Selasa, 25 Oktober 2011

Melihat Wajah Tuhan ketika Kita Saling Menopang


“Tuhan tidak mengenalku! Yesus tidak mengenal saya! Tolong doakan saya agar cepat mati!”
Pada umumnya, orang-orang mungkin akan segera menghakimi orang itu ketika ia mengatakan bahwa Tuhan tidak mengenal dirinya. Sebagian orang lain mungkin akan segera mengatakan bahwa ia perlu ditengking, karena ia kemasukan setan…. Tapi aku sendiri hanya terdiam ketika mendengar hal itu. Ya, aku terdiam untuk beberapa saat.

Aku pun terhisap dalam pusaran perenungan dalam sebuah lamunan kediamanku untuk beberapa saat. Aku bercakap-cakap dengan-Nya dalam pergolakkan batinku……..
Teriakan ini terus bergaung dalam telinga dan batinku. Teriakan ini bukanlah muncul dari seorang wanita perkasa ataupun seorang pria pebisnis yang sukses. Teriakan ini muncul dari seorang nenek tua yang tidak berdaya. Ia terpaksa harus berjuang dalam sisa-sisa tenaganya yang terakhir. Ia bergelut dalam ketidakberdayaannya. Walaupun baru dua bulan menderita penyakit itu, ia sudah merasa lemas, hampa dan tidak berdaya. Penyakit itu terus menghantui dirinya dan membuat tubuhnya menjadi lemas. Ia merasa bahwa seorangpun tidak mampu menolongnya, termasuk Tuhan.
Aku menatap matanya. Sorotan matanya menunjukkan keletihan yang amat sangat. Aku sangat memahami mengapa ia meneriakan hal itu. Ketidakberdayaan membuatnya putus asa dan merasa tidak berguna. Aku hanya bisa diam. Aku diam dan membayangkan bagaimana perasaan nenek itu dan keluarganya ketika menghadapi pergumulan itu. Sungguh membayangkan saja sungguh menyakitkan bagiku. Aku langsung teringat akan nenekku yang ada di Bandung. Aku pun tercabik dalam diamku.
Air mata nenek itu yang mengalir menunjukkan padaku bahwa ia perlu sebuah topangan. Ucapan-ucapan yang keluar dari mulutnya adalah sebuah ekspersi ketidakberdayaannya, keraguannya, ketidakmengertiannya. Aku bertanya kepada Tuhan, mengapa Tuhan membiarkan dombanya merintih kesakitan? Aku Sedih, sangat sedih. Berat, sangat berat.
Sungguh sangat sederhana dan hina bila kita mengatakan bahwa nenek tua renta ini murtad. Tidak… dia bukan murtad. Lepaskanlah dirimu, masuklah ke dalam posisinya. Menjelmalah! Rasakanlah bagaimana perih, berat dan sakitnya bila kita ada dalam posisinya dan keluarganya….
Pendeta yang bersama-sama denganku mengangguk kepadaku. Anggukannya membuyarkan aku dari lamunanku….. Aku tersadar akan tugasku, berdoa. Aku menarik nafasku lalu berdoa…

Tuhan, gembala kami, di dalam  kehidupan ini, kami tidak selalu mengalami sukacita. Adakalanya kami berbaring dalam tempat tidur kami. Adakalanya kami harus berjuang dalam kesakitan kami. Ya, Allah begitu sesaknya kami dalam penderitaan ini. Tuhan tolonglah! Kami tahu bahwa Engkau Allah yang senantiasa menggendong kami. Engkau mengenal kami sejak kami dilahirkan, dan kami juga yakin bahwa engkau juga yang akan menggendong kami, ketika kami tidak mampu berjalan lagi. Engkau menopang kami dalam ketidakberdayaan kami melalui setiap orang yang ada di samping kami. Tolonglah kami ya Tuhan, pimpin kami hingga kami tiba di dalam perhentian kami…… Amin.
Ia memegang tanganku erat. Genggaman tangannya menunjukkan bahwa seorang anak manusia sedang dalam ketidakberdayaan. Ia perlu topangan. Ia perlu digendong hingga ia menyelesaikan semuanya. Kini, nenek itu telah pergi, perjuangannya telah selesai. Tuhan telah menjemputnya dan menggendongnya.

Sahabat, setiap manusia selalu memerlukan topangan. Itulah sebabnya ada banyak manusia di dunia ini. Apabila saat ini aku ada untuk menopang kamu. Tapi, itu bukan berarti aku kuat. Suatu saat, aku pun memerlukan bantuan darimu untuk menopang aku. Mari bersama-sama saling menopang. Wajah Tuhan kembali nampak di dalam tindakan saling menopang…………………..
Lie, Yesie Irawan
Ditulis ketika aku baru saja ditopang

Tidak ada komentar: