“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.”
(1 Yohanes 4:18)
“Ma, buku PR ku ketinggalan. Tolong donk, Mama ambilin bukunya. Lalu bukunya tolong diantar ke sekolahku.” Kata Shandy. Mamanya berkata, “Nak, Mama khan semalam sudah mengingatkan kamu. Koq bisa ketinggalan?” “Iya Ma, soalnya aku kemarin asik main game. Tolongin aku donk Ma. Aku nggak mau dimarahi guruku. Aku takut banget nih Ma. Please, antarin yah sebelum sewaktu jam istirahat” rengek Shandy dengan mata yang berkaca-kaca. Mamanya tak tega melihat Shendy. Ia kemudian menghela nafas dan berkata, “Ya sudah deh, nanti Mama suruh supir kita mengantar ke sekolahmu.”
Percakapan imajiner itu mungkin pernah terjadi pada diri kita atau keluarga kita. Kita selalu menuruti kehendak anak kita atau orang yang kita kasihi. Tapi apakah cara mendidik seperti itu benar? Apakah tindakkan seperti itu menunjukkan cinta yang besar kepada orang yang kita cintai? Menurut saya, tidak.
Hal yang menjadi pertanyaan kunci bagi kita adalah, apakah yang lebih dominan adalah perasaan cinta atau perasaan ketidak-tegaan? Orang yang mencintai akan berpikir jauh ke depan, yakni apakah tindakkannya mendewasakan anaknya? Saya mengapresiasi orang-orang yang membiarkan anak-anaknya mengalami tantangan, ditegur dan dimarahi orang lain. Mengapa? Karena ia memberikan modal hidup bagi anaknya.
Sebaliknya, di balik ketidak-tegaan ada perasaan tidak siap menahan sakit. Ada banyak orang yang tak dapat menahan “sakit” dalam dirinya sendiri ketika melihat anaknya ataupun orang yang dikasihinya “sengsara”. Ada keenganan untuk menahan sakit di hati kita sendiri. Padahal, tindakkan itu tidaklah mendidik dan mendewasakannya. Kita justru menjerumuskan anak kita ketika kita terjebak dalam perasaan ketidak-tegaan alias kasih yang semu. Ada “hukuman” yang akan ia tuai di masa depannya.
Saudara, cinta itu adalah sikap berani menahan sakit. Dalam 1 Yohanes 4:18, dikatakan bahwa di dalam kasih tidak ada ketakutan. Secara garis besar 1 Yohanes 4:7-21 adalah perikop yang menegaskan kasih Allah kepada kita. Allah yang mengasihi kita tidak menyelamatkan kita dengan cara instans, walaupun Ia bisa saja melakukannya. Allah tidak seperti orang tua yang tidak tega melihat anaknya menderita dan mengabulkan keinginannya ketika anaknya merengek. Allah adalah Allah yang mengasihi kita dan berproses bersama-sama dengan kita melalui inkarnasi Kristus. Kristus begitu mengasihi kita sehingga Ia mau “menahan sakit” dengan turun ke dunia ini. Inilah yang disebut dengan pengosongan diri. Ia mau “menahan sakit” dengan merasakan sakit yang kita alami. Ia hadir bersama-sama dengan kita.
Berani mencintai adalah sikap berani menahan sakit demi orang yang dicintainya. Ketulusan dan kedalaman cinta dibuktikan dari keberanian kita untuk “menahan sakit” agar kehidupan orang yang kita cintai menjadi lebih baik lagi. Selamat menyelami kasih Allah yang besar dalam momen pengenangan akan kisah sengsara Kristus.
Jakarta, dalam sebuah refleksi
YIL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar