Jumat, 07 November 2014

Semangat Melayani


Teks: 1 Raja-raja 19:1-8

Pendahuluan
Saudara-saudara, pernahkah Anda merasa jenuh melayani? Saya pernah merasakan kejenuhan itu. Dalam pelayanan saya, saya menemukan diri saya bahkan tidak sanggup lagi berefleksi dan menulis khotbah. Saya menghadiri rapat-rapat (yang banyak di gereja saya) dengan tiada bergairah. Faktanya adalah seperti penggalan lagu yang dinyanyikan group band Dewa “Tubuhku ada di sini, tetapi tidak jiwaku, KOSONG yang hanya kurasakan.” Ya, saya pernah merasakan saat-saat ketika saya merasa kosong. Bahkan, terus terang ketika menulis refleksi ini pun saya masih bergumul dengan masalah burn out. Dan di kalangan pendeta sendiri, burn out alias kehilangan semangat melayani itu sering terjadi.
                Di Alkitab kita, kita juga menemukan Nabi Elia yang sedang mengalami titik burnout dalam pelayanannya. Bayangkan, seorang nabi besar yang mengalahkan ribuan baal sekalipun pernah masuk dalam titik burn out. Perhatikan kata-katanya bahwa ia sampai ingin mati saja. Ia meminta Tuhan mencabut nyawanya. Dampak burn out memang mengerikan. Saya sendiri menemukan, ketika saya berada di dalam titik burn out, saya menjadi seseorang yang apatis, cuek dan galak. Saya menjadi tidak peduli pada orang lain, bahkan ketika persoalannya berat sekalipun. Persoalan burn out bahkan merembet ke mana-mana, bisa ke pelayanan dan bahkan ke rumah tangga kita sekalipun. Karena orang yang burn out menjadi lupa akan kasih mula-mula dan semagat melayani yang besar.

Sharing
1.       Pernahkan Anda mengalami burn out?
2.       Apa penyebabnya?
3.       Apa ciri-cirinya dalam pelayanan?
4.       Apa dampaknya?

Tafsiran dan Aplikasi
Saudara, dari segala hal yang tadi disebutkan, kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa burn out terjadi karena diri kita mengalami tekanan. Bentuk tekanannya bisa berbeda-beda. Ada yang tekanannya karena load pekerjaan yang banyak. Ada yang tekanannya karena konflik yang melelahkan. Ada yang tekanannya karena ia merasa sendiri dalam pelayanan. Ada yang tekanannya karena kejenuhan atas pekerjaan yang sudah menjadi rutinitas. Biasanya, sumber burn out terbesar di dalam suatu komunitas adalah konflik. Kenapa seseorang keluar? Karena konflik. Begitu juga nabi Ella. Dia merasa lelah karena konflik yang berkepanjangan dengan Izebel. Ia takut karena Ratu Izebel hendak membunuhnya. Ia merasa sendirian berjuang.

So, bagaimanakah solusinya? Bagaimana agar semangat pelayanan itu tetap hidup dalam diri kita?
1. Pekalah dengan sapaan Tuhan melalui para sahabat
Pertama-tama saya ingin menekankan bahwa penyelesaian burn out agar berubah menjadi semangat pelayanan terletak pada Tuhan dan kita. Dalam teks kita, kita melihat bahwa Tuhan tidak membiarkan nabi Elia seorang diri ketika mengalami burn out. Karena itu, kita harus peka pada sapaan Tuhan. Ada orang yang memang jika burn out dia tidak peduli dengan apapun dan tidak mau bangkit. Yakinlah, Tuhan menempatkan malaikat-malaikat penghilang burn out di sekeliling kita. Mungkin, malaikat itu hadir dalam rupa anak kita yang memberi keceriaan. Mungkin pula, malaikat hadir dalam rupa teman kita yang memberi dukungan dan nasihat. Namun, mungkin ada yang datang melalui sahabat yang sedang banyak masalah. Saudara, percaya tidak percaya, kalau saya burn out, missal karena pekerjaan menyiapkan khotbah yang menumpuk, Tuhan justru mendatangkan lagi banyak pekerjaan berupa orang yang konseling. Dan konseling itu memakan waktu. Namun, pada saat mendoakan dia, saya merasa Tuhan bicara, “Perhatikanlah orang lain dan percayalah kepada-Ku, Aku akan membantumu menyelesaikan tugas-tugasmu.”

2. Jadilah malaikat Tuhan!
Tuhan Allah memperhatikan nabi Elia dengan mengutus malaikatnya yang menyuruhnya bangun dan makan. Bayangkan saja, pada saat itu dalam pelariannya ia tidak sempat makan dan energinya habis. Tuhan mendatangkan seorang sahabat bagi Elia untuk berjuang. Karena itu, Tuhan juga bisa mengutus kita untuk menjadi sahabat bagi orang-orang yang burn out. Pertanyaannya, bagaimanakah cara untuk menjadi malaikat Tuhan?
ð  Kisah seorang Narapidana yang perlu penerimaan. Janganlah menjadi hakim, jadilah sahabat. Cermati penggunaan kata-kata “Mestinya, seharusnya, salah sih…” Gantilah dengan kata “Saya mengerti, saya menerima kamu, saya percaya kamu bisa berubah.”
ð  Maukah kita menjadi malaikat Tuhan?

Selamat semangat melayani, saya percaya PS Sentosa dapat menjadi sahabat bagi setiap anggotanya dan saling mendukung agar kita terus semangat dalam melayani. “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu, demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.”

Jakarta, 7 November 2014
Writing in a burn out moment
YIL



Rabu, 17 September 2014

Misteri Allah: Menerima karena Tak Sempurna

"Apa yang membuat seseorang percaya kepada Tuhan Yesus dan pergi ke gereja?" tanya seorang rekan. Saat aku mendengarar pertanyaan itu, aku segera menjawab, "Ya karena umat merasakan Misteri Allah, mysterium tremendeum et fascinosum." Lalu temanku bertanya kembali, "Di mana letak misteri Allah itu?

Aku terdiam ketika mendengar pertanyaan lanjutan darinya. Dan aku mencoba menerka-nerka. Apakah di bagian berkat? Apakah di bagian pengakuan dosa? Temanku hanya berkata, pikirkanlah itu. Kalau kau menemukannya, gereja tidak akan mati.

Aku mulai mencari-cari jawabannya. Di manakah misteri Allah itu? Saat khotbah, aku mulai memperhatikan jemaatku. Aku pun terkadang duduk bersama dengan jemaat dan menikmati ibadah. Lalu aku mencari-cari, "Dalam titik manakah jemaat merasakan kehadiran Sang Misteri itu?" Pertanyaan ini masih menghantui pikiranku hingga beberapa bulan lamanya.

Suatu ketika aku berjumpa dengan seorang pembantu rumah tangga. Awanya aku hanya bercakap-cakap dengan dia. Kami mulai bercakap-cakap hingga akhirnya percakapan lewat pesan singkat itu berlanjut ke obrolan via telepon. Ia menceritakan berbagai keluh kesahnya kepadaku dan penderitaannya. Hingga pertemuan itu berlanjut pada pertemuan tatap muka. Saya melihat ekspresinya yang awalnya sungkan bertemu dengan saya, hingga akhirnya saya merasa dia menganggap saya sebagai kakaknya sendiri (agak ge-er.com, dan sebenarnya kami seumur loh. hehehe). Dalam perjumpaan itu, saya melihat ada satu misteri Allah yang dia rasakan, yakni: penerimaan. Dia merasa diterima dan diperlakukan sebagai manusia ketika majikannya menolak dia.  

Ketika saya merasakan "AHA" momen itu, batin saya pun langsung melayang pada hasil survey yang dilakukan oleh GKI Kayu Putih. Salah satu poin penting dari survey itu adalah perihal ketakutan jemaat untuk tidak dikenal dan diterima. Hasil survey ini menarik karena yang mengalami ketakutan tidak diterima bukan hanya "anggota baru", melainkan "anggota lama". Ada kebutuhan yang besar akan penerimaan satu sama lain. Mengapa? Karena di sanalah kasih Allah itu nyata. Allah yang merangkul dan menerima semua orang. Allah yang memberikan matahari dan hujan pada orang yang baik maupun orang yang jahat.

Penerimaan... penerimaan...penerimaan... kata itu terus berbunyi di kepala saya setiap kali saya hendak memejamkan mata di penghujung malam. Aku bertanya, kenapa Allah bisa menerima manusia yang berdosa ini sedemikian rupa? Mungkin, karena Allah pernah merasakan bagaimana rasanya rapuh. Allah yang "tidak sempurna" dalam rupa manusia. Spiritualitas ketidak-sempurnaan ini jugalah yang harus dimiliki manusia. Kita perlu menyadari bahwa diri kita rapuh dan membutuhkan orang lain. Ada banyak kebencian dalam gereja yang tumbuh karena penolakan. Penolakan tumbuh karena kesombongan dan sikap merendahkan orang lain. Ada perasaan bahwa pelayanan yang kulakukan lebih baik daripada orang lain. Perfeksionis dan sombong!

Mungkin aku termasuk ke dalam kategori perfeksionis (sila bertanya pada teman-teman sekampusku dulu). Sifat perfeksionis ini membuat aku masuk ke dalam lingkaran over-critics. Dengan cepat dan jeli, aku melihat kesalahan dan kekurangan dalam diri orang lain ataupun dalam sebuah sistem.  Padahal sikap over-critics dapat menimbulkan perasaan tertolak pada diri orang lain. Setidaknya, orang yang terdekat denganku pernah mengkritisi aku perihal sifat over-critics-ku. 

Selama 1,5 tahun ini, aku merasa Allah banyak memperjumpakan aku dengan ke-tak-sempurnaan. Banyak hal yang tak berjalan sesuai dengan rencanaku, mulai dari rencana pribadi sampai mimpi besarku. Belum lagi, di gereja aku harus bisa bekerja sama dengan banyak orang yang kadang tidak sama kemauannya dengan kemauanku. Hidupku menjadi tidak perfect. Akan tetapi, di sinilah aku belajar arti misteri Allah. Aku belajar arti kebergantungan pada Allah dan ketidak-sempurnaan. Aku belajar untuk menerima kelemahan diriku. Aku belajar menerima bahwa ada banyak hal yang tidak bisa aku raih ketika ngotot. Aku belajar bahwa orang lain, walaupun memiliki kekurangan, pasti punya kelebihan yang mungkin aku tidak punya. Kita harus berani membuka mata bahwa ada ruang ketidak-sempurnaan. Di dalam spiritualitas ke-tidak-sempurnaan,  Allah menciptakan orang lain bagi kita agar kita saling mengasihi dan melengkapi. 

Aku kini menikmati spiritualitas ketidak-sempurnaan. Mengutip refleksinya Om Paulus, "Dalam kelemahankulah, kuasaMu menjadi sempurna." Spiritualitas ketidak-sempurnaan menuntun kita pada penerimaan. Penerimaan menuntun kita atas jawaban dari sebuah pertanyaan, "Mengapa orang mau pergi ke gereja dan mencintai Kristus?" Penerimaan menuntun kita pada gairah dan orgasme kehidupan bergereja. Dalam penerimaan kita merasakan dimensi "misteri Allah"

Jakarta, 17 September 2014 
YIR

Rabu, 03 September 2014

Just a Free Writing about my experiences

Saat ini, saya sedang mengerjakan sebuah proyek penulisan untuk ibadah syukur pernikahan dan pelayanan Opa Loing yang akan diselenggarakan pada bulan Februari 2015. Tugas saya sangat sederhana. Saya diminta untuk mendengarkan kisah pernikahan dan pelayanan Opa Loing dan Oma Anneke dan kemudian merangkumnya dalam bentuk tulisan.

Tidak menduga, proyek ini justru menjadi berkat buat saya. Lewat kisah hidup mereka, saya melihat bagaimana kuasa Tuhan bekerja dalam kehidupan mereka. Yang paling menarik adalah kesimpulan mereka, "Kalau kami diminta mengulang masa-masa itu, kami mau." Terus terang, saya terkejut mendengar pernyataan itu karena buat saya masa-masa kehidupan mereka sungguh berat dan tak mudah. Lewat kisah itulah, saya melihat bahwa mereka berdua adalah orang yang sangat mengabdikan diri bagi Tuhan dan sangat dicintai Tuhan.

Apa kisahnya? Penasaran khan? Sayangnya kisahnya masih rahasia, tunggu saja kisahnya di tahun depan. Hehehehe...

Anyway, sedikit "jump up" ah, rupanya lewat percakapan dengan mereka, saya merasakan bimbingan Tuhan untuk melihat karya nyata Tuhan dalam hidup saya, khususnya sejak saya memutuskan untuk memasuki jalur kependetaan. Ada momen ketika saya hampir menyerah dan seakan tiada jalan untuk masalah yang saya hadapi. Masa terberat adalah sekitar dua tahun lalu. Rasanya cita-cita dan cinta itu dipertaruhkan. Padahal bagi saya, keduanya adalah panggilan. Ya, panggilan untuk melayani dan mencintai. Namun, Tuhan membuka jalan, dengan diterimanya orang yang saya cintai di salah satu universitas terkemuka di Indonesia. Terus terang, saya masih memiliki kekuatiran. Namun, percakapan dengan Opa Loing dan Oma Anneke, membuat saya yakin bahwa ada yang disebut "the invisible hand" yang akan menolong kami, asal kami pun tulus mencintai Allah.

Thanks God for this opportunity.
Jakarta, 4 September 2014
YIR 



Kamis, 21 Agustus 2014

Giyanti


Ruangan kedai kopi yang bernama Giyanti itu tidak besar --cenderung kecil malah—tapi suasananya hommy banget! Apa yang buat hommy? Pertama-tama, design interior ruangannya unik banget. Di dindingnya banyak terdapat tulisan-tulisan inspiratif, salah satunya: teach me how to serve. Ada mesin penggiling kopi yang mejeng di sana. Kursi-kursi dibuat berdekatan dan didesign secara unik. Ada kursi model ayunan yang kucoba dengan perasaan sedikit gentar karena takut jatuh. Hehehhe… Just intermezzo, di pojok ruangan indoor ada bule ganteng yang enak dipandang. :P Sayangnya ruangannya penuh, jadi aku hanya bisa memandangi dari luar jendela kaca. hehehhe.
Selain ruangannya, yang buat hommy adalah kualitas pelayanannya. Hendri, pemilik kedai kopi itu, datang ke tempat duduk kami (aku, Ka Linna dan Pak Sahat) untuk minta masukan mengenai rasa kopinya. Selain itu, dia juga mengajak kami untuk melihat proses pembuatan kopinya. Yang paling menarik, Hendri menceritakan idealismenya dalam mengelola kedai kopi ini. Begini katanya:
“Kita hanya buka sampai jam 6 sore, untuk mengajarkan orang bagaimana minum kopi yang sehat. Ini ada kaitannya dengan metabolism tubuh. Kami juga hanya membuka toko dari hari Rabu sampai Sabtu. Aku seperti egois sich, tapi Minggu itu hari istirahat. Hari Senin sampai Rabu kita mengolah kopi sendiri. Kami ambil kopi dari Jawa Tengah yang hampir punah. Tujuannya biar orang menanam dan melestarikan. Aku punya mimpi untuk buat perpustakaan di tengah kebun kopi agar masyarakat bisa mengembangkan kopi itu. Di kedai kopi ini, kami menawarkan keramah-tamahan, budaya Indonesia yang selalu diajarkan orang tuaku.”
Cerita Hendri itu inspiratif banget buatku. Wow… mantap! Aku belajar arti hospitalitas. Hospitalitas adalah soal nilai yang ada di hati kita. Dan nilai itu bukan sekadar omong kosong, mereka mengkongkretkannya dalam bentuk ruang dan tindakkan. Yup, soal ruangan: bagaimana kita menciptakan ruangan yang hommy dan gak kaku. Soal tindakkan adalah bagaimana kita mau terbuka untuk bicara dengan orang asing. Yeah: connecting people, kayak iklan gadget itu loh
Oh iya, ada lagi satu hal yang menarik dan menujukkan hospitalitas yang tinggi. Salah satu pelayan Giyanti ada yang berkebutuhan khusus. Walau aku agak susah berkomunikasi dengan dia ketika memesan minuman, aku mengapresiasi penerimaan kedai kopi ini terhadap orang yang berkebutuhan khusus. Ketika dunia menertawakan mereka, kedai kopi ini justru mengapresiasi dan memberdayakan dia.
Tuhan, aku pengen gereja bisa terbuka dan belajar dari kedai kopi ini. Asik banget deh kalau gereja kita jadi hommy banget. Asik banget kalau ada tempat nongkrong yang santai dan cair untuk berhospitalitas. Rasanya indah kalau anak kecil, orang muda sampai oma-oma bisa kongkow-kongkow bareng. Rasanya bahagia kalau gak ada lagi orang yang menertawakan orang berkebutuhan khusus. Aku yakin, ini bukan cuman mimpiku, tapi mimpi Tuhan juga. Yup, sebagaimana Tuhan juga punya rancangan damai sejahtera buat kita semua di mana serigala dan anak domba bisa sama-sama makan rumput. Tidak ada yang berbuat jahat atau busuk…

Jakarta, 20 Agustus 2014

YIL

Kamis, 03 Juli 2014

Ibu Berjilbab Merah


40 km/jam…

50 km/jam….

Cittttt….. Braaaak….  

Aku menahan motorku dengan tubuhku yang kurus kering ini. Untung saja, jalanan sedang lengang. Tidak ada motor dan mobil yang lewat yang mungkin saja dapat menggilasku. Tangan dan kakiku gemetaran. Aku diam mematung di tengah jalan. Aku masih terkejut dengan kejadian itu. Barang belanjaanku tumpah berhamburan ke jalan. Aissshhh…

Tiba-tiba, aku melihat seorang ibu lari tergopoh-gopoh ke arahku. Ia memakai kerudung merah. Tangannya menggenggam tas belanjaan berwarna merah. Ia langsung berjalan menuju ke arah barang belanjaanku yang jatuh berantakan.

Hmmmm…. Ada apa ini, pikirku. Aku menduga ia hendak mengambil barang belanjaanku lalu kabur. Aku hanya memperhatikannya, sambil meringis menahan rasa sakit di pahaku. Tapi, ia tidak menjauhiku. Ia malah mendekatiku. Jantungku berdetak kencang. Tanganku memegang tasku dengan semakin erat.  Ah, ada apa ini. Mencurigakan sekali!

Rupanya, ia mengulurkan barang belanjaanku ke lenganku. Lalu, dengan tersenyum ia berkata, “Hati-hati ndu, kalau mengendarai motor. Alon-alon.” Wajahku memerah ketika mendengarkan ia berkata begitu. Ia menolongku. Ia tak meminta apapun dariku. Ia menolongku berdiri. Setelah ia melihatku sudah bangkit, ia pamit.

Aku tertunduk malu karena telah mencurigai perempuan berjilbab merah itu. Ia adalah orang baik. Ia melakukan apa yang dikatakan oleh Daud dalam Amsal 3:27. “Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya.” Kebaikan yang dilakukan ibu berkerudung merah itu adalah kebaikan sederhana. Ia tidak menahan-nahan kebaikan yang ada pada dirinya. Namun, kebaikannya meluluhkan kecurigaanku. Ternyata benar bahwa kebaikan itu melintasi agama dan suku. Terima kasih, ibu berjilbab merah.

 

Jakarta, 3 Juli 2014
YIR

Sabtu, 28 Juni 2014

Mengenang Dwinda


1 Timotius 4:12 adalah ayat yang tidak lazim dipakai pada ibadah penghiburan. Namun, saya menggunakannya karena ayat ini menggambarkan kehidupan Dwinda. Dwinda sudah melakukan semua pesan Paulus kepada Timotius. Di dalam Alkitab, kita mengenal bahwa Timotius adalah seorang muda. Sebenarnya, dia tidak muda-muda banget. Dia sudah 15 tahun membantu pelayanan Paulus. Usianya sudah sekitar 40 tahunan, namun ia masih sering disepelekan karena dalam masyarakat Israel yang bercorak patriakal, orang yang berumur segitu dianggap belum kompeten untuk memimpin. Walaupun begitu, Paulus mempercayai Timotius. Nasihat ini disampaikan Paulus kepada Timotius agar tidak ada yang merendahkannya.

Dwinda belum berumur 40 tahun, namun ia sudah melakukan semua nasihat Paulus itu di usianya yang masih belia. Saya mengenal Dwinda sejak kurang lebih setahun lalu. Ia adalah salah seorang anak katekisasi yang saya ampu bersama-sama dengan Ka Linna dan Ko Ocep. Saya mengenal Dwinda sebagai anak yang ceria. Kemana-mana dia selalu tersenyum, walaupun tentunya sebagaimana anak remaja yang lainnya kadang dia suka galau. Galau karena teman, keluarga ataupun karena cinta.

Akan tetapi, dibalik semua kepolosannya dan keceriaannya, Dwinda justru menjadi pengajar buat saya. Ia mengajarkan kepada saya bagaimana menjadi pengikut Kristus yang penuh kasih, kesetiaan dan kesucian. Dwinda adalah anak yang penuh kasih. Kasih adalah suatu tindakkan menaklukan diri karena melalui kasih kita menumbuhkan kepedulian kepada orang lain. Dwinda anak yang sangat care pada teman-temannya. Kalau membuka facebooknya, maka yang ada adalah foto teman-teman katekisasinya. Biasanya, profile picture anak remaja itu menunjukkan bagaimaana isi hatinya. Dwinda tahu betul arti persahabatan, sebuah nilai yang dibangung sejak kelas katekisasi ini dimulai.

Saya yakin, semua sahabat-sahabatnya di kelas katekisasi  tahu betul betapa peka dan pedulinya Dwinda terhadap sahabat. Saya ingat, suatu ketika sepulang gereja, dia bersaama teman-temannya menahan saya untuk pulang. Dia sedang membuat video untuk temannya yang sangat berarti di hatinya. Pada saat itu, temannya hendak pergi ke luar negeri. Kasih itu terwujud lewat perhatian yang Dwinda berikan. Hatinya lembut dan penuh perhatian. Mungkin apa yang saya rasakan ini pun yang dirasakan oleh keluarga dan para sahabatnya.

Dwinda juga mengajarkan kepada saya arti kesetiaan dalam mengikut Kristus. Dia anak yang selalu bersemangat untuk mengikuti katekisasi. Kesan inilah yang kami dapatkan sebagai pengajar. Sebagaimana yang tantenya ceritakan, Dwinda selalu happy setiap kali mau masuk kelas katekisasi. Dia dengan penuh antusias mengikuti camp katekisasi. Saya ingat pada saat camp dia bertemu dengan saya di depan kamar mandi, ketika saya hendak turun ke Jakarta. Dia bilang, “Ka Yesie, saya senang banget ikut soloing. Ini baru pertama kalinya. Pertamanya aku takut bagaimana gitu, tapi aku bisa melewatinya dan bisa merasakan bagaimana Tuhan.” Bahkan yang membuat saya kagum dengan dia, dia tetap mau datang untuk disidi bersama teman-temannya, walaupun dia sedang sakit dan akhirnya tidak sanggup memasuki gedung gereja. Saudara, kesetiaan dalam mengikut Kristus membutuhkan keberanian untuk melangkah walaupun kita sedang berada di dalam ketakutan dan penderitaan. Dan Dwinda yang manis itu mengajarkan kepada saya arti kesetiaan kepada Kristus. Ya, kesetiaan adalah ketaatan totalitas kepada Tuhan yang tak dapat ditaklukan, apapun resikonya.

Terakhir, Dwinda mengajarkan kepada saya arti kesucian di hadapan Tuhan. Orang yang suci adalah orang yang bersih, ibarat gandum yang bersih dari sekam-sekamnya akibat hembusan angin. Orang yang suci adalah orang yang berhati tulus dan murni di hadapan Tuhan, apapun tempaan yang ia alami. Bagi saya, dengan berbagai pergumulan yang ia hadapi dan “miracle-miracle” yang dirasakannya dalam hidupnya, ia menjalani hidup ini dengan kesucian hati. Hatinya murni, motivasinya lurus, tanpa pamrih. Ia mengasihi karena ia mengasihi, bukan karena ada apa-apanya. Ia tertawa dan bersuka ria karena ia memang ceria, bukan karena ia ingin mendapatkan sesuatu. Bahkan, ketika teman-temannya ataupun pembimbingnya kurang memperhatikannya, ia tidak mendendam. Hatinya suci, bebas dari motivasi buruk dan dendam.

Dalam Injil Matius 5:28, dikatakan Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah”. Dwinda telah merasakan kehadiran Allah saat ia hidup karena kehadiran Allah memenuhi dirinya yang suci hatinya. Terlebih saat ini, Dwinda sudah melihat Allah. Pejamkanlah mata saudara dan lihatlah dengan mata batin kita bahwa Bapa sedang menggandeng Dwinda yang sedang tersenyum. Dwinda ingin dikenang ketika kita melakukan apa yang ia sudah lakukan yakni saat kita hidup dengan penuh kasih, kesetiaan dan kesucian di hadapan Tuhan.

 

To know you is a miracle for me…
Jakarta, 26 Juni 2014
YIR

Kamis, 26 Juni 2014

Surat Cinta Kristus

Oma Wiryani....

Oma adalah orang yang paling pertama saya kunjungi saat saya memasuki masa perkenalan di GKI Kayu Putih, di akhir Februari 2013. Setahun setengah yang lalu, oma masih ceria. Oma masih suka duduk di luar, melihat orang lalu lalang. Oma senang bercerita tentang anak-anak dan cucu-cucunya. Semua yang dikisahkannya adalah hal yang baik-baik. Kadang dia bilang bahwa dia kesepian, tapi dia mengerti kesibukan anak-anak dan cucu-cucunya. Oma sangat rindu dengan cucu terdekatnya yang berada di Australia. Kalau tidak salah oma pernah merawatnya semasa ia kecil. Ia sayang sekali pada keluarganya. Oma adalah orang yang ramah. Ia meminta kami makan biskuit yang diberikannya. Katanya harus dicoba karena perjalanan untuk melawat masih panjang. Di penghujung kunjungan, oma minta didoakan. Ia tidak minta didoakan untuk dirinya sendiri. Ia minta anak-anaknya yang didokan. Terutama cucu-cucunya, apalagi yang jauh di Australia.

Kunjungan tetakhir saya adalah beberapa bulan lalu. Oma tampaknya sedang tidak enak badan. Oma bilang tulangnya sakit semua. Ia tidak kuat duduk. Kami mendoakannya di kasur. Tapi sebelum berdoa dia minta anak cucunya didoakan. Setelah berdoa, dia teringat bahwa kami belum makan kue. Maka dengan sedikit memaksa, ia mendesak kami dengan nafasnya yang terengah-engah agar kami makan kue. Saya terharu saat itu.

Bagi saya Oma mengajarkan arti keramah tamahan dan cinta kasih. Ia begitu terbuka menerima kami yang mengunjunginya. Bahkan di tengah kesakitan, ia masih ingat untuk menyuguhi kami kue. Sungguh saya merasa pengalaman ini jarang sekali dijumpai kita, masyarakat di kota besar yang sibuk dengan diri masing-masing. Ia mengajarkan kepada saya arti tidak mementingkan diri.
 
Oma juga mengajarkan saya arti cinta kasih kepada keluarga. Oma paham kesibukan anak-anak dan cucunya. Namun, ia tetap mendoakan. Begitu sayangnya pada keluarganya, sehingga ia selalu menceritakan kisah keluarganya yang ada di dindingnya. Bahkan, si mbak mengatakan bahwa ia begitu girang setiap kali mendapat telepon dari cucunya yang berada di Australia.

Sekarang Oma sudah pulang. Oma tidak lagi merasa sakit dan linu di tulangnya. Di usianya yang sudah lanjut. Namun satu hal yang pasti ada hal yang sungguh nyata dalam diri Oma, oma sudah menjadi surat Kristus yang terbuka dan dibaca semua orang, sebagaimana yang ditulis Paulus dalam 2 Korintus 3:2-3 "Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang. Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia."

Saudara, Paulus berpesan kepada jemaat Korintus agar menjadikan dirinya surat yang terbuka. Dengan menjadi surat terbuka, maka kemuliaan Tuhan akan dinyatakan sehingga kerasulan Paulus pun tidak diragukan. Pada saat itu sedang muncul fenomena penulisan surat. Seorang guru akan diakui kalau muridnya memuji-muji dia dan menyaksikan kehebatan sang guru. Namun, Paulus berpendapat bahwa hal tersebut tidaklah perlu. Menurut Paulus setiap orang adalah "iklan" dalam kekristenan. Kemuliaan Kristus ada di dalam diri pengikut-Nya. Sebagaimana perumpamaan yang dikatakan Barclay: kita mengenal penjaga toko berdasar barang yang dijualnya. Kita mengenal pembuat barang dari barang yang kita pakai. Kita menilai gereja berdasarkan tindakkan manusia di dalamnya.

Kehidupan Oma menjadi surat Kristus bagi saya dan juga keluarga. Surat itu tidak dapat terbakar oleh api dan tidak basah oleh air. Surat itu tidak lapuk dimakan rayap. Ya, karena surat itu hidup dalam hati kita semua yang pernah mengenal Oma, khususnya keluarga. Mengapa? Karena yang mengisi kehidupannya adalah Roh Allah. Roh Allahlah yang menuntun pelayanannya. Dalam peristiwa pelawatan itu tidak hanya oma yang terlayani. Kami pun dilayani dengan nilai keramahtamahan dan cinta kasih yang ia nyatakan.

Roh Allah itu menghidupkan. Buktinya kasihnya masih kita rasakan walaupun ia sudah meninggal. Ya, sebagaimana yang tertulis dalam Yohanes 11:25  Jawab Yesus: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati. Sekarang tinggal kita yang melanjutkan karya oma di dalam hidup ini untuk menjadi surat Kristus.... Percayalah kita pun kelak akan hidup walaupun sudah mati.

 

YIR
Yogjakarta-Jakarta, Senja Utama
created for O Wiryani's remembering service

 

Jumat, 18 April 2014

AKU TELAH MELIHAT TUHAN (First Perspective Biblical Story)


Tidak salah aku lewat ke tempat ini. Aku jadi punya kesempatan untuk melihat pertunjukkan yang keren itu. Eh, adik-adik…. Aku saat ini sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat untuk menyampaikan sebuah berita. Namaku, hmmm…. Kasih tahu ga yah? Oh ya, setelah aku selesai bercerita, kalian boleh menebak siapa aku.

Baiklah, aku lanjutkan ceritaku. Tadi aku bilang bahwa aku pembawa berita. Aku mau menyampaikan satu berita penting kepada murid-murid Yesus. Beritanya begini, “Aku telah melihat Tuhan.” Wah kalian tentu bertanya-tanya khan, kapan aku melihat Tuhan?
Ceritanya begini: Pada saat itu, aku pergi ke kubur Yesus pagi-pagi benar, waktu ayam juga belum bangun. Aku melihat pintu kuburnya terbuka. Oh ya, kuburan di tempatku berbeda dengan kuburan di tempat ini. Kuburan di tempatku bentuknya seperti itu: (ppt kuburan Yesus). Ah, jangan-jangan mayatnya dicuri. Aku pun diam-diam masuk ke dalam kuburan itu. Dan ternyata benar! Mayatnya tak ada! Yang ada hanyalah dua orang berpakaian sangat putih dan mereka bertanya, “Ibu mengapa engkau sangat sedih?”

Huh! Siapa yang tidak sedih? Aku sedih sekali pada saat itu. Air mataku lagsung menetes waktu melihat mayat Tuhan Yesus tak ada. Orang-orang itu menyalibkan Tuhan Yesus. Dan sekarang mereka mencuri mayatnya. Aku merasa sedih karena mayat guruku dicuri. Bagiku, Tuhan Yesus itu orang yang sangat berarti. Dulu, aku tidak punya teman. Tidak ada seorangpun yang mau mendekati aku. Aku selalu sendirian. Orang-orang lain takut terhadapku karena di dalam diriku ada tujuh setan. Tapi, Tuhan Yesus tidak menjauhi aku. Ia menolong aku. Ia mengusir setan yang ada di dalam diriku. Karena itulah, aku sangat sedih ketika mayatnya dicuri. Aku merasa pelindungku hilang. Jika Dia tak ada, aku takut kalau setan itu masuk ke tubuhku lagi.

Tiba-tiba dari belakang ada yang menepuk pundakku. Dia bertanya, “Ibu kenapa engkau menangis?” Uh, sepertinya ada penunggu taman yang iseng. Dia tidak tahu apa kalau aku sedang sedih. Aku langsung kesal. Mungkin, dia yang mengambil mayat Tuhan Yesus. aku katakan padanya, “Pak kalau bapak yang memindahkan mayatnya, tolong beri tahu saya di mana Bapak mengambil mayatnya. Tapi laki-laki itu tidak menjawab pertanyaanku. Ia malah memanggil namaku. Aku tersadar, bahwa dia adalah Tuhan Yesus. Ah, aku telah melihat Tuhan. Ternyata benar yang dikatakannya dulu bahwa Ia akan bangkit pada hari ke-3 setelah ia mati. Aku telah melihat Tuhan! Adik-adik, Tuhan Yesus telah bangkit. Berita ini yang mau aku sampaikan pada kalian semua. Ia telah memberi kemenangan kepadaku. Aku tidak sedih lagi. Aku tidak takut lagi setan masuk ke tubuhku karena Tuhanku telah menang.

Adik-adik, Tuhan Yesus telah bangkit. Ia memberikan kemenangan buat kita. Karena itu, kita harus menggunakan talenta kita untuk memberitakan bahwa Tuhan Yesus telah bangkit dan menang. Tadi, aku lihat semua peserta sudah menunjukkan semua talentanya: Ada yang bisa main sulap, ada yang bisa nyanyi, ada yang bisa nari! Semuanya sudah  mempersiapkan dengan baik sehingga semua peserta menang! Tuhan kita memberikan kemenangan buat kalian semua yang sudah mempersiapkan dengan baik. Tuhan tidak melihat pertunjukkan mana yang paling bagus atau tidak. Ya, lupa dan salah-salah sedikit gak apa-apalah. Yang Tuhan lihat adalah kalian telah mempersiapkan semuanya dengan baik. Kalian berlatih dengan semangat dan ceria! Kalian menang karena kalian telah menggunakan talenta yang kalian punya untuk memberitakan bahwa Tuhan Yesus sudah bangkit di hari paskah ini.


Terakhir nich! Adik-adik, ngomong-ngomong, kalian sudah tahu belum siapa namaku? Aku adalah Maria Magdalena. Talentaku adalah bercerita. Karena itu, aku selalu bercerita untuk menyampaikan bahwa Tuhan Yesus telah bangkit! Sekarang, aku mau pergi dulu yah! Aku mau menceritakan kepada orang lain bahwa Aku sudah melihat Tuhan yang bangkit dan hidup! Ayo siapa yang mau menggunakan kemampuannya untuk mengatakan bahwa Tuhan itu sudah bangkit dan hidup? Daaahh… sampai ketemu lagi di lain waktu. J

Jumat, 11 April 2014

Selayang Pandang Trauma dan Sikap Gereja (Antara Impian dan Kenyataan)


Menjaring Definisi dari Suatu Pengalaman Traumatik

“Kepalaku sakit setiap mendengar suara keran air yang dibuka di kamar mandi. Wajahku mendadak pucat pasi dan badanku gemetar saat mendengar suara air mulai mengalir dari keran di kamar mandi. Kamar mandi menjadi tempat yang menakutkan untukku sejak aku berusia 10 tahun. Aku tak kuasa mengingat peristiwa itu. Peristiwa ketika pamanku memutar keran air dan membiarkan air mengalir. Pamanku membekap aku. Ia membuka bajuku dan menarik aku dalam pangkuannya. Dekapan tubuhnya yang kekar membuatku tak kuasa untuk memberontak. Ia memperkosa aku di usiaku yang ke-10. Hatiku hancur. Aku merasa bersalah dan malu. Aku tak mengerti lagi apa artinya keintiman. Aku tidak paham makna kasih sayang. Aku tak bisa lagi berada di dekat laki-laki dewasa dengan nyaman. Taka ada yang mengetahuinya, hingga sahabat perempuanku memperhatikan keanehan-keanehanku yang muncul dari luka yang berteriak saat aku berada di toilet umum. Ya, aku gemetar saat aku mendengar laki-laki di sebelah kamar mandi itu batuk dan mengucurkan air keran.”
(diambil dari studi kasus dalam kelas teologi trauma di STTJ)

Peristiwa itu dialami perempuan tanpa nama itu di usianya yang ke-10. Luka fisik akibat pemerkosaan: lebam-lebam sudah hilang dari fisiknya. Namun, trauma akibat pemerkosaan itu masih saja tersisa. Hal ini menyiratkan ada tiga hal yang terkandung dalam definisi trauma.
Pertama, realitas trauma menembus dimensi waktu. Trauma tidak dapat diatur dan ditentukan waktu dan lokasinya. Sekalipun peristiwa itu terjadi di masa yang lampau, trauma pada perempuan itu masih tersisa.  Perempuan tanpa nama itu kembali gemetar dan ketakutan ketika mendengar air keran yang mengucur, walaupun itu terjadi di toilet umum: lokasi yang berbeda dengan toilet di rumahnya.
Kedua, trauma tidak hanya merujuk pada luka fisik. Dalam studi trauma, terminologi trauma juga merujuk pada luka batin. Trauma pada batin disebabkan oleh kekerasan yang dialami manusia: baik itu kekerasan fisik maupun verbal yang menghancurkan batin. Trauma pada batin menunjukkan betapa rapuhnya jiwa manusia. Sama seperti luka tubuh yang dapat mematikan, trauma pada batin juga dapat menghancurkan kehidupan manusia. Trauma pada batin tak terlihat dan dapat menghancurkan manusia dengan perlahan namun pasti (Jones 2009, 12-13).
Ketiga, realitas trauma akan mempengaruhi cara pandang kita terhadap dunia dan cara kita memperlakukan diri kita. Dalam kisah di atas, cara pandang perempuan itu terhadap intimacy dan konsep dirinya menjadi hancur. Ada rasa bersalah yang muncul dalam dirinya walaupun ia tidak bersalah. Bahkan intimacy pun menjadi ruang yang menakutkan baginya.
            Trauma dalam definisi di atas tampak sebagai trauma yang timbul pada satu pribadi. Akan tetapi, studi trauma menunjukkan bahwa trauma dapat terjadi secara komunal, seperti tragedi pemboman WTC dan Boston. Tragedi ini menyisakan trauma besar bagi masyarakat Amerika. Infrastruktur sudah kembali dibangun, tetapi trauma masih tetap menghantui mereka.

Karakteristik Orang yang Mengalami Trauma
Dalam, Unclaimed Experience, Cathy Caruth mengungkapkan bahwa trauma mental dan batin memang tidak terlihat dalam bukti fisik.[1] Namun, trauma mental dan batin dapat muncul melalui kesaksian yang muncul dari luka yang tersimpan dalam dirinya. Kesaksian itu tampak dari ciri-ciri psikis yang tampak dari bahasa tubuh (Caruth, 1996 3-5).
Serene Jones memaparkan beberapa ciri/karakteritik psikologis yang dapat kita cermati untuk mendeteksi apakah seseorang mengidap trauma pasca peristiwa kekerasan. Karakteristik ini disebut PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Adapun karakteristiknya adalah sebagai berikut (Jones 2009, 16-18) :
(1) Tidak kuat mendengar suara keras/ribut, mudah panik.
(2) numbness (mati rasa) dan disorientasi.
Orang yang mati rasa mengalami ketidaknyambungan antara emosi dan kognisinya.  
(3) tidak bisa tidur dan merasakan kecemasan yang akut.
(4) unarticulated compulsions.
(misalnya orang yang selalu mengulang gerak tubuh tertentu pada saat ada peristiwa yang menyerupai kejadian traumatik yang pernah dialaminya)
(5) Berkurangnya ingatan dan kosakata yang biasa kita pakai.
Biasanya orang yang pernah mengalami peristiwa traumatis, sulit untuk mengingat traumanya. Ia tidak dapat bercerita dengan runut dan bahkan kehilangan memori-memori terntentu. Hal ini disebabkan bagian otak langsung menolak untuk mengingat peristiwa traumatis tersebut.
(6) Kehilangan rasa percaya diri dan merasa kehilangan harapan akan hari esok. Situasi ini biasanya terjadi pada orang-orang yang mengalami peristiwa yang sangat kuat dan kekerasan seksual.
(7) Perasaan dibuang dan terisolasi dari teman-temannya. 
(8) mimpi buruk (kemunculan mimpi buruk adalah salah satu bentuk teriakan dari luka, karena tubuh tetap tidak dapat menahan luka).

Antara Impian dan Kenyataan:
Peran Gereja dalam Menghadapi Orang-orang yang Trauma
1.     Memikirkan dan merumuskan ulang teologi operatif yang kita kembangkan di jemaat.
Pertanyaan kunci dari saran yang pertama ini adalah, “Pikirkanlah apakah bahasa gereja merengkuh persoalan real traumatik di jemaat? Atau jangan-jangan bahasa teologi kita tidak terkoneksi dengan bahasa dari luka karena teologi menjadi sangat optimistik dan serba tahu?” Jones, dengan tajam menyatakan tugas ini dalam tulisannya

Theology task is to re-narrate to us what we have yet to imagine (21). If grace has power to reshape the imagination, then theology is the language that both describes that power and evokes it in the loves of people by telling grace-filled stories of new imagining (21-22). Not a systematic theology of trauma and grace, but a glimpse grace
           
Salah satu contoh teologi yang harus dikritisi misalnya pemahaman tentang anugerah. Jones mengatakan seperti ini: Apabila benar bila kita berpandangan bahwa manusia bersih dan bebas dari yang jahat ketika anugerah dicurahkan? Apakah perspektif itu tepat untuk orang-orang yang mengalami pengalaman traumatik? Perspektif trauma mengkritik konsep berpikir semacam ini. Kita terlalu naïf dalam optimisme tentang struktur dosa dan anugerah. Bagaimana dengan penyintas yang sampai akhir hidupnya masih terjebak dalam trauma (Jones 2009; 155)? Trauma itu masih tersisa di ruang-ruang kehidupan kita.
            Jones, mengkonstruksi cara berpikir tentang anugerah. Anugerah Allah adalah saat Allah hadir bersama-sama dengan kita yang terluka. Allah menyembuhkan dengan cara yang lembut, tapi tidak kehilangan dimensi bahwa Allah “menggoyang” luka kita sambil memegang kita. Kita diingatkan bahwa kita masih akan terluka, namun akan ada yang selalu mendampingi kita yakni Allah. Jadi, anugerah bukanlah sesuatu yang radikal: yang mengubah kehidupan kita secara hitam putih. Grace needed to be larger than the lives of those who never recovered. It needed also to be sturdier than a tale of straightforward recovery, less sanguine, less optimistically (Jones 2009, 157)Mungkin, ada banyak lagi teologi operatif yang perlu kita kritisi karena justru dapat membuat orang-orang yang mengalami peristiwa traumatik menjadi semakin terpuruk. Mari memikirkannya bersama-sama :)

2. Melakukan trauma healing.
Shelly Rambo mengusulkan dua dalam trauma healing. Pertama, tracking the undertow. Dalam pendekatan ini, kita diajak untuk menggali kedalaman yang tidak ada di permukaan. Bersama-sama dengan Roh Kudus, kita diajak untuk memasuki perasaan kehilangan, kemarahan, dukacita dan kekacauan dalam hidup ini. Roh Kudus menyingkapkan dan menyaksikan realitas yang tertinggal di dalam bahasa trauma (Rambo 2010, 161)
Kedua, Rambo mengusulkan agar dalam trauma healing, ada pendekatan yang disebut dengan sensing life. Bersaksi berarti ‘sensing life’. Menurut Rambo, dengan “sensing” kita tengah menempatkan diri pada hal-hal yang tak terketahui (Rambo 2001, 163). Bagi orang-orang yang traumatis, kehidupan ini dipenuhi oleh berbagai pemicu sensori trauma sehingga kehidupan menjadi kejam. Menurut Rambo, orang yang trauma itu perlu diajak untuk merasakan bahwa harapan dan bahkan kehidupan yang indah itu masih ada.
Oleh karena itu, diperlukan proses pendampingan untuk mengkoneksikan kembali mereka dengan kehidupan. Kita mendengarkan bahasa trauma dengan melihat dengan peka teriakan luka yang muncul dari bahasa tubuh orang-orang yang berada dalam trauma. Setelah itu, diperlukan proses penerjemahan kembali kehidupan kepada mereka yang berada di dalam trauma.
Menurut Rambo, peran Roh Kudus sangatlah besar dalam proses ini. Roh Kudus memampukan konselor untuk mendengarkan teriakan luka. Roh Kudus menolong orang-orang yang trauma untuk menautkan kembali diri mereka dengan nafas kehidupan mereka. Roh Kudus memampukan korban untuk merasa, melihat secara lebih tajam, dan mengecap kehidupan lebih sensitive (Rambo 2001, 163).

3.     Menjadi Saksi yang Penuh Belas Kasih (Compassionate Witnessing)
Pada saat kita membaca kisah-kisah kesaksian hidup orang (literature of testimony), kita menjadi saksi untuk peristiwa itu sendiri. Ketika kita menyaksikan pengalaman kita maupun pengalaman orang lain, kita sedang membangun teologi sebagai diskursus kesaksian, bukan diskursus kebenaran doktrinal. Jika diibaratkan dengan posisi dalam ruang pengadilan, teologi berfungsi sebagai saksi, bukan sebagai hakim yang menentukan apa yang benar dan yang saling. Oleh karena itu, dalam percakapan trauma, kita pertama-tama mendengarkan apa yang terjadi dan selanjutnya menyaksikan apa yang terjadi. Tujuan kesaksian itu adalah agar kekerasan tidak terjadi lagi.
Menurut Kaethe Weingarten, dengan menjadi saksi yang penuh belas kasih, kita belajar untuk mendengarkan apa yang terjadi melalui teriakan dan tangisan dari luka. Tidak hanya itu, menjadi saksi  yang berbelas kasih juga berarti memikirkan apa yang telah kita saksikan dan membangun rencana konkrit untuk mencegah peristiwa traumatik itu terulang kembali. Dengan demikian, menjadi saksi juga harus mengusahakan pemikiran-pemikiran inovatif dalam kebijakan di ranah publik untuk mencegah peristiwa traumatik itu. Salah satu contoh hal sederhananya adalah: kecelakaan lalu lintas dapat menjadi peristiwa traumatik bagi banyak orang. Lalu bagaimana gereja memikirkan dan mewujudkan cara dan aturan agar di lingkungan sekitar gereja kecelakaan lalu lintas dapat diminimalisir.

REFERENSI

Caruth, Cathy. Unclaimed Experience: Trauma, Narrative, and History. Maryland: The John Hopkins University Press. 1996.
Jones, Serene. Trauma and Grace: Theology in a Ruptured World. Louisville: Westminster John Knox Press, 2009.
Rambo, Shelly. Spirit and Trauma: A Theology of Remaining. Louisville: Westminster John Knox Press, 2010.
Wengarten, Keaethe. Common Shock: Witnessing Violence Every Day. New York: New American Library.

Kiranya gereja menjadi komunitas yang menyembuhkan, bukan menyemai trauma

Jakarta, 4 April 2014
YIL




[1] Ada kisah perempuan Papua yang diperkosa. Vaginanya dimasukan baterai. Dalam kejadian tersebut, yang dicari adalah bukti faktualnya: di mana baterainya. Namun, baterainya sudah tidak ada karena sudah dihancurkan. Padahal buktinya sebenarnya ada pada tubuh karena tubuh tersebut meneriakan luka.

Minggu, 06 April 2014

Ketika Gereja Menyemai Luka


Beberapa waktu yang lalu, aku membuat sebuah paper tentang teologi trauma. Aku mengirimkannya kepada sejumlah rekan-rekan calon pendeta dan pendeta. Dari sekian banyak respons, ada satu respons yang sangat menarik buatku. Kira-kira bunyi responsnya begini: “Semoga gereja tidak menjadi tempat untuk menumbuhkan trauma.”
Terus terang, saya agak terkejut membaca responsnya. Responsnya menyentak saya. Tidak dapat disangkal, bahwa gereja pun dapat menyebabkan trauma dan luka batin. Saya ingat, dalam kuliah sejarah gereja, dikisahkan bahwa pada abad-abad pertama, gereja pernah menangkap dan menyiksa para perempuan yang disangka sebagai penyihir. Fakta yang mengerikan bukan?  Mungkin, saat ini kita tidak sekejam itu, namun bukan berarti kekejaman dalam gereja tak ada lagi.
Saya ingat sebuah refleksi yang ditulis oleh Craig Groeschel dalam Christian Atheis. Dalam bab 12, ia memberi judul yang menarik: Ketika Kau Percaya kepada Tuhan tapi tidak kepada Gereja-Nya. Groeschel mengutip sebuah kesaksian dari orang yang ia jumpai, “Aku tidak percaya kepada gereja karena gereja-gereja yang pernah kudatangi begitu jauh dari apa yang kubaca di dalam Firman Tuhan – aku piker aku bisa menjadi Kristen yang lebih baik tanpa gereja daripada aku dengan gereja.” Bahasa yang disampaikan orang ini adalah bahasa kekecewaan atas inkonsistensi antara apa yang diyakini dan apa yang diperbuat.
Misalnya saja, gereja bicara tentang kasih, namun kita bersekongkol untuk menjauhi seseorang dalam gereja. Kita mengatakan bahwa kita berpihak pada yang menderita, namun kita memaksa anggota paduan suara yang kondisi keuangannya kurang baik untuk memakai baju seragam yang mahal. Kita berkata bahwa kita mengasihi anak-anak, namun mengeluarkan uang lebih untuk mengembangkan pendidikan anak dan kaum muda di gereja begitu sulit. Kita berkata bahwa kita menegakkan kebenaran, namun kita memfitnah dan memelintirkan fakta di dalam gereja. What an ironic!
Malam ini, saya kembali berefleksi, sejauh mana gereja menjadi komunitas yang memulihkan. Selama 8 tahun saya terjun ke dunia pelayanan gerejawi dan mengamat-amati proses kehidupan bergereja, ada sebuah percakapan yang saya ingat dan tertancap di batin saya. Percakapan ini terjadi pada salah satu gereja yang pernah saya layani. Suatu waktu, seorang rekan saya bertanya pada koster gereja di halaman depan gereja. Dia bertanya pada koster itu, “Apa sich harapan Anda untuk gereja ini?” Jawab koster yang beragama Islam ini, “Saya ingin orang-orang dating ke gereja dengan hati bersih dan soleh. Saya ingin gereja menjadi tempat yang rukun. Jangan suka menyalahkan orang saat rapat. Jangan suka mencari keuntungan dari orang lain” Saya tertunduk sedih mendengar perkataan koster ini. Ah, rupanya dia mengamati dinamika yang terjadi paska rapat.
Bagi saya, sudah waktunya gereja melakukan pertobatan kembali. Ya, gereja yang definisinya adalah kumpulan orang percaya yang mengikut Kristus harus melakukan pertobatan kembali. Mengikut Kristus bukan hanya sekadar memakai topeng, melainkan menjadi pembawa damai dan kasih. Bukan munafik! Oh gereja, masihkah engkau mau menyemai luka? Saya sedih dengan kondisi seperti ini. Tuhan pun pasti sedih, jauh lebih sedih ketimbang saya. Dia menangis tertahan dan sedih.

Jakarta, 6 April 2014

YIL

Rabu, 02 April 2014

Sepenggal coretan

Hal yang membuat spiritualitas kita kering adalah kenihilan pengalaman perjumpaan dengan Tuhan. Ini bukan berarti kita tidak pernah berjumpa dengan Tuhan. Ini berarti bahwa kita tidak pernah merefleksikan perjumpaan dengan Tuhan. Perjumpaan dengan Tuhan menjadi hal yang biasa dan tak terasa. Ketiadaan refleksi akan perjumpaan dengan Tuhan membuat kita hanya bicara dalam tataran kognitif: "Ya, Tuhan itu baik. Tuhan itu juru selamat. Tuhan itu sahabat." Betul, kita tahu namun kita tidak dapat merasakannya. Sebenarnya, ketika kita dapat merasakan pengalaman akan Tuhan dan mengenal siapa Dia, kita akan berjuang sampai akhir untuk mencintai-Nya dan melayani-Nya.

Tulisan ini semata-mata bukanlah sebuah tulisan kognitif. Tulisan ini adalah tentang rasa yang tersamar dalam deretan huruf-huruf. Tulisan ini adalah hasil dari sebuah momen pengenangan akan berbagai peristiwa perjumpaan dengan Tuhan yang membuat saya begitu mencintai-Nya. Walaupun harus mengalami rasa pedih perih, Tuhan ada bersama-sama dengan kita. Ia telah menunjukkan mercusuar yang telah saya cari. Ia yang akan menolong saya menaiki dan melihat ujung jalan ini.

Ketika jalan tampak suram
Ingatlah bahwa Ia pernah melalui jalan ini
Ketika kamu merasa sendirian
Rasakanlah bahwa Ia mendampingimu
Ketika kamu merasa tak dapat keluar dari pusaran
Rasakanlah bahwa Ia sedang menggapai tanganmu
Ketika kamu merasa dikecewakan
Percayalah Ia dapat mengubah hati
Ketika kamu merasa dipojokkan
Rasakanlah bahwa ia memelukmu di sudut terjauh dari kehidupan
Ketika kamu tidak mampu berjalan
Rasakanlah bahwa Ia dengan sabar sedang memapahmu

Biarlah Roh Tuhan terus menyala-nyala dalam diri kita. Kiranya Roh Tuhan menolong kita untuk berjuang, apapun yang kita hadapi di dalam hidup ini.
4 Maret 2014
YIL

Sabtu, 29 Maret 2014

Relung Renung

Malam ini, aku hanya duduk diam memandangi layar notebook di hadapanku. Aku sengaja diam dan merenung. Ya, momen yang diperlukan oleh seorang introvert untuk memaknai kehidupannya. Waktu yang sempat hilang dalam kehidupanku karena aku tertelan berbagai aktivitas organisatoris yang terkadang melelahkan.

Dalam relung renung, aku kembali memikirkan perjalanan selama setahun ini. Tak terasa sudah setahun lewat 1 bulan aku di sini. Hidup di kota besar tidaklah mudah. Aku biasa diantar oleh orang tua dan pacar selama kuliah. Namun, sekarang aku harus berjuang sendiri: mengurus tempat tinggal, mencari makanan, memasak makanan, menyiapkan khotbah, mengemudikan kendaraan, mengurus diri jika sakit, dan lain sebagainya. Aku tenggelam dalam rutinitas tanpa makna.

Aku teringat orang-orang yang menorehkan kata-kata pedas yang membakar amarah. Aku teringat berbagai kritikan yang diucapkan tanpa arah yang jelas. Aku teringat berbagai kata tak sesuai fakta yang dihujamkan. Aku mencoba menerimanya dalam senyum. Namun, aku terkadang lupa memohon agar Tuhan memulihkan aku. Aku terjebak dalam luka dan trauma yang belum dibalut.

Rutinitas tanpa makna, luka dan trauma membuat aku kadang  merasa kering-kerontang tanpa nyawa.  Nafsu cepat selesai kala menyusun refleksi terkadang muncul. Namun, aku tidak membiarkan Dia bicara pada diriku. Api yang membara itu terasa jauh dariku. Ah, kenapa lah aku seperti itu? Dalam keluluh-lantakan perasaan batin yang hampa kubertanya, "Mengapa hampa terasa, ya Tuhan?"

Malam ini, Tuhan seraya membisikan sesuatu di telingaku. Aku membuka hard-disk yang sudah lama tak kubuka. Isinya adalah panduan doa meditasi keheningan batin. File itu tertanggal bulan Maret 2013. Satu tahun lalu: masa ketika Api Roh Tuhan menyala-nyala dalam diriku. Aku mengerti yang Tuhan maksudkan. Aku hanya perlu waktu tenang, setiap pagi dan malam. Satu jam saja. Aku mau menemukan Dia dalam keheningan dan penulisan refleksi. Bukan Dia yang menjauhi aku. Akulah yang menjauhiNya. Ah, rasanya aku sudah terlalu banyak bicara. Kini saatnya aku mendengar Dia berbicara. Biarlah nyala api ini berkobar kembali.

Jakarta, akhir Maret 2014
YIL

Kamis, 27 Februari 2014

Panggilan Sebagai Sahabat



“Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat tuannya,

tetapi aku menyambut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang  telah Kudengar dari Bapa-Ku.”

Yohanes 15:15

Dasar Panggilan: Sahabat bagi Allah, Diri Sendiri dan Umat

            Konsep-konsep yang biasa digunakan untuk menggambarkan panggilan pelayanan seorang pendeta adalah seorang hamba atau pemimpin yang melayani. Namun, saya tidak memilih konsep-konsep tersebut untuk mendasari dan memaknai panggilan saya. Konsep yang saya pilih adalah konsep persahabatan.

            Terus terang, persahabatan adalah hal yang saya rindukan sejak kecil, karena konsep tersebut pernah menjadi asing di dalam hidup saya. Pada masa kanak-kanak, saya pernah mengalami bullying. Segerombolan anak yang dominan memusuhi saya. Saya pernah merasa malas sekali untuk pergi ke sekolah. Saya menjadi “hamba” yang mengalami olok-olok dari “para tuan” yang adalah rekan sebaya saya. Pengalaman itu lekat di ingatan saya dan membentuk saya menjadi seorang anak yang pemurung, pendendam, minder, kaku dan sukar percaya pada orang lain. Dengan kondisi semacam itu, saya pernah berpikir bahwa menjadi pendeta itu adalah kemustahilan bagi saya.

            Tuhan menjawab keragu-raguan saya melalui apa yang saya alami dalam proses kependetaan ini. Tuhan mentransformasikan kehidupan saya dengan cara yang sangat natural. Saya belajar menerima masa lalu dan seluruh kerapuhan saya. Kemudian, secara pelan-pelan Tuhan mengubah saya. Ia mengikis sifat-sifat buruk hingga saya sendiri terheran-heran dengan perubahan yang ada di dalam diri saya.

Tidak hanya itu, Tuhan menguatkan saya lewat orang-orang yang ada di sekitar saya dengan cara yang tak terduga. Khususnya, saat saya berkali-kali ingin mundur dalam proses kependetaan karena menghadapi kenyataan yang tidak sesuai dengan yang saya pikirkan.  Misalnya saja, saat saya dulu berencana untuk menyampaikan permohonan pengunduran diri sebagai kader pendeta GKI, mantan dosen pembimbing saya, Pdt. Em. Lazarus Purwanto menelepon saya. Pertanyaan pertama yang ia tanyakan adalah, “Yes, masih mau jadi pendeta?” Pada saat itu, diam-diam saya menangis dan terkejut dengan cara Tuhan mengingatkan saya sebagai sahabat-Nya.

Dari berbagai pengalaman itu, saya menyimpulkan dua hal yang mendasari pemahaman panggilan saya. Pertama, Tuhan memperlakukan saya sebagai sahabat dan bukan sebagai hamba, sebagaimana yang tertulis dalam Yohanes 15:15. Sebagai Sahabat, Tuhan menyingkapkan hal-hal yang menjadi pertanyaan bagi saya, walaupun jawabannya terkadang tidak sesuai dengan kehendak saya. Kedua, Tuhan mengubahkan hidup saya sehingga saya dapat menjadi sahabat bagi diri saya sendiri. Perubahan yang terjadi di dalam diri saya adalah karya Tuhan yang terjadi secara natural dan membuat saya sendiri pun terheran-heran.

Dalam refleksi saya, saya menyadari bahwa persahabatan dengan Allah dan diri saya sendiri, menghantarkan saya pada sebuah implikasi logis dari keyakinan panggilan saya yaitu menjadi sahabat bagi umat dan dunia, sebagaimana yang ditulis oleh Edward C. Zaragoza dalam No Longer Servants, but Friends. Zaragoza berkata biarlah kita menjadi sahabat bagi diri kita sendiri, sahabat bagi Allah, dan sahabat bagi sesama. Saya mau membuka pintu persahabatan bagi siapapun, khususnya bagi setiap pribadi yang merasakan hal yang dulu saya alami: terasing dan sendiri, tanpa sahabat.

.

Praksis Pastoral: Menjalani Panggilan Sebagai Sahabat

            Pemahaman panggilan saya sebagai sahabat bagi Tuhan, diri sendiri dan umat memberi dampak terhadap praksis pastoral yang saya jalankan di dalam jemaat yang Tuhan karuniakan kepada saya. Saya terinspirasi dari beberapa pokok pikiran Zaragosa mengenai praksis pastoral dalam panggilan sebagai sahabat.

Pertama, Zaragoza berkata bahwa di dalam relasi persahabatan pada sebuah komunitas, harus terdapat kesetaraan dan persatuan dalam ikatan cinta kasih untuk memberdayakan dunia. Berangkat dari definisi ini, saya mau memperlakukan semua orang dengan setara, sebagai sahabat saya. Saya tidak mau memandang orang berdasarkan usia, gender, suku dan jabatan gerejawi. Perbedaan adalah kekayaan dalam sebuah persahabatan yang harus dikelola dengan baik. Bagi saya, semua orang adalah setara di hadapan Tuhan.

Kalaupun saya akan menerima jabatan sebagai seorang penatua, hal itu tidak menjadikan bahwa seorang penatua (ataupun pendeta) lebih tinggi kedudukannya di hadapan Tuhan ketimbang seseorang yang tidak berjabatan gerejawi. Ingatlah bahwa kita semua adalah sahabat yang setara! Saya tidak mau terjadi pengkultusan individu di dalam gereja. Saya tidak mau menjadi sombong dan kemudian meremehkan orang yang tidak berjabatan gerejawi. Sebagai imamat am orang percaya, kita semua harus bahu membahu bersama dengan Tuhan yang telah menjadikan kita sebagai sahabat-Nya untuk memberdayakan dunia ke arah yang lebih baik. Apa yang saya yakini ini juga merupakan pemahaman GKI, sebagaimana yang ditulis dalam penggalan alinea ke-5 dalam Mukadimah Tata Gereja dan Tata Laksana GKI, yang berbunyi, “…Hubungan antara pejabat gerejawi dan anggota gereja bukan merupakan hubungan yang hierarkis, melainkan hubungan fungsional yang timbal balik dan dinamis, dialasi oleh kasih Allah.

Kedua, menurut Zaragoza tidak ada kepalsuan dalam persahabatan karena dalam persahabatan ada kejujuran terhadap kerapuhan kita. Praksis pastoral kedua inilah yang saya hendak kembangkan di dalam gereja. Kejujuran bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan karena kejujuran adalah sebuah sikap membongkar kepalsuan yang menutupi diri. Tidak mudah untuk jujur atas kerapuhan dan kesalahan kita. Kita tidak ingin, orang lain melihat kelemahan kita. Buktinya, manusia seringkali marah jika menerima masukan walaupun masukan itu sudah disampaikan dengan bahasa yang konstruktif.

Saya tidak mau menjadi seorang calon pendeta yang anti-kritik dan menyelubungi kelemahan saya. Berikanlah masukan terhadap saya jika memang saya melanggar hal-hal yang prinsipil di dalam panggilan kependetaan saya. Saya pun memiliki filter tersendiri (yakni Firman Tuhan) untuk menyaring masukan yang konstruktif bagi pelayanan terhadap umat Tuhan.

Saya mau mengakui keterbatasan saya bahwa saya membutuhkan Tuhan dan orang lain untuk berjalan bersama-sama dengan saya di dalam pelayanan ini. Tentu saja, kejujuran ini tidak dapat hanya terjadi secara satu arah. Saya membutuhkan kejujuran dari jemaat GKI Kayu Putih, untuk bersama-sama menyadari keterbatasan kita. Mungkin, ada orang yang berpikir bahwa kejujuran atas keterbatasan adalah hal yang memalukan dan menunjukkan identitas kepemimpinan yang lemah. Namun, ingatlah bahwa keterbatasan adalah hal yang dipilih oleh Allah kita. Allah yang tidak terbatas itu, berinkarnasi menjadi Manusia yang terbatas. Bahkan, keterbatasan-Nya pun dikisahkan turun temurun lewat tradisi lisan maupun tulisan yang terdapat dalam Alkitab.

Hal ketiga, menurut Zaragoza dalam persahabatan ada kepercayaan. Tanpa kepercayaan, seorang pastor akan menjadi pastor yang kelelahan karena mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Karena itu, pastor yang mengembangkan prinsip panggilan persahabatan harus berani memberikan kepercayaan kepada umat. Memberikan kepercayaan kepada umat dimulai ketika pastor mengakui potensi umat, berbagi mimpi dan informasi. Ya, sebagaimana yang ditulis oleh Alyce Mckenzie. To be a friend is to share a personal relationship and to be made aware of the plans and purposes of the other.” 

Saya tahu untuk memberikan kepercayaan bukanlah hal yang mudah, apalagi jika kepercayaan itu dikecewakan. Seringkali, kita menyalahkan orang lain pelayanan kita menjadi “gagal” dan “berantakan”. Betul bahwa memang ada orang-orang yang tidak mengemban kepercayaan kita dengan baik dan bahkan mengkhianati kita. Namun, saya berdoa agar kita semua memiliki semangat anti-kapok yakni mau mencoba untuk percaya lagi walaupun kita pernah dikecewakan. Atau jangan-jangan “kegagalan” tersebut disebabkan oleh diri kita sendiri yang tidak membagikan mimpi dan informasi dengan jelas.

Hal yang keempat yang saya tambahkan yaitu: dalam persahabatan ada penerimaan. Sikap menerima bukan hanya menerima perbedaan pandangan, suku, gender, dan tingkat ekonomi. Sikap penerimaan pun perlu dilakukan bahkan terhadap orang yang membenci kita sekalipun. Terus terang, hal ini tidak mudah untuk kita lakukan. Tentu saja, sebagai manusia kita merasa pedih dan sedih jika ada orang yang membenci kita. Namun, panggilan untuk menjadi sahabat bukan hanya ditujukan terhadap orang yang menyayangi kita dan sepandangan dengan kita.

Bagaimana caranya? Menurut saya, kuncinya adalah pengertian. Ketika kita berhadapan dengan orang-orang yang meremehkan dan membenci kita, cobalah mengerti mengapa mereka melakukannya terhadap kita. Seringkali, ketika harus berhadapan dengan situasi semacam ini, saya hanya berdoa, “Tuhan tolong saya agar saya dapat memahami dan menerima mereka. Tolong saya agar tidak membenci dia dan tetap menjadi sahabat bagi mereka.” Dalam pengalaman iman saya, Tuhan sering memberikan berbagai insight pada saya. Ia memampukan saya untuk menerima dan mengampuni, sesuatu hal yang tidak ada di dalam diri saya pada masa lalu saya.

 

Mengarungi Lautan Bersama Sahabat

Ada sebuah lagu yang sangat berkersan bagi saya, judulnya The Summons. Lagu karya John Bell dari Iona Community ini disharingkan oleh sahabat saya, pada saat saya sedang mengalami kebimbangan dalam menjalani proses kependetaan ini beberapa tahun yang lalu. Lewat lagu ini, Tuhan mengingatkan saya untuk tetap setia mengikuti-Nya yang telah menjadikan saya sebagai seorang sahabat. Demikian liriknya:

Will you come and follow me if I but call your name?
Will you go where you don't know and never be the same?
Will you let my love be shown? Will you let my name be known,
will you let my life be grown in you and you in me?

Will you leave yourself behind if I but call your name?
Will you care for cruel and kind and never be the same?
Will you risk the hostile stare should your life attract or scare?
Will you let me answer prayer in you and you in me?

Will you let the blinded see if I but call your name?
Will you set the prisoners free and never be the same?
Will you kiss the leper clean and do such as this unseen,
and admit to what I mean in you and you in me?


Will you love the "you" you hide if I but call your name?
Will you quell the fear inside and never be the same?
Will you use the faith you've found to reshape the world around,
through my sight and touch and sound in you and you in me?

Lord your summons echoes true when you but call my name.
Let me turn and follow you and never be the same.
In Your company I'll go, where Your love and footsteps show.
Thus I'll move and live and grow in you and you in me.

 

Lagu ini, menjadi semacam gambaran tentang panggilan untuk mengarungi lautan kehidupan pelayanan yang harus ditempuh. Tuhan memanggil nama kita dengan cara yang secara personal. Ia memanggil kita untuk ikut menyebarkan cinta kasih-Nya. Ia memanggil kita untuk menjadi sahabat bagi orang-orang yang terpinggirkan. Ia memanggil kita untuk tetap peduli terhadap orang yang kejam dan membenci kita. Tuhan memanggil kita untuk hidup di dalam-Nya dan Ia di dalam diri kita.

Saya memahami kata “you” dalam lagu di atas bukan untuk diri saya sendiri, melainkan untuk semua orang percaya, khususnya yang berada di GKI Kayu Putih. Dengan demikian, panggilan untuk mengarungi lautan pelayanan ini berlaku untuk kita semua. Saya tidak mungkin berjalan sendirian. Tuhan sudah lebih dulu mengulurkan tangan-Nya untuk bersahabat dengan saya. Saya membutuhkan dukungan Anda, sebagai sahabat saya, untuk mengarungi lautan pelayanan ini. Ya, sebagaimana sebuah ungkapan dalam peribahasa Irlandia, “Ada banyak bahtera yang terbuat dari kayu yang baik untuk mengarungi lautan. Namun, bahtera yang terbaik dalam mengarungi lautan hidup adalah persahabatan.”
Jakarta, 2 Februari 2014
YIL