“Aku
tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat
tuannya,
tetapi
aku menyambut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala
sesuatu yang telah Kudengar dari
Bapa-Ku.”
Yohanes 15:15
Dasar Panggilan: Sahabat
bagi Allah, Diri Sendiri dan Umat
Konsep-konsep yang biasa digunakan
untuk menggambarkan panggilan pelayanan seorang pendeta adalah seorang hamba
atau pemimpin yang melayani. Namun, saya tidak memilih konsep-konsep tersebut untuk
mendasari dan memaknai panggilan saya. Konsep yang saya pilih adalah konsep
persahabatan.
Terus terang, persahabatan adalah
hal yang saya rindukan sejak kecil, karena konsep tersebut pernah menjadi asing
di dalam hidup saya. Pada masa kanak-kanak, saya pernah mengalami bullying. Segerombolan anak yang dominan
memusuhi saya. Saya pernah merasa malas sekali untuk pergi ke sekolah. Saya
menjadi “hamba” yang mengalami olok-olok dari “para tuan” yang adalah rekan
sebaya saya. Pengalaman itu lekat di ingatan saya dan membentuk saya menjadi seorang
anak yang pemurung, pendendam, minder, kaku dan sukar percaya pada orang lain.
Dengan kondisi semacam itu, saya pernah berpikir bahwa menjadi pendeta itu adalah kemustahilan bagi saya.
Tuhan menjawab keragu-raguan saya
melalui apa yang saya alami dalam proses kependetaan ini. Tuhan
mentransformasikan kehidupan saya dengan cara yang sangat natural. Saya belajar
menerima masa lalu dan seluruh kerapuhan saya. Kemudian, secara pelan-pelan Tuhan
mengubah saya. Ia mengikis sifat-sifat buruk hingga saya sendiri terheran-heran
dengan perubahan yang ada di dalam diri saya.
Tidak hanya itu, Tuhan menguatkan saya
lewat orang-orang yang ada di sekitar saya dengan cara yang tak terduga.
Khususnya, saat saya berkali-kali ingin mundur dalam proses kependetaan karena menghadapi
kenyataan yang tidak sesuai dengan yang saya pikirkan. Misalnya saja, saat saya dulu berencana untuk
menyampaikan permohonan pengunduran diri sebagai kader pendeta GKI, mantan
dosen pembimbing saya, Pdt. Em. Lazarus Purwanto menelepon saya. Pertanyaan
pertama yang ia tanyakan adalah, “Yes, masih mau jadi pendeta?” Pada saat itu,
diam-diam saya menangis dan terkejut dengan cara Tuhan mengingatkan saya
sebagai sahabat-Nya.
Dari berbagai pengalaman itu, saya
menyimpulkan dua hal yang mendasari pemahaman panggilan saya. Pertama, Tuhan
memperlakukan saya sebagai sahabat dan bukan sebagai hamba, sebagaimana yang
tertulis dalam Yohanes 15:15. Sebagai Sahabat, Tuhan menyingkapkan hal-hal yang
menjadi pertanyaan bagi saya, walaupun jawabannya terkadang tidak sesuai dengan
kehendak saya. Kedua, Tuhan mengubahkan hidup saya sehingga saya dapat menjadi
sahabat bagi diri saya sendiri. Perubahan yang terjadi di dalam diri saya
adalah karya Tuhan yang terjadi secara natural dan membuat saya sendiri pun
terheran-heran.
Dalam refleksi saya, saya menyadari
bahwa persahabatan dengan Allah dan diri saya sendiri, menghantarkan saya pada
sebuah implikasi logis dari keyakinan panggilan saya yaitu menjadi sahabat bagi
umat dan dunia, sebagaimana yang ditulis oleh Edward C. Zaragoza dalam No Longer Servants, but Friends. Zaragoza
berkata biarlah kita menjadi sahabat bagi diri kita sendiri, sahabat bagi
Allah, dan sahabat bagi sesama. Saya mau membuka pintu persahabatan bagi
siapapun, khususnya bagi setiap pribadi yang merasakan hal yang dulu saya
alami: terasing dan sendiri, tanpa sahabat.
.
Praksis Pastoral:
Menjalani Panggilan Sebagai Sahabat
Pemahaman
panggilan saya sebagai sahabat bagi Tuhan, diri sendiri dan umat memberi dampak
terhadap praksis pastoral yang saya jalankan di dalam jemaat yang Tuhan
karuniakan kepada saya. Saya terinspirasi dari beberapa pokok pikiran Zaragosa
mengenai praksis pastoral dalam panggilan sebagai sahabat.
Pertama, Zaragoza berkata bahwa di
dalam relasi persahabatan pada sebuah komunitas, harus terdapat kesetaraan dan persatuan
dalam ikatan cinta kasih untuk memberdayakan dunia. Berangkat dari definisi
ini, saya mau memperlakukan semua orang dengan setara, sebagai sahabat saya.
Saya tidak mau memandang orang berdasarkan usia, gender, suku dan jabatan
gerejawi. Perbedaan adalah kekayaan dalam sebuah persahabatan yang harus
dikelola dengan baik. Bagi saya, semua orang adalah setara di hadapan Tuhan.
Kalaupun saya akan menerima jabatan
sebagai seorang penatua, hal itu tidak menjadikan bahwa seorang penatua
(ataupun pendeta) lebih tinggi kedudukannya di hadapan Tuhan ketimbang
seseorang yang tidak berjabatan gerejawi. Ingatlah bahwa kita semua adalah
sahabat yang setara! Saya tidak mau terjadi pengkultusan individu di dalam
gereja. Saya tidak mau menjadi sombong dan kemudian meremehkan orang yang tidak
berjabatan gerejawi. Sebagai imamat am orang percaya, kita semua harus bahu
membahu bersama dengan Tuhan yang telah menjadikan kita sebagai sahabat-Nya
untuk memberdayakan dunia ke arah yang lebih baik. Apa yang saya yakini ini juga
merupakan pemahaman GKI, sebagaimana yang ditulis dalam penggalan alinea ke-5
dalam Mukadimah Tata Gereja dan Tata Laksana GKI, yang berbunyi, “…Hubungan antara pejabat gerejawi dan
anggota gereja bukan merupakan hubungan yang hierarkis, melainkan hubungan
fungsional yang timbal balik dan dinamis, dialasi oleh kasih Allah.”
Kedua, menurut Zaragoza tidak ada
kepalsuan dalam persahabatan karena dalam persahabatan ada kejujuran terhadap
kerapuhan kita. Praksis pastoral kedua inilah yang saya hendak kembangkan di
dalam gereja. Kejujuran bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan karena
kejujuran adalah sebuah sikap membongkar kepalsuan yang menutupi diri. Tidak
mudah untuk jujur atas kerapuhan dan kesalahan kita. Kita tidak ingin, orang
lain melihat kelemahan kita. Buktinya, manusia seringkali marah jika menerima masukan
walaupun masukan itu sudah disampaikan dengan bahasa yang konstruktif.
Saya tidak mau menjadi seorang calon
pendeta yang anti-kritik dan menyelubungi kelemahan saya. Berikanlah masukan
terhadap saya jika memang saya melanggar hal-hal yang prinsipil di dalam
panggilan kependetaan saya. Saya pun memiliki filter tersendiri (yakni Firman
Tuhan) untuk menyaring masukan yang konstruktif bagi pelayanan terhadap umat
Tuhan.
Saya mau mengakui keterbatasan saya
bahwa saya membutuhkan Tuhan dan orang lain untuk berjalan bersama-sama dengan
saya di dalam pelayanan ini. Tentu saja, kejujuran ini tidak dapat hanya
terjadi secara satu arah. Saya membutuhkan kejujuran dari jemaat GKI Kayu
Putih, untuk bersama-sama menyadari keterbatasan kita. Mungkin, ada orang yang
berpikir bahwa kejujuran atas keterbatasan adalah hal yang memalukan dan
menunjukkan identitas kepemimpinan yang lemah. Namun, ingatlah bahwa
keterbatasan adalah hal yang dipilih oleh Allah kita. Allah yang tidak terbatas
itu, berinkarnasi menjadi Manusia yang terbatas. Bahkan, keterbatasan-Nya pun
dikisahkan turun temurun lewat tradisi lisan maupun tulisan yang terdapat dalam
Alkitab.
Hal ketiga, menurut Zaragoza dalam
persahabatan ada kepercayaan. Tanpa kepercayaan, seorang pastor akan menjadi
pastor yang kelelahan karena mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Karena itu,
pastor yang mengembangkan prinsip panggilan persahabatan harus berani
memberikan kepercayaan kepada umat. Memberikan kepercayaan kepada umat dimulai
ketika pastor mengakui potensi umat, berbagi mimpi dan informasi. Ya,
sebagaimana yang ditulis oleh Alyce Mckenzie. “To be a friend is to share a personal
relationship and to be made aware of the plans and purposes of the other.”
Saya tahu untuk memberikan kepercayaan
bukanlah hal yang mudah, apalagi jika kepercayaan itu dikecewakan. Seringkali,
kita menyalahkan orang lain pelayanan kita menjadi “gagal” dan “berantakan”.
Betul bahwa memang ada orang-orang yang tidak mengemban kepercayaan kita dengan
baik dan bahkan mengkhianati kita. Namun, saya berdoa agar kita semua memiliki
semangat anti-kapok yakni mau mencoba untuk percaya lagi walaupun kita pernah
dikecewakan. Atau jangan-jangan “kegagalan” tersebut disebabkan oleh diri kita
sendiri yang tidak membagikan mimpi dan informasi dengan jelas.
Hal yang keempat yang saya tambahkan
yaitu: dalam persahabatan ada penerimaan. Sikap menerima bukan hanya menerima
perbedaan pandangan, suku, gender, dan tingkat ekonomi. Sikap penerimaan pun
perlu dilakukan bahkan terhadap orang yang membenci kita sekalipun. Terus
terang, hal ini tidak mudah untuk kita lakukan. Tentu saja, sebagai manusia
kita merasa pedih dan sedih jika ada orang yang membenci kita. Namun, panggilan
untuk menjadi sahabat bukan hanya ditujukan terhadap orang yang menyayangi kita
dan sepandangan dengan kita.
Bagaimana caranya? Menurut saya,
kuncinya adalah pengertian. Ketika kita berhadapan dengan orang-orang yang
meremehkan dan membenci kita, cobalah mengerti mengapa mereka melakukannya
terhadap kita. Seringkali, ketika harus berhadapan dengan situasi semacam ini,
saya hanya berdoa, “Tuhan tolong saya agar saya dapat memahami dan menerima
mereka. Tolong saya agar tidak membenci dia dan tetap menjadi sahabat bagi
mereka.” Dalam pengalaman iman saya, Tuhan sering memberikan berbagai insight pada saya. Ia memampukan saya
untuk menerima dan mengampuni, sesuatu hal yang tidak ada di dalam diri saya
pada masa lalu saya.
Mengarungi Lautan
Bersama Sahabat
Ada sebuah lagu yang sangat berkersan
bagi saya, judulnya The Summons. Lagu
karya John Bell dari Iona Community ini
disharingkan oleh sahabat saya, pada saat saya sedang mengalami kebimbangan
dalam menjalani proses kependetaan ini beberapa tahun yang lalu. Lewat lagu
ini, Tuhan mengingatkan saya untuk tetap setia mengikuti-Nya yang telah
menjadikan saya sebagai seorang sahabat. Demikian liriknya:
Will
you come and follow me if I but call your name?
Will you go where you don't know and never be the same?
Will you let my love be shown? Will you let my name be known,
will you let my life be grown in you and you in me?
Will you leave yourself behind if I but call your name?
Will you care for cruel and kind and never be the same?
Will you risk the hostile stare should your life attract or scare?
Will you let me answer prayer in you and you in me?
Will you let the blinded see if I but call your name?
Will you set the prisoners free and never be the same?
Will you kiss the leper clean and do such as this unseen,
and admit to what I mean in you and you in me?
Will you go where you don't know and never be the same?
Will you let my love be shown? Will you let my name be known,
will you let my life be grown in you and you in me?
Will you leave yourself behind if I but call your name?
Will you care for cruel and kind and never be the same?
Will you risk the hostile stare should your life attract or scare?
Will you let me answer prayer in you and you in me?
Will you let the blinded see if I but call your name?
Will you set the prisoners free and never be the same?
Will you kiss the leper clean and do such as this unseen,
and admit to what I mean in you and you in me?
Will
you love the "you" you hide if I but call your name?
Will you quell the fear inside and never be the same?
Will you use the faith you've found to reshape the world around,
through my sight and touch and sound in you and you in me?
Lord your summons echoes true when you but call my name.
Let me turn and follow you and never be the same.
In Your company I'll go, where Your love and footsteps show.
Thus I'll move and live and grow in you and you in me.
Will you quell the fear inside and never be the same?
Will you use the faith you've found to reshape the world around,
through my sight and touch and sound in you and you in me?
Lord your summons echoes true when you but call my name.
Let me turn and follow you and never be the same.
In Your company I'll go, where Your love and footsteps show.
Thus I'll move and live and grow in you and you in me.
Lagu
ini, menjadi semacam gambaran tentang panggilan untuk mengarungi lautan kehidupan
pelayanan yang harus ditempuh. Tuhan memanggil nama kita dengan cara yang
secara personal. Ia memanggil kita untuk ikut menyebarkan cinta kasih-Nya. Ia
memanggil kita untuk menjadi sahabat bagi orang-orang yang terpinggirkan. Ia
memanggil kita untuk tetap peduli terhadap orang yang kejam dan membenci kita. Tuhan
memanggil kita untuk hidup di dalam-Nya dan Ia di dalam diri kita.
Saya memahami kata “you” dalam lagu di
atas bukan untuk diri saya sendiri, melainkan untuk semua orang percaya,
khususnya yang berada di GKI Kayu Putih. Dengan demikian, panggilan untuk
mengarungi lautan pelayanan ini berlaku untuk kita semua. Saya tidak mungkin
berjalan sendirian. Tuhan sudah lebih dulu mengulurkan tangan-Nya untuk
bersahabat dengan saya. Saya membutuhkan dukungan Anda, sebagai sahabat saya,
untuk mengarungi lautan pelayanan ini. Ya, sebagaimana sebuah ungkapan dalam
peribahasa Irlandia, “Ada banyak bahtera
yang terbuat dari kayu yang baik untuk mengarungi lautan. Namun, bahtera yang
terbaik dalam mengarungi lautan hidup adalah persahabatan.”
Jakarta, 2 Februari 2014
YIL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar