Selasa, 25 Oktober 2011

Penembakan Misterius: Hukuman Mati Pada Era 80an?



1.      Pendahuluan
Hukuman mati merupakan sebuah tindakan perlawanan terhadap tindakan kriminalitas untuk menjaga keamanan dan keselamatan individu dan masyarakat sipil.[1]Kita tidak bisa menyangkal bahwa di dalam perjalanan sejarah, gereja pernah mendirikan inkuisisi. Pada abad ke-15, gereja membenarkan praktik hukuman mati dengan alasan untuk melindungi umat dari kepercayaan sesat. Orang-orang --khususnya perempuan-perempuan-- yang dicurigai menyebarkan ajaran sesat, dianggap sebagai penyihir dan dibakar hidup-hidup. Padahal, belum tentu orang yang dicurigai tersebut melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan gereja.[2]
Hal yang hampir serupa juga pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, khususnya pada era 80an. Pada saat itu terjadi pelaksanaan hukuman mati yang dilakukan oleh para penembak misterius. Peristiwa ini menjadi peristiwa yang sangat tabu untuk dibicarakan pada masa itu.
Bagaimana sebenaranya pengaturan ketentuan hukuman mati dalam undang-undang negara kita? Apa itu penembakan misterius? Apakah penembakan misterius merupakan bentuk hukuman mati yang legal menurut hukum? Bagaimana pandangan tokoh etika kristiani mengenai hukumam mati secara umum? Bagaimana pandangan etis kristiani mengenai penembakan misterius itu? Pada paper ini, penulis akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

2.      Pemahaman Terhadap Hukuman Mati di Indonesia
Pidana mati di Indonesia sudah menjadi ketentuan hukum Indonesia. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Negara (KUHP) dengan mengingat Undang-undang Nomor 1 tahun 1946, Undang-Undang  Nomor 73 Tahun 1958, Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, dipaparkan adanya perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman mati, yakni:[3]
ü  Pasal 104 (pasal 105), membunuh kepala negara.
ü  Pasal 111 ayat (2), mengajak negara asing untuk menyerang Indonesia.
ü  Pasal 124 ayat (3), memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam keadaan perang.
ü  Pasal 340, pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu.
ü  Pasal 365 ayat (4) pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang menjadikan orang luka atau mati.
ü  Pasal 444 pembajakan di laut, di pesisir, di pantai, dan di sungai sehingga ada orang mati.
Dalam KUHP, terdapat tata cara pelaksanaan pidana mati. Dalam Bab 1 pasal 1, disebutkan bahwa pidana mati itu dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan. Oleh karena itu, pasal ini membuktikan bahwa tatacara pelaksanaan hukuman mati tersebut haruslah melewati proses hukum terlebih dahulu. [4]
3.      Hukuman Mati secara Umum dalam Pandangan Etis Kekristenan
3.1  Pro Kontra Hukuman Mati dalam Alkitab
Tidak bisa disangkal bahwa di dalam Alkitab terdapat dua pandangan terhadap hukuman mati. Alkitab bersikap pro dan kontra terhadap hukuman mati. Argumentasi biblis yang menentang hukuman mati terdapat dalam Yohanes 8. Pada perikop ini, diceritakan bahwa Yesus melindungi seorang perempuan yang tertangkap berzinah dari hukuman mati. Yesus tidak menyangkal hukum Musa, ia hanya mempertanyakan otoritas moral dari mereka yang akan menghukum mati perempuan itu. Kisah ini menunjukan salah satu pesan utama dari Perjanjian Baru, yaitu kasih dan pengampunan. Yesus mengampuni dan memperdamaikan manusia dengan Allah.[5]
Sementara itu, di dalam Perjanjian Lama dicatat berbagai kasus yang menunjukan bahwa Allah memerintahkan hukuman mati. Salah satu contohnya adalah Allah menghancurkan Sodom dan Gomora, seperti yang tercatat dalam Kejadian 18-19. Perjanjian Lama juga menunjukkan bahwa Allah melembagakan hukuman mati tersebut di dalam hukum Musa. Dalam Keluaran 21, Allah menetapkan pemberlakuan hukuman mati terhadap para pembunuh, para penyembah berhala dan para pelaku dosa seksual. Hukuman mati dalam Perjanjian Lama pada prinsipnya dilakukan untuk menegakkan keadilan dan menyatakan ketegasan Allah terhadap dosa.[6]
Hal yang menjadi penting dalam pembahasan tentang hukuman mati bukanlah memperdebatkan ‘ya-tidak’nya hukuman mati, melainkan menggali prinsip utama yang ada di baliknya.[7]
3.2  Berbagai Pandangan Etis Orang Kristen terhadap Hukuman Mati
Adanya dua pandangan di dalam Alkitab mengenai hukuman mati menimbulkan beragam pandangan dari orang Kristen terhadap masalah ini. Sepanjang sejarah Kekristenan, sudah ada berbagai pandangan yang muncul mengenai hukuman mati.Agustinus menyetujui pemberian hukuman yang sangat keras --seperti hukuman mati-- di dalam kondisi peperangan. Namun motif penguasa dalam melaksanakan hal tersebut haruslah berdasarkan kasih.[8] Thomas More, yang hidup pada masa kontra reformasi, mengkritisi praktik hukuman mati yang dikenakan terhadap kasus kriminal di bawah pembunuhan yang terjadi pada zamannya. Ia mengatakan bahwa menggantung pencuri di tiang gantungan hanya merupakan kebiadaban yang berlawanan dengan hukum.[9] Karl Barth mengatakan bahwa iman Kristen memang menolak hukuman mati, namun ada penjahat yang pantas dihukum mati.
T. Richard Snyder, dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Punishment, mengatakan bahwa hukuman mati harus diakhiri karena hukuman mati adalah sebuah bentuk hukuman kejam yang menghilangkan kesempatan manusia untuk menjalani suatu perubahan, rekonsiliasi, dan pengampunan. Di sisi lain, banyak hukuman mati di dunia ini yang dilangsungkan terhadap orang yang tidak bersalah.[10]
Berbeda dengan Synder, Eka Darmaputera mengatakan bahwa kalaupun hukuman mati harus dijalankan, hukuman itu harus dilakukan dengan tujuan memelihara dan melindungi kehidupan dari kekuatan-kekuatan yang mengancam kehidupan. Hukuman mati tidak boleh dilaksanakan dengan maksud membunuh karena dendam.[11]
Secara sederhana, kita dapat menggolongkan orang-orang yang memiliki pandangan yang beragam tersebut ke dalam tiga golongan, yaitu (1) orang yang anti hukuman mati, (2) orang yang secara tegas menerima praktik hukuman mati, dan (3) orang yang bersikap selektif terhadap praktik hukuman mati.
4.      Penembakan Misterius pada Era 80an
Pada tahun 1983-1985, dilaksanakan penembakan misterius atau yang lebih dikenal sebagai ‘petrus’. Kisah ‘petrus’, yang gegar dari tahun 1983-1985, rata-rata hanya hadir di benak orang-orang hidup setelah periode itu dalam bentuk cerita dari mulut ke mulut. Penembakan misterius ini umumnya terjadi di 11 propinsi yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Lampung, Sematera Utara, Sumatera Selatan, Bali, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
Pada saat itu, masyarakat Indonesia hidup dalam keresahan karena drastisnyakenaikan tingkat kejahatan yang tidak berperikemanusiaan di kota-kota besar. Hal itu disebabkan oleh merosotnya laju pertumbuhan ekonomi saat itu. Penembakan misteriusdilakukan dengan alasan agar bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu.
Penguasa pada saat itu, bebas mencurigai siapapun yang dianggap menyebabkan kejahatan, redisivis dan ingin menentang penguasa. Mereka yang dianggap menyebabkan kejahatan dan redisivis diciduk dari rumahnya pada waktu malam hari dan kemudian ditembak oleh aparat keamanan yang telah ditunjuk untuk menjadi penembak misterius. Penembakan misterius ini dilakukan secara arbiter terhadap para penjahat tanpa jalur pengadilan yang berdasarkan aturan hukum.[12]
Penembakan misterius terhadap kurang lebih 5000 orang ini dilakukan oleh polisi dan militer. Mereka kemudian membuang mayat-mayat tersebut di tempat-tempat umum sebagai peringatan. Pemerintah membantah keterlibatannya dalam program ini. Namun, dalam otobiografinya pada tahun 1989, Soeharto menegaskan bahwa pembunuhan ini merupakan shock terapi yang disponsori negara.[13]
Awalnya masyarakat menyambut hangat kebijakan pemerintah itu karena tindak kejahatan menjadi menurun drastis. Namun, masyarakat yang awalnya mendukungkebijakan itu berbalik menjadi menghujat petrus karena kengerian yang diakibatkannya dan kealpaannya memberantas kejahatan secara adil dan menyeluruh.Petrus berhasil menciptakan trauma di tengah-tengah masyarakat. Mayat yang bergelimpangan menjadi pemandangan yang tidak asing lagi bagi masyarakat saat itu.[14]
Gema peristiwa ini pun seakan hilang ditelan bumi seiring dengan dikuburnya sang penguasa rezim ke dalam liang lahat. Padahal, kasus ini jelas-jelas melanggar hak asasi manusia. Bila kita memeriksa kembali aturan hukum Indonesia yang telah dipaparkan di atas, tidak ada aturan yang membenarkan tindakkan penembakan misterius ini.

5.      Pandangan Etis Kristiani terhadap Petrus
Pada bagian ini penulis akan memberikan pandangan etisnya terhadap peristiwa penembakan misterius.
5.1  Penembakan Misterius dan Penghentian Kejahatan

…… Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu.[15]
                                                                                                               
Sepenggal kutipan tersebut adalah tanggapan Soeharto terhadap peristiwa penembakan misterius. Menurut Soeharto, penembakan mati itu dilakukan agar masyarakat tidak melakukan kejahatan yang dilakukan oleh si terhukum. Soehato mungkin adalah penganut paham retribusionisme. Tujuan hukuman itu adalah untuk menjaga komunitas dari pengaruh si penjahat, sehingga komunitas tersebut tidak terinfeksi oleh dosa si terhukum.[16] Namun, apakah kejahatan benar-benar dapat dihentikan?
Menurut penulis, penembakan misterius tidak dapat menghentikan kejahatan. Penulis setuju dengan pendapat J. Kerby Anderson. Anderson mengatakan bahwa kenaikan tindak kriminal disebabkan oleh banyak faktor dan tidak dapat dihentikan oleh hukuman mati. Jadi, hukuman mati bukanlah alat pencegah kejahatan, walaupun si terhukum pasti tidak bisa melakukan kejahatan itu lagi.[17]

5.2  Tidak Ada Kasih dalam Penembakan Misterius, yang Ada Hanya Ketidakadilan
Secara moral, keadilan menuntut sebuah keseimbangan antara perbuatan dengan akibat yang harus ditanggung seseorang. Oleh karena itu, salah satu alasan diberlakukannya hukuman mati adalah untuk menegakkan keadilan bagi korban dari si terpidana.[18] Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah penembakan misterius yang dilakukan tanpa melalui jalur hukum merupakan suatu bentuk keadilan?
Penembakan misterius adalah sebuah bentuk ketidakadilan karena tidak melewati jalur hukum dan mengabaikan hak-hak asasi manusia. Penembakan misterius adalah ketidakadilan dan tindak kriminal yang mengatasnamakan hukuman mati. Di dalam KUHP sendiri tidak ada aturan mengenai hukuman mati yang berjenis ‘penembakan misterius’. Peristiwa ini juga merupakan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Target tidak diberikan kesempatan untuk membela dirinya. Akhirnya yang terjadi bukannya penegakan keadilan melainkan ketidakadilan. Sungguh pelanggaran HAM ini bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani yang menjunjung tinggi kasih.
            Penulis berpendapat bahwa peristiwa penembakan misterius di Indonesia menunjukkan adanya diskriminasi. Argumen moralnya adalah bahwa hukuman mati diterapkan secara tidak adil untuk kaum minoritas. Penembakan misterius sendiri hanya berlaku bagi preman kelas teri, mereka yang merampok karena lapar. Penembakan misterius tidak diberlakukan bagi para preman berdasi yang merampok uang negara. Hal ini menunjukkan bahwa penembakan misterius lahir dari bentuk kesewenang-wenangan penguasa dalam menjalankan pemerintahannya.
            Memang benar hal yang dikatakan Paul Tillich dalam bukunya Love Power and Justice. Paul Tillich mengatakan bahwa dalam sistem kekuasaan yang hirarkis dan terpusat pada penguasa, penguasa dapat saja menggunakan kekuasaannya untuk mengambil keputusan atas nama komunitas yang diperintahnya. Keputusan ini, di satu pihak tampaknya memang menunjukkan keputusan untuk membela kepentingan seluruh komunitas. Namun, di pihak lain, keputusan atas nama komunitas tersebut menunjukkan maksud terselubung dari si penguasa untuk memenuhi kepentingannya sendiri.[19]  Pada akhirnya, penulis menolak pembenaran atas kasus penembakan misterius itu karena tindakkan itu adalah tindakkan yang sesuai dengan nilai-nilai kasih dan keadilan Kristiani.

6.      KESIMPULAN
Seandainya hukuman mati harus diterapkan, hukuman mati itu haruslah dilakukan sebagai sarana kasih Anugerah Allah. Hukuman mati tidak boleh dilaksanakan dengan maksud pembunuhan. Penembakan misterius adalah pembunuhan dan tindak kriminal yang mengatasnamakan hukuman mati. Tidak ada kasih di dalam penembakan misterius. Penembakan misterius adalah tindakan kriminal yang dipenuhi ketidakadilan, diskriminasi, pelanggaran hukum, menginjak-injak HAM dan menodai kasih. Penembakan misterius adalah shock therapy yang telah menimbulkan trauma bagi masyarakat. Masyarakat trauma melihat mayat bergelimpangan di jalan. Masyarakat takut, jangan-jangan dirinya yang akan ‘matius’ alias mati misterius karena menjadi target penembakan misterius yang selanjutnya. Kasus ini belum jelas hingga saat ini. Kasus penembakan misterius ini harus terus diusut sebagai respon moral kita terhadap ketidakadilan, diskriminasi, pelanggaran moral dan pelanggaran HAM.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Anderson, J. Kerby. Moral Dilemmas: Biblical Prespectives on Contemporary Ethical Issues.
London: Word Publishing, 1998.
Curtis, A. Kenneth. 100 PERISTIWA PENTING DALAM SEJARAH KRISTEN.Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2001.
Darmaputera, Eka. Sepuluh Perintah Allah Museumkan Saja. Yogyakarta: Gloria Graffa, 2005.
Greet, Kenneth G., The Art of Moral Judgement. London: Epworth Press, 1970.
Jerslid, Paul T., Moral Issues and Christian Response. New York: The Dryden Press, 1983.
Ricklefs, M. C.,Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, 2008.
Sahetapy, J.E., Pidana Mati dalam Negara Pancasila. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.
Snyder, T. Richard. The Protestant Ethic and the Spirit of Punishment. Grand Rapids: William
B. Eerdmans Publishing Company, 1936.
Soesilo, R., KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA SERTA KOMENTAR-
KOMENTARNYA LENGKAP PASAL DEMI PASAL. Bandung: Karya Nusantara, 1986.
Steffen, Lloyd. Executing Justice. Ohio: Pilgrim Press. 1998.
Tillich, Paul. Love Power and Justice. London: Oxford University Press, 1954.
Wogaman, J. Philip. Christian Ethics; A Historical Introduction. USA: Westminster, 1994.

Tidak ada komentar: