Menjaring Definisi dari Suatu Pengalaman
Traumatik
“Kepalaku sakit setiap mendengar suara
keran air yang dibuka di kamar mandi. Wajahku mendadak pucat pasi dan badanku
gemetar saat mendengar suara air mulai mengalir dari keran di kamar mandi.
Kamar mandi menjadi tempat yang menakutkan untukku sejak aku berusia 10 tahun.
Aku tak kuasa mengingat peristiwa itu. Peristiwa ketika pamanku memutar keran
air dan membiarkan air mengalir. Pamanku membekap aku. Ia membuka bajuku dan
menarik aku dalam pangkuannya. Dekapan tubuhnya yang kekar membuatku tak kuasa
untuk memberontak. Ia memperkosa aku di usiaku yang ke-10. Hatiku hancur. Aku
merasa bersalah dan malu. Aku tak mengerti lagi apa artinya keintiman. Aku
tidak paham makna kasih sayang. Aku tak bisa lagi berada di dekat laki-laki
dewasa dengan nyaman. Taka ada yang mengetahuinya, hingga sahabat perempuanku
memperhatikan keanehan-keanehanku yang muncul dari luka yang berteriak saat aku
berada di toilet umum. Ya, aku gemetar saat aku mendengar laki-laki di sebelah
kamar mandi itu batuk dan mengucurkan air keran.”
(diambil dari studi kasus dalam kelas
teologi trauma di STTJ)
Peristiwa
itu dialami perempuan tanpa nama itu di usianya yang ke-10. Luka fisik akibat
pemerkosaan: lebam-lebam sudah hilang dari fisiknya. Namun, trauma akibat
pemerkosaan itu masih saja tersisa. Hal ini menyiratkan ada tiga hal yang terkandung
dalam definisi trauma.
Pertama, realitas trauma menembus dimensi
waktu. Trauma tidak dapat diatur dan ditentukan waktu dan
lokasinya. Sekalipun peristiwa itu terjadi di masa yang lampau, trauma pada
perempuan itu masih tersisa. Perempuan
tanpa nama itu kembali gemetar dan ketakutan ketika mendengar air keran yang
mengucur, walaupun itu terjadi di toilet umum: lokasi yang berbeda dengan
toilet di rumahnya.
Kedua, trauma tidak hanya merujuk pada luka
fisik. Dalam studi trauma, terminologi trauma juga merujuk pada luka batin. Trauma
pada batin disebabkan oleh kekerasan yang dialami manusia: baik itu kekerasan
fisik maupun verbal yang menghancurkan batin. Trauma pada batin menunjukkan
betapa rapuhnya jiwa manusia. Sama seperti luka tubuh yang dapat mematikan,
trauma pada batin juga dapat menghancurkan kehidupan manusia. Trauma pada batin
tak terlihat dan dapat menghancurkan manusia dengan perlahan namun pasti (Jones
2009, 12-13).
Ketiga, realitas trauma akan mempengaruhi
cara pandang kita terhadap dunia dan cara kita memperlakukan diri kita. Dalam
kisah di atas, cara pandang perempuan itu terhadap intimacy dan konsep dirinya
menjadi hancur. Ada rasa bersalah yang muncul dalam dirinya walaupun ia tidak
bersalah. Bahkan intimacy pun menjadi
ruang yang menakutkan baginya.
Trauma dalam definisi di atas tampak sebagai trauma yang
timbul pada satu pribadi. Akan tetapi, studi trauma menunjukkan bahwa trauma
dapat terjadi secara komunal, seperti tragedi pemboman WTC dan Boston. Tragedi
ini menyisakan trauma besar bagi masyarakat Amerika. Infrastruktur sudah
kembali dibangun, tetapi trauma masih tetap menghantui mereka.
Karakteristik Orang yang Mengalami Trauma
Dalam, Unclaimed Experience, Cathy Caruth
mengungkapkan bahwa trauma mental dan batin memang tidak terlihat dalam bukti
fisik.[1] Namun,
trauma mental dan batin dapat muncul melalui kesaksian yang muncul dari luka
yang tersimpan dalam dirinya. Kesaksian itu tampak dari ciri-ciri psikis yang
tampak dari bahasa tubuh (Caruth, 1996 3-5).
Serene
Jones memaparkan beberapa ciri/karakteritik psikologis yang dapat kita cermati
untuk mendeteksi apakah seseorang mengidap trauma pasca peristiwa kekerasan.
Karakteristik ini disebut PTSD (Post
Traumatic Stress Disorder). Adapun karakteristiknya adalah sebagai berikut
(Jones 2009, 16-18) :
(1) Tidak kuat mendengar suara
keras/ribut, mudah panik.
(2) numbness (mati rasa) dan
disorientasi.
Orang yang mati rasa mengalami
ketidaknyambungan antara emosi dan kognisinya.
(3) tidak bisa tidur dan
merasakan kecemasan yang akut.
(4) unarticulated compulsions.
(misalnya orang yang selalu
mengulang gerak tubuh tertentu pada saat ada peristiwa yang menyerupai kejadian
traumatik yang pernah dialaminya)
(5) Berkurangnya ingatan dan
kosakata yang biasa kita pakai.
Biasanya orang yang pernah
mengalami peristiwa traumatis, sulit untuk mengingat traumanya. Ia tidak dapat
bercerita dengan runut dan bahkan kehilangan memori-memori terntentu. Hal ini
disebabkan bagian otak langsung menolak untuk mengingat peristiwa traumatis
tersebut.
(6) Kehilangan rasa percaya
diri dan merasa kehilangan harapan akan hari esok. Situasi ini biasanya terjadi
pada orang-orang yang mengalami peristiwa yang sangat kuat dan kekerasan
seksual.
(7) Perasaan dibuang dan
terisolasi dari teman-temannya.
(8) mimpi buruk (kemunculan
mimpi buruk adalah salah satu bentuk teriakan dari luka, karena tubuh tetap
tidak dapat menahan luka).
Antara
Impian dan Kenyataan:
Peran
Gereja dalam Menghadapi Orang-orang yang Trauma
1.
Memikirkan
dan merumuskan ulang teologi operatif yang kita kembangkan di jemaat.
Pertanyaan
kunci dari saran yang pertama ini adalah, “Pikirkanlah apakah bahasa gereja
merengkuh persoalan real traumatik di jemaat? Atau jangan-jangan bahasa teologi
kita tidak terkoneksi dengan bahasa dari luka karena teologi menjadi sangat
optimistik dan serba tahu?” Jones, dengan tajam menyatakan tugas ini dalam
tulisannya
Theology task is to
re-narrate to us what we have yet to imagine (21). If grace has power to
reshape the imagination, then theology is the language that both describes that
power and evokes it in the loves of people by telling grace-filled stories of
new imagining (21-22). Not a systematic theology of trauma and grace, but a
glimpse grace
Salah
satu contoh teologi yang harus dikritisi misalnya pemahaman tentang anugerah.
Jones mengatakan seperti ini: Apabila benar bila kita berpandangan bahwa
manusia bersih dan bebas dari yang jahat ketika anugerah dicurahkan? Apakah
perspektif itu tepat untuk orang-orang yang mengalami pengalaman traumatik?
Perspektif trauma mengkritik konsep berpikir semacam ini. Kita terlalu naïf
dalam optimisme tentang struktur dosa dan anugerah. Bagaimana dengan penyintas
yang sampai akhir hidupnya masih terjebak dalam trauma (Jones 2009; 155)?
Trauma itu masih tersisa di ruang-ruang kehidupan kita.
Jones, mengkonstruksi cara berpikir
tentang anugerah. Anugerah Allah adalah saat Allah hadir bersama-sama dengan
kita yang terluka. Allah menyembuhkan dengan cara yang lembut, tapi tidak
kehilangan dimensi bahwa Allah “menggoyang” luka kita sambil memegang kita.
Kita diingatkan bahwa kita masih akan terluka, namun akan ada yang selalu
mendampingi kita yakni Allah. Jadi, anugerah bukanlah sesuatu yang radikal:
yang mengubah kehidupan kita secara hitam putih. Grace needed to be larger than the lives of those who never recovered.
It needed also to be sturdier than a tale of straightforward recovery, less
sanguine, less optimistically (Jones 2009, 157). Mungkin,
ada banyak lagi teologi operatif yang perlu kita kritisi karena justru dapat
membuat orang-orang yang mengalami peristiwa traumatik menjadi semakin
terpuruk. Mari memikirkannya bersama-sama :)
2. Melakukan trauma healing.
Shelly Rambo mengusulkan dua dalam trauma healing. Pertama, tracking the undertow. Dalam pendekatan
ini, kita diajak untuk menggali kedalaman yang tidak ada di permukaan.
Bersama-sama dengan Roh Kudus, kita diajak untuk memasuki perasaan kehilangan,
kemarahan, dukacita dan kekacauan dalam hidup ini. Roh Kudus menyingkapkan dan
menyaksikan realitas yang tertinggal di dalam bahasa trauma (Rambo 2010, 161)
Kedua, Rambo mengusulkan agar dalam trauma healing, ada pendekatan yang
disebut dengan sensing life. Bersaksi
berarti ‘sensing life’. Menurut Rambo, dengan “sensing” kita tengah menempatkan
diri pada hal-hal yang tak terketahui (Rambo 2001, 163). Bagi orang-orang yang
traumatis, kehidupan ini dipenuhi oleh berbagai pemicu sensori trauma sehingga
kehidupan menjadi kejam. Menurut Rambo, orang yang trauma itu perlu diajak
untuk merasakan bahwa harapan dan bahkan kehidupan yang indah itu masih ada.
Oleh karena itu, diperlukan proses pendampingan
untuk mengkoneksikan kembali mereka dengan kehidupan. Kita mendengarkan bahasa
trauma dengan melihat dengan peka teriakan luka yang muncul dari bahasa tubuh
orang-orang yang berada dalam trauma. Setelah itu, diperlukan proses
penerjemahan kembali kehidupan kepada mereka yang berada di dalam trauma.
Menurut Rambo, peran Roh Kudus sangatlah besar
dalam proses ini. Roh Kudus memampukan konselor untuk mendengarkan teriakan
luka. Roh Kudus menolong orang-orang yang trauma untuk menautkan kembali diri
mereka dengan nafas kehidupan mereka. Roh Kudus memampukan korban untuk merasa,
melihat secara lebih tajam, dan mengecap kehidupan lebih sensitive (Rambo 2001,
163).
3.
Menjadi
Saksi yang Penuh Belas Kasih (Compassionate Witnessing)
Pada saat kita membaca
kisah-kisah kesaksian hidup orang (literature
of testimony), kita menjadi saksi untuk peristiwa itu sendiri. Ketika kita
menyaksikan pengalaman kita maupun pengalaman orang lain, kita sedang membangun
teologi sebagai diskursus kesaksian, bukan diskursus kebenaran doktrinal. Jika
diibaratkan dengan posisi dalam ruang pengadilan, teologi berfungsi sebagai
saksi, bukan sebagai hakim yang menentukan apa yang benar dan yang saling. Oleh
karena itu, dalam percakapan trauma, kita pertama-tama mendengarkan apa yang
terjadi dan selanjutnya menyaksikan apa yang terjadi. Tujuan kesaksian itu
adalah agar kekerasan tidak terjadi lagi.
Menurut
Kaethe Weingarten, dengan menjadi saksi yang penuh belas kasih, kita belajar
untuk mendengarkan apa yang terjadi melalui teriakan dan tangisan dari luka.
Tidak hanya itu, menjadi saksi yang
berbelas kasih juga berarti memikirkan apa yang telah kita saksikan dan
membangun rencana konkrit untuk mencegah peristiwa traumatik itu terulang
kembali. Dengan demikian, menjadi
saksi juga harus mengusahakan pemikiran-pemikiran inovatif dalam kebijakan di
ranah publik untuk mencegah peristiwa traumatik itu. Salah satu contoh hal
sederhananya adalah: kecelakaan lalu lintas dapat menjadi peristiwa traumatik
bagi banyak orang. Lalu bagaimana gereja memikirkan dan mewujudkan cara dan
aturan agar di lingkungan sekitar gereja kecelakaan lalu lintas dapat
diminimalisir.
REFERENSI
Caruth, Cathy. Unclaimed Experience: Trauma, Narrative, and History. Maryland: The
John Hopkins University Press. 1996.
Jones, Serene. Trauma and Grace: Theology in a Ruptured
World. Louisville: Westminster John Knox Press, 2009.
Rambo, Shelly. Spirit and Trauma: A Theology of Remaining.
Louisville: Westminster John Knox Press, 2010.
Wengarten, Keaethe. Common Shock: Witnessing Violence Every Day.
New York: New American Library.
Kiranya gereja menjadi
komunitas yang menyembuhkan, bukan menyemai trauma
Jakarta, 4 April 2014
YIL
[1]
Ada kisah perempuan Papua yang diperkosa. Vaginanya dimasukan baterai. Dalam kejadian
tersebut, yang dicari adalah bukti faktualnya: di mana baterainya. Namun,
baterainya sudah tidak ada karena sudah dihancurkan. Padahal buktinya sebenarnya
ada pada tubuh karena tubuh tersebut meneriakan luka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar