Senin, 06 Maret 2017

Disabilitas dan Cita-cita Menjadi Pendeta

Pada masa raya Paska tahun lalu, saya melayani ibadah Paska, dalam rangka kepedulian bagi keluarga dan anak disabilitas. Anak-anak dan orang tua yang memiliki anggota keluarga dengan disabilitas diundang untuk ikut serta. Ibadah ini juga melibatkan komisi remaja dan panitia Paska. Dalam acara itu, saya berbincang-bincang dengan seorang ibu yang memiliki anak disabilitas, semacam retardasi mental.

Ibu itu mengisahkan bahwa awalnya ia merasa bersusah hati karena mendapatkan kepercayaan dari Tuhan untuk mengurusi anak dengan disabilitas. Ibu ini sempat masuk ke dalam tahap kemarahan total. Ia sempat mengunci anaknya di kamar mandi karena merasa frustasi mengajari anak ini. Namun, setelah dikeluarkan dari kamar mandi, anak ini memeluk ibunya, sambil mengatakan, "Tuhan Yesus sayang mama." Sejak saat itulah, ibunya justru belajar banyak tentang kehidupan spiritual dari anak itu.

Saat ibu itu bercerita, saya menatap matanya dan mata anaknya secara bergantian. Saya menahan tangis ketika mendengar ceritanya. Anaknya menatap saya dengan berbinar, lalu tersenyum. Senyumnya manis sekali. Lalu, anak itu melonjak-lonjak dan berputar-putar sambil tertawa. Ibunya melepaskan genggamannya dan anak itu pun berlari-lari.

Sesaat kemudian, ibunya melanjutkan kisahnya. Ada masa yang sangat menggugah hatinya, yakni ketika anak ini harus menjalani operasi otak. Ibunya begitu cemas saat ia dioperasi otak. Ibunya takut sekali anak ini mengalami efek terburuk dari operasi, yakni justru lupa semua atas apa yang sudah diajarkan dan diingatnya. Padahal, belum lama baru saja si ibu berhasil mengajari anak ini berhitung satu hingga sepuluh dalam rentang waktu yang sangat lama. Saat anak ini siuman, ibunya langsung menunjukkan jarinya kepada si anak lalu berkata, "Nak, ini berapa?" Si anak yang baru siuman berkata, "Ma, Tuhan Yesus sayang kita, jangan takut." Lagi-lagi si ibu merasa disapa Allah dengan jawaban si anak. Sekali lagi ibunya berkata kepada saya, "Tuhan justru mengajarkan saya banyak hal melalui anak ini."

Mata saya sudah berkaca-kaca. Karena pada saat yang bersamaan, kisah itu pun menjadi sapaan bagi saya dalam pengembaraan saya. Saya pun bertanya kepada ibu itu, "Ibu, apakah ibu pernah bertanya kepada anak ibu, apa cita-cita anak ibu?" Kemudian, ibu itu menjawab, "Pernah. Dan dia ingin menjadi pendeta." Tiba-tiba anak itu memeluk ibu itu dari belakang. Saya pun berlutut dan bertanya kepadanya, "Kamu mau jadi pendeta?" Anak itu tersenyum manis dan mengangguk kepada saya. Tanpa terasa, air mata saya menetes karena merasakan ketulusan anak ini.

Pengalaman ini begitu membekas bagi saya. Dalam masa cuti ini, saya berkesempatan untuk merenungkan banyak hal. Termasuk cita-cita anak ini? Mungkinkah cita-citanya untuk menjadi pendeta dapat tercapai? Secara personal, saya ingin sekali punya pendeta seperti anak karena ia sangat tulus. Barangkali, ia tidak sama seperti para pendeta dan calon pendeta yang sukanya bermain "politik" di gereja. Barangkali, ia tidak sama dengan para pendeta dan calon pendeta yang memakai kekuasaan untuk menindas rekannya dan jemaatnya.  Tetapi, saya berkali-kali merenung. Apakah mungkin dia dapat menjadi seorang pendeta? Atau minimal masuk ke sekolah teologi? 

Mungkinkah? Barangkali kita perlu berpikir ulang mengenai konsep kependetaan kita dan konsep pendidikan teologi. Apa sih yang disyaratkan untuk menjadi seorang pendeta (sambil melirik Tata Gereja hehehehe...)? Lalu bagaimanakah dengan sekolah teologi? Barangkali sekolah teologi sudah mulai terbuka bagi orang-orang dengan disabilitas fisik, dengan berusaha menyiapkan fasilitas yang dapat menunjang pembelajaran dengan kekhususan mereka. Tapi bagaimana dengan orang-orang dengan disabilitas mental? Bukankah untuk masuk ke sekolah teologi ada standard test IQ, dengan batas minimum skor IQ tertentu?

Refleksi ini menjadi sebuah refleksi terbuka. Saya sendiri masih bertanya dalam keterbatasan saya sambil mengingat kasih Allah yang menyapa setiap orang. Jika Allah itu penuh misteri, maka akankah kita terbuka pada misteri-Nya yang barangkali dapat memanggil orang-orang dengan disabilitas fisik dan mental untuk menjadi pendeta?

Di tengah keheningan
7 Maret 2017