Senin, 29 Agustus 2016

Hujan Tanpa Kata

Air tertumpah deras dari atas bumi
Dalam desahan suara curahannya yang alami
Tak tersaingi denting piano dan petikan harpa
Pada malam yang hening, tanpa kata

Air tertumpah membasuh bumi yang tertutup debu
Yang tercipta dari hiruk pikuk keramaian
Air menelanjangi kepongahan hidup kelabu
Dalam bisu yang menggelisahkan

Desahan hujan mengantar pada kesunyian
Genangannya memantulkan realita
Yang samar terlihat oleh mata
Pada semburat misteri dalam perjalanan

Jakarta,  30 Agustus 2016
YIR

Minggu, 28 Agustus 2016

GKI, SUDAHKAH MENJADI GEREJA YANG MENGINDONESIA?

 Lukas 14:1, 7-14

Setiap kita pasti pernah melihat foto di samping ini. Ini adalah foto saat Soekarno membacakan teks proklamasi Indonesia. Namun, apakah Anda tahu siapa yang menjadi fotografernya? Fotografernya adalah Frans Sumarto Mendur dan Alexius Impurung Mendur. Karena jasa mereka berdua, kita dapat melihat foto yang menjadi saksi sejarah kemerdekaan kita.
                Yang menarik, baik Frans maupun Alexius tidak mendapat instruksi dari siapapun untuk mengabadikan momen tersebut melalui foto. Mereka hanya mendengar informasi dari Harian Asia Raya bahwa tanggal 17 Agustus 1945 akan ada peristiwa penting di kediaman Soekarno. Karena itu, mereka pergi ke Cikini dan tiba pkl. 05.00. Proklamasi dilangsungkan pkl. 10.00 dan mereka mengabadikan foto-foto itu. Namun, setelah upacara, mereka berdua disergap tentara Jepang. Alex tertangkap. Kameranya disita dan dibakar. Sementara itu Frans menyembunyikan kameranya di dalam tanah dan berkilah bahwa kameranya diambil barisan pelopor. Setelah dirasa aman, barulah keduanya mengendap-ngendap di tengah malam untuk mengambil kamera tersebut, mencari lab foto dan mencetaknya. Mereka mau melakukan hal ini, walaupun mereka terancam hukuman mati oleh Jepang.
                Saudara, dari kisah Frans dan Alex, ada salah satu nilai yang sangat penting di dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu sikap berani berkorban, tanpa memikirkan untung rugi. Sikap berani berkorban, tanpa mementingkan untung rugi juga merupakan perintah yang diajarkan Tuhan Yesus kepada kita. Dalam perjamuan makan yang dihadiri Tuhan Yesus, Tuhan Yesus menasihatkan tentang siapa saja orang yang harus diundang hadir dalam perjamuan. Lazimnya, sang tuan rumah akan mengundang orang-orang yang sama status sosialnya dengan dirinya atau orang-orang yang dekat dengannya, baik itu teman, keluarga atau tetangganya, bahkan orang yang kaya. Kemudian, sudah menjadi kebiasaan jika mereka yang diundang akan mengundang kembali orang yang pernah mengundangnya pada perjamuan selanjutnya. Spirit yang terjadi adalah spirit untung rugi. Dan inilah yang dikritik oleh Tuhan Yesus.
Karena itu, menurut Tuhan Yesus yang justru harus diundang adalah orang-orang yang tak mampu makan dengan layak, seperti orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Mereka merupakan orang-orang yang biasanya tak dianggap dalam kalangan masyarakat Yahudi. Bahkan, mereka dicap sebagai orang yang tak diberkati oleh Tuhan. Mereka dianggap orang yang tak layak dan bukan manusia yang utuh. Karena itu, tidak ada yang mengundang mereka makan. Yang lebih menarik lagi, di ayat 14 dikatakan dan engkau akan berbahagia karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Ajaran Tuhan Yesus ini mau mengatakan bahwa ketika kita melayani, maka layanilah dengan tulus, jangan memikirkan untung dan rugi. Bahkan beranilah untuk berkorban demi mereka. Dan dasar dari pengorbanan tersebut adalah kasih persaudaraan, sebagaimana yang dengan senada diungkapkan dalam Ibrani 13:1-2. Dengan demikian, orang cacat, orang lumpuh, orang miskin dan yang terabaikan itu adalah saudara kita. Masakan kita tak mau berkorban bagi sesama kita?
Lihat, betapa spirit rela berkorban menjadi nilai penting dalam Injil dan dalam sejarah bangsa kita. Karena itu, saat ini, pada momen HUT GKI, maka kita pun perlu berefleksi, apakah kita sudah menjadi gereja yang mengindonesia? Keindonesiaan GKI tidak ditentukan dari apakah kita pakai pakaian adat saat HUT GKI. Kekristenan dan Keindonesiaan GKI ditentukan dari sebuah pertanyaan, apakah spirit mau berkorban dan tidak berpikir soal untung rugi –yang merupakan nilai hidup Kristus dan nilai hidup Bangsa Indonesia-- itu sudah ada pada kita? Apakah nilai rela berkorban mewarnai spirit kehidupan kita? Apakah pelayanan GKI di seperti pelayanan rumah sakit, sekolah, universitas, pelayanan kemanusiaan, dlsb apakah sudah didasarkan pada spirit mengasihi orang lain dan bukan untung rugi?
Dalam sebuah sharing, ada gereja yang memberikan pelayanan kebersihan lingkungan, agar mereka dipinjamkan tempat parkir. Lihat, pola relasinya. Kita berpikir, kita memberi agar “aman”, agar “nyaman”. Atau ada yang membangun poliklinik agar gereja tidak diganggu oleh masyarakat sekitar. Pelayanan semacam ini masih pola untung rugi. Kita tidak berpikir bahwa kita melayani untuk melayani.
Di gereja kita masing-masing, apakah kita sudah sangat ramah terhadap orang-orang yang Tuhan katakan sebagai orang yang cacat, miskin, lumpuh dan buta. GKI manakah yang sudah sangat peduli pada orang yang cacat? Bagaimana jika ada anggota jemaat kita yang tuli? Bagaimana ia mendengarkan khotbah dan rangkaian liturgi? Sudahkah kita menyediakan fasilitas baginya? Bagaimana jika ada anggota jemaat kita yang lumpuh? Sudahkah kita menyediakan akses baginya agar dapat beribadah? Atau jangan-jangan kita masih sibuk menolak dengan prinsip ah ngapain wong yang lumpuh hanya 2-3 orang? Sangat diskriminatif!
Karena itu, pada HUT GKI kali ini, marilah kita melakukan otokritik pada diri kita sendiri. Marilah bersama-sama belajar untuk menjadi Gereja yang Meng-Indonesia dengan sebuah spirit pelayanan yang rela berkorban dan tidak berpikir untung rugi.


Jakarta, 27 Agustus 2016