Selasa, 25 Oktober 2011

Tobat atau Kumat?

Anda pasti sudah sering mendengar ilustrasi tentang orang Kristen “tomat”. Dikatakan dalam ilustrasi itu bahwa orang Kristen Tomat ini, bertobat pada hari Minggu, meratap, komat-kamit panjang lebar saat pengakuan dosa, dan pura-pura suci di gereja. Namun, pada hari Senin sampai hari Sabtu, kumat dech! Yah maklum, namanya juga orang Kristen “tomat”, Minggu tobat tapi senin kumat. Ketika saya mengamati fenomena menjamurnya golongan Kristen “tomat” ini, saya jadi mempertanyakan hakikat pertobatan yang sesungguhnya. Apa sich yang dimaksud dengan pertobatan itu? Apa sich konsekuensi dari pertobatan?

Pertobatan = Berganti Haluan 180°
Dalam bahasa Ibrani, istilah yang digunakan untuk menunjukkan pertobatan adalah “syub” (Yer 3:14, Mzm 78:34, dan Yer 18:8). Syub artinya berbalik atau bertobat. Sementara itu, dalam Perjanjian Baru, istilah yang digunakan untuk menunjukkan pertobatan adalah “metanoia”. Kata metanoia berasal dari bahasa Yunani dan digunakan 58 kali dalam Alkitab. Kata metanoia biasanya digunakan dalam istilah milter. Pernahkan anda membayangkan bahwa diri anda menjadi seorang tentara dan berada di medan perang bersama-sama dengan regu batalion Anda? Tiba-tiba, serangan musuh semakin menggila. Akhirnya, komandan regu Anda memerintahkan anda untuk berbalik arah dan mundur. Jika anda tidak berbalik, anda akan mati. Begitulah juga dengan pertobatan. Pertobatan berarti berbalik arah 180°, dari jalan yang sesat kepada Allah. Jika anda tidak berbalik arah (baca: bertobat), anda akan mati, tewas di medan perang.

Pertobatan tidak hanya sekadar berbalik arah seperti membalikan badan, namun pertobatan juga meliputi perubahan pikiran, hasrat, dan reformasi kehidupan. Bukan pertobatan namanya jika kita mengakui dan menyesali segala kesalahan kita, namun kita hanya terpuruk dalam penyesalan dan kesedihan kita. Bukan pertobatan namanya jika kita melakukannya karena takut dihukum. Bukan pertobatan namanya, jika kita menyesali perbuatan kita dan mengulanginya kembali (Kisah Para Rasul 24:25). Ingat, pertobatan menuntut sebuah perubahan pikiran, hasrat, dan gaya hidup ke arah yang progresif tentunya, yang sesuai dengan kehendak Allah.

Konsekuensi Pertobatan: Hati-hati dan Setia
Walaupun kita sudah bertobat dan berada pada arah yang benar, kita bisa saja tersandung. Kita bisa saja tergoda untuk berbalik arah. Ah, atau walaupun tidak berbalik arah, kita tergoda untuk menengok alias “icip-icip doank”. Kita mungkin saja “kumat” kembali dan melakukan hal yang dulu kita lakukan. Ah, lagipula bukankah kehidupan sebelum kita memutar haluan pada umumnya lebih nikmat? Lebih enak rasanya jika kita menikmati uang suap atau uang hasil korupsi. Lebih nikmat rasanya jika berbohong dengan rapi di hadapan orang tua, istri atau suami.
Namun, bukan tobat namanya bila kita terus mengulangi kesalahan kita. Itu namanya kumat. Ah, tapi faktanya, manusia cenderung lebih dungu dari keledai. Keledai mungkin hanya terjatuh dua kali pada lobang yang sama. Tapi, manusia dapat jatuh dan terjerat pada perangkap yang sama berkali-kali. Ah, manusia memang makhluk yang sangat rentan.
Namun di tengah kerentanan kita sebagai manusia, ada hal yang penting untuk kita ingat. Ingatlah bahwa pertobatan menuntut sebuah konsekuensi, yaitu kesetiaan kepada Allah. Kesetiaan menuntut kejelian dan kehati-hatian. Kita ini seumpama pengembara di hutan belantara yang penuh dengan jebakan dan binatang buas. Tentulah pengembara ini merindukan rumahnya yang dipenuhi kedamaian, di ujung rimba sana. Namun, jika kita tidak membelalakkan mata kita, memperuncing pendengaran, mempertajam penciuman, dan berhati-hati melangkah, kita mungkin saja terperosok ke dalam jurang yang dalam atau dimangsa oleh binatang buas.

Pertobatan yang Progresif: Bersedia Di-edit
Rintangan yang dihadapi dalam pertobatan kita, tidak hanya sebatas godaan untuk berbalik arah atau menengok ke belakang, melainkan dapat berupa kesombongan rohani. Saya rasa, kita semua pernah mendengar sindiran “Kristen KTP”. Sindiran ini seringkali ditujukan bagi orang Kristen yang tidak pernah bergereja. Saya sendiri, tidak pernah setuju terhadap sindiran ini maupun terhadap yang dilakukan si penyindir. Menurut Eka Darmaputera, sindiran seperti ini menunjukkan kesombongan rohani. Seolah-olah Sang Penyindir merasa dirinya lebih suci serta tetap berada di jalan yang paling benar jika dibandingkan dengan yang disindir.
Tuhan tidak menginginkan kita sombong secara rohani. Bila kita sombong, sebenarnya kita sedang terjebak dalam titik kumat. Kita kumat ketika menganggap diri kita paling suci dibandingkan orang lain. Kita kumat ketika menganggap pertobatan kita yang paling sempurna, dan pertobatan orang lain tidak sempurna. Kita kumat ketika kita menganggap pemahaman teologis kita adalah yang paling superior. Kita kumat ketika kepala kita semakin membesar dan hidung kita terbang ke awan-awan.
Dalam pertobatan terkandung nilai pengosongan diri dan kerendahan hati. Setiap orang yang bertobat diundang untuk menyadari keberdosaannya dan beranjak ke arah yang progresif dengan kesadaran penuh akan keberdosaannya. Orang yang bertobat bukanlah orang yang sombong rohani dan tidak pernah merasa bersalah. Dengan demikian, orang yang bertobat senantiasa bersedia “di-edit” atau diperbaharui oleh Allah. Orang yang bertobat bersedia ditegur oleh Allah ketika ia tersandung atau tergoda untuk menengok. Orang yang bertobat tidak pernah merasa puas dan berbangga diri atas pertobatannya hingga ia berada pada sebuah titik stagnasi. Orang yang bertobat selalu mempertanyakan imannya dan tindakkan imannya. Pertanyaannya, apakah kita adalah orang yang bertobat atau orang yang kumat? Mari bersama-sama bergumul dan bertobat...


Yesie Irawan
Mahasiswa STT Jakarta
ditulis untuk Mercusuar

Tidak ada komentar: