"Apa yang membuat seseorang percaya kepada Tuhan Yesus dan pergi ke gereja?" tanya seorang rekan. Saat aku mendengarar pertanyaan itu, aku segera menjawab, "Ya karena umat merasakan Misteri Allah, mysterium tremendeum et fascinosum." Lalu temanku bertanya kembali, "Di mana letak misteri Allah itu?
Aku terdiam ketika mendengar pertanyaan lanjutan darinya. Dan aku mencoba menerka-nerka. Apakah di bagian berkat? Apakah di bagian pengakuan dosa? Temanku hanya berkata, pikirkanlah itu. Kalau kau menemukannya, gereja tidak akan mati.
Aku mulai mencari-cari jawabannya. Di manakah misteri Allah itu? Saat khotbah, aku mulai memperhatikan jemaatku. Aku pun terkadang duduk bersama dengan jemaat dan menikmati ibadah. Lalu aku mencari-cari, "Dalam titik manakah jemaat merasakan kehadiran Sang Misteri itu?" Pertanyaan ini masih menghantui pikiranku hingga beberapa bulan lamanya.
Suatu ketika aku berjumpa dengan seorang pembantu rumah tangga. Awanya aku hanya bercakap-cakap dengan dia. Kami mulai bercakap-cakap hingga akhirnya percakapan lewat pesan singkat itu berlanjut ke obrolan via telepon. Ia menceritakan berbagai keluh kesahnya kepadaku dan penderitaannya. Hingga pertemuan itu berlanjut pada pertemuan tatap muka. Saya melihat ekspresinya yang awalnya sungkan bertemu dengan saya, hingga akhirnya saya merasa dia menganggap saya sebagai kakaknya sendiri (agak ge-er.com, dan sebenarnya kami seumur loh. hehehe). Dalam perjumpaan itu, saya melihat ada satu misteri Allah yang dia rasakan, yakni: penerimaan. Dia merasa diterima dan diperlakukan sebagai manusia ketika majikannya menolak dia.
Ketika saya merasakan "AHA" momen itu, batin saya pun langsung melayang pada hasil survey yang dilakukan oleh GKI Kayu Putih. Salah satu poin penting dari survey itu adalah perihal ketakutan jemaat untuk tidak dikenal dan diterima. Hasil survey ini menarik karena yang mengalami ketakutan tidak diterima bukan hanya "anggota baru", melainkan "anggota lama". Ada kebutuhan yang besar akan penerimaan satu sama lain. Mengapa? Karena di sanalah kasih Allah itu nyata. Allah yang merangkul dan menerima semua orang. Allah yang memberikan matahari dan hujan pada orang yang baik maupun orang yang jahat.
Penerimaan... penerimaan...penerimaan... kata itu terus berbunyi di kepala saya setiap kali saya hendak memejamkan mata di penghujung malam. Aku bertanya, kenapa Allah bisa menerima manusia yang berdosa ini sedemikian rupa? Mungkin, karena Allah pernah merasakan bagaimana rasanya rapuh. Allah yang "tidak sempurna" dalam rupa manusia. Spiritualitas ketidak-sempurnaan ini jugalah yang harus dimiliki manusia. Kita perlu menyadari bahwa diri kita rapuh dan membutuhkan orang lain. Ada banyak kebencian dalam gereja yang tumbuh karena penolakan. Penolakan tumbuh karena kesombongan dan sikap merendahkan orang lain. Ada perasaan bahwa pelayanan yang kulakukan lebih baik daripada orang lain. Perfeksionis dan sombong!
Mungkin aku termasuk ke dalam kategori perfeksionis (sila bertanya pada teman-teman sekampusku dulu). Sifat perfeksionis ini membuat aku masuk ke dalam lingkaran over-critics. Dengan cepat dan jeli, aku melihat kesalahan dan kekurangan dalam diri orang lain ataupun dalam sebuah sistem. Padahal sikap over-critics dapat menimbulkan perasaan tertolak pada diri orang lain. Setidaknya, orang yang terdekat denganku pernah mengkritisi aku perihal sifat over-critics-ku.
Selama 1,5 tahun ini, aku merasa Allah banyak memperjumpakan aku dengan ke-tak-sempurnaan. Banyak hal yang tak berjalan sesuai dengan rencanaku, mulai dari rencana pribadi sampai mimpi besarku. Belum lagi, di gereja aku harus bisa bekerja sama dengan banyak orang yang kadang tidak sama kemauannya dengan kemauanku. Hidupku menjadi tidak perfect. Akan tetapi, di sinilah aku belajar arti misteri Allah. Aku belajar arti kebergantungan pada Allah dan ketidak-sempurnaan. Aku belajar untuk menerima kelemahan diriku. Aku belajar menerima bahwa ada banyak hal yang tidak bisa aku raih ketika ngotot. Aku belajar bahwa orang lain, walaupun memiliki kekurangan, pasti punya kelebihan yang mungkin aku tidak punya. Kita harus berani membuka mata bahwa ada ruang ketidak-sempurnaan. Di dalam spiritualitas ke-tidak-sempurnaan, Allah menciptakan orang lain bagi kita agar kita saling mengasihi dan melengkapi.
Aku kini menikmati spiritualitas ketidak-sempurnaan. Mengutip refleksinya Om Paulus, "Dalam kelemahankulah, kuasaMu menjadi sempurna." Spiritualitas ketidak-sempurnaan menuntun kita pada penerimaan. Penerimaan menuntun kita atas jawaban dari sebuah pertanyaan, "Mengapa orang mau pergi ke gereja dan mencintai Kristus?" Penerimaan menuntun kita pada gairah dan orgasme kehidupan bergereja. Dalam penerimaan kita merasakan dimensi "misteri Allah"
Jakarta, 17 September 2014
YIR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar