Selasa, 25 Oktober 2011

Bagaimana Kita Bergumul dan Berjuang?


Aku ingin mengawali tulisan tentang bagaimana kita bergumul dan berjuang ini dengan sebuah deskripsi singkat mengenai kondisi tempat tinggalku saat ini.
Tempat kost-ku di Jakarta-kota yang sangat padat- termasuk kawasan masyarakat yang tingkat ekonominya menengah ke bawah. Perlu dicatat, bahwa tidak semua kepala keluarga memiliki pekerjaan. Lingkungan ini tergolong lingkungan yang padat huni.  Satu dinding pemisah menjadi dinding dua buah rumah. Besar satu rumah kira-kira hanya sekitar 3 kali 5 meter. Rumah seperti ini biasanya dihuni oleh empat sampai lima orang. Kawasan yang sangat padat bukan!
Tugas-tugas yang harus kuselesaikan di kampusku, kadang-kadang membuatku harus pulang malam. Ada beberapa rute yang dapat kutempuh untuk menuju kost-ku, diantaranya Jalan B, Jalan melalui tugu P, dan jalan melalui T.
Di rute T, yang sangat dekat dengan tempat tinggalku, banyak pemakai dan pengedar narkoba. Awalnya, aku merasa risih, takut dan kaget melihat para pemakai di rute menuju kosanku (rute T). Apalagi mereka kerap menggodaku ketika aku melewati tempat mangkal mereka. Namun, lama kelamaan aku menjadi biasa dan tidak pernah menggubris godaan mereka. Aku juga menjadi biasa melihat orang yang sedang OD. Aku juga menjadi biasa mendengar letupan senapan polisi yang kerap kali melakukan penggeledahan di kampung ini. Sekali lagi, aku juga menjadi semakin terbiasa mendengar suara mesjid mengumandangkan berita kematian seseorang yang umurnya sekitar 17 sampai 30 tahun. Dalam hati aku berkata, ah palingan juga mati gara-gara OD.
Suatu ketika, aku melewati rute tugu P ketika aku pulang dari kampusku. Daerah ini biasanya digunakan untuk bercinta oleh berpuluh-puluh pasang kekasih. Yah, mungkin karena tempat ini sangat gelap kali ya? Pernah pada suatu kesempatan, aku melihat sepasang kekasih yang baru selesai making love. Lalu tiba-tiba si cewek marah besar kepada si cowok. Ia berlari dengan pakaian yang masih terbuka sambil menangis…. Lalu si cowok hanya berteriak “woi, sayang sini dulu loe… gua belum puas sama lo..!”  Seperti biasa, aku hanya terdiam melihat pemandangan itu! Ah, mungkin saja si cewek baru diperawanin sama si cowok….
Hari Sabtu yang lalu, dalam perjalanan pulangku menuju tempat kost-ku, aku melihat sebuah pertengkaran rumah tangga yang sangat hebat. Waktu itu aku berjalan di belakang seorang laki-laki yang tampaknya sedang marah. Ia membawa sebuah botol. Awalnya aku tidak mempedulikannya. Namun, aku menjadi sangat terkejut ketika ia masuk ke sebuah rumah dan  melemparkan botol kaca itu ke muka isrinya. Untung saja lemparannya meleset! Botol kaca itu pecah tepat di sebelah muka istrinya yang sedang menggendong bayi. Jeritan sang Istri dan tangisan sang bayi meletus. Lagi-lagi aku hanya diam melihat kejadian seperti itu. aku hanya menundukkan mukaku. Lari…. Dan tidak mau ikut pusing…
Hmmmh, masih banyak kejadian yang menyakitkan yang pernah kulihat. Namun, aku sama sekali tidak pernah mempedulikannya. Sampai pada suatu hari, aku menonton sebuah film yang berjudul Slam Dog. Film ini melukiskan kondisi masyarakat India yang tinggal di daerah kumuh. Aku mulai berpikir tentang mereka. Aku teringat pada tangisan si bayi mungil dan ibunya yang pecah ketika sang ayah melempar botol ke arah mereka. Aku kembali teringat dengan cewek yang lari sambil menangis dengan baju yang masih terbuka. Aku teringat kembali pada pemuda yang tergeletak karena overdosis. Aku mengingat letupan tembakan polisi itu…. Kenapa semua ini? Tampaknya manusia itu sudah tidak manusiawi lagi!!!! TIDAAAAAKKKKK!
Aku berusaha menenangkan diriku. Aku mengingat kampusku. Kampus teologi, kampus gumul dan juang. Bergumul akan masalah kehidupan dan merefleksikannya dalam ranah teologi. Berjuang demi hidup. Berjuang untuk memanusiakan manusia. Hmmmh, sepertinya aku sudah lama melupakan moto gumul juang ini. Aku terlalu disibukkan dengan permasalahan dan kebingunganku tentang Allah dan berbagai agama yang ada di dunia ini.
Namun, aku lupa, bagaimana seharusnya agama-agama bertindak di tengah kondisi seperti ini. Sangat disayangkan apabila para pemimpin dan pemeluk agama hanya sibuk memikirkan keselamatan pribadinya saja. Sangat disayangkan apabila para pemimpin dan pemeluk agama hanya sibuk mencari mangsa dan saling menarik manusia untuk pindah ke agamanya. Aku memang mengatakannya dengan gaya bahasa sarkastik untuk mempertegas permasalahan ini.
Kita memang harus memandang dunia secara ekslusif namun terbuka. Sangatlah wajar untuk menjadi ekslusif dalam menjalankan ajaran maupun ritual agama masing-masing. Namun, ke-ekslusif-an itu haruslah dibarengi dengan semangat keterbukaan untuk kesatuan, di antara agama-agama. Memang setiap agama memiliki ajaran yang berbeda, namun saya yakin setiap agama memiliki cita-cita yang sama, yaitu mewujudkan kedamaian di dunia ini. Kedamaian dan kondisi manusia yang manusiawi tidak akan terwujud tanpa adanya kebersamaan dan usaha bersama. Mari berkarya dalam kata dan karya di tengah-tengah kondisi dunia yang memprihatinkan. Mari mewujudkan kedamaian! Mari memanusiakan manusia!
                        Shanchai, Shalom…
                        Shanti, Shadu…
                        Assalamualaikum…
                        Humanity shall life in peace
(Teks Lagu Perdamaian)

Tidak ada komentar: