Selasa, 25 Oktober 2011

Menggali Makna Natal melalui Sentuhan “I and Thou”


Pengantar untuk Memasuki Pusaran Permenungan
Kau tahu? Lima belas tahun yang lalu, kunang-kunang --serangga kecil yang memancarkan cahaya kuning itu-- selalu menghampiriku setiap senja, saat aku bermain di lapangan rumput di dekat rumahku. Di setiap senja, dia datang menghampiriku. Kehadiran kunang-kunang menjadi penanda bagiku, bahwa aku harus kembali ke rumahku. Cahayanya yang indah di sela-sela rerumputan hijau selalu membuatku merasa kagum akan ciptaan Tuhan. Namun, seiring dibangunnya lapangan rumput itu menjadi tiga buah rumah yang besar, aku tidak pernah melihat kunang-kunang lagi. Ah, aku sangat merindukan kerlip cahaya yang mereka pancarkan.     
Aku juga merindukan lapangan rumput itu. Di masa kecilku, lapangan itu membantuku berimajinasi tentang berita kelahiran Yesus. Aku membayangkan diriku adalah seorang gembala yang bersukacita ketika mendengar berita kelahiran Yesus di padang rumput. Rasanya nyaman sekali, duduk di lapangan rumput itu sambil berimajinasi dengan ditemani semilir angin yang berhembus. Aku membayangkan rerumputan, jangkrik, kunang-kunang, dan semilir angin bergoyang seirama tanda bahwa mereka juga bersukacita menyambut kelahiran Tuhan Yesus.
Aku sempat berfikir, mengapa malaikat mengabarkan berita ini pada mereka? Mengapa yang dikabarkan bukanlah raja yang ada di Istana dan bukanlah penguasa-penguasa di daerah tersebut. Imajinasiku saat aku kecil, ternyata membantuku untuk memahami mengapa gembala dan seluruh habitat yang ada di padang rumput yang harus mendengar berita tentang kabar sukacita itu.
Dari keempat Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes), kisah tentang keberadaan gembala yang mendengar kabar sukacita tentang kelahiran Tuhan Yesus hanya terdapat dalam Injil Lukas. Injil Lukas memiliki corak yang sangat khas karena memberi penekanan pada peran pihak-pihak yang berada di tepian batas kehidupan dalam mengabarkan kabar sukacita Allah itu. Melalui pihak-pihak yang tersisih ini, kabar sukacita ini menyebar ke seantero dunia. Gembala yang umumnya miskin, rumput yang senantiasa kita pijak, domba-domba di padang dan kunang-kunang kecil yang keberadaannya jarang kita perhatikan, menjadi pihak-pihak yang berada di tepian kehidupan. Merekalah yang menceritakan kabar sukacita Natal itu.
Saat ini, lahan hijau semakin sedikit. Aku tidak lagi merasakan indahnya cahaya kunang-kunang, bunyi jangkrik yang menenangkan dan gesekan rumput basah di kakiku. Semua dibabat habis dan digantikan dengan rumah-rumah mewah dan jalanan yang beraspal. Udara yang segar diganti dengan asap yang hitam pekat. Sungguh menyedihkan, tidak ada lagi tempat bagi gembala (sebagai simbol komunitas miskin), domba, rerumputan, dan kunang-kunang untuk mewartakan berita sukacita Natal. Ah, apakah orang-orang Kristen hanya senang menikmati semarak Natal di pertokoan dan perayaan sukacita yang penuh kemewahan? Semoga ketakutanku ini tidak benar. Marilah, terjun bersamaku dalam pusaran permenungan untuk mengenang ulang makna Natal itu!

Pusaran Permenungan: Makna Natal Nyata dalam Sentuhan
Natal berhubungan dengan kelahiran. Kelahiran pada umumnya berhubungan dengan sentuhan. Mengapa? Hal yang pertama yang dilakukan oleh hewan mamalia ketika melahirkan adalah menyentuh anaknya. Induk hewan tersebut menjilati anaknya yang baru saja lahir. Bayi yang tidak disentuh tidak akan bertumbuh dengan normal. Sentuhan dibutuhkan pertama-tama untuk menunjukkan bahwa bayi kecil yang baru lahir itu memiliki relasi dan kesalingtergantungan dengan dunia.
Begitu pula dengan manusia, saat seorang bayi dilahirkan, ia harus mendapatkan sentuhan dari orang-orang yang berada di sekitarnya, entah itu suster, bidan, dokter, ibu, maupun ayahnya, agar ia bertumbuh dengan baik. Saya membayangkan ketika bayi Yesus dilahirkan oleh Maria, bayi Yesus pun pasti mendapat sentuhan dari ibu dan ayahnya. Kelahiran Yesus di kandang domba juga menunjukkan bahwa Allah menyentuh dan menyapa  alam ini.
            Sallie McFague, dalam bukunya Super, Natural Christian mengatakan bahwa sentuhan memengaruhi cara pandang kita terhadap seluruh ciptaan di dalam alam semesta ini. Kita tidak dapat disentuh tanpa ada orang lain yang menyentuh. Demikian pula sebaliknya, kita tidak dapat menyentuh tanpa ada orang yang disentuh. Sentuhan mengingatkan kita bahwa kita selalu berelasi dengan sesama dan alam. Bukankah kelahiran Kristus di dunia ini dimaksudkan untuk memulihkan relasi yang rusak antara Allah, manusia dan seluruh ciptaan? Ya, makna Natal menjadi kuat dalam tindakan saling menyentuh dan menyapa antara Allah, manusia, dan ciptaan yang lain.
            Tindakan menyentuh dan disentuh ini mengingatkan saya pada sebuah model relasional I and Thou, aku dan engkau. Dalam relasi “aku dan engkau”, engkau tetap menjadi subjek, bukan objek, bukan “I and it”. Jika aku memahami sesama manusia dan ciptaan yang lain sebagai subjek, maka aku tidak akan memperlakukan mereka dengan semena-mena. Aku tidak hanya akan menuntut untuk disentuh dengan kasih, namun sesama, seluruh ciptaan dan Allah juga akan disentuh olehku dengan kasih.
Aku teringat sebuah kearifan lokal yang berasal dari masyarakat Papua. Masyarakat tradisional Papua memahami alam sebagai ibu mereka. Sebagai Ibu, alam menyediakan makanan bagi umat manusia. Sebagai seorang anak, manusia harus mengolah alam itu dengan baik, bukan menghancurkannya. Menghancurkan alam sama dengan menghancurkan ibu sendiri. Dari kearifan lokal ini, kita bisa melihat bahwa masyarakat Papua memiliki ikatan relasi yang sangat kuat terhadap alam. Alam disentuh dan disapa sebagai ibu. Ibu yang padanya kita bergantung saat kita masih kanak-kanak. Juga ibu, yang juga tergantung pada kita saat ia menua. Sungguh kearifan lokal ini menunjukkan kekayaan kearifan lokal yang luar biasa. Alam dipandang, disapa, dan disentuh sebagai subjek, sebagai engkau, sebagai “Thou!
            Dalam relasi subjek-subjek, Aku tidak hanya memikirkan kepuasan dan kepentingan diriku untuk mendapatkan rumah yang mewah, tapi aku juga akan mengingat rumput hijau dan kunang-kunang yang memerlukan tempat untuk hidup. Aku tidak hanya akan memikirkan diriku dan keluargaku untuk mendapatkan fasilitas hidup mewah, tapi aku juga akan memikirkan orang-orang lain yang memerlukan ruang untuk bekerja. Aku tidak hanya akan memikirkan proyek-proyek pembangunanku, tanpa memikirkan pentingnya ruang hijau bagi anak cucuku. Aku dulu pernah merasakan sentuhan langsung dengan alam ketika bermain di lapangan yang penuh rumput. Aku juga sempat merasakan indahnya berimajinasi tentang kisah kelahiran Tuhan Yesus di lapangan rumput di dekat rumahku... Ah, masihkan bisa anak cucuku kelak berimajinasi tentang kelahiran Yesus seperti aku? Masihkah mereka bisa menyentuh dan disentuh oleh alam?
Mari kembali merenungkan makna Natal! Berikanlah sentuhan kehangatan kepada sesama, alam dan Allah! Biarlah melalui sentuhan dan kehangatan relasi “aku dan engkau”, aku, kamu, anak-anak cucu kita, orang-orang yang berada di tepian kehidupan, burung di udara, rumput di padang, dan kunang-kunang yang mungil dapat memberitakan kabar sukacita Natal! Selamat Natal...
Yesie
Mahasiswa STT Jakarta

Tidak ada komentar: