Di
masa kecil, saya senang sekali bermain di sawah. Berlari-lari ke sana-sini di
sawah kering untuk mengejar layangan putus. Suatu kali, kaki saya tersangkut di
antara tanah lempung kering hingga akhirnya saya terjatuh. Wajah saya hancur
dan dipenuhi luka. Minggu-minggu itu, rasanya saya malu sekali ke sekolah.
Teman-teman saya menertawakan saya. Sebagian ada yang berkata, “Anak cewek koq
mainnya ngejar layangan putus.”
Selain
diejek, penderitaan yang juga berat adalah ketika mama saya membersihkan luka
saya. Perih sekali. Luka itu tidak boleh dibiarkan bernanah. Harus dibersihkan,
dibasuh, dan ditaburi “obat merah” resep Cina yang perihnya bukan main.
Jadilah, selama beberapa hari, saya kapok pergi ke sawah. Saya hanya melihat
layangan putus dari belakang kaca jendela rumah. Sayangnya, kapok itu tidak
cukup ampuh untuk menahan saya yang ceroboh dan sering jatuh. Saya kembali
jatuh terantuk di rumah. Luka di wajah belum kering, kini bertambah luka di
kaki.
Entah
mengapa dalam beberapa hari ini, saya teringat peristiwa itu. Jatuh-luka-jatuh-luka
menjadi hal yang sering terjadi di dalam kehidupan saya. Kadang, saya berlari
menghindari luka. Namun, kadang saat luka hampir sembuh, saya pun jatuh lagi.
Kadang, saya sudah berhati-hati, namun saya tetap jatuh. #nasib
Saya
teringat percakapan yang mengejutkan dengan Mince, rekan semasa kuliah saya.
Ada momen ketika dia sudah hampir melupakan luka-lukanya, namun Tuhan kembali
seperti memukul dan mengingatkannya kembali akan lukanya. Dan itu sakit! Tokh
yang Mince alami ini juga saya berulang kali rasakan. Kalau saya mengilas balik
perjalanan hidup saya selama setahun terakhir, rasanya Tuhan membiarkan saya
untuk jatuh-luka-jatuh terus menerus. Ada kelelahan yang amat sangat ketika
mengilas balik perjalanan di tahun ini. Saya pun bertanya kembali tentang siapa
Tuhan? Dan mengapa saya berulang kali terjatuh? Kapan saya sembuh ya Tuhan?
Hosea
8:2-3 melukiskan gambaran yang menarik tentang Tuhan dalam fase
jatuh-luka-jatuh itu. “Mari kita berbalik
kepada TUHAN, sebab Dialah yang telah menerkam dan yang akan menyembuhkan kita,
yang telah memukul dan yang akan membalut kita. Ia akan menghidupkan kita
sesudah dua hari, pada hari yang ketiga Ia akan membangkitkan kita, dan kita
akan hidup di hadapan-Nya. Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh
mengenal TUHAN; Ia pasti muncul seperti fajar, Ia akan datang kepada kita
seperti hujan, seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi.”
Sungguh
menarik karena Tuhan digambarkan sebagai penerkam dan penyembuh; pemukuldan pembalut;
yang muncul bagai fajar dan hujan. Barangkali, proses
diterkam-disembuhkan; dipukul-dibalut
inilah yang terjadi dalam misteri yang tak terjelaskan. Barangkali,sang penulis
ingin menggambarkan kerinduannya sekaligus ketidaksanggupannya untuk mengenal
TUHAN yang wajahNya tidak tunggal. TUHAN yang tak bisa dipahami seutuhnya,
namun hadir dalam proses jatuh-luka-jatuh.
Lalu
di manakah kesembuhan? Kesembuhan hadir dalam kesadaran pertobatan, sebagaimana
yang dikatakan dalam Hosea 8:2, “Mari kita berbalik kepada TUHAN”. Pertobatan
adalah sebuah kesadaran penuh bahwa kita adalah manusia yang rapuh yang lukanya
belum kering dan selalu punya potensi untuk terjatuh. Atau bahkan jatuh lagi
dan lagi! Kesembuhan adalah kerinduan untuk kembali kepada Sang Misteri dalam
proses JATUH-LUKA-JATUH-LUKA, di mana kata SEMBUH tersembunyi dan berkelindan
di antara kata JATUH-LUKA-JATUH-LUKA. Kiranya Tuhan menolong setiap kita yang
sedang ada dalam proses yang pahit namun manis ini.
Jakarta, 8 Desember 2016
YIR