Beberapa waktu yang lalu, aku membuat
sebuah paper tentang teologi trauma. Aku mengirimkannya kepada sejumlah
rekan-rekan calon pendeta dan pendeta. Dari sekian banyak respons, ada satu
respons yang sangat menarik buatku. Kira-kira bunyi responsnya begini: “Semoga
gereja tidak menjadi tempat untuk menumbuhkan trauma.”
Terus terang, saya agak terkejut
membaca responsnya. Responsnya menyentak saya. Tidak dapat disangkal, bahwa gereja
pun dapat menyebabkan trauma dan luka batin. Saya ingat, dalam kuliah sejarah
gereja, dikisahkan bahwa pada abad-abad pertama, gereja pernah menangkap dan
menyiksa para perempuan yang disangka sebagai penyihir. Fakta yang mengerikan
bukan? Mungkin, saat ini kita tidak
sekejam itu, namun bukan berarti kekejaman dalam gereja tak ada lagi.
Saya ingat sebuah refleksi yang
ditulis oleh Craig Groeschel dalam Christian
Atheis. Dalam bab 12, ia memberi judul yang menarik: Ketika Kau Percaya kepada Tuhan tapi tidak kepada Gereja-Nya. Groeschel
mengutip sebuah kesaksian dari orang yang ia jumpai, “Aku tidak percaya kepada
gereja karena gereja-gereja yang pernah kudatangi begitu jauh dari apa yang
kubaca di dalam Firman Tuhan – aku piker aku bisa menjadi Kristen yang lebih
baik tanpa gereja daripada aku dengan gereja.” Bahasa yang disampaikan orang
ini adalah bahasa kekecewaan atas inkonsistensi antara apa yang diyakini dan
apa yang diperbuat.
Misalnya saja, gereja bicara tentang
kasih, namun kita bersekongkol untuk menjauhi seseorang dalam gereja. Kita
mengatakan bahwa kita berpihak pada yang menderita, namun kita memaksa anggota
paduan suara yang kondisi keuangannya kurang baik untuk memakai baju seragam
yang mahal. Kita berkata bahwa kita mengasihi anak-anak, namun mengeluarkan
uang lebih untuk mengembangkan pendidikan anak dan kaum muda di gereja begitu
sulit. Kita berkata bahwa kita menegakkan kebenaran, namun kita memfitnah dan
memelintirkan fakta di dalam gereja. What
an ironic!
Malam ini, saya kembali berefleksi,
sejauh mana gereja menjadi komunitas yang memulihkan. Selama 8 tahun saya
terjun ke dunia pelayanan gerejawi dan mengamat-amati proses kehidupan
bergereja, ada sebuah percakapan yang saya ingat dan tertancap di batin saya. Percakapan
ini terjadi pada salah satu gereja yang pernah saya layani. Suatu waktu,
seorang rekan saya bertanya pada koster gereja di halaman depan gereja. Dia bertanya
pada koster itu, “Apa sich harapan Anda untuk gereja ini?” Jawab koster yang
beragama Islam ini, “Saya ingin orang-orang dating ke gereja dengan hati bersih
dan soleh. Saya ingin gereja menjadi tempat yang rukun. Jangan suka menyalahkan
orang saat rapat. Jangan suka mencari keuntungan dari orang lain” Saya
tertunduk sedih mendengar perkataan koster ini. Ah, rupanya dia mengamati dinamika
yang terjadi paska rapat.
Bagi saya, sudah waktunya gereja melakukan
pertobatan kembali. Ya, gereja yang definisinya adalah kumpulan orang percaya
yang mengikut Kristus harus melakukan pertobatan kembali. Mengikut Kristus
bukan hanya sekadar memakai topeng, melainkan menjadi pembawa damai dan kasih.
Bukan munafik! Oh gereja, masihkah engkau mau menyemai luka? Saya sedih dengan
kondisi seperti ini. Tuhan pun pasti sedih, jauh lebih sedih ketimbang saya.
Dia menangis tertahan dan sedih.
Jakarta, 6 April 2014
YIL
4 komentar:
jika gereja pun sudah melukai, siapa akan menyembuhkan?
Kristus :)
Izin share ya....sungguh saya sangat terberkati dengan tulisan ini.
Silakan, asal cantumkan saja sumber dan alamat blog ini. Makasih
Posting Komentar