Teks dari: Lukas 11:1-13
Biasanya,
kalau membaca perikop tentang hal berdoa, mata kita selalu tertuju pada ayat
ini. “Mintalah,
maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka
pintu akan dibukakan bagimu.” (Lukas 11:9) Penafsiran yang dominan adalah perihal permohonan
pribadi pada Tuhan. Ketika berada dalam pergumulan, tak henti-hentinya kita
berdoa meminta pertolongan pada Tuhan dengan tekun dan gigih. Kita yakin bahwa
ketika kita mengetuk terus-menerus, maka Tuhan akan membukakan pintu.
Sebenarnya,
perikop ini dapat dibaca dari sisi yang lain. Oleh karena itu, saya tidak akan
membahas perihal kegigihan dalam berdoa. Saya justru ingin mengajak
saudara-saudara sekalian untuk melihat sisi lain dari perikop tentang doa ini. Perikop
tentang doa ini juga mengajarkan tentang kita tentang KEPEDULIAN. Ada tiga hal
yang menunjukkan dimensi kepedulian dalam teks ini
1.
Dimensi kepedulian yang pertama
Kalau
kita memerhatikan ayat yang ke-13, dikatakan “Berikanlah kami setiap
hari makanan kami yang secukupnya”. Kalimat ini berbeda dengan kalimat doa
bapa kami dalam injil Matius. Dalam Injil Matius dikatakan, “Berikanlah kami hari ini makanan kami yang secukupnya.”
Perbedaannya adalah pada setiap hari dan hari ini. Mengapa penulis Lukas
menulis setiap hari? Karena pada konteks zaman ketika Lukas menulis injilnya
banyak orang yang menderita kelaparan. Lukas menulis teks ini dengan penuh
keprihatinan sambil membayangkan betapa beratnya beban hidup mereka. Jangankan
untuk makan esok hari, makan untuk hari ini saja entah dari mana. Mereka hidup
dari hari ke hari tanpa jaminan apapun, tanpa asuransi.
Saudara-saudara yang terkasih, dari Lukas
sebenarnya kita dapat belajar bahwa kepedulian diawali dengan sikap mau
merasakan bagaimana penderitaan orang lain. Dalam bahasa Inggris kata peduli
adalah care. Care ini berasal dari bahasa Gothic, yaitu Kara, yang berarti
meratap bersama-sama, merasakan penderitaan dan menangis bersama.
Dari konteks kepedulian Lukas dan
dari definisi ini saya tersadar akan kekeliruan yang seringkali kita pahami. Seringkali
kita memandang bahwa kepedulian adalah sebuah sikap dari yang lebih kuat
terhadap yang lebih lemah. Dari yang lebih punya kuasa terhadap yang kurang
berkuasa. Misalnya saja, ketika ada orang yang kecelakaan di jalan, ada di
antara kita mungkin yang merasa enggan menolong karena takut disangka penabrak
lah, dll.
Namun, kepedulian melampaui batasan kuat-lemah itu. Dalam definisi tadi
ada kata “with” atau kata “bersama” yang ditekankan. Ini berarti kita berada
setara dengan orang yang perlu kita pedulikan. Kesetaraan membuat kita untuk
melihat apa yang dilihat oleh orang lain dengan berada di dalam posisi mereka. Ibaratnya,
kita duduk di kursi berhadap-hadapan dengan orang lain, apakah kita dapat
melihat yang ia lihat? Tentu tidak! Sebaliknya, ketika kita berpindah posisi,
dari berhadapan menjadi sejajar, kita akan melihat apa yang menjadi keprihatinannya.
Demikian pula dengan kepedulian. Kepedulian diawali ketika kita mau merasakan apa yang ia rasakan.
Saya
belajar peduli justru dari anak-anak. Pada saat camp anak kemarin, ada seorang
anak yang menangis. Yang menarik, ketika melihat temannya menangis,
teman-temannya langsung datang dang menghampiri dia. Ada yang membawakan
temannya kue, ada yang membawakan temannya snack. Ada yang menemani sambil
bertanya, “Kamu kenapa sedih? Aku temani ya.” Anak-anak dengan sangat polos dan
lugu punya kesediaan untuk merasakan penderitaan orang lain.
2.
Dimensi kepedulian yang kedua
Saudara-saudara,
Allah digambarkan sebagai pribadi yang melampaui orang yang membuka pintunya
dengan terpaksa. Allah adalah Allah pribadi yang penuh kasih. Ia selalu sigap
mendengarkan orang-orang yang meminta pertolongan dalam doanya. Ini berarti
kepedulian, salah satunya diwujudnyatakan dalam sikap siap untuk mendengarkan,
sama seperti Allah yang selalu sigap mendengarkan kita. Jika Allah adalah
pribadi yang selalu mendengarkan kita, dalam kerangka “imitation Dei” alias
“mengikuti jejak Allah” kita pun perlu menjadi orang yang sigap mendengarkan.
Ini berarti dimensi kepedulian yang kedua adalah siap mendengarkan.
Pada suatu saat, Henry Nouwen pernah
ditanya, “Siapakah teman yang paling peduli dalam hidup Anda? Henri Nouwen
mengatakan bahwa jawabannya bukanlah orang yang banyak memberikan masukan,
saran atau solusi. Orang yang paling peduli adalah orang yang ada bersama-sama
dengan kita pada saat-saat kita berada di dalam pergumulan, yang dapat memahami
beban kita. Orang yang mau mendengarkan kita menangis, bahkan tanpa berbicara
apapun juga. Cukup hanya dengan berbicara, aku berada di sampingmu.
Saudara-saudara,
dalam bulan anak ini, mari kita memeriksa kepedulian kita kepada anak-anak.
Bagi yang sudah berkeluarga, pertanyaannya adalah apakah kita sudah menjadi
orang tua yang peduli kepada anak? Kepedulian bukan sekadar memberikan
keperluan fisik anak-anak, seperti makanan dll. Kepedulian juga adalah
memberikan keperluan psikis dan spiritual bagi anak, yakni mendengarkan
pergumulan mereka. Dalam camp anak yang lalu, dilakukan acara “survey” pada
anak-anak. Anak-anak diminta untuk menceritakan pengalaman mereka apakah mereka
pernah mengalami bullying dan menceritakan perasaan mereka. Dari 104 anak yang
ikut, 28 anak sering mengalami bullying. 64 anak kadang-kadang. 9 orang tidak
pernah.
Ketika
diminta mengungkapkan perasaannya mereka rata-rata merasa sedih karena ada yang
pernah dikata-katai, dipukul, ditendang, dikucilkan teman sekelasnya dan bahkan dibuka roknya di depan
teman laki-lakinya. Apakah Anda sebagai orang tua tahu? Seberapa care kita pada anak-anak? Bagi yang
berkeluarga dan memiliki anak-anak, adakah quality time di dalam keluarga,
untuk secara khusus mendengarkan pergumulan mereka?
3. Dimensi
kepedulian yang ketiga
Dimensi kepedulian yang
ketiga ditemukan dalam perumpamaan tamu yang datang di malam hari. Saudara-saudara,
pada abad pertama, orang Yahudi sangat menjunjung tinggi hospitalitas. Tuan
rumah harus menghidangkan tiga buah roti untuk para tamu yang datang ke rumah
mereka, bahkan ketika mereka tiba pada tengah malam sekalipun. Ada kalanya sang
empunya rumah kehabisan roti, sehingga mereka harus meminta pada tentangga
mereka.
Tetangga
tersebut harus membukakan pintunya dan memberikan roti, walaupun itu tengah
malam sekalipun. Perlu diakui bahawa sebagian memberikan roti mereka dengan
tulus, namun ada juga tetangga yang terpaksa memberikan karena mereka takut
kehilangan nama baik di kampungnya jika tidak memberikannya.
Terlepas
dari berbagai kecenderungan tersebut, kita melihat bahwa kepedulian bukanlah
sekadar hal yang personal. Kepedulian adalah sebuah tindakkan membangun
jejaring. Ada kalanya kita merasakan penderitaan orang lain, tapi kita tidak
tahu harus bagaimana membantunya. Namun, orang lain tahu bagaimana membantunya.
Sama seperti orang yang harus menerima orang lain, namun ia tidak punya roti
tersebut. Ia meminta tolong lagi kepada orang lain untuk memberikan roti bagi
si pendatang.
Penutup
Dalam budaya Yahudi, mereka tidak asal mengetuk pintu rumah orang
lain. Mereka mengetuk orang yang mempunyai persediaan roti segar karena pada
saat itu para ibu di Palestina tahu siapa tetangganya yang memiliki roti. Mereka
hanya membuat roti sekali seminggu. Anda pasti pernah menjumpai orang-orang
yang berharap mendapatkan kepedulian dari Anda. Mereka yang perlu dipedulikan
adalah orang-orang yang tahu siapa kita dan berharap kita menunjukkan
kepedulian pada mereka. Pertanyaannya, apakah kita mau menunjukkan kepedulian
kita pada mereka dengan menempatkan diri kita pada posisi mereka, mendengarkan mereka dan
dengan sigap mebuat koneksi untuk menolong, seperti yang telah diteladankan oleh Allah yang
senantiasa membukakan pintu bagi kita yang mengetuk kepada-Nya? Amin J
Jakarta, 14 Juli 2013
16.00 WIB
YIL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar