Jumat, 11 April 2014

Selayang Pandang Trauma dan Sikap Gereja (Antara Impian dan Kenyataan)


Menjaring Definisi dari Suatu Pengalaman Traumatik

“Kepalaku sakit setiap mendengar suara keran air yang dibuka di kamar mandi. Wajahku mendadak pucat pasi dan badanku gemetar saat mendengar suara air mulai mengalir dari keran di kamar mandi. Kamar mandi menjadi tempat yang menakutkan untukku sejak aku berusia 10 tahun. Aku tak kuasa mengingat peristiwa itu. Peristiwa ketika pamanku memutar keran air dan membiarkan air mengalir. Pamanku membekap aku. Ia membuka bajuku dan menarik aku dalam pangkuannya. Dekapan tubuhnya yang kekar membuatku tak kuasa untuk memberontak. Ia memperkosa aku di usiaku yang ke-10. Hatiku hancur. Aku merasa bersalah dan malu. Aku tak mengerti lagi apa artinya keintiman. Aku tidak paham makna kasih sayang. Aku tak bisa lagi berada di dekat laki-laki dewasa dengan nyaman. Taka ada yang mengetahuinya, hingga sahabat perempuanku memperhatikan keanehan-keanehanku yang muncul dari luka yang berteriak saat aku berada di toilet umum. Ya, aku gemetar saat aku mendengar laki-laki di sebelah kamar mandi itu batuk dan mengucurkan air keran.”
(diambil dari studi kasus dalam kelas teologi trauma di STTJ)

Peristiwa itu dialami perempuan tanpa nama itu di usianya yang ke-10. Luka fisik akibat pemerkosaan: lebam-lebam sudah hilang dari fisiknya. Namun, trauma akibat pemerkosaan itu masih saja tersisa. Hal ini menyiratkan ada tiga hal yang terkandung dalam definisi trauma.
Pertama, realitas trauma menembus dimensi waktu. Trauma tidak dapat diatur dan ditentukan waktu dan lokasinya. Sekalipun peristiwa itu terjadi di masa yang lampau, trauma pada perempuan itu masih tersisa.  Perempuan tanpa nama itu kembali gemetar dan ketakutan ketika mendengar air keran yang mengucur, walaupun itu terjadi di toilet umum: lokasi yang berbeda dengan toilet di rumahnya.
Kedua, trauma tidak hanya merujuk pada luka fisik. Dalam studi trauma, terminologi trauma juga merujuk pada luka batin. Trauma pada batin disebabkan oleh kekerasan yang dialami manusia: baik itu kekerasan fisik maupun verbal yang menghancurkan batin. Trauma pada batin menunjukkan betapa rapuhnya jiwa manusia. Sama seperti luka tubuh yang dapat mematikan, trauma pada batin juga dapat menghancurkan kehidupan manusia. Trauma pada batin tak terlihat dan dapat menghancurkan manusia dengan perlahan namun pasti (Jones 2009, 12-13).
Ketiga, realitas trauma akan mempengaruhi cara pandang kita terhadap dunia dan cara kita memperlakukan diri kita. Dalam kisah di atas, cara pandang perempuan itu terhadap intimacy dan konsep dirinya menjadi hancur. Ada rasa bersalah yang muncul dalam dirinya walaupun ia tidak bersalah. Bahkan intimacy pun menjadi ruang yang menakutkan baginya.
            Trauma dalam definisi di atas tampak sebagai trauma yang timbul pada satu pribadi. Akan tetapi, studi trauma menunjukkan bahwa trauma dapat terjadi secara komunal, seperti tragedi pemboman WTC dan Boston. Tragedi ini menyisakan trauma besar bagi masyarakat Amerika. Infrastruktur sudah kembali dibangun, tetapi trauma masih tetap menghantui mereka.

Karakteristik Orang yang Mengalami Trauma
Dalam, Unclaimed Experience, Cathy Caruth mengungkapkan bahwa trauma mental dan batin memang tidak terlihat dalam bukti fisik.[1] Namun, trauma mental dan batin dapat muncul melalui kesaksian yang muncul dari luka yang tersimpan dalam dirinya. Kesaksian itu tampak dari ciri-ciri psikis yang tampak dari bahasa tubuh (Caruth, 1996 3-5).
Serene Jones memaparkan beberapa ciri/karakteritik psikologis yang dapat kita cermati untuk mendeteksi apakah seseorang mengidap trauma pasca peristiwa kekerasan. Karakteristik ini disebut PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Adapun karakteristiknya adalah sebagai berikut (Jones 2009, 16-18) :
(1) Tidak kuat mendengar suara keras/ribut, mudah panik.
(2) numbness (mati rasa) dan disorientasi.
Orang yang mati rasa mengalami ketidaknyambungan antara emosi dan kognisinya.  
(3) tidak bisa tidur dan merasakan kecemasan yang akut.
(4) unarticulated compulsions.
(misalnya orang yang selalu mengulang gerak tubuh tertentu pada saat ada peristiwa yang menyerupai kejadian traumatik yang pernah dialaminya)
(5) Berkurangnya ingatan dan kosakata yang biasa kita pakai.
Biasanya orang yang pernah mengalami peristiwa traumatis, sulit untuk mengingat traumanya. Ia tidak dapat bercerita dengan runut dan bahkan kehilangan memori-memori terntentu. Hal ini disebabkan bagian otak langsung menolak untuk mengingat peristiwa traumatis tersebut.
(6) Kehilangan rasa percaya diri dan merasa kehilangan harapan akan hari esok. Situasi ini biasanya terjadi pada orang-orang yang mengalami peristiwa yang sangat kuat dan kekerasan seksual.
(7) Perasaan dibuang dan terisolasi dari teman-temannya. 
(8) mimpi buruk (kemunculan mimpi buruk adalah salah satu bentuk teriakan dari luka, karena tubuh tetap tidak dapat menahan luka).

Antara Impian dan Kenyataan:
Peran Gereja dalam Menghadapi Orang-orang yang Trauma
1.     Memikirkan dan merumuskan ulang teologi operatif yang kita kembangkan di jemaat.
Pertanyaan kunci dari saran yang pertama ini adalah, “Pikirkanlah apakah bahasa gereja merengkuh persoalan real traumatik di jemaat? Atau jangan-jangan bahasa teologi kita tidak terkoneksi dengan bahasa dari luka karena teologi menjadi sangat optimistik dan serba tahu?” Jones, dengan tajam menyatakan tugas ini dalam tulisannya

Theology task is to re-narrate to us what we have yet to imagine (21). If grace has power to reshape the imagination, then theology is the language that both describes that power and evokes it in the loves of people by telling grace-filled stories of new imagining (21-22). Not a systematic theology of trauma and grace, but a glimpse grace
           
Salah satu contoh teologi yang harus dikritisi misalnya pemahaman tentang anugerah. Jones mengatakan seperti ini: Apabila benar bila kita berpandangan bahwa manusia bersih dan bebas dari yang jahat ketika anugerah dicurahkan? Apakah perspektif itu tepat untuk orang-orang yang mengalami pengalaman traumatik? Perspektif trauma mengkritik konsep berpikir semacam ini. Kita terlalu naïf dalam optimisme tentang struktur dosa dan anugerah. Bagaimana dengan penyintas yang sampai akhir hidupnya masih terjebak dalam trauma (Jones 2009; 155)? Trauma itu masih tersisa di ruang-ruang kehidupan kita.
            Jones, mengkonstruksi cara berpikir tentang anugerah. Anugerah Allah adalah saat Allah hadir bersama-sama dengan kita yang terluka. Allah menyembuhkan dengan cara yang lembut, tapi tidak kehilangan dimensi bahwa Allah “menggoyang” luka kita sambil memegang kita. Kita diingatkan bahwa kita masih akan terluka, namun akan ada yang selalu mendampingi kita yakni Allah. Jadi, anugerah bukanlah sesuatu yang radikal: yang mengubah kehidupan kita secara hitam putih. Grace needed to be larger than the lives of those who never recovered. It needed also to be sturdier than a tale of straightforward recovery, less sanguine, less optimistically (Jones 2009, 157)Mungkin, ada banyak lagi teologi operatif yang perlu kita kritisi karena justru dapat membuat orang-orang yang mengalami peristiwa traumatik menjadi semakin terpuruk. Mari memikirkannya bersama-sama :)

2. Melakukan trauma healing.
Shelly Rambo mengusulkan dua dalam trauma healing. Pertama, tracking the undertow. Dalam pendekatan ini, kita diajak untuk menggali kedalaman yang tidak ada di permukaan. Bersama-sama dengan Roh Kudus, kita diajak untuk memasuki perasaan kehilangan, kemarahan, dukacita dan kekacauan dalam hidup ini. Roh Kudus menyingkapkan dan menyaksikan realitas yang tertinggal di dalam bahasa trauma (Rambo 2010, 161)
Kedua, Rambo mengusulkan agar dalam trauma healing, ada pendekatan yang disebut dengan sensing life. Bersaksi berarti ‘sensing life’. Menurut Rambo, dengan “sensing” kita tengah menempatkan diri pada hal-hal yang tak terketahui (Rambo 2001, 163). Bagi orang-orang yang traumatis, kehidupan ini dipenuhi oleh berbagai pemicu sensori trauma sehingga kehidupan menjadi kejam. Menurut Rambo, orang yang trauma itu perlu diajak untuk merasakan bahwa harapan dan bahkan kehidupan yang indah itu masih ada.
Oleh karena itu, diperlukan proses pendampingan untuk mengkoneksikan kembali mereka dengan kehidupan. Kita mendengarkan bahasa trauma dengan melihat dengan peka teriakan luka yang muncul dari bahasa tubuh orang-orang yang berada dalam trauma. Setelah itu, diperlukan proses penerjemahan kembali kehidupan kepada mereka yang berada di dalam trauma.
Menurut Rambo, peran Roh Kudus sangatlah besar dalam proses ini. Roh Kudus memampukan konselor untuk mendengarkan teriakan luka. Roh Kudus menolong orang-orang yang trauma untuk menautkan kembali diri mereka dengan nafas kehidupan mereka. Roh Kudus memampukan korban untuk merasa, melihat secara lebih tajam, dan mengecap kehidupan lebih sensitive (Rambo 2001, 163).

3.     Menjadi Saksi yang Penuh Belas Kasih (Compassionate Witnessing)
Pada saat kita membaca kisah-kisah kesaksian hidup orang (literature of testimony), kita menjadi saksi untuk peristiwa itu sendiri. Ketika kita menyaksikan pengalaman kita maupun pengalaman orang lain, kita sedang membangun teologi sebagai diskursus kesaksian, bukan diskursus kebenaran doktrinal. Jika diibaratkan dengan posisi dalam ruang pengadilan, teologi berfungsi sebagai saksi, bukan sebagai hakim yang menentukan apa yang benar dan yang saling. Oleh karena itu, dalam percakapan trauma, kita pertama-tama mendengarkan apa yang terjadi dan selanjutnya menyaksikan apa yang terjadi. Tujuan kesaksian itu adalah agar kekerasan tidak terjadi lagi.
Menurut Kaethe Weingarten, dengan menjadi saksi yang penuh belas kasih, kita belajar untuk mendengarkan apa yang terjadi melalui teriakan dan tangisan dari luka. Tidak hanya itu, menjadi saksi  yang berbelas kasih juga berarti memikirkan apa yang telah kita saksikan dan membangun rencana konkrit untuk mencegah peristiwa traumatik itu terulang kembali. Dengan demikian, menjadi saksi juga harus mengusahakan pemikiran-pemikiran inovatif dalam kebijakan di ranah publik untuk mencegah peristiwa traumatik itu. Salah satu contoh hal sederhananya adalah: kecelakaan lalu lintas dapat menjadi peristiwa traumatik bagi banyak orang. Lalu bagaimana gereja memikirkan dan mewujudkan cara dan aturan agar di lingkungan sekitar gereja kecelakaan lalu lintas dapat diminimalisir.

REFERENSI

Caruth, Cathy. Unclaimed Experience: Trauma, Narrative, and History. Maryland: The John Hopkins University Press. 1996.
Jones, Serene. Trauma and Grace: Theology in a Ruptured World. Louisville: Westminster John Knox Press, 2009.
Rambo, Shelly. Spirit and Trauma: A Theology of Remaining. Louisville: Westminster John Knox Press, 2010.
Wengarten, Keaethe. Common Shock: Witnessing Violence Every Day. New York: New American Library.

Kiranya gereja menjadi komunitas yang menyembuhkan, bukan menyemai trauma

Jakarta, 4 April 2014
YIL




[1] Ada kisah perempuan Papua yang diperkosa. Vaginanya dimasukan baterai. Dalam kejadian tersebut, yang dicari adalah bukti faktualnya: di mana baterainya. Namun, baterainya sudah tidak ada karena sudah dihancurkan. Padahal buktinya sebenarnya ada pada tubuh karena tubuh tersebut meneriakan luka.

Tidak ada komentar: