Minggu, 16 Oktober 2016

Sebuah Pertanyaan

Malam menyapa dalam keheningan
Kedatangan mentari seolah tertahan
Dalam pengujian makna yang terpilin

Kepedihan meninggalkan goresan
Yang tak tergambarkan
Dengan sejumput bahasa insan

Sayup-sayup muncul sinar kebahagiaan
Menjadi hadiah pada proses misteri iman
Yang terus dipertanyakan

Liminalitas menjadi penanda keraguan
Sekaligus penanda pengharapan
Yang ada dalam kesempatan

Sang Khalik,  dalam doa kutanyakan
Mengenai sebuah intusi dan kepekaan
Dalam rasa yang berkejaran

Pada sebuah percepatan
Menerka sebuah pertanyaan dalam persimpangan
Yang penuh misteri dan kejutan

Jakarta,  17 Oktober 2016
YIR

Menang Atas Diri Sendiri (Kejadian 32:22-32)



“Kenalilah musuhmu, kenalilah diri sendiri.
Maka kau bisa berjuang dalam 100 pertempuran tanpa risiko kalah.

Kalimat itu adalah kalimat yang diucapkan oleh Sun Tzu, seorang ahli perang yang sangat terkenal dari negeri Tiongkok. Buat saya kalimat itu sangat menarik, karena rupanya yang menjadi penentu kemenangan kita bukan hanya musuh melainkan diri sendiri. Dengan kata lain, musuh terbesar di dalam hidup ini adalah diri sendiri.

Dalam teks Alkitab yang kita baca kali ini, kita melihat kehidupan dari seorang tokoh Alkitab yang sudah diwarnai dengan sejumlah keberhasilan menurut standar dunia. Yakub memiliki banyak istri dan anak. Yakub mendapat berkat dan hak kesulungan. Yakub memiliki banyak harta dan juga budak. Semuanya ia punya, namun hidupnya tidak tenang dan penuh kekosongan. Mengapa? Karena ia dibayang-bayangi oleh musuh besarnya yakni dirinya sendiri.

Yakub mendapatkan semua itu dengan sebuah pola dosa yang berulang yakni dengan menipu. Betul, bahwa dengan menipu ia mendapatkan hak kesulungan dan berkat ayahnya, namun ia lari dari kemarahan kakaknya dan kekecewaan ayahnya. Betul bahwa dengan menipu, Yakub mendapatkan harta yang banyak, namun ia lari dari mertuanya. Dan ketidakjujurannya itu menimbulkan sikap pengecut di dalam dirinya. Kalau kita baca bagian perikop sebelumnya, kita tahu betapa pengecutnya Yakub. Ia tak berani pada Esau. Ia takut ditolak atau bahkan dibunuh oleh Esau karena kejadian di masa lampau. Karena itu, ia berusaha menyogok Esau dengan harta bendanya dan ia sendiri tertinggal jauh paling belakang. Sungguh pedih, karena orang yang kaya dan punya segala hal namun hidupnya tidak tenang dan menjadi sebuah pelarian.

Barangkali di hidup ini mungkin kita juga pernah merasakan apa yang dialami oleh Yakub. Kita memiliki segalanya. Pacar yang baik. Harta yang banyak. Nilai kuliah yang bagus. Pekerjaan yang mapan. Namun, ada kekosongan di jiwa kita yang disebabkan karena pergumulan dalam diri sendiri. Diri sendiri menjadi musuh yang paling menakutkan bagi kita. Kita berkali-kali jatuh pada perangkap yang sama dalam pola berulang. Kita sampai pada suatu titik bahwa tidak bisa mengendalikan diri sendiri untuk tidak melakukan hal yang salah, meskipun kita tahu bahwa itu salah. Kita membungkus diri kita dengan sejumlah daya tipu, karena kita tidak berani merengkuh kerapuhan dalam diri sendiri. Kita takut tidak diterima oleh orang lain, karena sebenarnya diri kita sendiri pun tidak menerima diri kita sendiri.

Namun satu hal, yang saya alami, yakini dan juga imani adalah bahwa Allah itu tidak pernah menyerah dengan kita, walaupun kita menyerah terhadap diri kita sendiri. Dalam kisah Yakub, Allah datang pada masa ketika Yakub sangat rapuh dan tidak dapat mengontrol rasa takut dalam dirinya sendiri. Namun, kali ini Allah tidak hadir sebagai pemberi janji, melainkan sebagai sebuah tokoh antagonis, yakni seorang laki-laki yang mengajak Yakub bergulat. Dengan demikian, kita pun dipaksa bergulat dengan Allah, dengan orang yang rusak relasinya dengan kita dan dengan diri kita sendiri. 

Perhatikanlah masa-masa ketika kita memasuki masa-masa yang disebut dengan “lembah kekelaman”. Ketika kita merasa bahwa hidup kita sangat berat, dan malam menjadi terang, disitulah Tuhan menantang saya bergulat. Dalam rasa yang lemah dan rasanya hidup ini hampir padam, Tuhan menyadarkan bahwa ternyata ada sisi gelap di dalam hidup kita yang selama ini kita enggan hadapi. Namun, di poin pergulatan itu, Tuhan menyadarkan kita bahwa ketika Tuhan mencintai kita, itu lebih dari cukup.
Dalam kisah Yakub di Yabok. Ada beberapa hal yang menarik yang menunjukkan keindahan proses transformasi dalam diri Yakub terjadi.

Pertama, perhatikanlah bahwa Allah sengaja menantang Yakub untuk berdiri tegak dan bergulat dengan penyerang. Di akhir bagian kisah ini, tampaknya disimpulkan bahwa yang menyerang adalah Allah, sebagai tokoh antagonis. Namun, saya membayangkan bahwa bisa saja sebenarnya Yakub awalnya tidak tahu siapa orang yang bergulat dengannya dalam kegelapan. Beberapa penafsir mengatakan, sebagai orang yang sangat ketakutan dan merasa berdosa terhadap Esau, barangkali Yakub dapat berpikir bahwa orang tersebut adalah Esau. Di sini Yakub seperti dipaksa untuk menghadapi ketakutan terbesarnya, dalam sebuah pergulatan, di mana ia tidak dapat menggunakan sejumlah jurus tipuannya lagi. Dia pun kini berjuang melawan ketakutan dan keberdosaan dirinya sendiri terhadap Esau. Dia bergulat bersama dengan Esau.

Kedua, hal yang menarik setelah pergulatan itu berakhir, Yakub tidak membiarkan orang itu pergi tanpa memberkatinya. Kita lihat bahwa dari awal kehidupan Yakub, problem yang dihadapi Yakub adalah ia tergila-gila dengan berkat, baik itu kekayaan maupun ucapan berkat ayahnya yang dipercaya oleh mereka sebagai pemberi keberuntungan. Dan dalam masa lalunya yang kelam, Yakub mendapatkan berkat-berkat itu dengan cara-cara yang culas. Namun, di saat ini ia belajar mendapatkan berkat dengan jujur, dengan meminta langsung pada sang pemberi berkat, bahkan orang yang pernah bergulat dengan kita. Bagi saya, ini sebuah transformasi diri yang sangat dahsyat. Bahwa, kita meminta orang yang bergulat dengan kita memberikan berkat dan mendoakan kita. Hal ini meruntuhkan sebuah ego dan harga diri yang besar.

Hasil gambar untuk fajarKetiga, perhatikanlah waktunya. Yakub bergulat dari malam hari sampai matahari terbit. Dalam tradisi Yahudi, fajar adalah waktu ambang batas antara malam dan siang. Antara terang dan gelap. Ada sayup-sayup kegelapan. Namun, ada semburat cahaya fajar yang menunjukkan pengharapan. Dan fajar yang hadir itu adalah anugerah dari Tuhan, bukan sesuatu yang lahir dari usaha kita. Dan simbolisme ini menunjukkan hidup kita. Yakni, bahwa kita selalu hidup di ambang batas antara malam dan siang, terang dan gelap. Ketika kita berjumpa dengan Tuhan, tak semerta-merta kita berubah menjadi lebih baik, 180 derajat. Kita tetap bergumul dengan dosa-dosa kita antara “kegelapan” dan “terang”. Kita tetap bergumul dengan persoalan self control atas luka di masa lalu dan masa kini serta pengharapan di masa mendatang. Luka kita tidaklah hilang, membekas seperti kepincangan yang terjadi pada Yakub. Namun, kita tahu bahwa kita menang. Dan kemenangan perjuangan kita melawan diri sendiri itu disebabkan karena kekuatan anugerah Tuhan yang muncul bagai mentari yang menyapa kita.

Hingga dalam kisah penutup ini, dikatakan bahwa nama Yakub diubahkan. “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah.” Pada poin ini, kita menyadari bahwa transformasi diri bukan lahir dari kekuatan kita, namun dari anugerah Allah. Selamat bergulat dengan Allah J

Jakarta 15 Oktober 2016
Khotbah pemuda GKI Kaput
YIR