Banyak
orang yang menyukai traveling. Mereka
berpergian kian kemari. Mereka menikmati berbagai tempat baru dan berjumpa
dengan orang baru dalam perjalanan mereka. Mereka mungkin saling berhospitalitas
dengan berbagai penduduk lokal dalam perjalanan mereka. Namun, aku tidak
menyukai traveling! Badanku gemetar
dan kepalaku pening setiap kali mendengar kata itu disebut. Hatiku menciut dan
bersembunyi di balik tubuhku yang bertopengkan kegagahan saat melakukan traveling.
Aku dan keluarga mungilku –istri dan
anakku-- dipaksa untuk melakukan sebuah traveling
yang traumatik. Kami dan kaum bangsaku harus mengadakan perjalanan menuju Mesir
sebagai seorang pengungsi. Seluruh traveling
ini terpaksa kami lakukan karena kekejaman para penguasa Romawi yang memerintah di zamanku.
Pertama, kami dipaksa untuk mengadakan
traveling dalam kondisi kehamilan
besar istriku hanya demi sebuah sensus pajak!
Kedua, kami terpaksa melakukan traveling
lagi menuju Mesir karena pembunuhan kejam terhadap anak-anak berusia dua tahun
ke bawah. Pembunuhan itu dilakukan oleh Herodes dan para penasihatnya, sekelompok
penguasa yang diracuni oleh virus ketakutan dan ketamakan akan kuasa. Ia takut
takhtanya direbut oleh anak kecil yang berumur di bawah dua tahun ke bawah
(Joerg Rieger, 2011: 37).
Oh sungguh! Aku, keluargaku dan
orang-orang pada zamanku hidup dalam suasana traumatik yang mengerikan. Jeritan
anak-anak kecil yang tak bersalah terdengar karena mereka dipaksa meregang
nyawa di usia yang dini. Pedang yang tajam ditancapkan oleh para prajurit
suruhan itu ke tubuh mungil anak-anak kecil itu. Darah yang mengalir dari tubuh
anak-anak itu semakin memperkeras jeritan pilu para orang tua. Raungan
kepedihan terdengar tanpa henti. Air mata menetes deras di pipi para korban dan
kerabat yang menjadi penyintas. Orang tua mana yang tak sedih ketika harus
melihat anak-anaknya berpulang terlebih dahulu. Selama setahun penuh, dalam
masa perkabungan itu, para penyintas yang kehilangan anak-anaknya merintih dan menghindari
perayaan-perayaan pesta. Abu dan kain kabung mewarnai hari-hari mereka (W.f
Browning 2008, 4).
Aku bertanya kepada Allah? Di manakah
Engkau dalam tragedi itu? Apakah Engkau bersembunyi dan membiarkan kekejaman
itu terjadi? Di mana Allah yang penuh kasih dan kepedulian itu? Di mana Allah
yang Maha Kuasa yang dapat menghentikan kekejaman dalam sekejap mata?
Kisah traumatik itu tetap tersimpan di
dalam hatiku. Kejadian tersebut menghantui aku dan keluarga kecilku di kala siang
dan malam. Aku masih merasa takut paska peristiwa itu. Aku tidak tahu bagaimana
aku harus bertahan dan mengakhiri traveling
yang penuh dengan trauma ini. Ingatan itu tidak mungkin terkikis dan menjadi
kabur. Sebenarnya, ada kerinduan dalam diriku untuk kembali ke kampung
halamanku. Namun, kerinduan itu bercampur baur dengan ingatan akan kekejaman
Herodes.
Pergolakan antara ketakutan dan
kerinduan untuk kembali pulang menjadi semakin menjadi-jadi saat malaikat itu datang
dalam mimpiku. Ia memintaku untuk membawa istri dan anakku untuk melakukan traveling kembali ke Israel. Seluruh tubuhku gemetar. Keringat tiba-tiba
mengucur dari tubuhku. Menurut istriku, wajahku menjadi pucat pasi. Apalagi, aku
tahu bahwa Arkhelaus yang lebih kejam
dari Herodes kini duduk di tahta menggantikan ayahnya yang telah tiada (Stefan
Leks, 2003: 55-57).
Akhirnya, dalam sebuah mimpi aku disuruh
membawa keluargaku untuk melakukan traveling
yang selanjutnya ke Nazaret, sebuah kota kecil yang tak semarak di daerah
Galilea. Setibanya di Nazaret, aku memandang ke arah Yesus, anakku yang semakin
bertumbuh besar. Aku mengingat peristiwa kelahiran-Nya yang ajaib. Aku
terngiang akan ketakutan Herodes terhadap anakku, anak yang masih mungil ini.
Tiba-tiba di dalam batinku terlintas
peristiwa Keluaran bangsa Israel yang dikisahkan turun temurun itu. Entah
mengapa, aku tiba-tiba menghubungkan traveling
yang kami alami dengan peristiwa Keluaran. Dalam kisah Keluaran, tidak ada
seorangpun yang akhirnya dapat pulang ke tanah terjanji itu. Mereka meninggal
dunia sebelum kembali ke tanahnya, termasuk Musa pemimpin bangsa Israel itu.
Hanya Yesus, anakku yang beranjak dewasa ini yang berhasil menjadi penyintas
yang kembali ke Israel (Stefan Leks, 2003: 55-57).
Aku kembali memandang wajah anakku
Yesus yang sedang tersenyum ke arahku. Pertanyaanku beberapa tahun silam
mengenai keberadaan Allah di dalam peristiwa pembunuhan anak-anak itu pun
terjawab. Di dalam diri Yesus, Allah hadir dalam ruang-ruang trauma. Allah ada
bersama-sama dengan para pengungsi di Mesir yang meratap karena peristiwa
mengerikan itu. Allah memang sedang tidak menunjukkan kemaha-kuasaan-Nya.
Sebaliknya, Allah menjadi penyintas di dalam diri Yesus yang turut menjadi
penyintas dalam peristiwa itu. Anak inilah yang memberikan kekuatan bagiku,
bagi istriku Maria dan bagi para penyintas lainnya.
Aku tersadar bahwa kita adalah
orang-orang yang akan terus melakukan traveling
hingga ajal menjemput kita. Pengalaman traumatis dalam traveling hidup ini mungkin akan kita jumpai dan mungkin sukar kita
elakkan. Peristiwa traumatis akan tetap ada dalam memori dan mungkin tidak
hilang seutuhnya. Namun, aku dan para penyintas lainnya tidak akan takut lagi
untuk ber-traveling bersama Yesus,
Sang Penyintas sampai ajal menjemput kami.
Kami akan tetap menjalani hidup dengan
penuh pengharapan karena Anak itu adalah Allah yang menemani kami sebagai
penyintas. Ia mampu memulihkan kita dan memberi pengharapan kepada kita. Aku
merasa anakku Yesus kelak akan menjadi penyaksi dan pembela bagi orang-orang
yang mengalami trauma, seperti yang Ia alami di masa kecil-Nya. Aku pun yakin
bahwa Ia akan mengubah ketakutan-ketakutan kita --para penyintas peristiwa
G30SPKI-- yang muncul karena pengalaman traumatis di dalam traveling itu menjadi keberanian untuk menolong orang-orang lain
yang juga mengalami trauma.
Konteks : penyintas peristiwa G30SPKI.
Ketika
menentukan konteks, saya terinspirasi dari novel Pulang, karya Leila S. Chudori. Novel ini menceritakan tentang
orang-orang yang mendapat diskriminasi karena salah satu anggota keluarganya
dituduh sebagai anggota PKI. Orang-orang ini harus berpergian dari satu tempat
ke tempat lainnya agar tidak mendapatkan siksaan. Sebagian dari mereka
cenderung menutupi identitas dirinya agar tidak mendapatkan diskriminasi.
Mereka menjauhi pentas percaturan demokrasi dan politi. Akan tetapi, anomali
terjadi pada seorang pemuda yang bernama Alam Sagara. Ia yang menjadi penyintas
setelah melihat bapaknya dibunuh, kini menjadi aktivis HAM yang menolong
orang-orang lainnya yang hidup dalam penindasan pada era Soeharto.
Jakarta, awal September 2013
YIL
Bibliografi
Chudori,
Leila S. 2012. Pulang. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia
Rieger,
Joerg. 2011. Traveling. Minneapolis: Fortress Press
Leks,
Stefan. 2003. Tafsir Injil Matius.
Yogyakarta: Kanisius
Browning,
W.R.F. 2008. Kamus Alkitab. Jakarta:
BPK Gunung Mulia