Sabtu, 24 Maret 2018

NASI UDUK DAN POST TRUTH




Sekitar empat tahun lalu, seorang rekan mengajak saya untuk makan nasi uduk Kebon Kacang yang pertama kali ada di Jakarta yakni di daerah Kebon Kacang. Awalnya saya membayangkan bahwa tempatnya bersih dan mewah. Ternyata, tempatnya sangat kecil dan sempit, seperti warung tenda. Uniknya, ada banyak mobil berderet di jalan sempit itu. Konon katanya, para pemilik mobil itu rela antri sempit-sempitan untuk mencoba makanan di warung legendaris itu. Rupanya, “kemasan” warung tidak semerta-merta membuat orang undur untuk tidak makan di sana.  

Andai saja orang memandang fakta dan data seperti orang memandang nasi uduk Kebon Kacang, tentu saja tidak akan banyak hoax  bertebaran di mana-mana dalam era yang disebut dengan post-truth ini. Bukankah saat ini, orang lebih mementingkan rasa --suka-tidak suka rasa senang-tidak senang—ketika menilai sesuatu. Akibatnya, berita-berita hoax lebih diminati. Orang dicintai idenya ketika dipandang dari kemasan yang ditampilkan: wajah, agama, etnis dan lain sebagainya. Kita dengan mudahnya diteror oleh opini kehancuran Indonesia yang dilontarkan tanpa data yang jelas. Mengerikan bukan?

Para pencinta kuliner, rela makan di gang sempit demi suatu fakta cita rasa yang tidak dapat dibohongi. Itulah kenikmatan hidup! Bukan kemasan, tetapi isi yang penting! Karena itu, hanya orang yang mengerti seni mencintai hiduplah yang belajar melampaui post-truth. Ya, orang yang mencintai hidup adalah orang yang mau melihat ide yang baik, data dan fakta ketimbang kemasan. Saya percaya orang Indonesia cerdas dan mau belajar melampaui era post-truth pada era Pilkada Serentak dan Pemilu 2019!

Yesie