Dalam
ingatan saya, ada beberapa fragmen peristiwa yang terekam dalam ingatan saya.
Dari beberapa fragmen itu, saya mengenal diskriminasi. Peristiwa pertama
terjadi ketika saya berusia sekitar 3 atau 4 tahun. Pada saat itu, saya bermain
ke rumah seorang rekan yang tinggal di sekitar rumah. Namun, saya diusir oleh
orang tuanya. Orang tuanya berkata kepada teman saya, “Jangan bermain dengan
anak Cina! Mereka pelit dan rakus.” Pada saat itu, saya pulang ke rumah dengan
hati yang sedih. Apa kesalahan saya sebagai anak peranakan Tionghoa sehingga
saya tidak boleh bertandang ke rumah kawan saya? Peristiwa kedua terjadi ketika
saya menginjak bangku sekolah dasar. Saya bersekolah di sekolah yang didominasi
oleh anak peranakan Tionghoa. Dalam masa itu, ada seorang rekan saya yang non-peranakan
Tionghoa yang mengalami bullying oleh
rekan-rekannya. Saya –yang dulu sangat pendiam—bertanya kepada teman-teman
saya. Mengapa dia dijauhi? Mengapa dia sering diejek-ejek. Jawaban teman saya
mengejutkan. Katanya, “Karena dia bukan orang Tionghoa. Dia jorok dan hitam.”
Apa
salahnya jika saya peranakan Tionghoa? Apa salahnya jika yang lain bukan
peranakan Tionghoa? Apakah benar orang non-peranakan Tionghoa adalah orang yang
malas, bodoh dan suka menipu? Apakah benar orang Tionghoa itu kaya, anti-sosial,
pelit, rakus, individualis, gila uang, hanya bermain di ranah bisnis dan bukan
di ranah politik? Pertanyaan-pertanyaan yang saya pertanyakan sejak kecil ini
juga ditanyakan oleh Iwan Ong, penulis Peranakan
Tionghoa di Nusantara.
Dalam Peranakan Tionghoa di Nusantara dikisahkan rekaman peristiwa dan kisah peranakan Tionghoa di Indonesia dalam corak penulisan etnografi. Kisah-kisah dalam buku ini diuntai secara apik dan seharusnya dapat mendobrak stigma dan stereotipe yang merasuki pemikiran rakyat Indonesia. Salah besar jika selama ini kita memandang bahwa hubungan antara peranakan Tionghoa dengan penduduk lokal tidak terjalin mesra. Pendapat ini dikukuhkan oleh Iwan Ong melalui pengalaman interaksi Cina Benteng dan orang Tionghoa di Bali bersama dengan penduduk lokal. Dengan demikian, cap bahwa orang peranakan Tionghoa yang individualis dan anti-sosial pun tidak dapat digeneralisir.
Stereotip bahwa orang peranakan Tionghoa kaya, pelit, rakus dan gila uang didobrak dengan kisah bayi Sherryl, Encim Ie Yong dan beberapa tokoh lainnya. Bayi Sherryl sakit dan hampir mati karena orang tuanya sangat miskin dan tidak dapat membiayainya untuk dirawat di rumah sakit. Orang tua Sherryl –Hartoyo dan Lina- meminta surat keterangan miskin dari kelurahan Kalideres. Namun, pihak kelurahan tidak memberikannya karena mereka tidak percaya bahwa ada orang Tionghoa yang miskin. Akhirnya mereka hanya mendapat surat keterangan tidak mampu saja sehingga mereka hanya mendapatkan setengah potongan biaya pengobatan dari rumah sakit. Belum lagi, ditambah dengan kisah Encim Ie Yong yang penghasilannya hanya Rp.150.000,- per bulan. Pekerjaannya adalah membungkus cotton bud, yang upah per lusinnya isi 100 batang hanya Rp. 200,- . Yang menarik, di tengah kondisi kemiskinannya, ia masih tetap mau berderma di sebuah wihara di Jelambar.
Rekaman peristiwa yang disajikan oleh Iwan Ong ini seharusnya dapat mendobrak stigma yang muncul di kalangan masyarakat. Pertama-tama pemaparannya adalah sebuah otokritik bagi orang-orang peranakan Tionghoa yang harus belajar dari leluhurnya yang mau berbaur dengan penduduk non-peranakan Tionghoa. Kedua, pemaparannya juga menjadi otokritik bagi mereka yang memiliki stigma buruk terhadap orang peranakan Tionghoa. Dalam tulisan ini, saya hanya akan merefleksikan kontribusi Iwan Ong yang pertama, yakni otokritik bagi peranakan Tionghoa di Indonesia.
Sebagai
sebuah otokritik terhadap diri saya sendiri --sebagai anak peranakan Tionghoa--
saya merasa perlu untuk meninjau ulang istilah sindiran yang sering ditujukan
kepada orang non-Tionghoa seperti ingniren,
huana dan tiko. Apakah orang yang
menyebutkan memahami artinya?
Saya sempat penasaran dan mencari arti tiga kata itu di internet. Kata Huana berarti orang asing atau orang non-Han. Kata ini berasal dari dialek Hokkian. Bagi saya, kata ini bernada netral. Namun, kata ini menjadi bernada negatif karena diucapkan dengan nada melecehkan. Pertanyaan reflektif bagi saya adalah bukankah orang peranakan juga sudah menjadi huana? Bukankah saya dan orang Tionghoa peranakan lainnya sudah menjadi orang asing di negeri tirai bambu?
Selanjutnya, kata Tiko berarti babi jantan. Bagaimana istilah babi jantan dapat dikenakan pada manusia? Sudah jelas bahwa istilah ini tidak pantas lagi diungkapkan kepada orang-orang non-Tionghoa. Sudah waktunya kata ini dikembalikan fungsinya. Sebutlah “babi” kepada babi, dan bukan kepada manusia!
Terakhir, kata Ingni ren berarti orang Indonesia asli. Kata ini dapat disejajarkan dengan kata Cungko ren yang artinya orang Cina asli. Saya berpendapat bahwa kata ini bernada netral, jika diungkapkan dengan netral. Saya sendiri sebagai seorang peranakan Tionghoa di Indonesia merasa sebagai Ingni ren. Saya lahir di Indonesia dan dibesarkan di Indonesia. Saya mencintai bangsa Indonesia. Menurut saya, saya melukai diri sendiri jika kata Ingni ren disalah-gunakan untuk merendahkan orang non-peranakan Tionghoa. Mengapa? Karena saya adalah seorang peranakan Tionghoa yang memiliki identitas sebagai orang Indonesia asli.
Dari ketiga kata itu, menurut saya ada kata-kata yang perlu ditinjau ulang penggunaannya, dikembalikan fungsinya dan dimaknai ulang agar menjadi positif. Sudah waktunya peranakan Tionghoa mendobrak dinding segregasi etnis. Diskriminasi dalam rupa apapun sudah waktunya dikremasi! Dibakar habis menjadi abu dan dibuang ke laut. Ya, mulailah dari lingkup yang paling kecil: dari diri sendiri. Marilah bersama-sama bertransformasi ke arah yang lebih baik. Marilah belajar untuk terbuka, seperti Yesus yang terbuka dan bersikap outside of the box. Ia mau cara pandang-Nya ditransformasi dalam perjumpaannya dengan perempuan Siro-Fenisia. J
Judul
Buku : Peranakan Tionghoa di Nusantara
Penerbit : PT Kompas Media Nusantara
Penulis : Iwan Ong
Tahun
terbit : 2012
YIL
Jakarta, 23 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar