Lukas 14:1, 7-14
Setiap
kita pasti pernah melihat foto di samping ini. Ini adalah foto saat Soekarno
membacakan teks proklamasi Indonesia. Namun, apakah Anda tahu siapa yang
menjadi fotografernya? Fotografernya adalah Frans Sumarto Mendur dan Alexius
Impurung Mendur. Karena jasa mereka berdua, kita dapat melihat foto yang
menjadi saksi sejarah kemerdekaan kita.
Yang
menarik, baik Frans maupun Alexius tidak mendapat instruksi dari siapapun untuk
mengabadikan momen tersebut melalui foto. Mereka hanya mendengar informasi dari
Harian Asia Raya bahwa tanggal 17 Agustus 1945 akan ada peristiwa penting di
kediaman Soekarno. Karena itu, mereka pergi ke Cikini dan tiba pkl. 05.00.
Proklamasi dilangsungkan pkl. 10.00 dan mereka mengabadikan foto-foto itu.
Namun, setelah upacara, mereka berdua disergap tentara Jepang. Alex tertangkap.
Kameranya disita dan dibakar. Sementara itu Frans menyembunyikan kameranya di
dalam tanah dan berkilah bahwa kameranya diambil barisan pelopor. Setelah
dirasa aman, barulah keduanya mengendap-ngendap di tengah malam untuk mengambil
kamera tersebut, mencari lab foto dan mencetaknya. Mereka mau melakukan hal
ini, walaupun mereka terancam hukuman mati oleh Jepang.
Saudara,
dari kisah Frans dan Alex, ada salah satu nilai yang sangat penting di dalam
sejarah bangsa Indonesia, yaitu sikap berani berkorban, tanpa memikirkan untung
rugi. Sikap berani berkorban, tanpa mementingkan untung rugi juga merupakan perintah
yang diajarkan Tuhan Yesus kepada kita. Dalam perjamuan makan yang dihadiri
Tuhan Yesus, Tuhan Yesus menasihatkan tentang siapa saja orang yang harus
diundang hadir dalam perjamuan. Lazimnya, sang tuan rumah akan mengundang
orang-orang yang sama status sosialnya dengan dirinya atau orang-orang yang
dekat dengannya, baik itu teman, keluarga atau tetangganya, bahkan orang yang
kaya. Kemudian, sudah menjadi kebiasaan jika mereka yang diundang akan
mengundang kembali orang yang pernah mengundangnya pada perjamuan selanjutnya.
Spirit yang terjadi adalah spirit untung rugi. Dan inilah yang dikritik oleh
Tuhan Yesus.
Karena itu, menurut Tuhan
Yesus yang justru harus diundang adalah orang-orang yang tak mampu makan dengan
layak, seperti orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan
orang-orang buta. Mereka merupakan orang-orang yang biasanya tak dianggap dalam
kalangan masyarakat Yahudi. Bahkan, mereka dicap sebagai orang yang tak
diberkati oleh Tuhan. Mereka dianggap orang yang tak layak dan bukan manusia
yang utuh. Karena itu, tidak ada yang mengundang mereka makan. Yang lebih
menarik lagi, di ayat 14 dikatakan dan engkau akan berbahagia karena mereka
tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Ajaran Tuhan Yesus ini mau
mengatakan bahwa ketika kita melayani, maka layanilah dengan tulus, jangan
memikirkan untung dan rugi. Bahkan beranilah untuk berkorban demi mereka. Dan
dasar dari pengorbanan tersebut adalah kasih persaudaraan, sebagaimana yang
dengan senada diungkapkan dalam Ibrani 13:1-2. Dengan demikian, orang cacat,
orang lumpuh, orang miskin dan yang terabaikan itu adalah saudara kita. Masakan
kita tak mau berkorban bagi sesama kita?
Lihat, betapa spirit rela
berkorban menjadi nilai penting dalam Injil dan dalam sejarah bangsa kita.
Karena itu, saat ini, pada momen HUT GKI, maka kita pun perlu berefleksi,
apakah kita sudah menjadi gereja yang mengindonesia? Keindonesiaan GKI tidak ditentukan dari apakah kita pakai pakaian adat
saat HUT GKI. Kekristenan dan Keindonesiaan GKI ditentukan dari sebuah
pertanyaan, apakah spirit mau berkorban dan tidak berpikir soal untung rugi –yang
merupakan nilai hidup Kristus dan nilai hidup Bangsa Indonesia-- itu sudah ada
pada kita? Apakah nilai rela berkorban mewarnai spirit kehidupan kita? Apakah
pelayanan GKI di seperti pelayanan rumah sakit, sekolah, universitas, pelayanan
kemanusiaan, dlsb apakah sudah didasarkan pada spirit mengasihi orang lain dan
bukan untung rugi?
Dalam sebuah sharing, ada
gereja yang memberikan pelayanan kebersihan lingkungan, agar mereka dipinjamkan
tempat parkir. Lihat, pola relasinya. Kita berpikir, kita memberi agar “aman”,
agar “nyaman”. Atau ada yang membangun poliklinik agar gereja tidak diganggu
oleh masyarakat sekitar. Pelayanan semacam ini masih pola untung rugi. Kita
tidak berpikir bahwa kita melayani untuk melayani.
Di gereja kita masing-masing,
apakah kita sudah sangat ramah terhadap orang-orang yang Tuhan katakan sebagai
orang yang cacat, miskin, lumpuh dan buta. GKI manakah yang sudah sangat peduli
pada orang yang cacat? Bagaimana jika ada anggota jemaat kita yang tuli?
Bagaimana ia mendengarkan khotbah dan rangkaian liturgi? Sudahkah kita menyediakan
fasilitas baginya? Bagaimana jika ada anggota jemaat kita yang lumpuh? Sudahkah
kita menyediakan akses baginya agar dapat beribadah? Atau jangan-jangan kita
masih sibuk menolak dengan prinsip ah
ngapain wong yang lumpuh hanya 2-3 orang? Sangat diskriminatif!
Karena itu, pada HUT GKI kali
ini, marilah kita melakukan otokritik pada diri kita sendiri. Marilah
bersama-sama belajar untuk menjadi Gereja yang Meng-Indonesia dengan sebuah
spirit pelayanan yang rela berkorban dan tidak berpikir untung rugi.
Jakarta,
27 Agustus 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar