Waktu kecil, saya sangat takut dengan gelap. Pada
suatu malam, saya sedang bermain di kamar sendirian. Tiba-tiba lampu mati.
Seketika itu pun saya merasa ketakutan dan saya menangis dengan kencang. Yang
saya ingat, saya sangat ketakutan. Ada banyak bayangan yang menghantui saya.
Saya berlari ke luar kamar, namun kaki saya terantuk pintu dan saya pun
menjerit makin keras. Sampai akhirnya mama saya datang dan memanggil nama saya.
Sebenarnya, saya tahu mama saya ada di dalam rumah dan dia sedang mandi. Namun,
kekalutan yang ada membuat saya tidak “ingat” dan tidak “sadar” lagi bahwa mama
saya ada di rumah.
Saat saya masih kecil, saya merasa takut dan kalut dalam
ruang gelap. Saat saya dewasa, saya juga sering merasa takut dan kalut ketika
berada dalam “kegelapan hidup”. Barangkali, Anda juga merasakan hal yang sama:
kalut dan takut ketika berada dalam “kegelapan hidup”. Dan tokoh-tokoh di dalam
Alkitab kita pun merasakan hal yang sama! Hari ini, kita membaca kisah seorang
perempuan yang sedang berada dalam “kegelapan hidup” yaitu Maria Magdalena.
Maria Magdalena, seorang perempuan yang sedang kalut dan
takut karena kehilangan Tuhan Yesus yang begitu dikasihinya. Perhatikan saja
gesturnya. Ia datang pagi-pagi benar untuk datang ke kubur Yesus pada waktu
hari masih gelap. Ia hanya ingin mencurahkan kesedihannya dan merasa dekat
dengan Tuhan Yesus dengan mengunjungi makamnya. Namun, betapa sedihnya ia
ketika batu telah diambil dari kubur. Tampaknya, ia mengira bahwa mayat Tuhan
Yesus telah diambil orang. Ia lari kepada murid-murid yang lain untuk
memberitahukan hal itu. Kemudian ia kembali lagi ke kubur itu dan menangis.
Betapa pedih hatinya. Ia mungkin merasakan kehampaan dan kehilangan yang
mendalam. Katanya kepada malaikat yang menanyainya, “Tuhanku telah diambil
orang dan aku tidak tahu di mana Ia diletakan.”
Yang menarik, dalam kekalutannya Maria tidak mengenali
Yesus. Ia tidak mengenali Tuhan Yesus ketika ia berbalik dan melihat Tuhan
Yesus. Ia mengira bahwa itu adalah tukang kebun. “Tuan kalau Tuan mengambil
dia, katakanlah di mana tuan meletakan Dia supaya aku dapat mengambil-Nya.”
Rupanya kekalutan dan ketakutan membuat orang tidak dapat berpikir tenang,
apalagi mengalami perubahan di dalam “kegelapan hidupnya”. Karena dalam
kekalutan dan ketakutan kita hanya terfokus pada bayang-bayang menyeramkan yang
ada di dalam pikiran kita. Di dalam ketakutan dan kekalutan kita tidak dapat
melihat pengharapan, bahkan kita tidak dapat mengenali karya Allah. Kita memaksa
diri untuk berubah, tapi kita tidak bisa berubah sehingga kita
lelah-selelah-lelahnya!
Padahal
yang kita perlukan untuk berubah dan berani menghadapi ketakutan itu adalah:
ketenangan. Biasanya saat kita sedang kalut dan gelisah, kita memaksa diri untuk
tenang, namun kita tidak bisa mendapatkannya. Karena itu, menurut saya
ketenangan itu adalah anugerah Allah kepada kita melalui sapaannya. Seperti
Tuhan Yesus yang menganugerahkan ketenangan kepada Maria ketika ia menyapa
Maria Magdalena dengan namanya. Dan seketika itu juga Maria Magdalena sadar dan
mengalami ketenangan.
Mengapa
sapaan itu dapat menenangkan Maria? Kita ingat dalam Yohanes 10:3-5 dikatakan
bahwa seorang domba mengenali suara gembalanya. Hal ini mungkin asing dan tak
lazim dalam konteks Indonesia. Namun, dalam konteks bangsa Israel hal ini
tidaklah aneh. Sang gembala biasa menamai dombanya dengan nama satu per satu.
Lalu, domba pun mengerti siapa namanya dan mengenali suara gembalanya yang
memanggilnya.
Karena
itu, sapaan ini begitu bermakna bagi Maria karena Maria mengenali suara Tuhan
Yesus. Ketika mendengar suara tuhan Yesus, Maria berpaling dan berkata,
“Rabuni.” Dalam Alkitab NIV, istilah yang dipakai itu adalah “cried out” yang
artinya berteriak dengan terkejut dan penuh sukacita. Seketika itu juga,
kesedihannya digantikan oleh sukacita. Kesepiannya digantikan oleh kepenuhan.
Kehilangannya digantikan oleh pengharapan. Kekalutannya digantikan dengan
ketenangan. Ketakutannya digantikan oleh sukacita.
Di
dalam hidup ini, apabila kita sedang merasakan perasaan-perasaan seperti yang
dialami Maria Magdalena, percayalah bahwa suatu saat Tuhan akan menyapa kita.
Domba yang baik akan mengetahui sapaan gembalanya. Saya dan rekan-rekan yang
saya anggap sebagai “spiritual friends” saya sering berbagi kisah mengenai
bagaimana Tuhan menyapa kita dalam masa-masa kalut dan takut. Entah melalui
tulisan yang kita baca, entah melalui orang lain yang tidak kita kenal dan
tiba-tiba berbicara kepada kita. Dan perjumpaan semacam ini begitu menguatkan.
Ada rasa haru, tangisan yang melegakan, dan sukacita serta damai sejahtera.
Kembali
pada Maria Magdalena, saya membayangkan bahwa larangan Tuhan Yesus, “Jangan
memegang aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa” agak mengejutkannya dan
mungkin agak aneh juga bagi kita yang membaca kisah ini. Pasti saja Maria ingin
memegang Tuhan Yesus. Bukankah di bagian Injil lain, Tuhan Yesus menunjukkan
lengannya dan menyuruh Tomas mencucukan jarinya ke dalam lambungnya. Mengapa
perintah itu ditunjukkan? Beberapa penafsir mengatakan bahwa larangan ini
diberikan agar Maria tidak terlena dan menerima berita itu untuk dirinya
sendiri. Tuhan Yesus menyatakan kemendesakan tugas baginya untuk memberitakan
kebangkitan-Nya kepada saudara-saudaranya.“
Hal
ini membuktikan bahwa Kristus percaya kepada Maria Magdalena, seorang perempuan
yang tidak dianggap pada masanya. Kristus mengutus Maria Magdalena --seorang
perempuan yang pernah kerasukan tujuh roh jahat-- untuk menjadi saksi pertama
atas kebangkitan-Nya. Bagi saya Maria Magdalena adalah seorang rasul perempuan
karena ia telah berjumpa dengan Yesus yang bangkit dan juga diutus untuk
menyaksikan berita kebangkitan Kristus. J
Refleksi atas Yohanes 20:11-23
Jakarta, 8 April 2016
YIR