Selasa, 25 Oktober 2011

Cinta Hadir karena Relasi


 "Tapi saya selalu berpikir bahwa cara terbaik untuk mengenal Allah adalah mencintai banyak hal." -Vincent Van Gogh 

Kutipan pemikiran Viincen Van Gogh di atas sebenarnya ingin menunjukkan kepada kita bahwa pembicaraan tentang cinta adalah hal yang tidak ada matinya. Pembicaraan tentang cinta tidak hanya sebatas pembicaraan tentang hubungan asmara di antara dua insan. Pembicaraan tentang cinta adalah sebuah pembicaraan yang universal. Cinta berakar dari sebuah relasi yang baik. Dalam relasi Allah dengan ciptaan-Nya ada cinta. Dalam relasi manusia dengan sesamanya, ada cinta. Dalam relasi manusia dengan ciptaan-Nya yang lain ada cinta.
Cinta tidak mungkin ada tanpa relasi. Bayangkan saja, apabila kita hidup sendiri di dalam sebuah ruangan yang kosong dan gelap di sepanjang hidup kita, mungkinkah kita mencintai? Saya rasa tidak mungkin. Seorang anak bayi dapat mencintai keluarganya, karena ia memiliki hubungan yang intim dengan keluarganya. Ia menikmati kehangatan relasi dengan keluarganya. Dengan demikian, kita dan Allah dapat saling mencintai karena kita memiliki relasi dengan Allah.
Cinta antara Allah dengan Ciptaan
            Hingga saat ini, Kekristenan masih sering menganggap bahwa kasih Allah terhadap ciptaan-Nya hanya ditunjukkan saat Yesus menebus manusia di kayu salib. Jika memang demikian, apakah sebelum-sebelumnya Allah tidak pernah mengasihi atau mencintai ciptaan-Nya? Tentu tidak!  Allah yang adalah kasih tentu saja sudah menjalin kasih dengan ciptaan-Nya sejak seluruh ciptaan itu diciptakan. Allah yang adalah kasih menciptakan dunia ini. Penciptaan menunjukkan sebuah keinginan dari Allah untuk menjalin relasi kasih dengan manusia. Jika semesta ini tidak ada, maka dengan siapa Allah akan menjalin kasih?
Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk bertindak. Allah bukanlah seperti sutradara film yang memaksakan aktor dan aktrisnya untuk berakting seperti boneka yang Ia kendalikan. Dengan demikian, Allah memberikan kebebasan. Allah memberikan hak asasi bagi manusia. Pementasan yang dipentaskan manusia adalah pementasan yang penuh dengan spontanitas dan kebebasan yang bertanggung jawab dalam artian berada dalam rel-rel yang ditetapkan Allah. Sayang sekali, manusia tidak menggunakan kebebasannya dengan bertanggung jawab. Manusia terjebak dalam lumpur dosa dan merugikan dirinya sendiri. Manusia merusak gambaran Allah yang ada pada dirinya sendiri.
Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, relasi manusia dengan Allah dicemari dosa. Akan tetapi, pernahkah kita memikirkan bagaimana caranya manusia yang dipenuhi dosa dapat berelasi dengan Allah yang kudus, mulia, dan sulit untuk digapai oleh manusia yang berdosa? Yang kudus itu tentu saja tidak dapat bercampur dengan yang kotor, yang penuh dosa. Dalam zaman Perjanjian Lama, hanya ada beberapa orang istimewa yang bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, misalnya Musa dan Elia.
Akan tetapi, dalam Mazmur 103: 8-14 dikatakan bahwa Tuhan adalah penyayang, pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Tuhan tidak selalu menuntut dan mendendam. Tuhan sayang kepada kepada umat-Nya, seperti seorang Bapa yang mengasihi anak-anak-Nya. Nah, saat ini, kita dapat memanggil Allah dengan sapaan Bapa. Sapaan yang menunjukkan sebuah relasi yang sangat dekat. Bagaimana hal ini dapat terjadi?
Saya akan memberikan sebuah ilustrasi untuk membantu kita memahami cara Allah memperbaiki relasi yang telah dirusak oleh manusia. Kisah ini adalah tentang Raja Aleksis. Raja Aleksis adalah seorang raja yang hidup mewah di istananya. Di sekitarnya, hidup ratusan rakyat jelata yang hidup dalam kemiskinan dan memiliki pola hidup yang buruk.  Aleksis ingin memperbaiki kehidupan rakyatnya. Setelah itu ia mengunjungi mereka. Rakyatnya tentu saja memperlakukan Aleksis dengan hormat. Mereka takut dan canggung kepada rajanya. Perasaan takut dan canggung ini menyebabkan  Aleksis sadar bahwa ia tidak bisa mendekati mereka untuk menolong mereka. Akhirnya, Aleksis menggunakan cara lain untuk mendekati rakyatnya. Ia menyamar menjadi seorang dokter yang ingin menolong rakyat tersebut sukarela. Ia menggunakan pakaian jelek yang sama seperti yang digunakan oleh rakyatnya. Ia pun memberikan pengobatan gratis dan menolong banyak orang. Akibatnya, dalam waktu singkat, ia berhasil menarik simpati rakyatnya dan mengubah pola hidup rakyatnya. Tidak ada yang menyadari bahwa dokter itu adalah Raja mereka sendiri yang menjadi orang biasa untuk menolong rakyatnya.  Hal itu tidak akan mungkin dilakukan oleh seorang Raja bila ia tidak mengasihi rakyatnya.
Demikian pula dengan Yesus, Ia mau mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa untuk menjadi seorang hamba. Kristus mau merendahkan diri-Nya hingga sama seperti kita manusia yang berdosa. Kristus yang adalah gambaran Allah yang sempurna, menjadi jalan bagi kita untuk memahami maksud Allah. Yesus menggunakan bahasa dan tindakkan yang sederhana untuk menjelaskan maksud Allah kepada manusia. Dalam relasi-Nya yang unik dengan manusia, Yesus Kristus mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kita hidup dan menggunakan kebebasan kita sebagai manusia ciptaan Allah. Hingga akhirnya ia mau merendahkan diri-Nya untuk disalib (Filipi 2: 5-8). Sejak peristiwa pengorbanan-Nya di kayu salib, relasi kita dengan Allah kembali dipulihkan.
Lagi-lagi, pengorbanan Kristus ini menunjukkan bahwa Allah benar-benar mencintai dunia. Allah sungguh mau mengampuni kesalahan manusia itu agar relasi dengan manusia bisa kembali pulih. Akibatnya, kita memiliki relasi yang sangat dekat dengan Allah, bahkan kita sekarang bisa memanggil Allah dengan sapaan Bapa. Sapaan Bapa menunjukkan sebuah relasi yang sangat dekat. Bukankah tidak mungkin bila saya memanggil seseorang yang tidak saya kenal dengan sebutan “Papa”?

Belajar Mencintai dari Cara Allah Mencintai
Dari kasih Allah, kita dapat belajar beberapa hal. Pertama, cinta kasih terjadi melalui relasi. Kasih Allah terhadap ciptaan-Nya muncul dari sebuah relasi. Oleh karena itu, manusia juga dipanggil untuk berelasi dengan seluruh ciptaan. Dalam Yohanes 3: 16 dikatakan bahwa karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Dikatakan melalui ayat ini bahwa Allah mengasihi semua orang, tidak hanya terbatas mengasihi kelompok tertentu saja. Kasih Allah tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi. Oleh karena itu, kita dipanggil untuk menempatkan semua orang yang berbeda dengan kita —baik itu berbeda agama, gender maupun berbeda suku bangsa— sebagai orang yang setara dengan kita, sama seperti Allah mengasihi semua ciptaan-Nya.
Kedua, Allah mau memberikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada ciptaan-Nya. Kita perlu merespon kebebasan yang Allah berikan itu dengan penuh tanggung jawab. Kita perlu mengingat dan menyadari bahwa kebebasan kita itu dibatasi oleh kebebasan orang lain. Terkadang kita tidak merespon kebebasan itu dengan tanggung jawab. Seringkali, kita hanya mementingkan kepentingan dan kebebasan kita sehingga kita mengenyampingkan kepentingan dan kebebasan Allah maupun ciptaan yang lain. Misalnya saja, kita bisa saja boros menggunakan minuman atau makanan instan dalam kemasan plastik dengan alasan praktis dan tidak merepotkan. Kita tidak menyadari bahwa dengan kebebasan kita itu, kita sudah membuat alam semesta semakin menjerit karena efek buruk yang ditimbulkan sampah plastik. Atau bahkan, kita menggunakan kebebasan kita itu untuk membatasi kebebasan orang lain. Misalnya, karena kita terlalu menyayangi anak kita, kita menggunakan kebebasan kita sebagai orang tua untuk membatasi kreasi anak kita. Kita mengharuskan anak untuk memasuki sekolah sesuai dengan sekolah yang kita inginkan, bukan yang anak harapkan. Kita menuntut secara paksa hal-hal yang kita harapkan untuk dilakukan oleh orang yang menyayangi kita. Apakah tindakan-tindakan itu benar-benar melukiskan cinta kasih, atau jangan-jangan malah menimbulkan penderitaan? Bukankah Allah lebih banyak berkorban daripada menuntut? Sudahkah kita berkorban untuk segenap ciptaan yang seharusnya kita cintai?
Ketiga, kasih Allah ditunjukkan melalui pengorbanan-Nya dan kesediaan-Nya untuk mengampuni. Tanpa pengorbanan dan pengampunan yang Allah berikan, manusia hanya akan terjebak di dalam jurang dosa. Kita tidak bisa memungkiri bahwa dalam relasi kita dengan sesama sering terjadi pertengkaran ataupun konflik. Konflik adalah hal yang sangat wajar. Rasa-rasanya tidak ada orang yang tidak pernah berkonflik dengan sesamanya. Namun, walaupun konflik itu adalah hal yang wajar, konflik itu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Konflik harus diselesaikan. Konflik yang dibiarkan menumpuk ibarat gulungan bola salju yang terus berguling dan membesar. Akhirnya konflik itu akan meledak dan menimbulkan efek yang sangat menghancurkan sama seperti bola salju yang akhirnya menabrak sesuatu. Ledakannya sangat keras dan menghancurkan. Dengan demikian, konflik harus diselesaikan. Titik awal untuk menyelesaikan konflik adalah dengan memiliki kesediaan untuk mengampuni dan memohon ampun. Apakah kita sudah mencerminkan cinta kasih Allah di dalam kehidupan kita? Mari bersama-sama menggumulinya dan melakukan rekoreksi diri.
Sumber:
Polkinghorne , John (ed.). 2001. THE Work of Love USA: Wm. B. Eerdmans Publishing Co.

Tidak ada komentar: