” Ayat ini, seringkali dipakai untuk meneguhkan kita bahwa Tuhan pasti memberikan apa yang kita minta.
                Namun, dalam hidup ini koq rasanya tidak begitu. Saya sering terenyuh ketika melihat anggota jemaat yang mendoakan anggota keluarganya agar sembuh dari penyakitnya, namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Begitu juga dengan seorang anak remaja yang tampak stress ketika ia tidak masuk ke dalam perguruan tinggi yang ia minati. Tampaknya, tidak ada kepastian dalam jawaban doa.
Beberapa waktu yang lalu, saya pun pernah merasakan hal yang senada. Saya merasa kesal pada Tuhan karena Tuhan tidak menjawab doa saya sesuai dengan kehendak saya. Padahal, hari itu, saya diundang masuk ke Sekolah Bina Iman untuk bercerita tentang kehidupan doa. Selain itu, anak-anak usia 7-9 tahun bebas bertanya apapun kepada saya yang berkaitan dengan doa. Dan bagi saya, rasanya berat sekali.  Tiba-tiba, pada saat sesi tanya jawab, ada seorang anak perempuan yang bertanya kepada saya, “Kak, pernah nggak Tuhan tidak mengabulkan doa Kakak? Kakak marah nggak sama Tuhan? Kakak masih percaya nggak sama Tuhan.”
Pertanyaan anak itu membuat saya terdiam. Dan saya pun bertanya dalam hati, apakah jangan-jangan pertanyaan anak ini adalah bentuk jawaban doa dari Tuhan kepada saya. Ketika saya merasa Tuhan tidak atau belum mengabulkan apa yang saya minta, Tuhan punya cara menjawab keragu-raguan saya. Dan di situlah kehidupan berdoa di mana jawaban Tuhan kadang begitu mengejutkan.
Dalam Injil Lukas 11:5-13, jawaban doa ternyata mengejutkan. Kita tidak dapat membaca perikop ini sepotong saja. Kuncinya sebenarnya terletak pada ayat 13, “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.
Jadi, apa jawaban dari doa kita? Barangkali Tuhan tidak membuat kita sembuh, seperti yang kita minta dalam doa. Barangkali, Tuhan tidak memberikan kita uang banyak. Barangkali, orang yang kita kasihi tetap meninggal. Barangkali, Tuhan tidak memberikan kepastian hidup, seperti yang kita minta. Akan tetapi, Tuhan memberikan ROH KUDUS. Itulah jawaban dari doa kita. Dan Roh Kudus itu menyapa dalam pertanyaan anak kecil itu terhadap saya.
Roh Kudus lah yang menolong kita untuk menjalani kehidupan kita, walaupun berat ataupun tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Roh Kuduslah yang membuat kita semakin intim dengan Tuhan. Roh Kuduslah yang membuat kita berpasrah dalam menjalani hidup ini. Tak apa-apa, mintalah dengan jujur apa yang kamu inginkan dalam hidupmu, dalam kondisi hidupmu yang barangkali sedang terdesak seperti orang Yahudi yang terdesak hingga mengetuk rumah sesamanya di malam hari. Tak apa, mintalah dengan jujur pada Tuhan. Dan bersiaplah akan jawabannya yang mengejutkan namun menguatkan yaitu: Roh Kudus yang menyertai kita. Karena doa adalah soal relasi yang intim dengan Sang Khalik.
Suatu ketika, ada seorang ahli etika yang datang dan ikut melayani bersama Ibu Teresa di rumah orang yang sekarat di Kalkuta India. Pada saat itu, dia sedang bergumul dan mencari jawaban yang jelas mengenai bagaimana cara ia menghabiskan sisa hidupnya. Ibu Teresa bertanya, apa yang dapat ia lakukan untuk laki-laki ini. Laki-laki ini meminta agar Ibu Teresa mendoakannya. Kemudian, Ibu Teresa bertanya, “Apa yang ingin saya doakan?” Laki-laki itu minta didoakan agar ia mendapat kejelasan dalam hidupnya. Namun, Ibu Teresa hanya tetawa dan berkata, “Saya pun tidak pernah mendapat kejelasan. Apa yang saya dapatkan adalah iman. Karena itu, saya akan mendoakan agar kamu mengimani bahwa kamu menjalani hidupmu bersama dengan Allah.”

Jakarta, 31 Juli 2016
YIR

Minggu, 17 Juli 2016

Welcome Home Milo!


Sudah lama aku merindukan seekor anjing. Apalagi sejak aku SD hingga SMA selalu memelihara anjing. Namun, panggilan kependetaan ini membuat aku realistis. Hidupku nomaden dan belum ada pastori. Jadi, aku realistis untuk tidak merawat seekor anjing.

Setelah penahbisanku, aku berkunjung ke rumah Mas Bopha dan istri, seorang rekan pendeta di Bandung. Perkunjungan ini semakin membuatku ingin memiliki seekor anjing karena mereka memelihara seekor anjing yang bernama Rudolf. Rodolf memiliki bulu yang putih dan perawakan yang cukup besar. Aku senang sekali kalau main ke rumahnya dan memeluk serta dijilat oleh Rudolf. Rasanya, aku ingin banget punya seekor anjing yang berbulu putih namun badannya kecil dan tidak sebesar Rudolf. Maklum, badanku kecil dan tenagaku juga gak banyak.

Setelah ditahbis dan tahu akan masuk ke rumah pastori, aku mulai mencari orang yang menghibahkan anjing. Mulai dari Ibu Julia (Istri Pdt. Robby) yang menawarkan anak-anak anjingnya. Sayang sekali, waktu ditanya katanya sudah diadopsi oleh orang lain. Aku juga sudah bergabung dengan komunitas anjing hibah. Namun, sayang sekali anjing-anjing yang dihibahkan tidak berjodoh dengan saya. Saya selalu terlambat mengadopsi. Entahlah, rasanya makin dicari, makin tidak mendapat. Sampai akhirnya saya pun sudah tidak kepikiran ingin anjing lagi. Barangkali begitulah kehidupan, tidak hanya untuk perihal anjing saja.

Tiba-tiba, hari ini, seorang remaja putri namanya Joanne, mengirim whatsApp kepadaku. Dia bertanya, “Aku dengar dari Kak Linna, katanya Kak Yesie sedang mencari anjing yah?” Sontak aku terkejut dan bilang iya donk. Dia pun menceritakan bahwa dia sedang mencari adopter untuk anjingnya. Dengan segera aku bilang mau (padahal belum lihat anjingnya) hehehehe.... Just intuition loh..

Setelah aku bilang mau, Joanne segera mengirim foto anjingnya. Ternyata Milo lucu banget. Dan anjing selucu ini punya kisah yang menyedihkan. Anjing ini ditemukan sedang mengorek-ngorek tempat sampah di seputaran Kayu Putih. Tubuhnya kurus dan tidak sehat lagi. Joanne mencari-cari pemiliknya, namun tidak ada yang mengaku. Joanne iba dan takut Milo ketabrak, sehingga Milo dibawanya ke dokter hewan. Joanne memandikan dan membersihkannya. Sudah beberapa hari ini Joanne mencari seorang adopter, namun ia tidak menemukannya. Katanya, “Aku sampai stress mencari adopter.” Aku mengerti sih, barangkali di apartemennya tidak boleh memelihara anjing. Lalu, saat aku berkata mau jadi adopternya, Joanne menangis. In His Time, katanya! Waktu Tuhan selalu tepat.

Dan sekarang, aku siap menyambut Milo, yang diambil dari tempat sampah. Entah karena dia dibuang oleh pemiliknya atau entah dia kabur sehingga hidup di tempat sampah. Walaupun diambil dari tempat sampah, Milo berharga. Milo sama seperti diri kita yang diangkat oleh Tuhan dari lumpur rawa. Setidaknya, saya jadi ingat Mazmur 40:2-3, “Aku sangat menanti-nantikan TUHAN; lalu Ia menjenguk kepadaku dan mendengar teriakku minta tolong. Ia mengangkat aku dari lobang kebinasaan, dari lumpur rawa; Ia menempatkan kakiku di atas bukit batu, menetapkan langkahku.”

Akhir kata, barangkali beginilah hidup. Berani berjalan dalam misteri bersama dengan Tuhan.  Kadang ketika kita menginginkan sesuatu, Tuhan belum ataupun tidak memberikannya, seperti pencarian anjing ini. Barangkali Tuhan menimbang waktu yang tepat untuk semua pihak, tidak hanya untuk kita. Betul kata Pengkhotbah, “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah kolong langit ada waktunya.... Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya; bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.”
Welcome home Milo!
I believe that today is the right time that God has made  for us to meet. J

Jakarta, 18 Juli 2016
YIR

Rabu, 13 Juli 2016

Jika Aku menjadi Ayub

Tuhan,
Kau menghempas hartaku
Kau merusak tubuhku dengan penyakit
Kau mengambil anak-anakku

Aku berperkara dengan-Mu
dalam kejujuran dan kemarahanku
Hanya agar aku mengenal diri-Mu
bukan dari kata orang

Ah, sungguh terlalu mahal harga pengenalan akan diri-Mu
Hingga aku harus kehilangan banyak hal.

Betul bahwa kau gantikan semuanya
Bahkan Kau katakan bahwa...
Kau memberkati aku
lebih dari sebelumnya

Hartaku Kau lipat gandakan
Tubuhku Kau pulihkan
Kau berikan lagi tujuh anak laki-laki
Dan tiga anak perempuan

Jika aku menjadi Ayub,
aku tetap tidak akan bersukacita
atas semua yang Engkau gantikan
Aku akan tetap marah kepada-Mu!

Karena bagaimanapun anak-anakku yang telah mati tak kembali.
Dan mereka tetap tidak terganti
Bagaimanapun, kehidupan sudah pernah dilenyapkan
Hanya karena sebuah kesepakatan antara Engkau dengan iblis

Apakah Engkau masih dapat disebut sebagai Allah yang penuh kasih?
Apakah panggilan hidupku adalah untuk mengikuti Allah seperti-Mu?
Berperkaralah dengan aku sekali lagi!

Jakarta, 13 Juli 2016
YIR

Kamis, 09 Juni 2016

Tak Akan Terganti

Dalam beberapa waktu terakhir, beberapa anggota jemaat sering berkata, "Wah nanti kamu menggantikan Ka Linna  donk di sini." Barangkali, pernyataan ini muncul karena aku dan Ka Linna sama-sama perempuan. Mungkin...

Akan tetapi, dengan spontan aku menjawab, "Aku nggak bisa menggantikan dia."
Jawaban ini memang sungguh-sungguh karena memang Ka Linna tidak akan terganti.
Kami adalah dua orang yang berbeda latar belakang, berbeda karakter dan bahkan berbeda sudut pandang.

Ka Linna orang yang cuek, aku orang yang perasa
Ka Linna orang yang sangat stabil, aku orang yang gugupan
Ka Linna orang yang cukup tenang, aku orang yang super galau
Ka Linna orang yang grasak-grusuk, aku orang yang cukup berhati-hati

Ada banyak hal perbedaan lainnya yang barangkali tak terbaca dan cukup kami saja yang tahu.

Dari luar, barangkali kami terlihat cukup kompak,
walaupun sebenarnya banyak perdebatan-perdebatan yang terjadi. Dan itu menyebalkan banget!

Saat baru satu bulan di GKI Kayu Putih, dia membentak saya karena telat siap-siap. Karena waktu itu, kami mau pergi ke Tanggerang untuk rapat di daerah pemukiman Cina Benteng.
Padahal, makin lama aku juga akhinya tahu bahwa dia juga hobby bangun mepet. HAHAHAHAHA..... Ingat momen 30 menit dari Kayu Putih ke Kota Wisata? Aku ingat juga ketika kami pernah ngotot-ngototan akan sebuah konsep --yang saya pun lupa-- sampai aku merasa agak kesal.
Aku rasa masih banyak perdebatan lainnya yang biar tersimpan dalam memori kami berdua saja.

Tak adil rasanya kalau hanya bicara soal yang menyebalkan. Tetap saja, ada yang manis. Bahkan sangat manis! Ada satu hal yang tidak pernah terlupakan bagiku dalam pengalaman bersamanya. Ka Linna dipakai Tuhan untuk meneguhkanku pada momen menuju penahbisan. H-7 sebelum penahbisan adalah masa yang sangat berat bagiku. Ada banyak air mata tercurah karena beragam pergumulan internal dalam diriku sendiri. Tetapi kalimatnya, "Kamu masih boleh mundur kalau kamu mau walaupun ini sudah H-2" menyentak diriku. Pelan-pelan, aku bangkit dari tangisanku dan mencoba melihat Tuhan yang berjalan bersamaku.

Karena itulah,
Ka Linna tak akan pernah terganti
Bahkan bagi diriku sendiri, kau tak akan pernah terganti
Bagi GKI Kayu Putih, kau tak akan pernah terganti juga
Karena dirimu adalah dirimu
Dan aku adalah aku

Aku akan merindukan masa-masa ketika melawat anggota jemaat yang kritis bersama-sama (di tengah malam!)
Aku akan merindukan masa-masa makan bersama sambil bergalau
Aku akan merindukan pelayanan doa yang membuat kita terkejut-kejut
Aku akan merindukan momen ngotot-ngototan yang menyebalkan itu
Aku akan merindukan masa-masa ketika Tuhan membisikkan dan memperlihatkan hal-hal yang mengejutkan bagi kita.

Sampai ketemu lagi!
Tentunya, dengan aku yang akan sudah lebih dewasa dan lebih kuat :)
 
--Just hug and cry--
because hug and cry told us more than words
YIR

Sabtu, 21 Mei 2016

Ketika Relasi Menjadi Begitu Rumit


Kadang relasi menjadi begitu rumit.
Seperti benang yang melilit dan sukar diurai.
Mediasi diusahakan berkali-kali.
Perjumpaan demi perjumpaan ditempuh.
Dan Air mata mengalir tak terhenti.
 
Namun, kemarahan menyergap dan membungkus hati.
Menyisakan neraka di dalam hidup
Manis senyum terhias hanya sekejap
Digantikan umpatan yang menyakitkan
Dan bekunya perang dalam diam
 
Kadang relasi menjadi begitu rumit
Ada orang tua dan anak yang saling mengepalkan tangan
Ada kekasih yang memalingkan wajah
Ada saudara yang saling menunjuk dengan otot yang meregang
Ada kelompok yang baku hantam dengan pedang
 
Tuhan, di manakah rekonsiliasi itu?
Ketika masing-masing menggenggam rasa sakit
Ketika satu pihak menerima namun pihak lain menahan
Dalam titik penghabisan yang diusahakan berkali-kali
Tersisa hanya arang yang hampir padam
 
Barangkali, manusia harus berpasrah
Untuk menerima bahwa rekonsiliasi adalah anugerah
Tidak dapat dipaksakan dengan jemari
Karena barangkali rekonsiliasi adalah anugerah
Saat relasi menjadi begitu rumit.
 
Jakarta, 21 Mei 2016
YIL
 

Rabu, 20 April 2016

Rekoleksi Memori Sebagai Anugerah Allah dalam Fase Liminalitas

Hari ini, dalam percakapan di kelas persiapan Sekolah Minggu ada percakapan yang menarik. Salah satu kakak layan bertanya, "Kenapa kita masih mengisahkan bahwa para murid masih sedih dan takut? Bukankah mereka sudah berjumpa dengan Kristus yang bangkit? Apakah hal ini tidak akan membuat anak-anak menjadi bingung" Salah seorang rekannya berkata, "Tidak apa-apa tokh! Memang itu faktanya. Kita juga yang sudah menerima anugerah keselamatan, masih merasakan naik turunnya hidup beriman?"

Dalam persiapan kali ini saya sangat menikmati perdebatan mereka. Bagi saya, anugerah kebangkitan Kristus tidak semerta-merta menghapus pedih, perih dan trauma dalam kehidupan para murid. Anugerah kebangkitan Kristus tak sejaya dengungan pada masa kanak-kanak kita, seolah-olah kebangkitan-Nya menyelesaikan dan menghapuskan segala masalah dan luka. Tokh, luka itu masih basah dan perih. 

Bagi saya, kisah-kisah perjumpaan Kristus dengan para murid paska kebangkitan-Nya menyimpan misteri hakiki tentang kehidupan manusia, dalam fase liminalitas. Kita dan para murid dan juga kita tidak semerta-merta berbalik 180 derajat karena kebangkitan Kristus. Kita hidup pada perbatasan rasa kecewa dan pengharapan. Kita terjepit dalam alam setipis tali antara keteraturan dan ketidakteraturan. Kita tersekap dalam celah tipis antara kesepian dan kehangatan.

Namun, dalam fase liminalitas itu, anugerah Kristus justru hadir dalam bentuk alternatif yang baru yakni memori yang manis. Memori yang manis menjadi anugerah Allah yang tak terperi. Injil Yohanes dengan tegas melukiskan kekuatan memori sebagai anugerah Allah. Perhatikan perjumpaan Tomas dengan Yesus yang merujuk pada "penggantian memori" akan tanda paku dan tombak. Kenanglah perjumpaan Yesus dengan para murid di tepi danau Tiberias yang mengembalikan memori pemeliharaan dan panggilan Allah saat kali pertama mereka jumpa Yesus. Resapilah  peristiwa Yesus membakar ikan dan menyiapkan roti yang mengingatkan para murid akan memori kehangatan makan bersama. Hayatilah pula perjumpaan Yesus dan Simon Petrus yang mengembalikan memori penyangkalan dan anugerah cinta-Nya yang besar.

Dalam momen liminalitas, Allah merekoleksi memori kita. Rekoleksi memori menjadi anugerah keselamatan dari Allah bagi kita. Memori yang dianugerahkan Kristus mengalir dalam batin dan menjadi sumber kekuatan bagi para penyintas luka. Melalui rekoleksi dan bahkan rekonstruksi memori, Kristus menolong kita menemukan kembali arah hidup kita dalam momen liminalitas. Dalam memori, peristiwa pedih perih tidak dapat dihapus, sebagaimanapun manusia berusaha memutuskan ingatan itu. Namun, dalam memori juga, tersimpan riak-riak manis yang menunjukkan bahwa kehidupan itu masih ada.


Sebuah Doa:

Ya Kristus....

Memori lekat dalam jiwaku
Kadang aku merasa memori ini bencana
Ketika aku ingat akan luka dan perihku
Kesunyian dan kesesakanku
dalam teriakan "Eli.. Eli.. Lama Sabakhtani?"

Tubuh jiwa dan roh ini sekarat!
Saat aku hidup dalam fase liminalitas
Dalam dominasi kebekuan dan bukan kehangatan
Dalam dominasi air mata dan bukan senyuman tipis
Dalam dominasi ketidakpastian dan bukan pengharapan

Ya Kristus,
Ijinkan aku merasakan pengalaman para murid
Ketika mereka menerima rekoleksi memori sebagai anugerah
Biarlah ingatan akan kehadiran dan sentuhan-Mu
Mendominasi memoriku dalam setiap fase liminalitas

Jakarta, 21 April 2016
YIL

Senin, 18 April 2016

Tentang Kehidupan

Kadang rindu menggelayut
Kadang luka menghampar
Kadang cinta merintih

Menanti sapaan
Merindu pelukan
Menyayat hati

Melepas asa
Mengusap air mata
Mengulum sepi



Kamis, 14 April 2016

Syalom bagi Orang-orang yang Hidup dalam Trauma: Diberikan cuma-cuma atau Diusahakan?


Tubuh perempuan berusia 33 tahun itu tiba-tiba berguncang. Keringat sebesar biji jagung mengalir deras dari pelipisnya. Ia mengambil tas gendongnya dan memeluknya erat-erat. Tangan dan kakinya gemetar. Teman-temannya yang hendak menonton di bioskop bersamanya hanya terheran-heran melihat keanehan tingkahnya. Kejadian itu terjadi tiba-tiba saja, ketika ada seorang laki-laki dewasa lewat di depan segerombolan perempuan yang sedang duduk-duduk menunggu pintu bioskop dibuka. Setelah agak tenang, perempuan bermata sipit itu menggigit bibirnya lalu berbisik perlahan kepada rekannya, “Laki-laki itu mirip dengan orang yang menjarah rumahku pada Mei 1998.”

 

Kisah itu adalah sepenggal kisah perjumpaan imajiner dengan seseorang yang mengalami trauma. Tentu saja, kisah imajiner ini bukan kisah sebenarnya, namun merupakan penyamaran dan sari-sari utama dari kejadian sebenarnya. Perempuan muda itu hidup dalam trauma. Trauma bukan sekadar luka fisik. Trauma adalah luka batin. Bagi orang yang trauma, ia tidak tinggal dalam dimensi masa kini, apalagi masa depan. Orang yang trauma tinggal dalam dimensi masa lalu dan tak dapat beranjak daripadanya. Bagi orang yang hidup dalam trauma terjadi pergeseran dimensi waktu. Yesterday is present because trauma is present! Hidupnya dipenuhi ketakutan dan bayang-bayang akan masa lalu. Bahkan, kemiripan fisik pun dapat memicu “teriakan luka” dari tubuh dan jiwa yang terluka. Bahasa tubuhnya menceritakan ada luka yang menganga. Trauma mempengaruhi cara pandang terhadap diri kita dan dunia di luar kita.

Pengalaman saya hidup bersama-sama dengan orang-orang yang mengalami trauma membuat saya bertanya-tanya apakah syalom sebagai sebuah anugerah dari yang illahi dan tidak perlu diusahakan? Atau apakah syalom itu pun perlu diusahakan –sesuai dengan tema penahbisan sahabat saya, Lan Yong Xing.  Bagi orang yang hidup dalam trauma, syalom  adalah hal yang sangat sukar untuk dirasakan. Mungkin kita berpikir bahwa penderitaan yang masih tertinggal dari trauma itu dapat segera hilang ketika diperhadapkan dengan teologi tentang penebusan dan kebangkitan. Karena itu orang yang ditebus dapat serta merta merasakan syalom. Akan tetapi, saya mengutip Shelly Rambo dan Serene Jones –-teolog-teolog yang mendalami trauma—yang berkata bahwa teologi semacam itu tidak dapat diterapkan kepada orang-orang yang mengalami penderitaan yang masih tertinggal karena trauma karena mereka adalah orang-orang yang sukar melihat kebangkitan dan pengharapan. Dengan demikian, Syalom pun menjadi sukar untuk dirasakan karena diri kita yang diciptakan seturut gambar dan rupa Allah itu ternodai oleh berbagai pengalaman pahit yang melilit kehidupan kita.

Akan tetapi, apakah berarti tidak ada pengharapan bagi orang-orang yang hidup dalam pengalaman traumatik? Apakah syalom memang tidak dapat dirasakan oleh orang-orang yang mengalami berbagai kejadian traumatik? Tentu saja masih bisa asal kita mengusahakan syalom. Karena itu, tema penahbisan rekan saya Yong Xing menjadi sangat relevan bagi orang-orang yang mengalami pengalaman traumatik.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mengusahakan syalom bagi orang-orang yang hidup dalam trauma? Saya meminjam pemikiran Shelly Rambo dalam melakukan trauma healing. Menurut Shelly Rambo, ada dua cara untuk menolong orang-orang yang mengalami trauma agar dapat “sembuh” dan merasakan syalom. Pertama, tracking the undertow. Kita diajak untuk menggali kedalaman yang tidak ada di “permukaan”. Kita dapat tersenyum, namun sebenarnya kita tak damai. Kita dapat terlihat kuat, namun sebenarnya kita rapuh. Ada luka yang masih tertinggal di dalam ruang batin yang tak terlihat. Karena itu, bersama-sama dengan Roh Kudus, kita diajak untuk memasuki perasaan kehilangan, kemarahan, dukacita dan kekacauan dalam hidup kita. Roh Kudus menyingkapkan dan menyaksikan realitas yang tertinggal di dalam bahasa trauma. Dengan memasuki kedalaman batin kita, kita akan mengenali siapa diri kita dan apa yang membuat kita tidak dapat merasakan syalom itu sendiri. Sehingga, kita kemudian akan tertantang untuk mengusahakan syalom.

Kedua, sensing life. Orang yang mengalami trauma hidup tapi seperti sudah mati karena sukar sekali merasakan kedamaian dalam hidup ini. Karena itu, kita perlu menolong orang-orang dalam trauma untuk merasakan bahwa masih ada kehidupan yang dipenuhi syalom. Dan itu berarti, kita tidak membombardir dia dengan kecaman “tidak beriman” ketika ia terpuruk dan tidak dapat merasakan kehidupan serta kehadiran Allah. Akan tetapi, kita justru menghayati dan menyadari bahwa hidup kita sangatlah rentan. Karena itu, kita siap dipakai Roh Kudus untuk menolong orang lain (dan bahkan diri sendiri!) untuk bangkit dari keterpurukan. Roh Kudus itulah yang memampukan orang-orang yang traumatis untuk merasa, melihat secara lebih tajam, dan mengecap kehidupan lebih sensitif. Rambo mencatat, “to reconnect a person to the world in the aftermath of a traumatic event, it is essential to first reconnect a person to the movements of her body, enabling her to reestablish and nagivate her physical connection to the world”.

Dalam trauma healing terjadi proses merasakan “kehidupan” kembali dan juga “rekonstruksi” ulang tentang arti syalom. Syalom bukanlah kondisi yang sesuai dengan keinginan kita: bayangan kemakmuran, tanpa masalah dan lain sebagainya. Syalom adalah kondisi di mana kita yang rapuh ini dapat berjuang melahirkan kedamaian dalam diri dan komunitas, bersama dengan Allah yang memberi kekuatan kepada kita.

Bagi saya, hidup berjemaat adalah hidup bersama-sama dengan orang yang penuh trauma karena setiap orang memiliki traumanya masing-masing. Trauma tidak hanya disebabkan oleh pelecehan seksual, namun oleh berbagai hal lainnya. Trauma dapat terjadi karena keretakan dalam rumah tangga, kehilangan orang yang dicintai, patah hati, gesekan dalam tubuh internal gereja, bencana alam dan peristiwa lainnya. Karena itu, menjadi seorang pendeta berarti berjalan dengan: (1) diri sendiri yang memiliki pengalaman traumatik; (2) anggota jemaat yang juga mengalami pengalaman traumatik; dan (3) dengan Allah sumber pemulihan.

Kerinduan Yong Xing untuk mengusahakan syalom, menurut saya salah satunya adalah kerinduan untuk megusahakan gereja menjadi sebuah “rumah pemulihan”bagi orang-orang yang mengalami trauma. Ini berarti ada sebuah impian akan kehangatan, keakraban, cinta kasih yang besar di dalam gereja. Tentu saja, usaha itu bukan hanya merupakan usaha manusia saja. Ada campur tangan Roh Kudus yang lebih besar dan tak dapat dibatasi sehingga setiap orang dapat merasakan karya Allah yang memulihkan itu.  Tentu saja, ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Saya yakin, Yong Xing tahu benar apa tantangannya. Karena itu, diperlukan kesabaran, ketenangan, ketulusan, kerendahan hati dan kerjasama baik dari Yong Xing maupun GKI Duta Mas.

Tak banyak yang dapat dituliskan dalam lembaran ini. Tulisan ini hanyalah menjadi semburat refleksi dalam perjumpaan dengan seorang sahabat yang saat ini akan ditahbiskan sebagai pendeta. Yong Xing, selamat mengusahakan syalom bersama dengan keluarga tercinta, GKI Duta Mas, seluruh rekan-rekan calon pendeta dan pendeta, masyarakat dan tentunya dengan Kristus, Sahabat kita! Proses kependetaan bukan berakhir pada pencapaian jabatan pendeta. Proses kependetaaan adalah proses perjalanan spiritual bersama dengan Allah dan umat. Biarlah dirimu menjadi setenang, selentur dan sekuat pohon bambu. Karena itu, apapun yang terjadi dalam perjalanan kependetaan nanti, ingatlah --seperti pesan yang YongXing juga pernah sampaikan pada saya— bahwa Kristus mengasihi kita yang rapuh ini apa adanya. J

Jakarta, 17 September 2015

tulisan untuk penahbisan Pdt. Lan Yong Xing,
dari teman Bina Kader
YIR


Jones, Serene. Trauma and Grace: Theology in a Ruptured World. Louisville: Westminster John Knox Press, 2009.

Rambo, Shelly. Spirit and Trauma: A Theology of Remaining. Louisville: Westminster John Knox Press, 2010.

Jumat, 08 April 2016

KEBANGKITANNYA MENGUBAHKU


            Waktu kecil, saya sangat takut dengan gelap. Pada suatu malam, saya sedang bermain di kamar sendirian. Tiba-tiba lampu mati. Seketika itu pun saya merasa ketakutan dan saya menangis dengan kencang. Yang saya ingat, saya sangat ketakutan. Ada banyak bayangan yang menghantui saya. Saya berlari ke luar kamar, namun kaki saya terantuk pintu dan saya pun menjerit makin keras. Sampai akhirnya mama saya datang dan memanggil nama saya. Sebenarnya, saya tahu mama saya ada di dalam rumah dan dia sedang mandi. Namun, kekalutan yang ada membuat saya tidak “ingat” dan tidak “sadar” lagi bahwa mama saya ada di rumah.

            Saat saya masih kecil, saya merasa takut dan kalut dalam ruang gelap. Saat saya dewasa, saya juga sering merasa takut dan kalut ketika berada dalam “kegelapan hidup”. Barangkali, Anda juga merasakan hal yang sama: kalut dan takut ketika berada dalam “kegelapan hidup”. Dan tokoh-tokoh di dalam Alkitab kita pun merasakan hal yang sama! Hari ini, kita membaca kisah seorang perempuan yang sedang berada dalam “kegelapan hidup” yaitu Maria Magdalena.

            Maria Magdalena, seorang perempuan yang sedang kalut dan takut karena kehilangan Tuhan Yesus yang begitu dikasihinya. Perhatikan saja gesturnya. Ia datang pagi-pagi benar untuk datang ke kubur Yesus pada waktu hari masih gelap. Ia hanya ingin mencurahkan kesedihannya dan merasa dekat dengan Tuhan Yesus dengan mengunjungi makamnya. Namun, betapa sedihnya ia ketika batu telah diambil dari kubur. Tampaknya, ia mengira bahwa mayat Tuhan Yesus telah diambil orang. Ia lari kepada murid-murid yang lain untuk memberitahukan hal itu. Kemudian ia kembali lagi ke kubur itu dan menangis. Betapa pedih hatinya. Ia mungkin merasakan kehampaan dan kehilangan yang mendalam. Katanya kepada malaikat yang menanyainya, “Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana Ia diletakan.”

            Yang menarik, dalam kekalutannya Maria tidak mengenali Yesus. Ia tidak mengenali Tuhan Yesus ketika ia berbalik dan melihat Tuhan Yesus. Ia mengira bahwa itu adalah tukang kebun. “Tuan kalau Tuan mengambil dia, katakanlah di mana tuan meletakan Dia supaya aku dapat mengambil-Nya.” Rupanya kekalutan dan ketakutan membuat orang tidak dapat berpikir tenang, apalagi mengalami perubahan di dalam “kegelapan hidupnya”. Karena dalam kekalutan dan ketakutan kita hanya terfokus pada bayang-bayang menyeramkan yang ada di dalam pikiran kita. Di dalam ketakutan dan kekalutan kita tidak dapat melihat pengharapan, bahkan kita tidak dapat mengenali karya Allah. Kita memaksa diri untuk berubah, tapi kita tidak bisa berubah sehingga kita lelah-selelah-lelahnya!

Padahal yang kita perlukan untuk berubah dan berani menghadapi ketakutan itu adalah: ketenangan. Biasanya saat kita sedang kalut dan gelisah, kita memaksa diri untuk tenang, namun kita tidak bisa mendapatkannya. Karena itu, menurut saya ketenangan itu adalah anugerah Allah kepada kita melalui sapaannya. Seperti Tuhan Yesus yang menganugerahkan ketenangan kepada Maria ketika ia menyapa Maria Magdalena dengan namanya. Dan seketika itu juga Maria Magdalena sadar dan mengalami ketenangan.

Mengapa sapaan itu dapat menenangkan Maria? Kita ingat dalam Yohanes 10:3-5 dikatakan bahwa seorang domba mengenali suara gembalanya. Hal ini mungkin asing dan tak lazim dalam konteks Indonesia. Namun, dalam konteks bangsa Israel hal ini tidaklah aneh. Sang gembala biasa menamai dombanya dengan nama satu per satu. Lalu, domba pun mengerti siapa namanya dan mengenali suara gembalanya yang memanggilnya.

Karena itu, sapaan ini begitu bermakna bagi Maria karena Maria mengenali suara Tuhan Yesus. Ketika mendengar suara tuhan Yesus, Maria berpaling dan berkata, “Rabuni.” Dalam Alkitab NIV, istilah yang dipakai itu adalah “cried out” yang artinya berteriak dengan terkejut dan penuh sukacita. Seketika itu juga, kesedihannya digantikan oleh sukacita. Kesepiannya digantikan oleh kepenuhan. Kehilangannya digantikan oleh pengharapan. Kekalutannya digantikan dengan ketenangan. Ketakutannya digantikan oleh sukacita.

Di dalam hidup ini, apabila kita sedang merasakan perasaan-perasaan seperti yang dialami Maria Magdalena, percayalah bahwa suatu saat Tuhan akan menyapa kita. Domba yang baik akan mengetahui sapaan gembalanya. Saya dan rekan-rekan yang saya anggap sebagai “spiritual friends” saya sering berbagi kisah mengenai bagaimana Tuhan menyapa kita dalam masa-masa kalut dan takut. Entah melalui tulisan yang kita baca, entah melalui orang lain yang tidak kita kenal dan tiba-tiba berbicara kepada kita. Dan perjumpaan semacam ini begitu menguatkan. Ada rasa haru, tangisan yang melegakan, dan sukacita serta damai sejahtera.

Kembali pada Maria Magdalena, saya membayangkan bahwa larangan Tuhan Yesus, “Jangan memegang aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa” agak mengejutkannya dan mungkin agak aneh juga bagi kita yang membaca kisah ini. Pasti saja Maria ingin memegang Tuhan Yesus. Bukankah di bagian Injil lain, Tuhan Yesus menunjukkan lengannya dan menyuruh Tomas mencucukan jarinya ke dalam lambungnya. Mengapa perintah itu ditunjukkan? Beberapa penafsir mengatakan bahwa larangan ini diberikan agar Maria tidak terlena dan menerima berita itu untuk dirinya sendiri. Tuhan Yesus menyatakan kemendesakan tugas baginya untuk memberitakan kebangkitan-Nya kepada saudara-saudaranya.“

Hal ini membuktikan bahwa Kristus percaya kepada Maria Magdalena, seorang perempuan yang tidak dianggap pada masanya. Kristus mengutus Maria Magdalena --seorang perempuan yang pernah kerasukan tujuh roh jahat-- untuk menjadi saksi pertama atas kebangkitan-Nya. Bagi saya Maria Magdalena adalah seorang rasul perempuan karena ia telah berjumpa dengan Yesus yang bangkit dan juga diutus untuk menyaksikan berita kebangkitan Kristus. J
 
Refleksi atas Yohanes 20:11-23
Jakarta, 8 April 2016
YIR

Sabtu, 27 Februari 2016

Refleksi Penahbisan: Mengasihi dalam Kerapuhan

MENGASIHI DALAM KERAPUHAN
Yohanes 21:15-19
 
Panggilan dalam Kerapuhan
 
Mengapa kamu memilih menjadi seorang pastor? Biasanya, kita akan menjawab dengan spontan, rela dan hampir agresif: “Sebab Tuhan memanggil aku, dan aku meyakini panggilan itu.” Hanya saja, baru-baru ini ketika aku berhubungan dengan manusia yang memiliki beranekaragam sifat, aku kemudian menyadari bahwa ada bayang-bayang dalam ingatan hidupku hingga akhirnya aku berani menatapnya.
Aku menatap kembali peristiwa ketika ayahku meninggal dunia. Hidupku dan keluargaku menjadi sangat sulit. Namun, di tengah kesulitan itu, aku berhasil masuk sekolah unggulan. Elit-elit yang tamat dari sekolah itu didorong untuk masuk biara. Tentunya, hal ini merupakan gabungan antara keistimewaan, tradisi dan gengsi.  Masuk ke dalam korps rohaniwan menjadi suatu kehormatan dan keistimewaan. Bahkan status sosial keluarga pun terdongkrak karena sebagai seorang rohaniwan, hidupku akan selalu cukup tanpa perlu sibuk dengan kompetisi keuangan dunia.
Namun, ada situasi lain. Saat aku berdoa di kapel, ada seorang Bapa Rohani yang menepuk pundakku. Ia rupanya sedang memastikan agar anak-anak dari sekolah unggulan masuk ke dalam sekolah kerohanian. Ia berbisik, “Dengarlah suara Kristus dari salib yang memerintahkan kamu untuk mengikuti Dia.” Suara itu menekanku hingga aku memutuskan untuk mengikuti sarannya.
Selama bertahun-tahun aku tidak menyadari bahwa di dalam pilihanku itu terselip motif-motif mencari aman, menghindari tekanan, dan mencari prestise. Aku berpikir bahwa pilihanku hanya didasarkan atas cinta kasih yang murni pada Allah. Aku bahkan kurang memahami siapa diriku sendiri.
Akan tetapi, Allah tidak membiarkan diriku abai terhadap pengujian diri sendiri. Allah memperjumpakanku dengan orang-orang yang menuntunku pada permenungan penggalian motivasi diri. Tuhan juga membenturkanku dengan kegagalan dalam melaksanakan proyek-proyek di hidupku hingga akhirnya aku tersadar. Ya, aku tersadar bahwa di balik motifku untuk mencintai Kristus, terselip identitas asliku dan motif-motif campuran yang ada dalam diriku.
 
(diparafrase dari The Art of Choosing, 53-70)
 
 
Kisah di atas bukanlah kisah perjalanan kependetaan saya, melainkan kisah seorang pastor Jesuit yang bernama Carlos G Valles. Ia mengatakan bahwa tidak ada pilihan yang benar-benar murni. Dalam kenyataannya, ada banyak motif (melingkupi campuran akal budi, perasaan, masa lalu, masa kini, tradisi, reaksi, harapan, dan juga ketakutan-ketakutan kita) yang meresap ke dalam pilihan akhir yang kita buat. Dan bahkan kadang kita tidak menyadari motif campuran itu. Karena itu, diperlukan mata batin yang jernih untuk memeriksa motif yang sesungguhnya dan juga gerak hati yang tersembunyi (Valles 1998, 15-51).
Jadi, mengapa saya ingin menjadi seorang pendeta? Pertanyaan itu pun kembali menukik pada setiap calon pendeta dan pendeta, termasuk diri saya. Dalam proses yang panjang ini, Tuhan memperjumpakan saya dengan berbagai pergumulan yang menuntun saya pada refleksi yang hampir sama dengan Valles. Dan saya sekarang bersyukur untuk kasih Tuhan melalui setiap terpaan yang Tuhan hadirkan di dalam hidup saya!
Awalnya, tanpa berpikir panjang, saya berkata bahwa saya mau menjadi pendeta karena cinta pada Tuhan, sebagaimana yang saya katakan pada Pdt. Ferdy Suleeman dan Pdt. Suhud saat test seleksi calon mahasiswa teologi. Namun, jawaban awal itu menjadi jawaban yang dipertanyakan, yang tidak taken for granted karena dalam perjalanan iman ini Tuhan menolong saya untuk menguji diri sendiri lewat berbagai pergumulan dan kegagalan. Dalam berbagai peristiwa itu, saya sempat mempertanyakan kebaikan Tuhan, bahkan marah kepada Tuhan. Hingga akhirnya, saya menyadari bahwa motif-motif campuran itu pun mewarnai perjalanan saya.
Melalui berbagai peristiwa, Tuhan menyibakkan siapa diri saya. Tuhan memurnikan saya untuk menyadari bahwa saya hanyalah seorang yang rapuh. Saya menemukan beragam motif alam bawah sadar yang awalnya saya sendiri pun tidak menyadarinya. Tuhan membuka kunci atas kotak masa lalu, masa kini, kesalahan, ketakutan, kepongahan dan harapan yang saya kubur di tempat tersembunyi. Ternyata, diri saya tidak sebaik seperti yang saya kira. Bahkan dalam titik-titik tertentu, saya merasa tidak layak menjadi seorang pendeta.  
Karena itu, kalau saya saat ini dapat sampai pada momen penahbisan, maka saya memahami panggilan saya sebagai anugerah Tuhan semata. Tuhan memanggil saya untuk menjalani hidup dalam anugerah “ketegangan” antara cinta kepada Tuhan dan pergulatan melawan riak-riak dalam alam bawah sadar yang dapat merusak panggilan kependetaan saya. Saya akui hal ini tidak mudah karena dalam titik-titik tertentu saya kadang merasa hampir menyerah dengan diri saya sendiri. Namun, dalam berbagai refleksi saya sering membayangkan bahwa Tuhan tak pernah lelah untuk berkata, “Ayo Yes, berjuanglah bersama-Ku.” Ada sebuah lagu yang syairnya dengan tepat menggambarkan refleksi saya atas anugerah panggilan Tuhan dalam kerapuhan. Lagu ini berjudul God of Silence, karya Bukas Palad. Demikian liriknya:
 
The God of silence beckons me
To journey to my heart
Where He awaits
O Lord, I hear You calling tenderly
To You I come to gaze
At the beauty of Your face I cannot see
 
To rest in Your embrace I cannot feel
To dwell in Your love hurting but sweet
To be with You; to glimpse eternity
 
God of night, fount of all my delight.
Show Your light . . . that my heart, like Yours, burn bright.
 
Be still the torment of the night
Will not encumber you, if you believe
My child this darkness isn’t emptiness
For here I mold your heart
Unto My image painfully you long to see
 
The self you yearn to be, but fear to know
The world from which you flee in Me find home
All these I give you, if you remain in Me

I am ever here
My child, you need not fear
The dark will set you free
And bring your heart to Me

The God of silence beckons me
To journey to my heart
Where He awaits me.
 
Perjumpaan yang Memulihkan: Apakah Engkau Mengasihi Aku?
            Teks yang saya pilih untuk dikhotbahkan dalam penahbisan saya adalah teks perjumpaan Tuhan Yesus dengan Petrus, paska kebangkitan-Nya. Kenapa tokoh Petrus? Karena saya merasa seperti Petrus yang dalam panggilannya berkali-kali jatuh bangun karena beragam pergumulan pada alam bawah sadarnya.
Kita tentu masih ingat kisah Petrus berjalan di atas air, namun ia hampir tenggelam ketika tiupan angin keras menerpanya. Di tengah ketakutannya, Petrus berseru memohon pertolongan Tuhan. Petrus juga pernah merasa lebih tahu dari Tuhan Yesus saat ia menegur Tuhan Yesus yang sedang memberitahukan penderitaan-Nya dan syarat untuk mengikuti-Nya. Petrus juga pernah berkata-kata kepada Tuhan Yesus dengan sangat gagah, “Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.” Faktanya, Petrus menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok. Akibatnya, Petrus pulang dengan sedihnya ketika matanya bertatapan dengan mata Tuhan Yesus.
Dari kisah Petrus ini, tentu kita dapat mengerti bagaimana karakter Petrus. Petrus merasa menjadi seorang pemberani, namun ternyata ia hanya berani dalam posisi aman. Petrus merasa memahami kehendak Allah, namun ternyata yang dipahaminya tak selaras dengan apa yang Allah pikirkan. Petrus merasa menjadi orang yang setia, namun ternyata ketakutannya mengalahkan kesetiaannya. Petrus awalnya merasa mampu mengasihi Tuhan dengan kekuatannya sendiri, ternyata ia tak mampu membuktikannya.
Akan tetapi, Kristus adalah Allah yang penuh kasih dan memanggil kita dalam pemulihan. Injil Yohanes 21:15-19, menunjukkan rasa cinta Tuhan Yesus kepada Petrus, walaupun berkali-kali Petrus tidak dapat mempertahankan ucapannya. Dalam percakapannya dengan Petrus pasca kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus bertanya hingga sebanyak tiga kali kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Pertanyaan sebanyak tiga kali ini sungguh menarik karena berbanding lurus dengan penyangkalan Petrus sebanyak tiga kali. Dalam hal ini, saya membayangkan bahwa ketika Tuhan Yesus bertanya  kepada Petrus, Petrus mengingat kembali peristiwa ketika ia menyangkal Yesus dan berbagai peristiwa lainnya yang menunjukkan kerapuhannya sebagai seorang manusia.   
Kata kasih yang digunakan dalam pertanyaan pertama dan kedua adalah agapan yang merujuk kepada kasih Allah. Namun, Petrus menjawab pertanyaan Yesus dengan menggunakan kata philein, kasih seorang sahabat. Barulah pada pertanyaan ketiga, Tuhan Yesus mengganti kata agapan dengan philein. Menurut saya, pergantian kata ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus menerima Petrus apa adanya dalam segala kerapuhannya. Alkitab mencatat, maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya, “Apakah engkau mengasihi Aku?”. Dalam jawaban yang ketiga, tercermin jawaban Petrus yang sangat rendah hati. Petrus berkata, “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Dengan demikian, Tuhan Yesus mau menjadi sahabat bagi Petrus yang berjuang untuk mengasihi-Nya.  
Dalam suatu permenungan, saya pernah membayangkan Tuhan Yesus bertanya kepada saya, seperti Ia bertanya kepada Petrus. Di sanalah saya merasa begitu sedih, karena saya harus menghadapi dan mengakui kerapuhan saya. Akan tetapi, di dalam kesedihan itu pula saya merasakan cinta kasih dan rahmat Allah yang besar. Ia tak pernah menyerah untuk merengkuh saya yang awalnya tak mengenal diri saya dan yang telah berkali-kali menyangkali-Nya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Henri Nouwen, bahwa Allah menuntun kita untuk merengkuh kerapuhan kita dan meletakannya dalam berkat-Nya.”The first response to our brokenness is to face it squarely and befriend it. The second response to our brokenness is to put it under the blessing,” (Nouwen 2003, 36-155)
Tuhan Yesus yang menerima Petrus dan segala kerapuhannya itu pun terus memulihkan Petrus dalam mandat pastoral untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Karena itu, saya pun meyakini bahwa mandat pastoral dari Tuhan untuk menggembalakan umat Tuhan bukanlah diperoleh karena kehebatan saya. Saya bukanlah siapa-siapa! Saya bukanlah orang serba bisa dan dapat mengontrol segala sesuatu! Tidak ada yang pantas disombongkan dari diri saya. Tuhan Yesus memanggil saya dalam kerapuhan dan memulihkan saya dalam proses penggembalaan terhadap umat.
 
Visi: Mengasihi dalam Kerapuhan
To love at all is to be vulnerable. Love anything and your heart will be wrung and possibly broken. If you want to make sure of keeping it intact you must give it to no one, not even an animal. Wrap it carefully round with hobbies and little luxuries; avoid all entanglements. Lock it up safe in the casket or coffin of your selfishness. But in that casket, safe, dark, motionless, airless, it will change. It will not be broken; it will become unbreakable, impenetrable, irredeemable. To love is to be vulnerable.”
 
C.S Lewis, The Four Loves
 
Pertanyaan yang sering saya dengar ketika masuk ke dalam proses kependetaan adalah, “Apa visimu?” Sebelum menjawab pertanyaan itu, baiklah saya menegaskan bahwa visi saya terkait erat dengan kesadaran bahwa saya dipanggil dalam kerapuhan. Saya meminjam pandangan Nouwen, yang mengatakan bahwa ada hubungan misterius antara kesadaran akan kerapuhan kita dengan kemampuan untuk memberi diri bagi sesama.
Menurut Nouwen, kita mungkin pernah memasuki ruang kerapuhan saat kita merasakan luka yang begitu menusuk. Dan dalam masa-masa “gelap” itu, Tuhan menuntun kita untuk menyadari kerapuhan kita. Dalam titik rapuh itu, kita masuk ke dalam permenungan bahwa kita tidak memiliki apapun untuk diberikan kepada orang lain. Namun kemudian, Tuhan membuka mata kita untuk menyadari pentingnya berbagi hidup dengan orang lain. Tuhanlah yang menolong kita untuk dapat berbagi hidup dengan orang lain dalam kerapuhan kita (Nouwen 1992, 80).
Frasa berbagi hidup dalam kerapuhan dianalogikan Nouwen dengan roti yang dipecah-pecahkan. Roti harus dipecah-pecahkan terlebih dahulu agar dapat dibagikan (Nouwen 2011, 80-81). Bukankan broken bread itu menjadi simbol kerapuhan Anak Manusia? Ya, perjamuan kudus mengingatkan kita akan kasih Kristus yang menjadi manusia. Allah yang tak terbatas itu berinkarnasi menjadi manusia yang terbatas dan rapuh karena kasih-Nya kepada manusia. Tuhan merasakan pedih perih yang dirasakan manusia ketika berjumpa dengan ketidak-setiaan dan penolakan. Di dalam kerapuhanlah, Kristus mengasihi kita. Maka jelaslah yang dikatakan C.S. Lewis dalam kutipan surat undangan penahbisan saya bahwa “to love at all is to be vulnerable.
Dengan berkaca pada inkarnasi Kristus, pertanyaan akan visi yang sesungguhnya bukan lagi, “apa yang dapat kita berikan bagi orang lain, melainkan dapat menjadi apakah saya bagi orang lain?” Saya pernah punya keinginan besar untuk memberi diri bagi gereja dengan menjadikan gereja seperti ini-itu melalui berbagai program. Saya berpikir dengan paradigma program oriented. Akan tetapi, saya menyadari bahwa program dapat berganti sesuai dengan perkembangan zaman. Apa yang menjadi program yang popular di masa kini, akan menjadi usang di masa depan. Belum lagi, penekanan yang terlalu berlebihan pada program dapat membuat orang memperlakukan sesamanya seperti mesin. Kasih-Nya melampaui batasan-batasan yang rigid, kaku dan terpola. Ternyata titik berangkatnya bukan dari program, melainkan dari sentuhan kasih Allah Tritunggal yang diwujud-nyatakan melalui sikap berbagi hidup dengan seluruh ciptaan.
Akhirnya, dalam proses ini, saya menemukan bahwa visi saya adalah untuk menjadi seorang pendeta yang mengasihi dalam kerapuhan. Menjadi pendeta yang mengasihi dalam kerapuhan berarti melekatkan diri pada Allah, walaupun perjalan bersama-Nya kadang naik dan turun dalam irama yang tak selalu membahagiakan. Menjadi pendeta yang mengasihi dalam kerapuhan berarti berfokus pada transformasi umat (di mana saya ada di dalamnya), walaupun mungkin kita harus jatuh bangun bersama-sama. Menjadi pendeta yang mengasihi dalam kerapuhan berarti menyadari betapa kecilnya diri kita dihadapan Allah, namun begitu dicintai-Nya. Menjadi pendeta yang mengasihi dalam kerapuhan berarti memiliki ketekunan, kesabaran dan cinta yang besar untuk berjalan dengan sesama umat yang rapuh, sama seperti saya yang juga rapuh. Visi ini adalah sebuah way of life, jalan hidup yang saya pilih karena anugerah Allah. Dalam berbagai refleksi, pengujian, dan bahkan keraguan, saya merasa bahwa Allah merestui pilihan hidup saya untuk mengasihi dalam kerapuhan.
 
Jakarta, 1 Februari 2016
Yesie Irawan
 
REFERENSI
 
Rebecca Laird & Michael J. Christensen (Ed). 2003. The Heart of Henri Nouwen: His Words of Blessing. Quenzon City: Claretian Publication.
Henri J.M. Nouwen. 1992. Life of The Beloved: Spiritual Living in a Secular World. New York: Crossroad Publishing Company.