Jumat, 24 November 2017

DAPAT DIPERCAYA

“Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai.”
1 Korintus 4:2

Beberapa waktu yang lalu, saya menonton film Great Wall. Film layar lebar ini mengisahkan tentang William, Tovar dan rekan-rekannya yang pergi ke Cina untuk mendapatkan harta karun yakni black powder. Di dalam perjalanan mereka diserang oleh Tao Tie, spesies sejenis kadal raksasa. Dalam penyerangan itu yang selamat hanyalah William dan Tovar. Mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka hingga mereka tiba di tembok Cina. Di sana, mereka ditangkap dan hendak dihukum mati. Namun, William memiliki ide gila untuk menyerahkan tangan Tao Tie yang berhasil ia bunuh ketika mereka diserang Tao Tie. Akhirnya mereka tidak jadi dibunuh karena rupanya Tao Tie adalah musuh yang sudah lama mengancam Cina. 
                Rupanya, William tergerak untuk menolong pasukan Cina yang hendak berperang melawan kawanan Tao Tie. Jendral Lin, seorang perempuan yang menjadi pemimpin Orde Tanpa Nama pun belajar mempercayai William, orang asing itu. Ada kalimat yang sangat menarik dalam percakapan antara Jendral Lin dan William. Jendral Lin berkata,  “Kamu harus bisa mempercayai orang lain, dan kamu akan dipercaya.” Filosofi hidup Jendral Lin mengubah paradigma William. William yang awalnya berpikir bahwa harta adalah segalanya, kini menyadari bahwa harta bukanlah segalanya. Keserakahan manusia menghancurkan dunia ini. Namun, kepercayaan dan relasi antara sesama manusia adalah harta yang paling berharga untuk dipertahankan.
Kisah ini masih berlanjut dengan kisah ketika kepercayaan dan relasi persahabatan di antara William dan Jendral Lin diuji. Tovar melakukan pengkhianatan kepada William dan pasukan Tembok Cina, dengan mencuri black powder. Dampaknya, Williamlah yang dituduh sebagai pengkhianat. Walaupun ia sudah difitnah dan tidak dipercaya lagi, William tetap berjuang untuk menolong Jendral Lin dalam misi melindungi rakyat Cina dari Tao Tie. Akhirnya kebenaran pun terkuak. Jendral Lin dan Kaisar pun tahu bahwa William tidak bersalah.
                Menjaga kepercayaan juga merupakan nilai yang sangat penting di dalam Alkitab. Dalam surat 1 Korintus 4:1-5 Paulus mengingatkan kepada umat di Korintus bahwa yang dituntut dari pada pelayan-pelayan adalah bahwa mereka dapat dipercaya oleh Tuhan dan sesama manusia untuk melakukan kebenaran. Barangkali, orang lain dapat tidak mempercayai kita ketika kita mewartakan dan melakukan kebenaran. Bahkan, kita dapat dihakimi oleh orang-orang yang tidak menyukai kita. Akan tetapi, di dalam 1 Korintus 4:5 dikatakan bahwa Tuhanlah yang akan menerangi, juga apa yang tersembunyi di dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati.
                Tuhan adalah hakim yang adil. Kita semua telanjang di hadapan Tuhan. Topeng yang kita gunakan tidak akan dapat mengelabui Tuhan. Apapun yang kita sembunyikan dapat terungkap di hadapan Tuhan. Tuhan mengetahui ketika kita kita tidak tulus dan menyalahgunakan kepercayaan daripada-Nya untuk kepentingan diri kita. Sebaliknya, Tuhan pun tahu, saat kita belajar untuk menjaga kepercayaan-Nya. Karena itu, marilah belajar untuk menjaga kepercayaan yang diberikan oleh Tuhan kepada kita sebagai pelayan-pelayannya.


pojok Jakarta
YIR

Jumat, 03 November 2017

TANGISAN NEMO


Byurrr...... aku melompat dari perahu itu. Air laut Pahawang yang hangat membasahi tubuhku. Cahaya matahari menerobos air laut dan memberikan penerangan bagiku. Aku mencari para nemo untuk menari bersama dengan mereka di balik gelembung-gelembung air. Namun, di manakah para nemo itu?

Tiba-tiba.... braaak!!!! Aduh sakit sekali! Badanku terkena kaki orang lain yang sedang snorkling. Ah, lautan ini seperti menjadi sangat sempit. Semua orang ingin menari bersama dengan nemo. Bahkan, ada yang berenang mengejar nemo ini dengan kasar untuk memegang mereka. Aku pun menuju permukaan laut untuk mengambil nafas sejenak. Tiba-tiba aku merasa bahwa air laut ini terasa seperti bercampur rasa kopi pahit. Ah sial! Ternyata aku mengambil nafas di dekat warung apung. Si penjaga warung baru saja menumpahkan kopinya ke laut. Tidak hanya kopi, sampah bekas bungkus kopinya pun dibuang ke laut.

Pantas saja, tidak ada nemo yang mau muncul untuk berenang bersama manusia-manusia jorok ini. Para nemo itu bersembunyi di balik terumbu karang. Aku rasa, trauma tidak hanya terjadi pada manusia. Ikan pun bisa mengalami trauma karena manusia. Bahkan, ekosistem laut dapat rusak karena ketidakpedulian manusia. Bayangkanlah, barangkali ikan-ikan itu sedang meneteskan air matanya dan gemetar ketakutan ketika Anda memaksa memegangnya.  

Aku heran dengan manusia-manusia yang merasa tak bersalah ketika membuang sampah di laut, melukai para nemo dan merusak terumbu karang. Membuang sampah di laut sudah dianggap sebagai sebuah kewajaran. Menangkap dan menyentuh nemo pun dipandang kebanggaan. Berfoto dengan menginjak terumbu karang dipandang sebagai sesuatu yang keren.

Bagaimana jika kutegur? Mungkin aku yang akan dianggap gila karena lebih banyak yang melanggar ketimbang yang sadar. Terkadang, manusia melakukan segala cara untuk mendapatkan kesenangannya. Manusia lupa bahwa apa yang ia lakukan untuk mendapatkan kesenangan ternyata membuat makhluk yang lain menderita. Manusia lupa bagaimana caranya bersahabat dengan para nemo dan ekosistem laut.

Kutuliskan kesedihan dan jeritan hatiku dalam tulisan ini. Aku berharap semakin banyak yang membacanya dan menyadari tugas dan panggilan kita untuk memelihara bumi. Alam adalah sahabat kita. Perlakukanlah mereka sebagai sahabat dengan cinta yang Tuhan anugerahkan kepadamu.



Puncak, 3 Nopember 2011
YIR

Rabu, 01 November 2017

YANG LAIN YANG MENOLONG


“Pertolonganku ialah dari Tuhan yang menjadikan langit dan bumi.
(Maz. 121: 2)

Dalam sejarah perjalanan GKI Kayu Putih, gereja kita tidak dapat melepaskan dirinya dari relasi dengan orang-orang beragama lain di sekitarnya. Bahkan, kisah pembelian tanah tempat kita beribadah saat ini pun merupakan buah pertolongan Tuhan yang hadir lewat orang-orang yang beragama lain. Tanah GKI Kayu Putih ini dibeli dari Alm. Bapak King, seorang pemeluk agama Buddha.  Bahkan, ketika dia mengetahui bahwa tanah ini diperuntukkan untuk membangun gereja, ia memberikan kesempatan bagi kita untuk mengangsur. Menurut penuturan kisah salah seorang perintis GKI Kayu Putih, Alm. Bapak King juga penuh pengertian saat Majelis Jemaat GKI Ahmad Yani (nama GKI Kayu Putih sebelumnya) telat mengangsur karena kondisi pengumpulan dana pembelian tanah yang belum optimal. Ia tidak memaksa kita untuk membayar saat itu juga. Sungguh pertolongan Tuhan dapat hadir melalui kemurahan hati orang-orang beragama lain, salah satunya melalui Alm. Bapak King.

Kisah yang hampir serupa pun dijumpai dalam kisah kanak-kanak Musa. Kita menemukan cara Tuhan bekerja melalui kebaikan hati bangsa Mesir. Di satu sisi kita memang melihat kekejaman hati bangsa Mesir melalui Firaun yang memerintahkan agar bayi-bayi orang Israel dibunuh. Namun, di sisi lain kita dapat menjumpai kisah kebaikan orang Mesir dalam kelembutan hati putri Firaun yang dipakai Tuhan untuk menyelamatkan Musa. Dalam Keluaran 2: 6 dijelaskan bahwa putri Firaun berbelas kasihan ketika menemukan bayi Musa dalam sebuah peti. Putri Firaun sendiri sadar bahwa bayi itu adalah bayi orang Ibrani, namun ia tidak membunuhnya. Ia justru malah menyelamatkannya dan mengangkat Musa sebagai anaknya.

Karena itu, sungguh benar apa yang diucapkan pemazmur dalam Mazmur 121: 2 bahwa pertolonganku ialah dari Tuhan yang menjadikan langit dan bumi. Tuhanlah yang menciptakan dunia ini dan segenap ciptaan yang beragam di dalam dunia ini. Melalui kuasa-Nya, Tuhan dapat membuat yang lain yang menjadi penolong bagi kita. Ataupun sebaliknya, kitalah yang dipakai Tuhan untuk menolong orang yang berbeda dengan kita.

 Dari fakta sejarah GKI Kayu Putih dan dari kisah di dalam Alkitab, maka kita pun harus terus belajar untuk menjalin relasi dengan saudara-saudara kita dalam konteks keragaman di Tuhan. Tuhan dapat bekerja melalui siapa saja, termasuk dalam diri saudara-saudara kita yang berbeda. Perbedaan itu biasa. Jangan mau dipecah belah karena isu agama dan juga isu rasial. Sebarlah cinta kasih dalam berelasi  untuk membangun negeri.

Jakarta, 
penghujung Oktober 2017
YIR

Jumat, 08 September 2017

Allah yang Kesepian

Allah yang Kesepian
Engkau mengusir sepi dalam penciptaan
Mendambakan kehangatan dalam tarian
meliuk-liuk dan berkelindan

Keresahan datang pelan-pelan
Ketika ciptaan menoreh luka dalam kerapuhan
Tinggalah Allah merintih kesepian
berjibaku dalam keretakan

Mengapa Engkau berani memberi kebebasan?
Jika kemudian semua menyakitkan
karena luka dari ciptaan
yang mau mendominasi peran

Saat hatiMu penuh goresan
Mengapa Engkau kembali terkesan
Dengan teriak rintihan
dan keluhan ciptaan

CiptaanMu juga kesepian
Melampiaskannya dalam bentuk kemarahan
Atau juga rintih tangisan
yang bisa menyakitkan

Jika ciptaanMu kesepian
masih adakah harapan
untuk tetap hidup dan bertahan
sebagaimana rintihan Engkau ketika merasa ditinggalkan?

Adakah?

Jakarta, 8 September 2017
YIR

Jumat, 01 September 2017

Perahu, Dayung dan Lautan

Tuhan,
Tubuhku berat
Aku seperti mengulang peristiwa berat
Yang mungkin tak serupa
dalam malam kelam
dalam resah terik mentari
dan dalam pagi yang tanpa asa

Aku ingin melarung masa lalu

agar teriakan-teriakan perih
dan diam kejam yang kubenci
tak aku temui lagi

Aku tak mau terbelit

Aku tak mau terlilit
mengekang hidupku oleh penyulut
hingga menjadi perih dan sakit

Terkadang kehadiranmu membuatku

ingin berlayar bersamamu di dalam-Nya
untuk berteman dengan malam
untuk tersenyum pada mentari
untuk menari bersama pagi

Namun terkadang perih masih membiru

dalam gelombang trauma masa lalu
baik padaku dan padamu

Terkadang aku ingin kita mengembangkan layar

Namun terkadang aku ingin menutupnya
Dalam rasa yang kadang tak menentu

Mampukah kita melawan mabuk angin buritan

saling menatap keteduhan dalam bola mata masing-masing
dalam penerimaan akan ketakutanku
dan dalam ketakutanmu dalam berlayar

Tuhan,

kami manusia rapuh
yang ada dalam perahu-Mu
dengan berbekal dayung kasih
akankah kami tiba di pelataran?
Dan berlayar menuju seberang?

Jakarta,

1 September 2017

Sabtu, 12 Agustus 2017

Berdamai dengan Rasa Takut

Adakah manusia yang tidak pernah merasa takut? Saya sendiri pernah mengalami rasa takut. Bahkan, rasa takut kita pun berkembang. Pada saat saya kanak-kanak, saya sangat takut dengan yang namanya Mister Gepeng, tokoh “hantu” yang sering diceritakan oleh teman-teman saya di Sekolah Dasar. Saya sering berimajinasi dengan berlebihan. Saya membayangkan bahwa ia akan menampakkan wajahnya pada saat saya berada di toilet. Selain itu, saya juga sering takut dihukum oleh Tuhan karena saya beberapa kali “bolos” pergi ke Sekolah Minggu. Saat beranjak remaja, ketakutan saya berkembang. Saya takut tidak punya pacar karena saya merasa bahwa muka saya pas-pasan. Saya juga takut tidak diterima oleh teman-teman saya yang mayoritas orang Cina karena saya “hitachi” alias hitam-hitam Cina. Semakin dewasa ketakutan manusia berkembang. Ada yang takut tidak menikah. Ada juga yang takut hidup miskin dan menderita. Bahkan, orang-orang yang tampaknya berani dalam hidupnya pun ternyata memiliki ketakutan saat menghadapi penyakit terminal dan saat menyongsong ajal.
Karena itu, saya merasa pengalaman ketakutan ketakutan murid-murid Yesus dalam Matius 14:22-33 sangatlah dekat dengan saya yang adalah seorang penakut juga. Bayangkan saja, kita berada di tengah lautan yang gelap, lalu angin sakal datang, tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri datang dan berjalan di atas air. Jika saya melihat Mukjizat macam ini, saya sih akan cenderung takut, sama seperti murid-murid Tuhan Yesus. Imajinasi saya yang liar akan langsung mengidentifikasikan sosok itu dengan hantu. Apalagi, kata orang sebutan Tuhan dengan hantu yang diucapkan berulang-ulang dengan cepat itu mirip, “Tu-han-tu-han-tu... han!” Atau mungkin, jangan-jangan para murid juga pernah mengalami pengalaman dikerjain hantu yang menyamar jadi sosok tertentu. Hiiiiiii.... Ya, walaupun murid-murid Tuhan Yesus sudah bersama dengan-Nya kemana-mana tetap saja dalam kondisi seperti itu akan sulit mengenali bahwa itu adalah Guru mereka. Bahkan ketakutan akan hantu tampaknya sudah melebihi ketakutan mereka akan badai. Dan hal itu berbahaya sebab ketakutan dapat memicu kita untuk melakukan hal-hal yang ekstrim. Karena itu, Tuhan Yesus segera berkata, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” Kesegeraan itu diperlukan agar orang yang merasa takut tidak melakukan hal-hal ekstrim.
Rasa takut seperti Dementor di dalam seri novel fiksi Harry Potter, dapat menyerap seluruh energi dan daya yang kita miliki. Seorang spiritualis Belgia, Bieke Vandekerkehove, mengisahkan pengalamannya saat ia menghadapi sakit terminal. Ada tiga perasaan dominan yang ia rasakan yakni kemarahan, kesedihan dan rasa takut. Kesedihan dapat dihadapi dengan tangisan. Kemarahan dapat dilepaskan melalui proses menceritakan pergumulan kita atau melampiaskannya dalam bentuk lain seperti berteriak. Akan tetapi, ia berkata bahwa menghadapi rasa takut lebih sulit ketimbang menghadapi kemarahan dan kesedihan. Rasa takut seperti melumpuhkan kita dan menyedot semua daya yang kita butuhkan untuk menghadapi hal-hal yang kita takuti. Terkadang, kita mencoba menangis ataupun berpikir rasional untuk mengurangi rasa takut, namun kadang rasa takut itu tidak pergi. Bahkan, rasa takut menjadi tiran yang mempengaruhi cara berpikir kita, baik secara pribadi maupun komunal (Vandekerkehove, website 2016).Dalam Matius 14, saya belajar dari Petrus yang merasa takut. Sebagian dari kita mungkin merasa memang Petrus cemen atau payah atau sok-sok-an. Walaupun Tuhan Yesus sendiri menyebutnya sebagai orang yang kurang percaya, saya belajar bagaimana Petrus merengkuh ketakutannya. Dalam kisah Petrus yang berjalan di atas air, saya melihat bahwa dia belajar 2M: mengenali ketakutannya dan menerima anugerah Allah yang melampaui rasa takutnya. Petrus sudah melampaui ketakutannya akan hantu, sehingga ia meminta agar dapat berjalan di atas air dan mendapatkan Yesus. Namun, saat kakinya menyentuh air dan ia merasa tiupan angin, ia kembali ke dalam kesadaran bahwa angin sakal yang berbahaya itu dapat mengancam nyawanya. Ia sadar bahwa ia takut dan ketakutannya seperti menyedot energinya dan melumpuhkannya untuk melawan rasa takutnya sehingga ia hampir tenggelam. Kakinya menjadi tidak kuat berdiri dan tidak ada lagi yang dapat dilakukannya selain memohon pertolongan Tuhan.Hal itulah yang perlu kita lakukan pada saat ketakutan itu seperti melilit kita. Jangan melakukan kegilaan lain atau hal ekstrim yang membahayakan saat rasa takut datang. Berteriaklah untuk memohon pertolongan Tuhan! Kita akan melihat bahwa Allah telah mencurahkan belas kasih-Nya yang melampaui rasa takut kita. Tuhan Yesus mengulurkan tangannya dan menangkap Petrus, saat Petrus tak mampu lagi melawan rasa takutnya yang membuatnya semakin tenggelam. Inilah anugerah itu, saat Ia menolong kita untuk melalui peristiwa yang sangat menakutkan bagi kita. Maka sungguh layaklah kita berkata, “Sungguh Tuhan adalah anak Allah.”x

Kamis, 08 Juni 2017

Ulang Tahun yang Biasa Saja

Seorang sahabat, dekat memberikan ucapan ulang tahun yang menarik, "Yes, selamat ulang tahun. Gimana, berulang tahun saat menjadi pendeta? Biasa aja pasti. Tuhan berkati." Pengirim pesan ini memang sungguh-sungguh mengenal saya. Maklum, dia salah satu mentor pada saat saya CP1. Jadi kayaknya tau gue banget! Bagi saya, memang tidak ada bedanya ulang tahun sebagai pendeta atau sebagai non-pendeta. Mengapa?

Pertama, walaupun saya menjadi pendeta, saya sama koq dengan umat yang hidup dalam proses beriman. Kehidupan spiritual saya juga pas-pas-an, alias in the border line dan dipenuhi dengan dinamika naik turun. Saya ingat, tahun lalu ulang tahun saya dirayakan oleh teman-teman pemuda GKI Kayu Putih bersama dengan Kak Linna yang mau pergi studi pada keesokan harinya. Ulang tahun saya tahun lalu diwarnai kekhawatiran. Malam itu, saya berpikir keras. Duh Tuhan, gimana yah nanti saya ke depannya? Tugas-tugas makin banyak (iya sich!). Ditambah lagi, mikirin bulan depannya sahabat baik saya cabut ke Taize. Nanti, kalau tukar pendapat dan curhat, sama siapa yah? Saya juga kadang takut menjalani hari-hari karena saya terkadang hidup dalam kecemasan.

Tahun ini, saya belajar untuk mensyukuri anugerah Tuhan hari demi hari. Kelihatannya mudah, tapi buat saya sulit. Apalagi bawaan orok saya yang adalah seorang day-dreaming juga pencemas.
Namun, saat mengilas balik, saya melihat bahwa  setahun sudah dilewati. Saya melihat bahwa Tuhan telah menuntun saya melalui luka, kepedihan, tawa, dan kejutan.  Saya belajar mensyukuri hari-demi-hari yang Tuhan anugerahkan, walaupun masih sering nangis dan ngomel sama Tuhan.

Kedua, Karena bagi saya, anugerah Tuhan diberikan kepada setiap orang, baik itu pendeta dan bukan pendeta. Jadi, ulang tahun sebagai pendeta dan bukan pendeta ya sama saja. hehehehe... Buat saya anugerah Tuhan artinya penyertaan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Kadang bukan dengan peristiwa spektakuler, melainkan dari hal-hal biasa saja. Saat saya merasa kering, Tuhan menyegarkan. Saat saya belagu, Tuhan peringatkan. Saat saya kesepian, Tuhan memberikan teman curhat dan teman berantem. Saat saya malas, Tuhan mengingatkan untuk tekun. Saat saya pelit, Tuhan mengirimkan rekan untuk dibagi.

Thanks God buat hari ini. Thanks God buat sahabat-sahabat dan saudara-saudara yang memberikan ucapan selamat dan mendoakan saya. Terimakasih buat yang sudah menginspirasikan saya untuk hidup biasa saja, hari demi hari, melampaui kecemasan lebay saya. Ada tiga harapan saya. Yang pertama dan kedua rahasia. wkwkwkwkw.... Yang ketiga, saya ingin belajar mensyukuri hidup hari demi hari dalam kesederhanaan dan cinta kasih di tengah kelemahan-kelemahan saya. Sederhana, namun tidak mudah. Semoga bisa yaah... Kita belajar dan berporses.

Senin, 06 Maret 2017

Disabilitas dan Cita-cita Menjadi Pendeta

Pada masa raya Paska tahun lalu, saya melayani ibadah Paska, dalam rangka kepedulian bagi keluarga dan anak disabilitas. Anak-anak dan orang tua yang memiliki anggota keluarga dengan disabilitas diundang untuk ikut serta. Ibadah ini juga melibatkan komisi remaja dan panitia Paska. Dalam acara itu, saya berbincang-bincang dengan seorang ibu yang memiliki anak disabilitas, semacam retardasi mental.

Ibu itu mengisahkan bahwa awalnya ia merasa bersusah hati karena mendapatkan kepercayaan dari Tuhan untuk mengurusi anak dengan disabilitas. Ibu ini sempat masuk ke dalam tahap kemarahan total. Ia sempat mengunci anaknya di kamar mandi karena merasa frustasi mengajari anak ini. Namun, setelah dikeluarkan dari kamar mandi, anak ini memeluk ibunya, sambil mengatakan, "Tuhan Yesus sayang mama." Sejak saat itulah, ibunya justru belajar banyak tentang kehidupan spiritual dari anak itu.

Saat ibu itu bercerita, saya menatap matanya dan mata anaknya secara bergantian. Saya menahan tangis ketika mendengar ceritanya. Anaknya menatap saya dengan berbinar, lalu tersenyum. Senyumnya manis sekali. Lalu, anak itu melonjak-lonjak dan berputar-putar sambil tertawa. Ibunya melepaskan genggamannya dan anak itu pun berlari-lari.

Sesaat kemudian, ibunya melanjutkan kisahnya. Ada masa yang sangat menggugah hatinya, yakni ketika anak ini harus menjalani operasi otak. Ibunya begitu cemas saat ia dioperasi otak. Ibunya takut sekali anak ini mengalami efek terburuk dari operasi, yakni justru lupa semua atas apa yang sudah diajarkan dan diingatnya. Padahal, belum lama baru saja si ibu berhasil mengajari anak ini berhitung satu hingga sepuluh dalam rentang waktu yang sangat lama. Saat anak ini siuman, ibunya langsung menunjukkan jarinya kepada si anak lalu berkata, "Nak, ini berapa?" Si anak yang baru siuman berkata, "Ma, Tuhan Yesus sayang kita, jangan takut." Lagi-lagi si ibu merasa disapa Allah dengan jawaban si anak. Sekali lagi ibunya berkata kepada saya, "Tuhan justru mengajarkan saya banyak hal melalui anak ini."

Mata saya sudah berkaca-kaca. Karena pada saat yang bersamaan, kisah itu pun menjadi sapaan bagi saya dalam pengembaraan saya. Saya pun bertanya kepada ibu itu, "Ibu, apakah ibu pernah bertanya kepada anak ibu, apa cita-cita anak ibu?" Kemudian, ibu itu menjawab, "Pernah. Dan dia ingin menjadi pendeta." Tiba-tiba anak itu memeluk ibu itu dari belakang. Saya pun berlutut dan bertanya kepadanya, "Kamu mau jadi pendeta?" Anak itu tersenyum manis dan mengangguk kepada saya. Tanpa terasa, air mata saya menetes karena merasakan ketulusan anak ini.

Pengalaman ini begitu membekas bagi saya. Dalam masa cuti ini, saya berkesempatan untuk merenungkan banyak hal. Termasuk cita-cita anak ini? Mungkinkah cita-citanya untuk menjadi pendeta dapat tercapai? Secara personal, saya ingin sekali punya pendeta seperti anak karena ia sangat tulus. Barangkali, ia tidak sama seperti para pendeta dan calon pendeta yang sukanya bermain "politik" di gereja. Barangkali, ia tidak sama dengan para pendeta dan calon pendeta yang memakai kekuasaan untuk menindas rekannya dan jemaatnya.  Tetapi, saya berkali-kali merenung. Apakah mungkin dia dapat menjadi seorang pendeta? Atau minimal masuk ke sekolah teologi? 

Mungkinkah? Barangkali kita perlu berpikir ulang mengenai konsep kependetaan kita dan konsep pendidikan teologi. Apa sih yang disyaratkan untuk menjadi seorang pendeta (sambil melirik Tata Gereja hehehehe...)? Lalu bagaimanakah dengan sekolah teologi? Barangkali sekolah teologi sudah mulai terbuka bagi orang-orang dengan disabilitas fisik, dengan berusaha menyiapkan fasilitas yang dapat menunjang pembelajaran dengan kekhususan mereka. Tapi bagaimana dengan orang-orang dengan disabilitas mental? Bukankah untuk masuk ke sekolah teologi ada standard test IQ, dengan batas minimum skor IQ tertentu?

Refleksi ini menjadi sebuah refleksi terbuka. Saya sendiri masih bertanya dalam keterbatasan saya sambil mengingat kasih Allah yang menyapa setiap orang. Jika Allah itu penuh misteri, maka akankah kita terbuka pada misteri-Nya yang barangkali dapat memanggil orang-orang dengan disabilitas fisik dan mental untuk menjadi pendeta?

Di tengah keheningan
7 Maret 2017

Selasa, 21 Februari 2017

Satu Tahun Lalu....

Satu tahun yang lalu, saya merasa Tuhan menjerumuskan saya ke tengah proses yang menyakitkan
Dalam proses di tahun ini, saya belajar memahami tuntunan tangan-Nya di tengah proses yang menyakitkan.

Satu tahun yang lalu, saya tidak mengerti arti kebahagiaan.
Dalam proses di tahun ini, saya belajar untuk memaknai kebahagian dan keindahan. 

Satu tahun yang lalu, air mata menjadi teman hidup saya.
Dalam proses di tahun ini, saya belajar untuk bersahabat dengan senyuman.

Satu tahun yang lalu, saya masih bersikeras untuk menggenggam sesuatu.
Dalam proses di tahun ini, saya belajar melepaskan genggaman itu dalam rahmat Allah.

Satu tahun yang lalu, saya merasa tidak dicintai.
Dalam proses di tahun ini, Tuhan menunjukkan bahwa saya dicintai.

Satu tahun yang lalu, saya tidak mengerti apa itu pengharapan.
Dalam proses di tahun ini, Tuhan menolong saya untuk merasakan pengharapan.

Satu tahun yang lalu, saya kecewa pada Tuhan di tengah luka dan kehancuran.
Dalam proses di tahun ini, saya melihat ternyata Tuhan merengkuh dan menyembuhkan saya dari luka dan kehancuran itu.

Satu tahun yang lalu, saya masih terpikir untuk mundur pada hari yang ditakuti sekaligus dinantikan.
Dalam proses di tahun ini, saya belajar untuk bertahan dalam cinta-Nya, walaupun terkadang masih terpikir untuk mundur.

Terima kasih Tuhan untuk:
 tawa dan tangis;
 cinta dan air mata;
 setiap pengalaman indah dan menyakitkan;
 para sahabat dan keluarga yang mengasihi saya;
 dan GKI Kayu Putih yang Tuhan anugerahkan.

Jakarta, 21 Februari 2017

Detik-detik menuju 1 tahun penahbisan