MENGASIHI DALAM KERAPUHAN
Yohanes 21:15-19
Panggilan
dalam Kerapuhan
Mengapa kamu memilih menjadi seorang
pastor? Biasanya, kita akan menjawab dengan spontan, rela dan hampir agresif:
“Sebab Tuhan memanggil aku, dan aku meyakini panggilan itu.” Hanya saja,
baru-baru ini ketika aku berhubungan dengan manusia yang memiliki beranekaragam
sifat, aku kemudian menyadari bahwa ada bayang-bayang dalam ingatan hidupku
hingga akhirnya aku berani menatapnya.
Aku menatap kembali peristiwa ketika
ayahku meninggal dunia. Hidupku dan keluargaku menjadi sangat sulit. Namun, di
tengah kesulitan itu, aku berhasil masuk sekolah unggulan. Elit-elit yang tamat
dari sekolah itu didorong untuk masuk biara. Tentunya, hal ini merupakan
gabungan antara keistimewaan, tradisi dan gengsi. Masuk ke dalam korps rohaniwan menjadi suatu
kehormatan dan keistimewaan. Bahkan status sosial keluarga pun terdongkrak
karena sebagai seorang rohaniwan, hidupku akan selalu cukup tanpa perlu sibuk
dengan kompetisi keuangan dunia.
Namun, ada situasi lain. Saat aku
berdoa di kapel, ada seorang Bapa Rohani yang menepuk pundakku. Ia rupanya
sedang memastikan agar anak-anak dari sekolah unggulan masuk ke dalam sekolah
kerohanian. Ia berbisik, “Dengarlah suara Kristus dari salib yang memerintahkan
kamu untuk mengikuti Dia.” Suara
itu menekanku hingga aku memutuskan untuk mengikuti sarannya.
Selama bertahun-tahun aku tidak
menyadari bahwa di dalam pilihanku itu terselip motif-motif mencari aman,
menghindari tekanan, dan mencari prestise. Aku berpikir bahwa pilihanku hanya
didasarkan atas cinta kasih yang murni pada Allah. Aku bahkan kurang memahami siapa
diriku sendiri.
Akan tetapi, Allah tidak membiarkan
diriku abai terhadap pengujian diri sendiri. Allah memperjumpakanku dengan
orang-orang yang menuntunku pada permenungan penggalian motivasi diri. Tuhan
juga membenturkanku dengan kegagalan dalam melaksanakan proyek-proyek di
hidupku hingga akhirnya aku tersadar. Ya, aku tersadar bahwa di balik motifku
untuk mencintai Kristus, terselip identitas asliku dan motif-motif campuran
yang ada dalam diriku.
(diparafrase dari The
Art of Choosing, 53-70)
Kisah di atas
bukanlah kisah perjalanan kependetaan saya, melainkan kisah seorang pastor
Jesuit yang bernama Carlos G Valles. Ia mengatakan bahwa tidak ada pilihan yang
benar-benar murni. Dalam kenyataannya, ada banyak motif (melingkupi campuran
akal budi, perasaan, masa lalu, masa kini, tradisi, reaksi, harapan, dan juga
ketakutan-ketakutan kita) yang meresap ke dalam pilihan akhir yang kita buat. Dan
bahkan kadang kita tidak menyadari motif campuran itu. Karena itu, diperlukan
mata batin yang jernih untuk memeriksa motif yang sesungguhnya dan juga gerak
hati yang tersembunyi (Valles 1998, 15-51).
Jadi, mengapa saya
ingin menjadi seorang pendeta? Pertanyaan itu pun kembali menukik pada setiap
calon pendeta dan pendeta, termasuk diri saya. Dalam proses yang panjang ini,
Tuhan memperjumpakan saya dengan berbagai pergumulan yang menuntun saya pada
refleksi yang hampir sama dengan Valles. Dan saya sekarang bersyukur untuk
kasih Tuhan melalui setiap terpaan yang Tuhan hadirkan di dalam hidup saya!
Awalnya, tanpa
berpikir panjang, saya berkata bahwa saya mau menjadi pendeta karena cinta pada
Tuhan, sebagaimana yang saya katakan pada Pdt. Ferdy Suleeman dan Pdt. Suhud
saat test seleksi calon mahasiswa teologi. Namun, jawaban awal itu menjadi jawaban
yang dipertanyakan, yang tidak taken for
granted karena dalam perjalanan iman ini Tuhan menolong saya untuk menguji
diri sendiri lewat berbagai pergumulan dan kegagalan. Dalam berbagai peristiwa
itu, saya sempat mempertanyakan kebaikan Tuhan, bahkan marah kepada Tuhan. Hingga
akhirnya, saya menyadari bahwa motif-motif campuran itu pun mewarnai perjalanan
saya.
Melalui berbagai
peristiwa, Tuhan menyibakkan siapa diri saya. Tuhan memurnikan saya untuk
menyadari bahwa saya hanyalah seorang yang rapuh. Saya menemukan beragam motif alam
bawah sadar yang awalnya saya sendiri pun tidak menyadarinya. Tuhan membuka
kunci atas kotak masa lalu, masa kini, kesalahan, ketakutan, kepongahan dan
harapan yang saya kubur di tempat tersembunyi. Ternyata, diri saya tidak sebaik
seperti yang saya kira. Bahkan dalam titik-titik tertentu, saya merasa tidak
layak menjadi seorang pendeta.
Karena itu, kalau
saya saat ini dapat sampai pada momen penahbisan, maka saya memahami panggilan
saya sebagai anugerah Tuhan semata. Tuhan memanggil saya untuk menjalani hidup
dalam anugerah “ketegangan” antara cinta kepada Tuhan dan pergulatan melawan
riak-riak dalam alam bawah sadar yang dapat merusak panggilan kependetaan saya.
Saya akui hal ini tidak mudah karena dalam titik-titik tertentu saya kadang
merasa hampir menyerah dengan diri saya sendiri. Namun, dalam berbagai refleksi
saya sering membayangkan bahwa Tuhan tak pernah lelah untuk berkata, “Ayo Yes,
berjuanglah bersama-Ku.” Ada sebuah lagu yang syairnya dengan tepat
menggambarkan refleksi saya atas anugerah panggilan Tuhan dalam kerapuhan. Lagu
ini berjudul God of Silence, karya
Bukas Palad. Demikian liriknya:
The God of silence beckons
me
To journey to my heart
Where He awaits
O Lord, I hear You calling tenderly
To You I come to gaze
At the beauty of Your face I cannot see
To journey to my heart
Where He awaits
O Lord, I hear You calling tenderly
To You I come to gaze
At the beauty of Your face I cannot see
To rest in Your embrace I
cannot feel
To dwell in Your love hurting but sweet
To be with You; to glimpse eternity
To dwell in Your love hurting but sweet
To be with You; to glimpse eternity
God of night, fount of all
my delight.
Show Your light . . . that my heart, like Yours, burn bright.
Show Your light . . . that my heart, like Yours, burn bright.
Be still the torment of
the night
Will not encumber you, if you believe
My child this darkness isn’t emptiness
For here I mold your heart
Unto My image painfully you long to see
Will not encumber you, if you believe
My child this darkness isn’t emptiness
For here I mold your heart
Unto My image painfully you long to see
The self you yearn to be,
but fear to know
The world from which you flee in Me find home
All these I give you, if you remain in Me
The world from which you flee in Me find home
All these I give you, if you remain in Me
I am ever here
My child, you need not fear
The dark will set you free
And bring your heart to Me
The God of silence beckons me
To journey to my heart
Where He awaits me.
Perjumpaan
yang Memulihkan: Apakah Engkau Mengasihi Aku?
Teks yang saya pilih untuk dikhotbahkan
dalam penahbisan saya adalah teks perjumpaan Tuhan Yesus dengan Petrus, paska
kebangkitan-Nya. Kenapa tokoh Petrus? Karena saya merasa seperti Petrus yang
dalam panggilannya berkali-kali jatuh bangun karena beragam pergumulan pada
alam bawah sadarnya.
Kita tentu masih
ingat kisah Petrus berjalan di atas air, namun ia hampir tenggelam ketika tiupan
angin keras menerpanya. Di tengah ketakutannya, Petrus berseru memohon
pertolongan Tuhan. Petrus juga pernah merasa lebih tahu dari Tuhan Yesus saat ia
menegur Tuhan Yesus yang sedang memberitahukan penderitaan-Nya dan syarat untuk
mengikuti-Nya. Petrus juga pernah berkata-kata kepada Tuhan Yesus dengan sangat
gagah, “Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal
Engkau.” Faktanya, Petrus menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok.
Akibatnya, Petrus pulang dengan sedihnya ketika matanya bertatapan dengan mata
Tuhan Yesus.
Dari kisah Petrus
ini, tentu kita dapat mengerti bagaimana karakter Petrus. Petrus merasa menjadi
seorang pemberani, namun ternyata ia hanya berani dalam posisi aman. Petrus
merasa memahami kehendak Allah, namun ternyata yang dipahaminya tak selaras
dengan apa yang Allah pikirkan. Petrus merasa menjadi orang yang setia, namun ternyata
ketakutannya mengalahkan kesetiaannya. Petrus awalnya merasa mampu mengasihi
Tuhan dengan kekuatannya sendiri, ternyata ia tak mampu membuktikannya.
Akan tetapi,
Kristus adalah Allah yang penuh kasih dan memanggil kita dalam pemulihan. Injil
Yohanes 21:15-19, menunjukkan rasa cinta Tuhan Yesus kepada Petrus, walaupun
berkali-kali Petrus tidak dapat mempertahankan ucapannya. Dalam percakapannya
dengan Petrus pasca kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus bertanya hingga sebanyak tiga
kali kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Pertanyaan sebanyak tiga
kali ini sungguh menarik karena berbanding lurus dengan penyangkalan Petrus
sebanyak tiga kali. Dalam hal ini, saya membayangkan bahwa ketika Tuhan Yesus
bertanya kepada Petrus, Petrus mengingat
kembali peristiwa ketika ia menyangkal Yesus dan berbagai peristiwa lainnya
yang menunjukkan kerapuhannya sebagai seorang manusia.
Kata kasih yang
digunakan dalam pertanyaan pertama dan kedua adalah agapan yang merujuk kepada kasih Allah. Namun, Petrus menjawab
pertanyaan Yesus dengan menggunakan kata philein,
kasih seorang sahabat. Barulah pada pertanyaan ketiga, Tuhan Yesus mengganti
kata agapan dengan philein. Menurut saya, pergantian kata
ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus menerima Petrus apa adanya dalam segala
kerapuhannya. Alkitab mencatat, maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata
untuk ketiga kalinya, “Apakah engkau mengasihi Aku?”. Dalam jawaban yang
ketiga, tercermin jawaban Petrus yang sangat rendah hati. Petrus berkata,
“Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.”
Dengan demikian, Tuhan Yesus mau menjadi sahabat bagi Petrus yang berjuang
untuk mengasihi-Nya.
Dalam suatu
permenungan, saya pernah membayangkan Tuhan Yesus bertanya kepada saya, seperti
Ia bertanya kepada Petrus. Di sanalah saya merasa begitu sedih, karena saya harus
menghadapi dan mengakui kerapuhan saya. Akan tetapi, di dalam kesedihan itu
pula saya merasakan cinta kasih dan rahmat Allah yang besar. Ia tak pernah
menyerah untuk merengkuh saya yang awalnya tak mengenal diri saya dan yang
telah berkali-kali menyangkali-Nya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan
oleh Henri Nouwen, bahwa Allah menuntun kita untuk merengkuh kerapuhan kita dan
meletakannya dalam berkat-Nya.”The first
response to our brokenness is to face it squarely and befriend it. The second
response to our brokenness is to put it under the blessing,” (Nouwen 2003,
36-155)
Tuhan Yesus yang
menerima Petrus dan segala kerapuhannya itu pun terus memulihkan Petrus dalam
mandat pastoral untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Karena itu, saya pun
meyakini bahwa mandat pastoral dari Tuhan untuk menggembalakan umat Tuhan
bukanlah diperoleh karena kehebatan saya. Saya bukanlah siapa-siapa! Saya
bukanlah orang serba bisa dan dapat mengontrol segala sesuatu! Tidak ada yang
pantas disombongkan dari diri saya. Tuhan Yesus memanggil saya dalam kerapuhan
dan memulihkan saya dalam proses penggembalaan terhadap umat.
Visi:
Mengasihi dalam Kerapuhan
To
love at all is to be vulnerable. Love anything and your heart will be wrung and
possibly broken. If you want to make sure of keeping it intact you must give it
to no one, not even an animal. Wrap it carefully round with hobbies and little
luxuries; avoid all entanglements. Lock it up safe in the casket or coffin of
your selfishness. But in that casket, safe, dark, motionless, airless, it will
change. It will not be broken; it will become unbreakable, impenetrable,
irredeemable. To love is to be vulnerable.”
C.S Lewis, The Four Loves
Pertanyaan yang sering saya dengar ketika masuk ke dalam
proses kependetaan adalah, “Apa visimu?” Sebelum menjawab pertanyaan itu,
baiklah saya menegaskan bahwa visi saya terkait erat dengan kesadaran bahwa
saya dipanggil dalam kerapuhan. Saya meminjam pandangan Nouwen, yang mengatakan
bahwa ada hubungan misterius antara kesadaran akan kerapuhan kita dengan
kemampuan untuk memberi diri bagi sesama.
Menurut Nouwen, kita
mungkin pernah memasuki ruang kerapuhan saat kita merasakan luka yang begitu
menusuk. Dan dalam masa-masa “gelap” itu, Tuhan menuntun kita untuk menyadari
kerapuhan kita. Dalam titik rapuh itu, kita masuk ke dalam permenungan bahwa
kita tidak memiliki apapun untuk diberikan kepada orang lain. Namun kemudian,
Tuhan membuka mata kita untuk menyadari pentingnya berbagi hidup dengan orang
lain. Tuhanlah yang menolong kita untuk dapat berbagi hidup dengan orang lain
dalam kerapuhan kita (Nouwen 1992, 80).
Frasa berbagi hidup
dalam kerapuhan dianalogikan Nouwen dengan roti yang dipecah-pecahkan. Roti
harus dipecah-pecahkan terlebih dahulu agar dapat dibagikan (Nouwen 2011,
80-81). Bukankan broken bread itu
menjadi simbol kerapuhan Anak Manusia? Ya, perjamuan kudus mengingatkan kita
akan kasih Kristus yang menjadi manusia. Allah yang tak terbatas itu
berinkarnasi menjadi manusia yang terbatas dan rapuh karena kasih-Nya kepada
manusia. Tuhan merasakan pedih perih yang dirasakan manusia ketika berjumpa
dengan ketidak-setiaan dan penolakan. Di dalam kerapuhanlah, Kristus mengasihi
kita. Maka jelaslah yang dikatakan C.S. Lewis dalam kutipan surat undangan
penahbisan saya bahwa “to love at all is
to be vulnerable.”
Dengan berkaca pada
inkarnasi Kristus, pertanyaan akan visi yang sesungguhnya bukan lagi, “apa yang
dapat kita berikan bagi orang lain, melainkan dapat menjadi apakah saya bagi
orang lain?” Saya pernah punya keinginan besar untuk memberi diri bagi gereja
dengan menjadikan gereja seperti ini-itu melalui berbagai program. Saya
berpikir dengan paradigma program
oriented. Akan tetapi, saya menyadari bahwa program dapat berganti sesuai
dengan perkembangan zaman. Apa yang menjadi program yang popular di masa kini,
akan menjadi usang di masa depan. Belum lagi, penekanan yang terlalu berlebihan
pada program dapat membuat orang memperlakukan sesamanya seperti mesin.
Kasih-Nya melampaui batasan-batasan yang rigid, kaku dan terpola. Ternyata
titik berangkatnya bukan dari program, melainkan dari sentuhan kasih Allah Tritunggal
yang diwujud-nyatakan melalui sikap berbagi hidup dengan seluruh ciptaan.
Akhirnya, dalam
proses ini, saya menemukan bahwa visi saya adalah untuk menjadi seorang pendeta
yang mengasihi dalam kerapuhan. Menjadi pendeta yang mengasihi dalam kerapuhan
berarti melekatkan diri pada Allah, walaupun perjalan bersama-Nya kadang naik
dan turun dalam irama yang tak selalu membahagiakan. Menjadi pendeta yang
mengasihi dalam kerapuhan berarti berfokus pada transformasi umat (di mana saya
ada di dalamnya), walaupun mungkin kita harus jatuh bangun bersama-sama.
Menjadi pendeta yang mengasihi dalam kerapuhan berarti menyadari betapa
kecilnya diri kita dihadapan Allah, namun begitu dicintai-Nya. Menjadi pendeta
yang mengasihi dalam kerapuhan berarti memiliki ketekunan, kesabaran dan cinta
yang besar untuk berjalan dengan sesama umat yang rapuh, sama seperti saya yang
juga rapuh. Visi ini adalah sebuah way of
life, jalan hidup yang saya pilih karena anugerah Allah. Dalam berbagai
refleksi, pengujian, dan bahkan keraguan, saya merasa bahwa Allah merestui
pilihan hidup saya untuk mengasihi dalam kerapuhan.
Jakarta, 1 Februari 2016
Yesie Irawan
REFERENSI
Rebecca Laird & Michael J. Christensen (Ed). 2003. The Heart of Henri Nouwen: His Words of
Blessing. Quenzon City: Claretian Publication.
Henri J.M. Nouwen. 1992. Life of The Beloved: Spiritual Living in a Secular World. New York:
Crossroad Publishing Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar