Sekitar empat tahun lalu, seorang rekan mengajak saya untuk
makan nasi uduk Kebon Kacang yang pertama kali ada di Jakarta yakni di daerah
Kebon Kacang. Awalnya saya membayangkan bahwa tempatnya bersih dan mewah.
Ternyata, tempatnya sangat kecil dan sempit, seperti warung tenda. Uniknya, ada
banyak mobil berderet di jalan sempit itu. Konon katanya, para pemilik mobil
itu rela antri sempit-sempitan untuk mencoba makanan di warung legendaris itu.
Rupanya, “kemasan” warung tidak semerta-merta membuat orang undur untuk tidak
makan di sana.
Andai saja orang memandang fakta dan data seperti orang
memandang nasi uduk Kebon Kacang, tentu saja tidak akan banyak hoax bertebaran di mana-mana dalam era yang disebut
dengan post-truth ini. Bukankah saat
ini, orang lebih mementingkan rasa --suka-tidak suka rasa senang-tidak senang—ketika
menilai sesuatu. Akibatnya, berita-berita hoax
lebih diminati. Orang dicintai idenya ketika dipandang dari kemasan yang
ditampilkan: wajah, agama, etnis dan lain sebagainya. Kita dengan mudahnya
diteror oleh opini kehancuran Indonesia yang dilontarkan tanpa data yang jelas.
Mengerikan bukan?
Para pencinta kuliner, rela makan di gang sempit demi suatu
fakta cita rasa yang tidak dapat dibohongi. Itulah kenikmatan hidup! Bukan
kemasan, tetapi isi yang penting! Karena itu, hanya orang yang mengerti seni
mencintai hiduplah yang belajar melampaui post-truth.
Ya, orang yang mencintai hidup adalah orang yang mau melihat ide yang baik, data
dan fakta ketimbang kemasan. Saya percaya orang Indonesia cerdas dan mau
belajar melampaui era post-truth pada
era Pilkada Serentak dan Pemilu 2019!
Yesie