Selasa, 24 November 2015

Katekisasi Bagi Katekisan Berkebutuhan Khusus

Malam itu, saya dan Ko Adi (mentor saya) bercakap-cakap mengenai kerinduan saya untuk memfasilitasi kelas katekisasi bagi katekisan berkebutuhan khusus. Kerinduan ini muncul begitu saja ketika melihat fenomena kemunculan anak-anak berkebutuhan khusus yang semakin banyak. Tak menyangka, selang beberapa hari setelah kami bercakap-cakap, dia memberikan sebuah pesan yang sepertinya menjadi jawaban dari Tuhan atas kerinduan saya.

Seorang perempuan, sebut saja X, yang berkebutuhan khusus ingin mengikuti kelas katekisasi. Dia berusia 27 tahun, usia yang sama dengan saya. Dia lahir di bulan Juni, bulan yang sama dengan bulan kelahiran saya. Saya menghabiskan dua pertemuan pertama saya hanya untuk bercakap-cakap dengan dia, tentang kehidupannya. Ya, bukan tentang makna katekisasi dan segala rupa doktrin yang ada di dalamnya.

Mengajaknya bercakap-cakap adalah hal yang susah-susah gampang. Awalnya, ada resistensi dalam dirinya dan diri saya. Saya menyadari momen-momen ketidak-tulusan dalam diri saya ketika ia mulai resisten. X menolong saya mengenali diri saya karena X adalah seorang perempuan yang sangat cepat menangkap getar ketulusan, persahabatan dan rasa percaya. Ia tahu mana orang yang sungguh-sungguh menerimanya dan yang hanya berpura-pura menerimanya.

Kelas katekisasi kami menjadi sangat menyenangkan. Jika biasanya doktrin-doktrin teologi yang kompleks mewarnai kelas katekisasi pada umumnya, maka dalam kelas katekisasi ini proses berteologi dimulai dari pengalaman kami (katekisan dan pengajar). Kami belajar memahami diri kami masing-masing. Kami belajar menyadari bahawa kami dicintai Allah dalam alunan musik sederhana yang biasa dimainkannya dalam harmoni ataupun disharmoni denting tuts piano yang ditekannya. Kami memasuki ruang tawa dalam perjalanan kami mengenal cinta dan asa lewat penejelajahan kami di suatu ruang publik di Jakarta.

Dalam pengalaman mengajar katekisasi dengannya, saya tidak lagi menjadi guru baginya.
Saya menjadi sahabatnya, bahkan saya menjadi muridnya.
Ia tak belajar 10 semester di ruang kuliah teologi, tetapi ia mengajarkan saya tentang siapa Allah.
Ia mengajarkan saya arti pengharapan, walaupun harapan itu hanya setipis celah pada pintu yang tertutup rapat.
Ia mengajarkan saya arti kelembutan, ketika ia melihat air mata dan rasa sakit.
Ia mengajarkan saya arti ketegaran, dalam ruang kehidupannya yang tak semudah yang kita kira.

Suatu saat, saya bergumul sehingga saya memintanya untuk mendoakan saya. Hati saya bergetar ketika dia mendoakan saya dengan doa Bapa Kami. Ia tak tahu apa yang saya gumuli, tetapi ketulusannya menguatkan saya yang saat itu merasa ada di titik nadir.Terima kasih X, karena telah menjadi guru dan sahabat bagi saya. Pengalaman ini menjadi suatu rinai kelegaan di tengah padang gurun spiritual. Dan saya menanti, tugas selanjutnya dari Tuhan untuk berjumpa dengan orang-orang berkebutuhan khusus yang akan menjadi guru dan sahabat saya.

Jakarta, 25 November 2015
ketika mengintip cahaya pada celah pintu pengharapan.

Kamis, 08 Oktober 2015

Oma Yun dan HUT GKI Kayu Putih ke-35

Tadi pagi, saya melawat Oma Yun, salah satu “founder” GKI Kayu Putih. Oma Yun tidak pernah ingat nama saya, tapi dia selalu hafal wajah saya. “Kamu, yang suka khotbah di depan kan. Saya ingat wajah kamu, tapi saya lupa nama kamu.” Setiap bertemu dia, saya seperti berjumpa dengan almarhum nenek saya. Bagi yang belum kenal Oma Yun, dia adalah seorang oma yang ceria dan tulus. Dia rajin membaca Alkitab dan menyalinnya di buku tulisnya.

Dalam percakapan dengan Oma Yun tadi pagi, saya menanyakan, “Apa harapan Oma Yun buat GKI Kayu Putih yang sedang berulang tahun ke-35?” Lalu, Oma Yun menjawab, “Ya, sekarang kalau ke gereja udah banyak orang baru yang saya tidak kenal. Tapi, saya bersyukur karena kedatangan orang baru ke gereja kita adalah anugerah Tuhan. Senang rasanya kalau saya menyapa orang baru. Saya juga senang kalau ketemu teman-teman lama di gereja setiap hari Minggu. Sederhana saja, saya berharap agar GKI Kayu Putih tetap kompak dan berjalan bersama-sama. Enak khan kalau punya teman”.

Satu hal yang saya rasakan ketika mengunjungi Oma Yun, saya merasakan aura ketulusan dan kesederhanaan dari dirinya sebagai salah seorang “founder”. Dalam ketulusan dan kesederhanaan, Tuhan mememberkati GKI Kayu Putih hingga seperti sekarang ini. Ya, kesederhanaan, ketulusan dan rahmat Allah menjadi tiga kata kunci dalam perjalanan GKI Kayu Putih.

Karena itu, ketika kita merindukan suatu gereja yang dipenuhi persahabatan, saya rasa yang menjadi kunci utama adalah ketulusan dan kesederhanaan. Kita menyadari bahwa diri kita bukanlah orang hebat. Kita hanyalah orang sederhana yang Tuhan pakai. Dan kemudian saya jadi teringat akan perkataan Jean Vanier, pendiri Komunitas L’arche. Jean Vanier berkata bahwa sebuah komunitas tercipta ketika para anggotanya menerima kenyataan bahwa masing-masing dirinya bukanlah superhero. Akan tetapi, masing-masing anggotanya menyadari ruang kerapuhan dan ketidaksempurnaannya. Dalam kesederhanaannya, biarlah kita menjadi seperti anak kecil yang sederhana, Menjalani hidup ini dengan ketulusan dan tanpa intrik. Penuh cinta dan rasa syukur. Dalam hal ini, perkataan Paulus dalam Roma 12:16 menjadi begitu bergema, “Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai.”

Bagi saya, momen ulang tahun adalah sebuah “present”, atau kado dari yang Illahi. Ketika kadonya di buka, kita mendapat kesempatan untuk melakukan sebuah momen reflektif: mengilas balik untuk menatap ke depan, seraya menjalani hari ini sebagai sebuah anugerah. Dengan mengilas balik melalui pembelajaran dari para founder kita, saya berharap bahwa  kesederhanaan, rasa syukur, ketulusan dan cinta kasih Illahi akan mewarnai derap langkah pengembaraan kita bersama sebagai seorang sahabat dari sekarang sampai seterusnya. Selamat Ulang Tahun GKI Kayu Putih ke-35!

Jakarta, 8 Oktober 2015

YIL

 

 

Senin, 01 Juni 2015

Beragam Rasa Hidup dalam Sepiring Makanan

"Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki”
Matius 26:39 b

Kalau ditanya, tempat makanan mana yang paling berkesan di hidupku, maka aku akan segera menjawab: di rumah retreat daerah Bintaro. Jawaban ini muncul dari pengalamanku ketika aku mengikuti retreat tentang panggilan pelayan. Di ruang makan itu ada sebuah ikon Kristus, terang dunia. Aku duduk di depan ikon tersebut sambil menikmati makanku. Sorotan mata Kristus di dalam ikon itu tidak bercahaya, sangat rapuh. Sorotan matanya bukan sorotan mata yang menyiratkan terang dan binar cahaya. Di dalamnya kulihat kepedihan dan kerapuhan. Vulnerability of Christ!
Silent retreat! Aku makan sambil terdiam, sambil sesekali memandang ikon Kristus. Tanpa kata. Tanpa bicara. Aku memerintahkan pikiran yang berkecamuk untuk diam. Biar Allah yang diam itu menyatakan sesuatu dalam kediaman-Nya.
Perlahan-lahan air mata yang menetes ketika aku mengunyah makananku.  Air mata ini seperti menjadi penanda bahwa aku mulai memasuki misteri Allah yang Diam. Rasa asin, pedas, manis, pahit berpadu dalam mulutku. Aku teringat kehidupanku. Ada berbagai rasa yang kurasakan ketika menjalani panggilan ini. Di antara rasa-rasa itu, ada yang tak aku sukai dan kusukai. Ada yang menyenangkan hatiku dan ada yang menyayat hatiku.
Kupandang Kristus Sang Terang dunia yang tidak memancarkan sorotan mata yang berbinar. Aku teringat, ketika Ia bergumul di dalam taman. "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” Kristus Terang Dunia itu pun menjadi terang dalam kerapuhan-Nya. Kristus Sang Terang menjadi Terang ketika Ia menandaskan cawan yang Ia minum. Ia akhirnya menikmati beragam rasa dalam masa perutusan-Nya dengan menyelesaikan tugas-Nya.
Aku merasakan rasa makanan dari suapan terakhirku. Sambil menikmati beragam rasa di lidahku, air mataku menetes lagi. Memang perjalanan ini adalah ziarah beragam rasa, yang akan dan harus kutandaskan bersama Sang Illahi. Aku mengangkat piringku dan meletakannya pada tempat piring kotor. Rupanya, Allah yang diam itu sudah menyatakan diri-Nya lewat beragam rasa makanan di rumah retreat yang sunyi itu.

Jakarta, 1 Juni 2015

YIL 

Jumat, 01 Mei 2015

Ketika Tuhan Bicara

Hari itu saya datang ke gereja tempat saya melayani dengan beban berat. Saya merasa hidup ini begitu suram. Rasanya seperti ada bongkahan batu beasar yang saya harus gendong. Hati ini pun terasa sembilu menahan pedihnya luka hati.

Berat rasanya menjalani panggilan ini. Ketika hati ini ingin menangis, tapi harus kuat menahan tangis dan berjumpa dengan berbagai jemaat. Ketika tugas datang, tak bisa rasanya menangis lepas tanpa ada yang mempedulikan, seperti dulu. Ada kesedihan yang tertunda karena aku harus juga mengerjakan tugas-tugasku. Dan hari itu... Hari ketika aku harus berjumpa dengan anal-anak kecil yang ingin bertanya tentang kehidupan doaku.

Dengan sedih, aku berusaha tersenyum untuk anak-anak kecil itu. Mereka menyambutku dengan keceriaan yang menawan. Mereka mewawancaraiku dengan pertanyaan yang sudah disiapkan. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan lancar. Namun, saat tiba giliran pertanyaan bebas aku terhentak.

Seorang anak kelas 2 SD bertanya kepadaku, "Apakah doa Kakak pernah tak dikabulkan Tuhan? Apakah Kakak percaya bahwa Tuhan punya rancangan yang indah untuk Kakak?"

Saya terkejut dengan pertanyaannya. Karena dua hal inilah yang sedang saya gumulkan. Dua hal inilah yang membuat muka saya muram dan berbeban berat. Saya diam cukup lama... Hingga akhirnya saya menjawab dengan suara yang sangat pelan, "Ya, saya pernah kecewa karena Tuhan tidak mengabulkan doa saya." anak itu menatap saya dengan sorotan matq yg penuh kepedulian. Dengan suara lirih, saya berkata "Aku percaya Tuhan punya rencana yang indah buat saya, walaupun aku seringkali gagal mempertahankan rasa percaya itu.

Sebelumnya saya sedang merasa Tuhan sudah jarang berbicara kepada saya, melalui media apapun. Namun saat itu saya merasa Tuhan berbicara pada saya melalui anak kecil itu. Dan saya tertampar. Memang, pergumulan saya ketika menjalani proses ini adalah saya sadar dalam ketidaksempurnaan saya bahwa menjalani apa yang saya ajarkan itu lebih berat dari hanya menjelaskannya. Namun Tuhan rasanya akan terus berbicara dan mengingatkan saya untuk bertahan dan percaya.

Jakarta, 1 May 2015
YIL

Sabtu, 18 April 2015

CINTA = BERANI MENAHAN SAKIT

“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.”
(1 Yohanes 4:18)

“Ma, buku PR ku ketinggalan. Tolong donk, Mama ambilin bukunya. Lalu bukunya tolong diantar ke sekolahku.” Kata Shandy. Mamanya berkata, “Nak, Mama khan semalam sudah mengingatkan kamu. Koq bisa ketinggalan?” “Iya Ma, soalnya aku kemarin asik main game. Tolongin aku donk Ma. Aku nggak mau dimarahi guruku. Aku takut banget nih Ma. Please, antarin yah sebelum sewaktu jam istirahat” rengek Shandy dengan mata yang berkaca-kaca. Mamanya tak tega melihat Shendy. Ia kemudian menghela nafas dan berkata, “Ya sudah deh, nanti Mama suruh supir kita mengantar ke sekolahmu.”

Percakapan imajiner itu mungkin pernah terjadi pada diri kita atau keluarga kita. Kita selalu menuruti kehendak anak kita atau orang yang kita kasihi. Tapi apakah cara mendidik seperti itu benar? Apakah tindakkan seperti itu menunjukkan cinta yang besar kepada orang yang kita cintai? Menurut saya, tidak.
Hal yang menjadi pertanyaan kunci bagi kita adalah, apakah yang lebih dominan adalah perasaan cinta atau perasaan ketidak-tegaan? Orang yang mencintai akan berpikir jauh ke depan, yakni apakah tindakkannya mendewasakan anaknya? Saya mengapresiasi orang-orang yang membiarkan anak-anaknya mengalami tantangan, ditegur dan dimarahi orang lain. Mengapa? Karena ia memberikan modal hidup bagi anaknya.

Sebaliknya, di balik ketidak-tegaan ada perasaan tidak siap menahan sakit. Ada banyak orang yang tak dapat menahan “sakit” dalam dirinya sendiri ketika melihat anaknya ataupun orang yang dikasihinya “sengsara”. Ada keenganan untuk menahan sakit di hati kita sendiri. Padahal, tindakkan itu tidaklah mendidik dan mendewasakannya. Kita justru menjerumuskan anak kita ketika kita terjebak dalam perasaan ketidak-tegaan alias kasih yang semu. Ada “hukuman” yang akan ia tuai di masa depannya.
Saudara, cinta itu adalah sikap berani menahan sakit. Dalam 1 Yohanes 4:18, dikatakan bahwa di dalam kasih tidak ada ketakutan. Secara garis besar 1 Yohanes 4:7-21 adalah perikop yang menegaskan kasih Allah kepada kita. Allah yang mengasihi kita tidak menyelamatkan kita dengan cara instans, walaupun Ia bisa saja melakukannya. Allah tidak seperti orang tua yang tidak tega melihat anaknya menderita dan mengabulkan keinginannya ketika anaknya merengek. Allah adalah Allah yang mengasihi kita dan berproses bersama-sama dengan kita melalui inkarnasi Kristus. Kristus begitu mengasihi kita sehingga Ia mau “menahan sakit” dengan turun ke dunia ini. Inilah yang disebut dengan pengosongan diri. Ia mau “menahan sakit” dengan merasakan sakit yang kita alami. Ia hadir bersama-sama dengan kita.

Berani mencintai adalah sikap berani menahan sakit demi orang yang dicintainya. Ketulusan dan kedalaman cinta dibuktikan dari keberanian kita untuk “menahan sakit” agar kehidupan orang yang kita cintai menjadi lebih baik lagi. Selamat menyelami kasih Allah yang besar dalam momen pengenangan akan kisah sengsara Kristus.

Jakarta, dalam sebuah refleksi
YIL

Minggu, 22 Maret 2015

Di Balik Kata “Saudara” atau “Kita”

Setiap saya selesai berkhotbah, saya suka memperhatikan kata ganti yang saya gunakan. Beberapa kata ganti yang sering saya gunakan adalah kata “saudara” dan “kita”. Saya berusaha sekonsisten mungkin menggunakan kata “kita” ketika berkhotbah. Penggunaan kata ini dijiwai dari sebuah semangat bahwa saya berkhotbah bukan hanya untuk orang lain, melainkan untuk diri sendiri.

Akan tetapi, ada kalanya ketika saya keceplosan menggunakan kata “saudara”. Dan saya memperhatikan momen-momen ketika saya menggunakan kata “saudara”. Rupanya kata-kata itu muncul ketika saya menyadari bahwa apa yang saya khotbahkan sangatlah berat dan rasanya saya ingin menampik firman itu dari wajah saya.

Inilah yang saya renungkan setelah kemarin berkhotbah di Kebaktian Pemuda. Ayat yang menjadi kunci adalah “Barangsiapa mencintai nyawanya, akan kehilangan nyawanya.” Sulit rasanya mengkhotbahkan sesuatu yang sangat berat, apalagi melakukannya. Saya lebih sering mengucapkan kata “saudara” ketimbang “kita”. Ya, ini menunjukkan bahwa di balik khotbah saya kemarin, ada keengganan bahwa saya pun harus belajar mencintai secara benar.

Dalam perjalanan proses kependetaan ini, ada satu permintaan saya kepada Tuhan. Tuhan jangan ambil hal yang paling berarti di dalam hidup saya. Hal itu adalah “nyawa” saya. Saya tahu permintaan itu menjadi titik lemah saya. Sedihnya, pada hampir penghujung proses ini Tuhan membenturkan saya dengan permintaan saya itu. Saya diperhadapkan dengan pergumulan mencinta itu sendiri. Apa yang saya inginkan dan pertahankan, seolah hendak direbut oleh Tuhan. Saya merasa seperti Ayub yang dibenturkan dengan berbagai pengalaman kehilangan, tuduhan negatif dari orang sekitarnya dan merasakan serangan gatal di tubuhnya. Seluruh tubuh, jiwa dan roh menahan perih pedihnya sakit.

Saya berteriak mencari Tuhan, namun Tuhan senyap. Ia tidak berbicara. Saya berlari hingga terjatuh. Namun, sungguh Tuhan menyayangkan nyawa saya. Ia tidak membiarkan saya mati tergilas mobil. Sekali lagi, Ia menyayangkan nyawa saya. Suatu pengalaman iman yang penuh tanda tanya. Di tengah kesedihan saya, Ia tidak menunjukkan suaranya sedikitpun. Bahkan, tidak sama sekali. Saya bertanya, mengapa Tuhan Engkau diam? Saya bertanya tentang orang lain dalam doa dan Engkau menjawab. Namun mengapa saat saya bertanya tentang diri saya, Engkau tidak menjawab. Seolah Tuhan tidak mau dipusingkan dengan apa yang saya pikirkan dan gumulkan.

Sampai satu titik ketika saya harus mengkhotbahkan perikop kemarin. Saya semakin sukar untuk menuliskan refleksi saya dalam notebook saya, seperti yang biasa saya lakukan. Dan saya tertegun karena Allah rupanya ingin menggocok saya hingga saya mengenal siapa Dia dalam pergumulan ini. Ia menyatakan kepada saya arti cinta yang sesungguhnya. Ya, arti cinta yang membangun dan bukan cinta yang destruktif.

Cinta yang destruktif adalah cinta yang posesif dan obesesif. Posesif karena menganggap sesuatu yang kita cintai sebagai objek, boneka. Obsesif karena kita menghalalkan segala cara agar mendapatkan sesuatu yang kita cintai. Akan tetapi, cinta yang destruktif tidaklah kekal. Cinta yang destruktif mengakibatkan kehilangan. Ya, barangsiapa mencintai nyawanya akan kehilangan nyawanya.

Lawan dari cinta yang destruktif adalah cinta yang membangun. Cinta yang membangun tidak takut kehilangan. Cinta yang membangun tidak takut menahan perihnya luka. Cinta yang membangun tidak takut mati. Ini seperti yang dikatakan oleh penulis 1 Yohanes 4:18, “No fear in love”. Cinta yang sesungguhnya tidak posesif sehingga tidak takut kehilangan. Cinta yang sesungguhnya tidak takut memberi. Bahkan ketika kehilangan pun, ia rela.

Terima kasih kata “kita” dan “saudara” karena sudah mengingatkan bahwa saya pun masih harus belajar mencinta.

Jakarta, 23 Maret 2015
YIL

Minggu, 22 Februari 2015

Nada untuk Asa

Paling tidak enak kalau kita terasing.
Paling tidak enak kalau kita diasingkan.
Paling menyedihkan kalau kita ditolak.

Sebenarnya, tidak ada alasan untuk mengasingkan orang lain. Etnis, gender, agama, status sosial, bahkan penyakit yang diderita seseorang tidak boleh menjadi sebuah alasan untuk mengasingkan orang lain. Inilah pesan utama dari film Nada untuk Asa, sebuah film dengan jiwa solidaritas kepada orang-orang yang didiskriminasikan karena terjangkit virus HIV. Film ini berkisah tentang Asa, seorang perempuan yang tertular virus HIV dari ayahnya sejak bayi. Asa harus berjuang hidup di tengah diskriminasi yang ia alami. Ya, mulai dari dipecat kerja, kegagalan bisnis masakannya, bahkan ditolak oleh kakek dan tantenya sejak bayi.

Ketika menonton film ini, saya belajar banyak hal. Saya belajar arti pengampunan. Saya belajar arti pengorbanan. Saya belajar arti cinta yang sesungguhnya, yakni ketika kita berani menerima orang lain apa adanya.

Selain itu, kita juga bisa belajar berani. Berani menghadapi kenyataan. Apapun itu. Memang, ada kenyataan ketika kita didiskriminasikan. Namun, ada kenyataan ketika kita harus berani melawan diskriminasi tersebut. Pertanyaannya, berani gak melawan diskriminasi tersebut? Tokh kita diberi dua pilihan: tenggelam dalam kesedihan atau berani melawan.

:)