Selasa, 25 Oktober 2011

Untuk putra-putri daerah yang sungguh berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang baik


CP2 telah berlalu. Tapi ada banyak kisah yang kusimpan dan menarik untuk dibagikan. Tempat CP2ku adalah di lingkungan orang kulit putih. Rasanya, langka sekali mencari orang kulit hitam dan hispanik. Mencari mereka dan mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan mereka, rasanya seperti mencari jarum dalam setumpukan jerami. Aku, dengan agak sedikit ngotot, meminta agar bisa berjumpa dengan Angela, seorang perempuan kulit hitam yang menjadi pendeta di salah satu jemaat di gereja tempat CP2ku.

Umurnya sudah sekitar 50 tahun. Tapi, ia baru menjadi pendeta sekitar 5 tahun. Ia menjadi seorang lulusan perempuan kulit hitam pertama yang berkuliah di salah satu seminary di kota yang jaraknya sekitar 30 menit dari kota tempat CP2ku. Aku agak terkejut memang, karena sampai hare gene, baru ada perempuan kulit hitam yang dapat bersekolah di tempat itu. Kami terlibat dalam sebuah perbincangan yang sangat menarik tentang problematika rasial. Angela menjadi sebuah kitab terbuka, yang di dalamnya dapat kujumpai seribu pengalaman dan refleksi yang menarik. Bagiku, membaca kitab terbuka sungguh lebih menarik daripada membaca buku teks.

Setelah pulang dari tempat Angela, aku berbincang-bincang dengan mentorku. Aku bertanya, mengapa seminary itu begitu lambat menerima perempuan kulit hitam sebagai mahasiswanya. Menurut prespektif mentorku, seminary itu sangat menekankan pendidikkan yang berkualitas tinggi, sehingga banyak mahasiswa (kulit hitam) yang tidak mendapatkan pendidikkan yang memadai di jenjang sebelumnya, tidak bisa mengikuti standar mereka. menurutnya di sanalah ketidakadilan terjadi...

Saat ini, aku kembali bertanya-tanya, terlepas dari prasangka rasial yang mungkin ada pada setiap orang. Aku kembali bertanya-tanya, apakah pendidikan di Indonesia sudah memberlakukan keadilan itu? Ada banyak anak-anak yang berasal dari desa, dan tidak mendapat pendidikan yang sebaik anak-anak kota. Lalu, saat test masuk, banyak putra-putri daerah yang tidak berhasil masuk ke perguruan tinggi yang unggulan karena test masuknya sangat sulit. Dia sudah "ditendang" sebelum mencicipi pendidikan yang sangat baik itu.

Akan tetapi, sebenarnya mungkin saja si anak memiliki semangat yang luar biasa. Saya pernah berjumpa dengan orang-orang seperti ini. Ada banyak putra-putri daerah yang memiliki semangat yang luar biasa. Permasalahannya adalah, mereka terlambat untuk memiliki kesempatan mendapatkan pendidikan yang baik di jenjang pendidikkan sebelumnya. Ya, memang perguruan tinggi membutuhkan syarat yang sangat tinggi karena akreditasi.

Akan tetapi, sepertinya persoalan ini harus menjadi pergumulan kita bersama. Masih relevankah test masuk perguruan tinggi, hanya dilakukan berdasarkan test tertulis? Menurut saya, harus dilakukan test wawancara! Untuk menguji, keinginan dan kegigihan para calon mahasiswa. Injustice will happen if we judge someone only by one point of view.....

Tidak ada komentar: